Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KONSEP DASAR

A. KONSEP DASAR BPH


1. Anatomi dan Fisiologi Prostat
1) Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih,
mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering
disebut sebagai otot dasar panggul.

Gambar 2. 1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat dibentuk oleh
jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian
lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat
bagian yang berisi anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat
pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia
prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah
dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat (
Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50 kelenjar yang terbagi atas
empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus medial. Lobus posterior
yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang terletak
dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan
lobus dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot
polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak
mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae
yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat
terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah kenari besar.
Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan
berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 %
adalah jaringan stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler.
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus atau
pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik
dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel
prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra
posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos
prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian
pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat
menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo,
2011).
2) Fisiologi Prostat
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti. Bagian
yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap
androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena
sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat
dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5. Kelenjar prostat
mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung
asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan
prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan
cairan prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70%
volume cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-
4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan
prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup
lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan,
sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5
akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah
ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana,
2009 ).

2. Pengertian BPH
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli
adalah :
1) Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya
terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare,
2002).
2) BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan
tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan,
dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3) BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang
ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi
nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (
Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi
(BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang
biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung
kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan
perkemihan.
3. Penyebab BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya
dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab
antara lain :
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

c. Interaksi stroma – epitel


Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
e. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjprostat menjadi berlebihan (Poernomo,
2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger
Kirby, 1994 : 38 ).

4. Patofisiologi BPH
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas
dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri
dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses
pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada
leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi,
keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien
tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin
yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk
2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin
tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus
(intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami
iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap
berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami
perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo,
2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu
miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

5. Manifestasi Klinis BPH


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri
atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:


a. (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
b. (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
c. (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
d. (disuria).nyeri pada saat miksi

Gejala obstruktif meliputi:

a. rasa tidak lampias sehabis miksi.


b. (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
c. (straining) harus mengejan
d. (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya
miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia
karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien.

2) Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan
tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3) Gejala di luar saluran kemih


Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer,
2000, hal 330).

4) warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah

6. Penatalaksanaan BPH
1) Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia,
menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk
menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar
sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari
distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk
melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok
dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan
dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan
lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran
grafik pancaran urin.
2) Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan
pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat
alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron
(DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,
terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik
karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di
trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat.
Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di
hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat- obat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan
dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat
yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker
dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena
obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan
pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran
miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya
diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan
pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi
ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk
tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan
Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan
pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan
adalah :
a) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik
demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin
terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain,
kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur
bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode
pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera
rectal.
c) Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa
memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi
dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan
lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan


memakai tenaga elektrik diantaranya:
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat
dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam
lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway.
Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah.
Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu
operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak
pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi,
fertilitas (Baradero dkk, 2007).
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume
prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan
sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang
dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat
pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-
37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).

c) Terapi invasive minimal


Menurut Purnomo (2011) terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko
tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral
Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral
Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
1. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan
di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di
uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai
antara lain prostat.
2. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran
kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter.
Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini
sekarang jarang digunakan
3. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio
yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan
prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-
kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011). d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang
dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu
supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika.
Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko
pembedahan yang cukup tinggi.

B. KONSEP DASAR GANGGUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN PADA PENYAKIT BPH


1. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
Pengkajian nyeri akut penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena
nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing
individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri, seperti factor
fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua
komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi
langsung pada respon perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk
mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan
dengan cara PQRST :
P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat.
R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri.
T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.

a. Riwayat Nyeri

Saat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk
mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata
mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri bagi klien dan
bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :
1). Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya.
Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya menandai
bagian tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang
memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
2). Intensitas Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk
menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5
atau 0-10. Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan nyeri
“terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien
melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien
yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak
yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan
komunikasi.
Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisa
berkomunikasi).

3). Kualitas Nyeri


Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu
mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang
akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang
diambil.
4). Pola
Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau interval
nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung,
apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5). Faktor Presipitasi
Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh: aktivitas
fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang
sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya
nyeri.
6). Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh
awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
7). Pengaruh aktifitas sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan
membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang
perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan
interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas waktu seggang serta status
emosional.

8). Sumber koping


Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi
tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh
agama/budaya.
9). Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat dandurasi
nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya
perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri klien.

b. Observasi respons perilaku dan fisiologis

Banyak respons nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri diantaranya :


1). Ekspresi wajah:
a) Menutup mata rapat-rapat
b) Membuka mata lebar-lebar
c) Menggigit bibir bawah
2). Vokalisasi:
a) Menangis
b) Berteriak
3). Imobilisasi (bagian tubuh yang mengalami nyeri akan digerakan tubuh tanpa tujuan
yang jelas):
a) Menendang-nendang
b) Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi
nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a) Peningkatan tekanan darah
b) Nadi dan pernapasan
c) Diaforesis
d) Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b) Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan.
3. Intervensi Keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN BPH POST PROSTATEKTOMY
DI RUANG PRABU KRESNA RSUD KOTA SEMARANG

A. BIODATA

1. Identitas pasien
Nama : Tn. Sugiyan
Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah 1 kali
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Alamat : Pucang Gading RT/RW : 07/11 ,Mranggen,Demak
Tanggal Masuk : 22 Juni 2015
No. Register : 198785
Diagnosa medis : BPH

2. Penanggung jawab
Nama : Ny. Neli Darwati
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : MTs
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hub. dengan pasien : Istri
B. RIWAYAT KESEHATAN

1. Keluhan Utama
Perut bagian kiri sakit, dada sakit

2. Riwayat penyakit sekarang

a. Alasan dirawat dirumah sakit / perjalanan penyakit


BAK sulit

b. Faktor pencetus
Umur sudah tua

c. Lamanya keluhan
2 hari

d. Timbulnya keluhan (bertahap/mendadak)


bertahap

e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya


Jika sakit dipijitkan

3. Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu


Pernah dirawat di Puskesmas selama 1 minggu karena typoid

4. Riwayat kesehatan keluarga


Paman pernah menderita tumor

C. POLA KESEHATAN FUNGSIONAL( DATA FOKUS)

1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

a. Persepsi pasien tentang kesehatan diri


Sebelum sakit : kesehatan adalah nikmat dari Allah
Setelah dirawat : kesehatan adalah nikmat dari Allah
b. Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakitnya
Sebelum sakit : perut kiri ada benjolan
Setelah dirawat : BAK sulit karena penyakit prostat

c. Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan


Sebelum sakit : pasien jarang bberobat
Setelah dirawat : pasien berobat langsunng ke Puskesmas

d. Kemampuan pasien untuk mengontrol kesehatan (apa yang dilakukan pasien bila sakit,
kemana pasien biasa berobat bila sakit)
elum sakit : pasien biasa kerokan kalau sakit
Setelah dirawat : pasien periksa di Puskesmas dan Rumah Sakit

e. Kebiasaan hidup
Sebelum sakit : pasien dahulu konsumsi kopi dan rokok
Setelah dirawat : pasien tidak merokok dan minum kopi

f. Faktor sosioekonomi yang berhubungan dengan kesehatan


Sebelum sakit : pasien terdaftar di Jamkesmas
Setelah dirawat : pasien terdaftar di Jamkesmas

2. Pola nutrisi dan metabolik

a. Pola makan
Sebelum sakit : pasien biasa makan 3 kali sehari
Setelah dirawat : pasien makan tidak seperti biasanya

b. Apakah keadaan sakit saat ini mempengaruhi pola makan/minum


Sebelum sakit : pasien biasa habis 1 porsi setiap makan
Setelah dirawat : pasien tidak habis 1 porsi setiap makan
c. Makanan yang disukai pasien, adakah makanan pantangan / makanan tertentu yang
menyebabkan alergi, adakah makanan yang dibatasi
elum sakit :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
elah dirawat :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan

d. Adakah keyakinan atau kebudayaan yang dianut yang mempengaruhi diit


elum sakit : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
elah dirawat : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit

e. Kebiasaan mengkonsumsi vitamin/obat penambah nafsu makan (jumlah yang


dikonsumsi setiap hari, sudah berapa lama)
elum sakit : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
elah dirawat : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan

f. Keluhan dalam makan


elum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam makan
elah dirawat : pasien mual setelah operasi

g. Pola minum
elum sakit : pasien biasa minum air putih kurang lebih 8 gelas sehari
elah dirawat : pasien biasa minum 3 gelas sehari

h. Bila pasien terpasang infuse berapa cairan yang masuk sehari


Pasien terpasang infus pada ektremitas atas sebelah kanan dan dalam satu hari cairan yang masuk
1-3 plabot perhari

i. Keluhan demam
Post operasi hari ke 1-3 pasien merasa demam

3. Pola eliminasi
a. Eliminasi feses
Sebelum sakit : pasien biasa BAB 1 kali sehari
Setelah dirawat : pasien belum pernah BAB setelah dioperasi
b. Eliminasi urin
Sebelum sakit : pasien BAK seperti biasanya, warna urin jernih
Setelah dirawat : pasien BAK melalui kateter, warna urin pasien keruh

4. Pola aktifitas dan latihan


a. Kegiatan dalam pekerjaan
Sebelum sakit : pasien biasa bekerja dan beraktivitas
Setelah dirawat : pasien tidak bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasanya
b. Keluhan dalam aktivitas
Sebelum sakit : pasien biasa melakukan aktivitas tanpa bantuan
Setelah dirawat : semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga

5. Pola istirahat dan tidur

1. Kebiasaan tidur
Sebelum sakit : pasien biasa tidur setelah tengah malam
Setelah dirawat : pasien biasa tidur setelah tengah malam

2. Kesulitan tidur
Sebelum sakit : pasien biasa tidur pulas
Setelah dirawat : pasien mudah terbangun

6. Pola persepsi sensori dan kognitif

a. Keluhan yang berkenaan dengan kemampuan sensasi


elum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori
elah dirawat : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori
b. Kemampuan kognitif
Sebelum sakit : pasien tidak mengalami gangguan kognitif
Setelah dirawat : pasien tidak mengalami gangguan kognitif

c. Persepsi terhadap nyeri dengan menggunakan pendekatan P,Q,R,S,T


P = nyeri bertambah saat beraktivitas
Q = nyeri seperti dicengkeram
R = nyeri ulu hati
S = Skala 3
T = 2 hari

7. Pola hubungan dengan orang lain


Sebelum sakit : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain
Setelah dirawat : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain

8. Pola reproduksi dan seksual


elum sakit : pasien biasa berhubungan seksual dengan istrinya
elah dirawat : pasien tidak bisa berhubungan seksual dengan istrinya

9. Persepsi diri dan konsep diri


elum sakit :Pasien biasa menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga
Setelah dirawat :pasien tidak bisa bekerja

10. Pola Mekanisme koping


elum sakit : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
elah dirawat : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
11. Pola nilai kepercayaan / keyakinan
Sebelum sakit : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu
Setelah sakit : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu
D. PENGKAJIAN FISIK

1. Keadaan umum : Baik


2. Tingkat kesadaran : Composmentis
3. Tanda-tanda vital

a. Suhu tubuh : C
b. Tekanan darah : 150/82 mmHg
c. Respirasi : 28x/menit, cepat, teratur
d. Nadi : 82 x/menit, kuat, teratur
e. Pengkajian nyeri : Nyeri dada kanan, skala 2
4. Pengukuran antropometri : LiLA= 29 cm
5. Kepala : Mesocephal
a. Rambut
warna hitam, lebat, nampak bersih
b. Mata
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c. Hidung
hidung nampak bersih
d. Telinga
pendengaran baik, telinga nampak bersih
e. Mulut
bibir tidak kering, tidak ada ginggivitis

1. Leher dan tenggorok : tonsil tidak membesar


2. Dada dan thorak
Bentuk dada simetris

3. Paru-paru : tidak ada ronchi dan wheezing


4. Jantung : Ictus cordis tidak tampak
5. Abdomen : luka operasi post prostatektomi
6. Genital : nampak bersih, terpasang kateter
7. Ekstremitas

a. Inspeksi kuku, kulit


Tidak sianosis, turgor baik, tidak ada edema

b. Capillary refill
< 2 detik

c. Kemampuan berfungsi
Tonus otot baik

d. Bila terpasang infus


tidak ada nyeri tekan pada daerah tusukan infus
8. Kulit
Kulit nampak bersih, warna sawo matang, turgor baik, tidak ada edema

E. DATA PENUNJANG
1) Hasil pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : 10,0 g/dL
Hematokrit : 32,9 %
Leukosit : 10.000 sel/mm3
Trombosit : 206.000 sel/mm3
Eritrosit : 3,5 juta/mm3
Urinalisa
Bau : Khas
Warna : Kuning
Kekeruhan : Keruh
Ph : 7,0
Protein :+
Reduksi :-
Keton :-
Bilirubin :-
Urobilin :-
Nitrit :-
BJ urin : 1,010
Sedimen
Eritrosit : 6-8
Lekosit : 25-30 (ada yang bergelombang)
Bakteri : positif
Benang mucus : +
Kristal : AMORS/+
b. Pemeriksaan Radiologi
X Foto BNO - IVP :
UTI dikedua ginjal
Cystitis
Pembesaran kelenjar prostat

c. Pemeriksaan UGS
Kesan :
Cystitis
Pembesaran kelenjr prostat (vol = 37 cm3)
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya secara sonografi

d. Diit yang diperoleh


e. TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
f. Therapy
Infus RL 20 tpm
Inj. Gentamicin 2x80 mg
Inj. Ketorolac 2x30 mg
Inj. Shorax 4x750 m

PENGELOMPOKAN DATA
NO TGL DATA (DS DAN DO) TTD & NAMA
1. Selasa, DS :
30 juni
Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada
2015
sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6
; RR 20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan Infus
RL 20 tpm
2. Rabu,1 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian
luka post operasi, pasien mengatakan tidak nafsu
makan, ingin cepat pulang ke rumah.

DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi

3. Jum’at, 3 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3)

DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain
ANALISA DATA
DATA (DS dan DO) MASALAH (P) ETIOLOGI (E)
DS : Nyeri akut Agen cidera fisik :
Pasien mengatakan perut post operasi TVP
sebelah kiri sakit, dada sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N :
78X/menit, S : 35,6 ; RR
20X/menit ; Terpasang DC,
Drain, dan Infus RL 20 tpm
DS : Resiko infeksi Prosedur invasif :
Pasien mengatakan masih nyeri luka post operasi
di perut bagian luka post TVP
operasi, pasien mengatakan
tidak nafsu makan.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang
terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post
operasi
Pasien mengatakan nyeri sudah Hambatan mobilitas fisik Ketidaknyamanan :
berkurang (< 3), lemas. pemasangan kateter,
luka post operasi.
DO :
Pasien tampak lemas, tidak
banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b/d Agen cidera fisik, post operasi TVP


2. Resiko infeksi b/d Prosedur invasif, luka post operasi TVP
3. Hambatan mobilitas Fisik b/d Ketidaknyamanan, pemasangan kateter, luka post operasi.

PERENCANAAN
NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL
DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
1. 30 juni 2015 Setelah dilakukan 1. Manajemen nyeri 1. Meringankan atau
tindakan mengurangi nyeri
keperawatan sampai pada
selama 3X24 jam, tingkat
pasien tidak kenyamanan yang
mengalami nyeri, dapat diterima oleh
dengan kriteria pasien.
hasil : 2. Pemberian 2. Untuk mengurangi
- Mampu analgetik : atau
mengontrol nyeri ( menggunakan menghilangkan
tahu penyebab agens-agens nyeri.
nyeri, mampu farmakologi
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri, mencari
bantuan),
- melaporkan
bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri,
- mampu
mengenali
nyeri(skala,
intensitas,
frekuensi dan
tanda nyeri),
- menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang

NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL


DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
2 Rabu,1 juni Setelah dilakukan 1. Perawatan 1. Meningkatkan
2015 tindakan sirkulaasi: sirkulasi arteri
keperawatan insufisensi arteri
selama 1x24 jam, 2. Perawatan luka 2. Membersihkan,
pasien tidak insisi memantau dan
mengalami infeksi memfasilitasi
dengan kriteria proses
hasil : penyembuhan luka
- Klien bebas dari yang ditutup
tanda dan gejala dengan jahitan.
infeksi
- menunjukkan 3. Perawatan luka 3. Mencegah
kemampuan untuk terjadinya
mencegah komplikasi pada
timbulnya infeksi, luka dan
jumlah leukosit memfasilitasi
dalam batas proses
normal penyembuhan luka.
- menunjukkan
perilaku hidup
sehat.

NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL


DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
3 Jum’at, 3 Setelah dilakukan 1. Promosi 1. Memfasilitasi
juni 2015 tindakan mekaanika tubuh penggunaan postur
keperawatan dan pergerakan
selama 3x24 jam, dalam aktivitas
hambatan sehari hari untuk
mobilitas fisik mencegah
teratasi dengan keletihan dan
kriteria hasil : ketegangan atau
- Klien meningkat cedera
dalam aktivitas muskuloskeletal
fisik, mengerti 2. Terapi latihan 2. Meningkatkan dan
tujuan dari fisik : ambulasi membantu dalam
peningkatan berjalan untuk
mobilitas, mempertahankan
memverbalisasikan atau
perasaan dalam mengembalikan
meningkatkaan fungsi tubuh
kekuatan dan autonom
kemampuan 3. Terapi latihan 3. Menggunakan
berpindah, fisik : mobilisasi gerakan tubuh aktif
memperagakan sendi dan pasif untuk
penggunaan alat mempertahankan
bantu untuk atau
mobilisasi. mengembaliakn
fleksibilitas sendi
4. Bantuan 4. Membantu individu
perawatan diri untuk mengubah
posisi tubuhnya

TINDAKAN KEPERAWATAN
NO TINDAKAN RESPON PS TTD &
DX TGL/JAM NAMA
30 juni Manajemen nyeri : Nyeri sedikit berkurang
1.
2015 Teknik relaksasi napas dalam Lebih nyaman
Rabu,1 juni Perawatan luka post operasi di Pasien mengatakan nyaman
2.
2015 perut, mengganti botol drain, setelah dibersihkan lukanya
dan perawatan kateter
Jum’at, 3 Mobilisasi dini: Pasien mengatakan tubuhnya
3.
juni 2015 Mengubah posisi pasien miring tidak kaku dan lebih nyaman.
kanan dan kiri dan melatih
ROM aktif dan pasif secara
perlahan.

CATATAN PERKEMBANGAN
NO WAKTU EVALUASI TTD &
DX (TGL/JAM) NAMA
Selasa, 30 S : pasien mengatakan nyeri di luka post operasi
1.
juni 2015 O : KU baik, pasien tampak menahan nyeri, terpasang
infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang
kateter
A : masalah teratasi sebagian, nyeri berkurang
P : manajemen relaksasi napas dalam
Rabu,1 juni S : pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2.
2015 O : TD 110/60 mmHg, S 36 º c, N 80x/menit, RR
20x/menit, terpasang infus di tangan kanan, terpasang
drain, dan terpasang kateter
A : nyeri berhubungan dengan insisi luka
P : perawatan luka, perawatan kateter, mengganti botol
drain.
Jum’at, 3 juni S : pasien mngetakan lemas, takut untuk bergerak,
3.
2015 duduk dan berdiri.
O : pasien sering tidur, tampak lemah
A : hambatan mobilitas fisik
P : mobilisasi dini

Anda mungkin juga menyukai