Medan, 2010.
yang lebih
tinggi sehingga cocok untuk pertumbuhan kuman. Daerah apikal-posterior juga
merupakan area yang defisiensi produksi limfe sehingga terjadi penurunan
drainase sehingga kuman TB sukar dieliminasi di area tersebut (Hopewell, 2005).
2.1.3.2. Patogenesis Reaktivasi Tuberkulosis
Banyak sebutan terhadap fase ini seperti penyakit kronik pasca TB
primer, reinfeksi atau TB progresif dewasa, endogen reinfeksi, reaktivasi terjadi
setelah periode laten (beberapa bulan atau tahun) setelah infeksi primer. Dapat
terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi oleh karena kuman dorman
mengalami multiplikasi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer.
Reinfeksi diartikan sebagai infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah
mengalami infeksi primer. TB paru-paru pos-primer dimulai dari sarang dini yang
umumnya pada segmen apikal lobus superior atau lobus inferior, yang awalnya
berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat mengalami suatu keadaan,
direabsorsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, sarang meluas, tetapi
mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat
aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kavitas.
Sarang pneumonia meluas membentuk jaringan keju yang bila dibatukkan akan
membentuk kavitas awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal
(Hopewell, 2005).
Bentuk dari TB paru pos-primer dapat sebagai tuberkulosis paru seperti
adanya kavitas, infiltrat, fibrosis dan endobronkial TB, atau dapat sebagai TB
ekstrapulmonal seperti efusi pleura, limfadenopati, meningitis, TB tulang
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
2.1.3.3. Patologi TB Paru
Perubahan mendasar pada jaringan paru akibat infeksi kuman tuberkulosis
berupa lesi eksudatif, fibrinomacrophagic alveolitis, polymorphonuclear
alveolitis, kaseosa dan kavitas, tuberkuloma (Fishman, 2002).
2.1.4. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala sistemik dan
gejala lokal. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun. Pada paru-paru akan timbul gejala lokal berupa gejala
respiratori. Norman Horne membuat daftar gejala dan tanda TB paru seperti
tidak ada gejala, batuk, sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas,
“mengi” yang terlokalisir. Akan tetapi, tanda dan gejala ini tergantung pada luas
lesi. Pada pemeriksaan fisis, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat
dan luas kelainan struktur paru (Depkes RI, 2007).
Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan paru
pada pemeriksaan fisis. Kelainan paru terutama pada daerah lobus superior
terutama apeks dan segmen posterior, serta apeks lobus inferior (Leitch, 2000).
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru-paru,
diafragma dan mediastinum.
Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk
membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat–sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan
kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari
sputum, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar
lavage, urin, jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan
sputum, cara pengambilannya terdiri dari tiga kali yaitu sewaktu (pada saat
kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat mengantarkan dahak
pagi) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis. WHO
merekomendasikan pembacaan dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD):
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+).
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
2.1.5. Penatalaksanaan
Sejarah pengobatan pada TB dimulai pada tahun 1943, dimana Wacksman
dan Schatz di New Jersey menemukan Streptomyces griseus yang dikenal sebagai
Streptomisin, merupakan OAT pertama yang digunakan. Penggunaan
Streptomisin sebagai obat tunggal terjadi sampai tahun 1949. Kemudian
ditemukan Para Amino Salisilat (PAS), sehingga mulai dilakukan kombinasi
antara keduanya, tetapi pada akhir 1946 pemakaian PAS sudah jarang
dipublikasikan. Pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid (INH) yang kemudian
menjadi komponen penting dalam pengobatan TB, sejak saat itu durasi
pengobatan dapat diturunkan. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin (R)
sebagai paduan obat dikombinasi dengan Etambutol (E) dan Pirazinamid
(WHO, 2002b).
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. Pengembangan
strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama WHO.
Pengobatan TB bertujuan untuk tiga hal yaitu (Departement Kesehatan RI, 2007):
a. Untuk mengurangi secara cepat jumlah dari basil mikobakterium, sehingga
dapat mengurangi durasi dari pengobatan.
b. Untuk mencegah resistensi obat. Pengobatan yang tidak adekuat dapat
menyebabkan resistensi obat dengan segera, sehingga dapat meningkatkan
kegagalan pengobatan dan kekambuhan. Resistensi tidak hanya pada pasien
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
yang bersangkutan, tetapi juga dapat menular pada seseorang yang
sebelumnya belum pernah terinfeksi.
c. Sterilisasi untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi jumlah dan
kelangsungan hidup kuman.
2.1.5.1. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
Di Indonesia OAT KDT pertama kali digunakan pada tahun 1999 di
Sulawesi Selatan dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang
diobati dengan KDT di enam belas Puskesmas, tidak ada yang menolak dengan
pengobatan KDT dan hanya 10% dengan efek samping ringan tanpa harus
menghentikan pengobatan dan hanya 0,6% yang mendapat efek samping berat
(Depkes RI, 2007).
OAT KDT adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti TB
dengan dosis tetap. Jenis tablet KDT untuk dewasa (Depkes RI, 2007):
a. Tablet yang mengandung empat macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Setiap tablet mengandung: 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg
Pirazinamid, 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan setiap hari untuk
pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet
yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.
b. Tablet yang mengandung dua macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Sertiap tablet mengandung 150 mg INH dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu dalam tahap
lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.
Pada katagori I obat yang digunakan bila terdapat BTA (+) ialah
2RHZE/4RH.
Dasar perhitungan pemberian OAT KDT adalah :
1) Dosis sesuai dengan berat badan penderita
2) Lama dan jumlah dosis pemberian pada Kategori I adalah:
a. Tahap intensif adalah: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
b. Tahap lanjutan 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Kombinasi empat komponen aktif OAT atau KDT akan mampu
mengurangi resistensi kuman TB terhadap obat TB karena penderita kecil
kemungkinannya untuk memilih salah satu dari obat TB yang akan diminum
(Aditama, 2004).
Efek samping dapat timbul pada penggunaan tablet KDT, apabila efek
samping timbul, maka tablet KDT harus diubah dalam bentuk OAT yang terpisah.
Reaksi efek samping biasanya terjadi hanya pada 3-6% pasien-pasien dalam
pengobatan TB. Reaksi efek samping lebih sering terjadi pada pasien dengan ko-
infeksi dengan HIV (khususnya Thioacetazone), bagaimanapun KDT tidak
dikontraindikasikan absolut pada pasien- pasien ini (Depkes RI, 2007).
KDT dapat digunakan pada beberapa kondisi khusus, misalnya pada gagal
ginjal, dosis rifampisin, INH dan Pirazinamid dapat digunakan dosis normal.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis Etambutol harus dikurangi karena
ekskresi primer dari obat tersebut adalah melalui ginjal (Depkes RI, 2007).
2.2. Merokok
2.2.1. Definisi
Merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap rokok
(tembakau). Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara
luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti nyata adanya bahaya
merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan pada orang di sekitarnya
(Aditama, 2009).
2.2.2. Komposisi
Kalau kita sadar, satu batang rokok yang hanya seukuran pensil sepuluh
sentimeter itu, ternyata ibarat sebuah pabrik berjalan yang menghasilkan bahan
kimia berbahaya. Satu batang rokok yang dibakar mengeluarkan sekira 4 ribu
bahan kimia. Terdapat beberapa bahan kimia yang ada dalam rokok. Di antaranya,
acrolein, merupakan zat cair yang tidak berwarna, seperti aldehyde. Zat ini sedikit
banyaknya mengandung kadar alkohol. Artinya, acrolein ini adalah alkohol yang
cairannya telah diambil. Cairan ini sangat mengganggu kesehatan.Karbon
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
monoxide adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsur ini dihasilkan oleh
pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Zat ini sangat
beracun. Jika zat ini terbawa dalam hemoglobin, akan mengganggu kondisi
oksigen dalam darah.Nikotin adalah cairan berminyak yang tidak berwarna dan
dapat membuat rasa perih yang sangat. Nikotin ini menghalangi kontraksi rasa
lapar.
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen
dan hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu
kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga kalau disuntikkan (baca: masuk)
sedikit pun kepada peredaraan darah akan mengakibatkan seseorang pingsan.
Formic acid sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat
membuat lepuh. Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya. Zat menimbulkan
rasa seperti digigit semut.
Hydrogen cyanide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau
dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah
terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernapasan.
Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat
berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat
mengakibatkan kematian.
Nitrous oxide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap
dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Nitrous oxide merupakan jenis zat yang pada mulanya dapat digunakan sebagai
pembius waktu melakukan operasi oleh para dokter.
Formaldehyde adalah sejenis gas tidak berwarna dengan bau yang tajam.
Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama. Gas ini juga sangat
beracun keras terhadap semua organisme-organisme hidup.
Phenol merupakan campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi
beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini
beracun dan membahayakan, karena phenol ini terikat ke protein dan menghalangi
aktivitas enzim.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Acetol, adalah hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna
yang bebas bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol. Hydrogen sulfide,
sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini
menghalangi oxidasi enzym (zat besi yang berisi pigmen). Pyridine, sejenis cairan
tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan mengubah sifat
alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu antara
hidrogen dan karbon merupakan unsurnya yang terutama. Zat ini adalah
merupakan compound organis yang dapat beracun. Methanol sejenis cairan ringan
yang gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau mengisap methanol
dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian. Dan tar, sejenis cairan
kental berwarna cokelat tua atau hitam. Tar terdapat dalam rokok yang terdiri dari
ratusan bahan kimia yang menyebabkan kanker pada hewan. Bilamana zat
tersebut diisap waktu merokok akan mengakibatkan kanker paru-paru (Aditama,
1997).
2.2.3. Pengaruh Merokok terhadap Paru
Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang
rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar empat ribu bahan kimia seperti
nikotin, gas karbon monooksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, ammonia,
acrolein, acetilen, benzaidehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin,4-
ethylcatechol, ortocresol, perylene dan lain-lain (Aditama, 1997).
Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar
yaitu komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen
padat atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar. Tar adalah kumpulan dari
ratusan atau bahkan ribuan bahan kimia dalam komponen padat asap rokok
setelah dikurangi nikotin dan air. Tar ini mengandung bahan-bahan karsinogen
(dapat menyebabkan kanker). Tembakau banyak dikunyah atau diisap melalui
mulut atau hidung, atau seperti kebiasaan menyusur di negara kita. Sementara itu,
nikotin adalah suatu bahan adiktif, bahan yang dapat membuat orang menjadi
ketagihan dan menimbulkan ketergantungan. Daun tembakau mengandung satu
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
sampai tiga persen nikotin. Setiap isapan asap rokok mengandung 1014 radikal bebas dan 10'6
oksidan, yang semuanya tentu akan masuk terisap ke dalam paru-
paru. Jadi bila seseorang membakar kemudian mengisap rokok, maka ia akan
sekaligus mengisap bahan-bahan kimia yang disebutkan di atas.
Bila rokok dibakar, maka asapnya juga akan beterbangan di sekitar
perokok. Asap yang beterbangan itu juga mengandung bahan yang berbahaya, dan
bila asap itu diisap oleh orang yang ada di sekitar perokok maka orang itu juga
akan mengisap bahan kimia berbahaya ke dalam dirinya, walaupun ia sendiri tidak
merokok. Asap rokok yang diisap perokok disebut dengan "asap utama"
(mainstream smoke) dan asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar yang
diisap oleh orang sekitar perokok disebut "asap sampingan" (sidestream smoke).
Bahan-bahan kimia itulah yang kemudian menimbulkan berbagai
penyakit. Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tertentu. Kanker
paru misalnya, dihubungkan dengan kadar tar dalam rokok, penyakit jantung
dihubungkan dengan gas karbon monooksida, nikotin, dan lain-lain. Makin tinggi
kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka semakin besar
kemungkinan seseorang menjadi sakit kalau mengisap rokok itu. Karena itulah di
banyak negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan kadar tar, nikotin dan
bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang dijual di pasaran. Yang
juga jadi masalah bagi kita adalah kenyataan bahwa rokok Indonesia mempunyai
kadar tar dan nikotin yang lebih tinggi daripada rokok-rokok produksi luar negeri.
Karena itu perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk menghasilkan rokok
dengan kadar tar dan nikotin yang lebih rendah di Indonesia.
Setelah mengisap rokok bertahun-tahun, perokok mungkin menderita sakit
Makin lama ia punya kebiasaan merokok maka makin besar kemungkinan
mendapat penyakit. Tentu saja juga ada pengaruh buruk yang segera timbul dari
asap rokok, misalnya keluhan perih di mata bila kita berada di ruangan tertutup
yang penuh asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak napas dan
batuk-batuk bila di sebelahnya ada orang yang menghembuskan juga akibat
paparan asap rokok dalam waktu lama. Ada juga penelitian yang menunjukkan
bahwa asap rokok merupakan faktor risiko penting untuk timbulnya kasus baru
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
asma. Para perokok juga ternyata dapat lebih tersensitisasi terhadap alergen-
alergen di tempat kerja yang khusus.
Kebiasaan merokok juga dihubungkan dengan peningkatan kadar suatu
bahan yang disebut imunoglobulin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap
bahan ini ternyata bahkan dapat sampai empat sampai lima kali lebih tinggi pada
perokok bila dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian lain (melaporkan
pula peningkatan hitung jenis set basofil dan eosinosfil pada perokok. Jumlah sel
Goblet yang ada di saluran napas juga terpengaruh akibat asap rokok dan
mengakibatkan terkumpulnya lendir di saluran napas. Ada juga penelitian yang
mengemukakan bahwa "epithelial serous cells" di saluran napas dapat berubah
menjadi sel goblet akibat paparan asap rokok dan polutan lainnya
(Aditama, 1997).
2.3. Hubungan Merokok dan Tuberkulosis Paru
Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang
disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak
mudah "membuang" infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di
paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan
napas (airway resistance) dan menyebabkan "mudah bocornya" pembuluh darah
di paru-paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat
memfagosit bakteri patogen.
Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen
sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan.
Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan
produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita. Pemeriksaan canggih
seperti gas chromatography dan mikroskop elektron lebih menjelaskan hal ini
dengan menunjukkan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat biomolekuler
akibat rokok (Aditama, 2009).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Konversi sputum
Merokok
pada TB paru setelah pengobatan bulan ke-1 dan ke-2
Gambar 3.1 Kerangka konsep
Variabel independen: kebiasaan merokok.
Variabel dependen: konversi sputum pada penderita TB paru setelah pengobatan
dengan OAT bulan ke-1 dan ke-2.
3.2. Definisi Operasional
Kebiasaan merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap
rokok (tembakau) minimal tiga batamg rokok per hari.
Konversi sputum adalah apabila jumlah bakteri pada pemeriksaan
mikroskopis sputum penderita TB paru dengan pewarnaan BTA mengalami
penurunan sesuai dengan kriteria WHO (dari + 3 menjadi +2 menjadi +1 atau
menjadi 0).
3.3. Hipotesis
1. Ada perbedaan konversi sputum setelah satu bulan pengobatan dengan OAT
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.
2. Ada perbedaan konversi sputum dari bulan pertama ke bulan kedua
pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.
3. Ada perbedaan konversi sputum setelah dua bulan pengobatan dengan OAT
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok. pengobatan TB
pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian kohort atau prospektif
observasional dengan kelompok kontrol.
4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Klinik Jemadi Medan karena Klinik Jemadi
Medan merupakan salah satu klinik tempat rujukan pengobatan TB paru di
Sumatera Utara, khususnya di Medan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 16 Mei
2009 sampai 20 Juli 2009.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua penderita TB paru di Klinik Jemadi Medan yang
sudah dilakukan pemeriksaan BTA. Kemudian sampel dipilih berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi dan dikelompokkan menjadi kelompok studi (penderita TB
paru yang merokok) dan kelompok kontrol (penderita TB paru yang tidak
merokok). Pengambilan sampel dilakukan secara non-random dengan teknik
consecutive sampling.
Kriteria inklusi:
1. Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
paru-paru, pemeriksaan sputum dengan pewarnaan BTA., dan didukung oleh
pemeriksaan foto toraks
2. Pasien TB paru yang tergolong kategori I.
3. Pasien TB paru yang mempunyai kebiasaan merokok minimal tiga batang per
hari.
4. Pasien TB paru yang tidak merokok dan bukan perokok pasif.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Kriteria eksklusi adalah:
1. Penderita TB paru dengan HIV/ AIDS, diabetes mellitus, penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK).
2. Penderita TB paru yang tidak berobat secara teratur.
3. Penderita TB paru yang mengkonsumsi minuman beralkohol.
Besar sampel ditetapkan berdasarkan rumus (Soekidjo, 2008):
η=N
1 + (d2 N)
η: jumlah sampel
N: jumlah populasi → N = 310 orang (Rekam Medis Klinik Jemadi Medan 2008)
d: tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki → d = 10%
Jumlah sampel minimal: 76 orang.
Jumlah di atas dibagi menjadi dua kelompok, 38 orang kelompok studi dan 38
orang kelompok kontrol.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti.
Pada penelitian ini data primer adalah proporsi konversi sputum pada
penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari rekam medis atau dari
penelitian-penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini data sekunder adalah
data populasi penderita TB paru-paru di Klinik Jemadi Medan.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
4.5. Pengolahan Dan Analisa Data
Data penelitian dianalisis dengan bantuan program komputer SPSS versi
10 dengan proses sebagai berikut (Wahyuni, 2007):
a. Editing: memeriksa ketepatan dan kelengkapan data pada kuesioner.
b. Coding: pemberian kode dan penomoran.
c. Entry: memasukkan data ke dalam komputer.
d. Cleaning: memeriksa semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer
untuk menghindari kesalahan dalam pemasukan data.
e. Saving: penyimpanan data.
f. Analysis data: menggunakan statistik deskriptif untuk melihat proporsi
konversi sputum pada penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok
serta statistik analitik untuk uji hipotesis menggunakan uji chi square
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di “Klinik Jemadi” Medan yang berlokasi di
Jl. Jemadi No. 8 Pulo Brayan Darat II - Medan Provinsi Sumatera Utara,
Indonesia. Di klinik ini terdapat beberapa praktek dokter spesialis salah satunya
adalah praktek dokter spesialis paru dan saluran pernapasan yang memiliki
beberapa 4 (empat) orang perawat dan 1 (satu) orang petugas laboratorium serta 2
(dua) orang petugas radiologi. Jumlah pasien TB baru yang datang berobat di
praktek ini setiap bulannya lebih dari 40 orang.
Klinik ini merupakan satu-satunya klinik swasta rujukan TB di Sumatera
Utara yang juga ditunjuk oleh World Health Organization (WHO) sebagai klinik
yang menggunakan system pengobatan Directly Observed Treatments (DOTS),
selama lebih dari 9 tahun.
Klinik ini melakukan pelayanan, pemeriksaan dan terapi TB selama enam
hari kerja, yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, jum’at dan Sabtu, mulai pukul 16.30
hingga pukul 22.00 WIB.
5.1.2 Deskripsi Karakteristik Penderita TB Paru
Selama periode pengambilan sampel, yaitu tanggal 16 Mei 2009 sampai
20 Juli 2009, terdapat 77 orang penderita TB paru yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi serta masuk ke dalam penelitian. Subjek penelitian dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan kebiasaan merokok. Sebanyak 39 orang
memiliki kebiasaan merokok (kelompok studi) dan 38 orang tidak memiliki
kebiasaan merokok (kelompok kontrol).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
5.1.2.1 Karakteristik Demografis Penderita TB Paru
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 77 subjek penelitian, proporsi jenis
kelamin terbanyak adalah laki-laki, yaitu sebanyak 62 orang (80,5%), sedangkan
perempuan 15 orang (19,5%).
Rerata umur penderita TB paru adalah 37,42 + 13,62. Proporsi umur yang
paling banyak adalah 29-35 tahun dan 36-42 tahun yang merupakan usia
produktif, masing-masing 14 orang (17,9%). Umur 15-21 tahun 13 orang (16,7%),
umur 43-49 tahun dan 50-56 tahun masing-masing 10 orang (12,8%), umur 22-28
tahun 9 orang (11,5%), umur 57-63 tahun 6 orang (7,7%), dan umur 64-70 tahun 1
orang (1,3%).
Rerata berat badan adalah 50,18 + 11,03 kg. Proporsi berat badan yang
terbanyak adalah 39-47 kg yaitu 30 orang (39%). Berat badan 48-56 kg 26 orang
(33,8%), 57-65 kg 11 orang (14,3%), 30-38 kg 5 orang (6,5%), 66-74 kg dan 75-
83 kg masing-masing 2 orang (2,6%), dan 93-101 kg 1 orang (1,3%).
Pekerjaan penderita TB pru bervariasi, proporsi pekerjaan terbanyak
adalah wiraswasta yaitu 16 orang (20,8%), mocok-mocok dan pegawai swasta 14
orang (18,2%), pelajar 7 orang (9,1%), supir 4 orang (5,2%), petani 3 orang
(3,9%), tukang becak dan pensiunan PNS masing-masing 1 orang (1,3%).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Tabel 5.1. Karakteristik demografis penderita TB paru di Klinik Jemadi Medan.
Karkteristik Subjek Frekuensi Persentase Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
62 15
80,5 19,5 Umur
15-21 22-28 29-35 36-42 43-49 50-56 57-63 64-70 Mean = 37,42 SD = 13,62
13 9 14 14 10 10 6 1
16,7 11,5 17,9 17,9 12,8 12,8 7,7 1,3
Berat Badan 30-38 39-47 48-56 57-65 66-74 75-83 84-92 93-101 Mean = 50,18 SD = 11,03
5 30 26 11 2 2 0 1
6,5 39,0 33,8 14,3 2,6 2,6 0,0 1,3
Pekerjaan
Supir Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Mocok-mocok Pegawai Swasta Petani Mahasiswa Pelajar
Tukang Becak Pensiunan PNS
4 16 11 14 14 3 6 7 1 1
5,2 20,8 14,3 18,2 18,2 3,9 7,8 9,1 1,3 1,3
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
5.1.2.2 Proporsi Jenis Kelamin Penderita TB Paru yang Merokok dan Tidak
Merokok
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa pada penderita TB paru laki-laki,
sebanyak 32 orang (51,61%) memiliki kebiasaan merokok, sedangkan 30 orang
(48,39%) tidak merokok. Pada penderita TB perempuan, sebanyak 7 orang
(46,66%) memiliki kebiasaan merokok, sedangkan 8 orang tidak merokok
(53,34%).
Tabel 5.2. Proporsi jenis kelamin pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.
Jenis kelamin N Laki-laki Perempuan Merokok Ya 32 7 39 Tidak 30 8 38 Total 62 15 77
5.1.2.3 Proporsi Umur Penderita TB Paru yang Merokok dan Tidak
Merokok
Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa penderita TB paru yang merokok paling
banyak pada umur 15-21 tahun dan 43-49 tahun masing-masing 7 orang
(17,95%), sedangkan umur 29-35 tahun, 36-42 tahun, dan 50-56 tahun masing-
masing 6 orang (15,38%), umur 22-28 tahun 5 orang (12,82%). Pada penderita TB
paru yang tidak merokok, proporsi umur yang terbanyak adalah 29-35 tahun dan
36-42 tahun masing-masing 8 orang (21,05%), sedangkan umur 15-21 tahun 6
orang (15,79%), umur 22-28 tahun, 52-56 tahun, 57-63 tahun masing-masing 4
orang (10,53%), umur 43-49 tahun 3 orang (7,89%), dan umur 64-70 tahun 1
orang (2,63%).
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Tabel 5.3. Proporsi umur pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.
Umur yang dikelompokkan N 15-21 22-28 29-35 36-42 43-49 50-56 57-63 64-70 Merokok Ya 7
5 6 6 7 6 2 39
Tidak 6 4 8 8 3 4 4 1 38 Total 13 9 14 14 10 10 6 1 77
5.1.2.4 Proporsi Berat Badan pada Penderita TB Paru yang Merokok dan
Tidak Merokok
Tabel 5.4 memperlihatkan bahwa penderita TB paru yang merokok paling
banyak memiliki berat badan 39-47 kg yaitu 19 orang (48,72%). Berat badan 48-
56 kg 18 orang (46,15%), 66-74 kg dan 93-101 kg masing-masing 1 orang
(2,56%). Pada penderita TB paru yang tidak merokok, berat badan yang terbanyak
adalah 39-47 kg dan 57-65 kg masing-masing 11 orang (28,95%), 48-65 kg 8
orang (21,05%), 30-38 kg 5 orang (13,16%), 75-83 kg 2 orang (5,26%), 66-74 kg
1 orang (2,63%).
Tabel 5.4. Proporsi berat badan pada penderita TB paru yang merokok dan tidak
merokok.
Berat badan yang dikelompokkan N 30-38 39-47 48-56 57-65 66-74 75-83 93-101 Merokok Ya
19 18 1 1 39 Tidak 5 11 8 11 1 2 38 Total 5 30 26 11 2 2 1 77
5.1.2.5 Distribusi Frekuensi BTA Positif pada Pemeriksaan Sputum
Penderita TB Paru Sebelum Pengobatan
Tabel 5.5 memperlihatkan bahwa pada penderita TB paru, BTA 3+ lebih
banyak pada kelompok yang merokok, yaitu 19 orang, sedangkan yang tidak
merokok 14 orang. BTA 2+ lebih banyak pada kelompok yang tidak merokok,
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
yaitu 21 orang, sedangkan yang merokok 20 orang. BTA 1+ hanya ditemukan
pada kelompok yang tidak merokok.
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi BTA positif pada pemeriksaan sputum penderita
TB paru sebelum pengobatan.
Frekuensi BTA Positif (orang) N
3+ 2+ 1+ Merokok 19 20 - 39 Tidak Merokok 14 21 3 38
5.1.2.6 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru Setelah Satu Bulan
Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.6 memperlihatkan bahwa setelah sebulan pengobatan dengan
OAT, BTA 3+ yang mengalami konversi sputum lebih banyak pada kelompok
yang tidak merokok, yaitu 14 orang, sedangkan yang merokok 2 orang. BTA 2+
yang paling banyak mengalami konversi sputum adalah kelompok yang tidak
merokok, yaitu 20 orang, sedangkan yang merokok 2 orang. BTA 1 + tidak ada
yang mengalami konversi sputum, baik pada kelompok yang tidak merokok
maupun yang merokok.
Tabel 5.6. Proporsi konversi sputum penderita TB paru setelah satu bulan
pengobatan dengan OAT.
Frekuensi BTA Positif (orang) N
3+ 2+ 1+ Merokok 2 2 - 4 Tidak Merokok 14 20 - 34
5.1.2.7 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru Bulan Pertama ke
Bulan Kedua Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.7 memperlihatkan bahwa setelah pengobatan bulan pertama ke
bulan kedua, BTA 3+ yang mengalami konversi sputum hanya pada kelompok
yang merokok, yaitu 17 orang. BTA 2+ yang paling banyak mengalami konversi
sputum adalah kelompok yang merokok, yaitu 13 orang, sedangkan yang tidak
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
merokok 7 orang. BTA 1 + tidak ada yang mengalami konversi sputum baik pada
kelompok yang tidak merokok maupun yang merokok.
Tabel 5.7. Proporsi konversi sputum penderita TB paru bulan pertama ke bulan
kedua pengobatan dengan OAT.
Frekuensi BTA Positif (orang) N
3+ 2+ 1+ Merokok 17 13 - 30 Tidak Merokok - 7 - 7
5.1.2.8 Proporsi Konversi Sputum Penderita TB Paru Setelah Dua Bulan
Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.8 memperlihatkan bahwa setelah sebulan pengobatan dengan
OAT, BTA 3+ yang mengalami konversi sputum lebih banyak pada kelompok
yang merokok, yaitu 18 orang, sedangkan yang tidak merokok 14 orang. BTA 2+
yang paling banyak mengalami konversi sputum adalah kelompok yang tidak
merokok, yaitu 21 orang, sedangkan yang merokok 15 orang. BTA 1 + tidak ada
yang mengalami konversi sputum, baik pada kelompok yang tidak merokok
maupun yang merokok.
Tabel 5.8. Proporsi konversi sputum penderita TB paru setelah dua bulan
pengobatan dengan OAT.
Frekuensi BTA Positif (orang) N
3+ 2+ 1+ Merokok 18 15 - 33 Tidak Merokok 14 21 - 35
5.1.3 Hasil Analisis Statistik
5.1.3.1 Analisis Statistik Konversi Sputum Setelah Sebulan Pengobatan
dengan OAT
Tabel 5.9 memperlihatkan bahwa setelah sebulan pengobatan dengan
OAT, penderita TB paru yang merokok lebih banyak yang tidak mengalami
konversi sputum, yaitu 35 orang (89,74%), sedangkan yang mengalami konversi
sputum hanya 4 orang (10,26%). Sebaliknya pada penderita TB paru yang tidak
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
merokok lebih banyak yang mengalami konversi sputum, yaitu 34 orang
(89,47%), sedangkan yang tidak mengalami konversi hanya 4 orang (11,76%).
Dengan nilai P = 0,0001 pada uji chi-square (lampiran 1), ditunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan pada konversi sputum setelah satu bulan pengobatan
dengan OAT antara penderita TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.
Tabel 5.9. Uji chi-square konversi sputum setelah satu bulan pengobatan dengan
OAT antara penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.
Konversi Sputum Bulan 0-1 N Nilai P
Ya Tidak Merokok 4 35 39 Tidak Merokok 34 4 38 0,0001 Total 38 39
77
5.1.3.2 Analisis Statistik Konversi Sputum Bulan Pertama ke Bulan Kedua
Pengobatan dengan OAT
Tabel 5.10 memperlihatkan bahwa dari bulan pertama ke bulan kedua
pengobatan dengan OAT pada penderita TB paru yang merokok lebih banyak
yang mengalami konversi sputum, yaitu 30 orang (76,92%), sedangkan yang tidak
mengalami konversi sputum hanya 9 orang (23,07%). Sebaliknya pada penderita
TB paru yang tidak merokok lebih banyak yang tidak mengalami konversi
sputum, yaitu 31 orang (81,58%), sedangkan yang mengalami konversi sputum
hanya 7 orang (18,42%). Dengan nilai P = 0,0001 pada uji chi-square
(lampiran 1), ditunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada konversi
sputum bulan pertama ke bulan kedua pengobatan dengan OAT antara penderita
TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Tabel 5.10. Uji chi-square konversi sputum bulan pertama ke bulan kedua pengobatan dengan
OAT antara penderita TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.
Konversi Sputum Bulan 1-2 N Nilai P
Ya Tidak Merokok 30 9 39 Tidak Merokok 7 31 38 0,0001 Total 37 40
77
5.1.3.3 Analisis Statistik Konversi Sputum Setelah Dua Bulan Pengobatan
dengan OAT
Tabel 5.11 memperlihatkan bahwa setelah dua bulan pengobatan dengan
OAT, penderita TB paru yang merokok lebih banyak yang mengalami konversi
sputum, yaitu 33 orang (84,62%), sedangkan yang tidak mengalami konversi
sputum hanya 6 orang (15,38%). Pada penderita TB paru yang tidak merokok juga
lebih banyak yang mengalami konversi sputum, yaitu 35 orang (92,11%),
sedangkan yang tidak mengalami konversi hanya 3 orang (7,89%). Dengan
nilai P = 0,481 pada uji Fishers exact (lampiran 1), ditunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan pada konversi sputum setelah dua bulan pengobatan
dengan OAT antara penderita TB paru yang merokok dan yang tidak merokok.
Tabel 5.11. Uji Fishers exact konversi sputum setelah dua bulan pengobatan dengan OAT antara
penderita TB paru yang merokok dan tidak merokok.
Konversi Sputum Bulan 0-2 N Nilai P Ya Tidak Merokok 33 6 39 Tidak Merokok 35 3 38 0,481
Total 69 8 77
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
5.2 Pembahasan
5.2.1. Penderita TB Paru
Populasi penelitian ini adalah penderita TB paru yang berkunjung ke
Klinik Jemadi Medan, yang diperiksa terlebih dahulu menggunakan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, mantoux test, serta pemeriksaan sputum
untuk diagnosa yang tepat agar mendapat terapi DOTS.
Setelah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi didapat 77 orang
penderita TB yang masuk menjadi subjek penelitian. Penderita TB tersebut dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok studi (penderita TB paru yang merokok)
sebanyak 39 orang (50,60%) dan kelompok kontrol (penderita TB paru yang tidak
merokok) sebanyak 38 orang (49,40%). Semua penderita mendapat OAT DOTS
kategori I. Subjek penelitian dievaluasi setelah pengobatan dengan OAT selama
empat minggu dan delapan minggu dengan cara memeriksa sputum dengan
pewarnaan Ziehl Nielsen. Hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan cara uji Chi - Square
(X2).
Pada penelitian ini, umur penderita TB paru berkisar antara 15 – 65 tahun,
dengan rerata 37,42 + 13,62 tahun. Proporsi umur terbanyak adalah 29 – 35 tahun
dan 36 – 42 tahun masing-masing 14 orang (17,9 %).
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Gitawati (2002) pada 10
puskesmas yang ada di wilayah DKI Jakarta dari tahun 1996-1999 yang
menunjukkan bahwa jumlah penderita terbanyak adalah pada usia 13 – 40 tahun
(usia produktif). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.
Pada penelitian ini proporsi jenis kelamin penderita TB yang terbanyak
adalah laki-laki, yaitu sebanyak 62 orang (80,50%). Hasil penelitian ini sejalan
dengan data dari WHO (2006) melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3 lebih
banyak pada laki-laki dibanding wanita terutama pada negara yang sedang
berkembang karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial.
Angka kejadian tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi diduga akibat perbedaan
pajanan dan risiko infeksi. Walaupun demikian, beberapa penelitian menunjukkan
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
bahwa perempuan memiliki rasio progresivitas dan case fatality rate lebih tinggi
daripada laki-laki. Perbedaan tersebut mungkin juga diakibatkan oleh perbedaan
perilaku dalam mencari perawatan kesehatan antara laki-laki dan perempuan
sehingga lebih banyak kasus tuberkulosis pada laki-laki yang dilaporkan.
Penelitian Rohani (2007) pada 62 orang penderita TB paru menunjukkan
bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan (56,5% vs 43,5%). Penelitian
Masniari, dkk. (2005) di RS Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa penderita
TB laki-laki 61,7% dan wanita 38,3%. Penelitian Gitawati (2002) juga
menunjukkan bahwa penderita TB laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Pada penelitian ini berat badan penderita TB paru berkisar antara adalah
5 – 101 Kg, dengan rerata 50,18 + 11,03 Kg. Proporsi berat badan terbanyak
adalah 39 – 47 Kg , yaitu 30 orang (39 %). Hal ini menggambarkan bahwa lebih
dari sepertiga penderita TB paru memiliki status gizi kurang.
Penelitian Assagaf (2001) di BP4 Makasar, yang menunjukkan bahwa
rerata berat badan penderita TB adalah 36,71 Kg. Hal ini menguatkan pemikiran
bahwa penyakit yang berat dan kronis selalu disertai keadaan gizi yang buruk atau
sebaliknya keadaan gizi yang buruk akan mudah terkena penyakit yang akut
maupun kronis yang berat.
Pada penelitian ini proporsi pekerjaan penderita TB paru yang paling
banyak adalah wiraswasta, yaitu sebanyak 16 orang (20,8%), sedangkan
penelitian Gitawati (2002) menunjukkan bahwa 41,7% penderita tidak bekerja
dan PHK.
5.2.2 Hubungan Merokok dengan Konversi Sputum Penderita TB Paru
Pada penelitian ini dilaporkan bahwa setelah 1 bulan pengobatan dengan
OAT, telah terjadi konversi sputum pada kedua kelompok subjek penelitian. Pada
kelompok studi (penderita TB yang merokok) yang mengalami konversi sputum
sebanyak 4 orang (10,25%), sedangkan pada kelompok kontrol (penderita TB
yang tidak merokok) yang mengalami konversi sputum 34 orang (89,47%).
Analisis statistik dengan uji chi square menunjukkan ada perbedaan yang
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
signifikan antara konversi sputum pada kelompok studi dengan kelompok kontrol
(nilai P = 0,0001, IK95%).
Sebaliknya setelah pengobatan bulan pertama ke bulan kedua, konversi
sputum pada kelompok studi ada 30 orang (76,93%), sedangkan pada kelompok
kontrol hanya 7 orang (18,42%). Analisis statistik dengan uji chi square
menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara konversi sputum pada
kelompok studi dengan kelompok kontrol (nilai P = 0,0001, IK95%).
Dari hasil penelitian di atas ditunjukkan bahwa pada 1 bulan pertama
pemeriksaan sputum konversi sputum terjadi secara bersamaan. Namun, pada
kelompok yang tidak merokok lebih banyak mengalami konversi sputum
dibandingkan dengan kelompok yang merokok. Sebaliknya dari bulan ke-1 ke
bulan ke-2 konversi sputum kelompok yang merokok lebih banyak daripada
kelompok yang tidak merokok. Penulis berasumsi bahwa hal ini karena pada
kelompok yang tidak merokok sebagian besar sudah mengalami konversi sputum
pada 1 bulan pertama pengobatan TB.
Namun, dari bulan ke-0 sampai bulan kedua pengobatan OAT, proporsi
konversi sputum pada kedua kelompok tidak jauh berbeda, yaitu 33 orang pada
kelompok studi dan 35 orang pada kelompok kontrol. Analisis statistik
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada konversi sputum
penderita TB yang merokok dengan yang tidak merokok setelah pengobatan
selama dua bulan (nilai P = 0,481, IK95%). Hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan konversi sputum penderita TB.
Penderita TB paru yang merokok membutuhkan waktu pengobatan yang lebih
lama untuk mencapai jumlah konversi yang setara dengan penderita TB paru yang
tidak merokok. Atau dengan kata lain merokok memperlambat konversi sputum,
tetapi tidak menggagalkan pengobatan TB. Pada akhir 2 bulan pengobatan TB
ditemukan bahwa sputum BTA masih positif pada ke-2 kelompok penelitian ini.
Penelitian Lin (2006) membuktikan hubungan signifikan antara kebiasaan
merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar dan batu bara terhadap
risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TB.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Penelitian Boon (2007) menunjukkan bahwa sekitar 20% kematian akibat
tuberkulosis di India berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Penelitian Aditama (2009) menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis, serta faktor risiko
terjadinya tuberkulosis paru pada dewasa muda, dan terdapat dose-response
relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Proporsi konversi sputum setelah sebulan pengobatan OAT pada penderita
TB paru yang merokok dan tidak merokok berbanding terbalik dengan konversi
sputum setelah pengobatan bulan ke-1 sampai bulan ke-2. Setelah sebulan
pengobatan, proporsi konversi sputum pada yang merokok 4 orang, sedangkan
pada yang tidak merokok 34 orang. Sebaliknya proporsi konversi sputum dari
bulan ke-1 sampai bulan ke-2 pengobatan OAT pada yang merokok lebih besar
daripada yang tidak merokok, masing-masing 30 orang dan 7 orang. Namun
demikian, angka konversi sputum setelah dua bulan pengobatan OAT tidak jauh
berbeda antara penderita TB paru yang merokok dengan yang tidak merokok,
masing-masing sebanyak 33 orang dan 35 orang.
Hasil analisis statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada
konversi sputum penderita TB paru yang merokok dengan yang tidak merokok,
baik setelah sebulan pengobatan maupun setelah pengobatan bulan ke-1 sampai
bulan ke-2 (nilai P<0,05). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan pada
konversi sputum setelah dua bulan pengobatan OAT antara penderia TB paru
yang merokok dengan yang tidak merokok (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan konversi sputum penderita TB
paru, dimana kebiasaan merokok dapat memperlambat konversi sputum penderita
TB paru.
6.2 Saran
6.2.1 Kepada Instansi Kesehatan
Tenaga kesehatan perlu lebih aktif menginformasikan tentang bahaya TB
dan merokok pada masyarakat umumnya, dan penderita TB paru khususnya agar
penderita TB paru yang punya kebiasaan merokok mau berhenti merokok.
Sosialisasi di atas harus dilakukan secara aktif dan lebih gencar, misalnya melalui
media massa (televisi, radio, koran, majalah, leaflet, poster, ceramah-ceramah
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
kesehatan di sekolah, kantor, organisasi wanita, fasilitas kesehatan dan
sebagainya).
6.2.2 Kepada Peneliti
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan kebiasaan
merokok dengan konversi sputum penderita TB paru dengan jumlah sampel yang
lebih besar dan waktu yang lebih lama (bulan ke 5 dan ke 6) sesuai dengan
program pemberantasa TB secara DOTS sehingga akan memberi hasil yang lebih
baik dan akurat.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y. 1997. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Aditama, T.Y. 2002. Pengobatan Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan
Masalahnya. Jakarta: FKUI.
Aditama, T.Y. 2004. Rokok dan Tuberkulosis Paru. Available from:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/16/ilpeng/259139.htm.
[Accessed on 12 April 2009].
Aditama, T.Y. 2008. Meyakini bahwa Merokok Terkait dengan Kejadian TBC.
Available from: http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=
Health+News&y=cybermed|0|0|5|4438
. [Accessed on 12 April 2009].
Aditama, T.Y. 2009. Youth Tobacco Indonesian Experience. Mumbai, India:
Indonesian Smoking Control Foundation.
Aditama, T.Y., Soepandi, P.Z., Syafrizal, Yusuf, A. 2004. Penilaian Keberhasilan
Directly Observed Therapy (DOTS) pada Pengobatan TB Paru di RS
Persahabatan. J Respir Indo, 24: 65-70.
Assagaf, A. 2001. Pengaruh Nutrisi pada Terjadinya Tuberkulosis Paru. Dalam:
Isa, M., Soefyani, A., Yuwono, O., ed. Tuberkulosis: Tinjauan
Multidisipliner. Yogyakarta: FK Universitas Lambung Mangkurat, 314 - 24 .
Boon, S. 2007. Tuberculosis and Smoking. Available from: http://cybermed.cbn.
net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0|5|4438.
[Accessed on 12 April 2009].
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Departemen Kesehatan Indonesia, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Emmons, K. 1999. Smoking Cessation and Tobacco Control. Chest,
116: 490-492.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Fishman, J.A. 2002. Mycobacterial Infections. In: Fishman, A.P., Elias, J.A.,
Fishman, J.A., Grippi, M.A., Kaiser, L.R., Senior, R.M., eds. Fishman’s
Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. Philadelphia: McGraw Hill,
763-799.
Gitawati, R., Sukasediati, N. 2002. Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis
Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996-1999. Cermin Dunia Kedokteran,
137:17-21.
Hopewell, P.C. 2005. Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases. In :
Mason, R.J., Broaddus, C., Murray, Nadel, J.A., eds. Textbook of Respiratory
Medicine. Philadelphia: Elsivier, 979 – 1002.
Leitch, G. 2007. Pulmonary Tuberculosis Clinical Features. In: Seaton, A.,
Seaton, D., Leitch, G., eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases,
USA: Blackwell Science Ltd., 395-422.
Lin, H. 2007. Harvard School of Public Health. Available from:
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Health+News&y=c
ybermed|0|0|5|4438. [Accessed on 12 April 2009].
Lulu, M., Helmia. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK UNAIR.
Mariono S. 2003. Manfaat Pemberian Nutrisi Enteral dengan MCT Tinggi,
Osmolalitas Rendah dan Bebas Laktosa pada Pasien Penyakit paru. Respina,
87: 10-15.
Masniari, L., Aditama, T.Y., Wiyono, W.H., Hupudio, H. 2005. Penilaian Hasil
Pengobatan TB Paru dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya serta Alasan
Putus Berobat di RS Persahabatan Jakarta. J Respir Indo, 25:9 – 22.
Pardosi, J.F. 2001. Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Litbang Depkes.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).
Rohani, L.S. 2007. Tesis Kepekaan Pemeriksaan Uji Immunochromatography
(ICT) pada Penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik. Medan: FK USU.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
World Health Organization, 2002a. Operational Guide for National Tuberculosis
Control Programmes on The Introduction and Use of Fixed Dose
Combination Drugs. Geneva: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
World Health Organization, 2002b. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National Programmes, Geneva: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
World Health Organization, 2003. An International Treaty for Tobacco Control.
Available from: http://www.who.int/features/2003/08/en.
World Health Organization, 2006. Indonesian Strategic Plan To Stop TB 2006-
2010. Jakarta: Depkes RI.
[Accessed on 12
April 2009].
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Zainul Akbar
Tempat/ tanggal lahir : Medan, 16 mei 1988
Agama : Islam
Riwayat pendidikan : TK Pertiwi Medan
Sekolah Dasar Pertiwi
Sekolah Menegah Pertama Negeri 11 Medan
Sekolah Menegah Atas Negeri 3 Medan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Riwayat pelatihan :Diklat Repala Semeru Angkatan XIV
Riwayat organisasi :OSIS SMA Negeri 3 Medan
Repala Semeru
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
LAMPIRAN 2
HASIL ANALISIS SPSS
Tabel 1. Frequency Table
Jenis kelamin
62 80,5 80,5 80,5 15 19,5 19,5 100,0 77 100,0 100,0
Cumulative Frequency Percent Valid Percent
Percent Valid
LK PR Total
Umur
13 16,9 16,9 16,9 9 11,7 11,7 28,6 14 18,2 18,2 46,8 14 18,2 18,2 64,9 10 13,0 13,0 77,9 10 13,0 13,0 90,9 6 7,8 7,8
98,7 1 1,3 1,3 100,0 77 100,0 100,0
Cumulative Frequency Percent Valid Percent
Percent Valid
15-21 22-28 29-35 36-42 43-49 50-56 57-63 64-70 Total
Berat badan
5 6,5 6,5 6,5 30 39,0 39,0 45,5 26 33,8 33,8 79,2 11 14,3 14,3 93,5 2 2,6 2,6 96,1 2 2,6 2,6 98,7 1 1,3 1,3 100,0 77
100,0 100,0
Cumulative Frequency Percent Valid Percent
Percent Valid
30-38 39-47 48-56 57-65 66-74 75-83 93-101 Total
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Pekerjaan
4 5,2 5,2 5,2 16 20,8 20,8 26,0 11 14,3 14,3 40,3 14 18,2 18,2 58,4 14 18,2 18,2 76,6 3 3,9 3,9 80,5 6 7,8 7,8 88,3 7
9,1 9,1 97,4 1 1,3 1,3 98,7 1 1,3 1,3 100,0 77 100,0 100,0
Cumulative Frequency Percent Valid Percent
Percent Valid
Supir Wiraswasta IRT Mocok-mocok Pegawai swasta Petani Mahasiswa Pelajar Tukang becak Pensiunan PNS Total
Tabel 2. Crosstabs
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan merokok * Jenis
kelamin
77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%
Kebiasaan merokok * Jenis kelamin Crosstabulation
Count
Jenis kelamin
Total 32 7 39 30 8 38 62 15 77
Tabel 3. Crosstabs
LK PR Kebiasaan
Ya merokok
tidak Total
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan merokok * Umur
77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%
Kebiasaan merokok * Umur Crosstabulation
Count
Umur 15-21 22-28 29-35 36-42 43-49 50-56 57-63 64-70
Total
Kebiasaan
Ya
7 5 6 6 7 6 2 39 merokok
tidak
6 4 8 8 3 4 4 1 38 Total
13 9 14 14 10 10 6 1 77
Tabel 4. Crosstabs
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan merokok * Berat
badan
77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%
Kebiasaan merokok * Berat badan Crosstabulation
Count
Berat badan
Total 19 18 1 1 39 5 11 8 11 1 2 38 5 30 26 11 2 2 1 77
Tabel 5. Crosstabs
30-38 39-47 48-56 57-65 66-74 75-83 93-101 Kebiasaan
Ya merokok
tidak Total
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan merokok * Konversi
sputum bulan ke-0 sampai
77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%
ke-1 pengobatan OAT
Kebiasaan merokok * Konversi sputum bulan ke-0 samp ke-1 pengobatan OAT Crosstabulation
Count
Konversi sputum bulan ke-0 sampai ke-1 pengobatan OAT Ya tidak
Total Kebiasaan
Ya
4 35 39 merokok
tidak
34 4 38 Total
38 39 77
Chi-Square Tests
48,320b 1 ,000 45,203 1 ,000 55,365 1 ,000
,000 ,000
47,693 1 ,000
77
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
a.
Computed only for a 2x2 table 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,75.
Value df Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b.
Tabel 6. Crosstabs
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan merokok * Konversi
sputum bulan ke-1 sampai
77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%
ke-2 pengobatan OAT
Kebiasaan merokok * Konversi sputum bulan ke-1 samp ke-2 pengobatan OAT Crosstabulation
Count
Konversi sputum bulan ke-1 sampai ke-2 pengobatan OAT Ya Tidak
Total Kebiasaan
Ya
30 9 39 merokok
tidak
7 31 38 Total
37 40 77
Chi-Square Tests
26,389b 1 ,000 24,097 1 ,000 28,185 1 ,000
,000 ,000
26,046 1 ,000
77
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
a.
Computed only for a 2x2 table 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,26.
Value df Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b.
Tabel 7. Crosstabs
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Case Processing Summary
Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Kebiasaan merokok * Konversi
sputum bulan ke-0 sampai
77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%
ke-2 pengobatan OAT
Kebiasaan merokok * Konversi sputum bulan ke-0 samp ke-2 pengobatan OAT Crosstabulation
Count
Konversi sputum bulan ke-0 sampai ke-2 pengobatan OAT Ya Tidak
Total Kebiasaan
Ya
33 6 39 merokok
tidak
35 3 38 Total
68 9 77
Chi-Square Tests
1,046b 1 ,306 ,446 1 ,504 1,065 1 ,302
,481 ,253
1,032 1 ,310
77
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
a.
Computed only for a 2x2 table 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
4,44.
Value df Pearson Chi-Square Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b.
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
LAMPIRAN 3
TABEL INDUK
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
Tabel 1.Tabel Induk Kelompok Penderita TB yang Merokok
NO NAMA
UMUR BB (kg)
KELAMIN MEROKOK PEKERJAAN
KONVERSI SPUTUM
Thn 0 I II konv01 konv12 konv02
1 Kasino 43
48
LK (+) Supir 2 2 1
idak YA YA 2
Rajiman 45 55
LK (+)
Wiraswasta
332
idak YA YA 3
Siti Khadijah 29 47 PR
(+)
Ibu Rumah Tangga
332
idak YA YA 4
Armaya 32 43 PR
(+)
Ibu Rumah Tangga
211
A Tidak YA 5
Dedi 32 45 LK
(+)
Mocok-mocok
221
idak YA YA 6
Sunarti 26 53 PR
(+)
Ibu Rumah Tangga
221
idak YA YA 7
M. Panjaitan 40 44 LK
(+)
Wiraswasta
221
idak YA YA 8
Hinsa Tamba 32 98 LK
(+)
Peg. Swasta
2
A Tidak YA 9
Zuraida 25 55 PR
3 2 (+)
Ibu Rumah Tangga
22
2
(+)
Mocok-mocok
2
A Tidak YA 11
Kamijo 59 40 LK
3 2 (+)
Petani
2
2 2 (+)
Ibu Rumah Tangga
331
idak YA YA 13
Syahruddin Hasibuan 42 73 LK
(+)
Wiraswasta
3
3 3 (+)
Wiraswasta
221
Tidak YA YA
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
idak YA YA 16
Awaluddin 39 40 LK
(+)
Mocok-mocok
332
idak YA YA 17
Agung Kristian 21 50 LK
(+)
Peg. Swasta
221
idak YA YA 18
P. Siburian 46 51 LK
(+)
Petani
332
idak YA YA 19
Abdi Sihombing 37 45 LK
(+)
Petani
221
idak YA YA 20
Y. Simamora 30 49 LK
(+)
Peg. Swasta
332
idak YA YA 21
Tarmiji 53 45 LK
(+)
Peg. Swasta
221
idak YA YA 22
Mastuli 52 46 LK
(+)
Peg. Swasta
332
idak YA YA 23
Zakir 56 40 LK
(+)
Mocok-mocok
332
idak YA YA 24
Bejo 54 41 LK
(+)
Mocok-mocok
221
idak YA YA 25
Ismail Ikhlas 56 42 LK
(+)
Wiraswasta
332
idak YA YA 26
Erwin Syahputra 28 41 LK
(+)
Wiraswasta
221
idak YA YA 27
Dasril 48 39 LK
(+)
Wiraswasta
221
idak YA YA 28
JP. Manullang 52 55 LK
(+)
Wiraswasta
221
idak YA YA 29
Masri 17 50 LK
(+)
Pelajar
2
2 2 (+)
Wiraswasta
2
2 2 (+)
Mahasiswa
1
A Tidak YA 32
Acuan 44 45 LK
2 1 (+)
Wiraswasta
331
idak YA YA 33
Sapril 39 46 LK
(+)
Wiraswasta
221
Tidak YA YA
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
(+) 34
Roni Zulfakri 28 55 LK
Peg. Swasta
331
idak YA YA 35
Umi Listiana 20 42 PR
(+)
Mahasiswa
332
idak YA YA 36
Rina 21 50 PR
(+)
Mahasiswa
332
idak YA YA 37
Sapriansyah 23 52 LK
(+)
Mocok-mocok
232
idak YA 2 38
Ilkencebo 17 50 LK
(+)
Pelajar
331
idak YA YA 39
Mahadi 18 50 LK
(+)
Pelajar
331
Tidak YA YA
Tabel 2.Tabel Induk Kelompok Penderita TB yang Tidak Merokok
NO NAMA
PEMERIKSAAN UMUR BB
(kg)
SPUTUM
BERAT BADAN /Kg.
KELAMIN MEROKOK PEKERJAAN
BULAN
Thn 0 I II I konv01 konv12 konv02
1
T. Daya 44 40 LK
(-)
Wiraswasta
211
A Tidak YA 2
Bambang Gunawan 30 45 LK
(-)
Mocok-mocok
321
A YA YA 3
Sriwahyuni 30 50 PR
(-)
Ibu Rumah Tangga
211
A Tidak YA 4
Tangakam 57 51 PR
(-)
Ibu Rumah Tangga
211
A Tidak YA 5
Aslia 40 40 PR
(-)
Ibu Rumah Tangga
321
A YA YA 6
M. Hutabarat 35 60 LK
(-)
Wiraswasta
211
YA Tidak YA
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
(7
Rika Andriani 30 62 PR
-)
Ibu Rumah Tangga
211
A Tidak YA 8
Rajimin 24 55 LK
(-)
Supir
211
A Tidak YA 9
Dedi 20 60 LK
(-)
Mahasiswa
211
A Tidak YA 10
Sri Wahyuningsih 15 35 PR
(-)
Pelajar
311
A Tidak YA 11
Ibrahim Lubis 40 40 LK
(-)
Peg. Swasta
21
idak YA YA 12
Jefri 40 40 LK
(-)
Supir
211
A Tidak YA 13
Jon Piter 53 45 LK
(-)
Pensiunan PNS
211
A Tidak YA 14
Bumi Pranata 44 65 LK
(-)
Supir
321
A YA YA 15
Ali 42 60 LK
(-)
Peg. Swasta
211
A Tidak YA 16
Herlina 20 50 PR
(-)
Mahasiswi
321
A YA YA 17
Pranoto 33 35 LK
(-)
Mocok-mocok
211
A Tidak YA 18
Rohani 60 60 PR
(-)
Ibu Rumah Tangga
311
A Tidak YA 19
Hendra Lesmana 16 32 LK
(-)
Pelajar
311
A Tidak YA 20
Harianto 25 47 LK
(-)
Mahasiswa
211
A Tidak YA 21
Pranoto Adi 30 65 LK
(-)
Peg. Swasta
211
A Tidak YA 22
Legimin 70 65 LK
(-)
Peg. Swasta
211
A Tidak YA 23
Amhar 16 35 LK
(-)
Pelajar
321
A YA YA 24
Naemi 41 40 PR
(-)
Ibu Rumah Tangga
311
A Tidak YA 25
T. Mulkan 38 59 LK
(-)
Mocok-mocok
311
YA Tidak YA
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
2
( 26
Dumer 49 60 LK
-)
Mocok-mocok
211
A Tidak YA 27
Paedi 24 45 LK
(-)
Mocok-mocok
211
A Tidak YA 28
Harun Alrasid 56 50 LK
(-)
Tukang Becak
311
A Tidak YA 29
Khairullah 18 50 LK
(-)
Pelajar
211
A Tidak YA 30
Armen Siregar 38 66 LK
(-)
Wiraswasta
211
A Tidak YA 31
Irfan 31 56 LK
(-)
Peg. Swasta
311
A Tidak YA 32
Salma 50 45 LK
(-)
Wiraswasta
211
A Tidak YA 33
M. Syarifuddin 40 75 LK
(-)
Wiraswasta
111
(-)
Peg. Swasta
211
A Tidak YA 35
Rusman Kutar 56 77 LK
(-)
Peg. Swasta
311
A Tidak YA 36
Patmin 60 40 LK
(-)
Mocok-mocok
11
(-)
Mocok-mocok
11
(-)
Mocok-mocok
321
YA YA YA
Muhammad Zainul : Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Konversi Sputum Penderita Tb Paru Di Klinik Jemadi
Medan, 2010.
1
1