Anda di halaman 1dari 10

Sanksi Pidana terhadap Pelaku Perselingkuhan serta Penelantaran Anak

Abstrak
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan perbuatan terhadap seseorang yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga. Pada kasus ini, adanya Wanita Idaman Lain (WIL), ekonomi, dan
penelantaran anak dapat dikenakan sanksi pidana baik pidana ataupun denda namun hal tersebut
akan bertentangan dengan kasus ini sehingga akan lebih baik jika sanksi berupa ganti rugi serta
konseling rumah tangga.
Kata Kunci: KDRT, Penelantaran, Pidana

Abstract
Violence in the home (Domestic Violence/ DV) is an act against one’s misery or suffering
physical sexual, psychological and/or negligence of household. In the case of divorce due to the
Woman craving Other (WIL), the economy, and neglect of children may be liable to criminal
penalties either criminal or fines, but it would be contrary to the case so that it would be better if
the sanction in the form of compensation and counseling household.
Keywords: Domestic Violence, Neglect, Criminal

Latar Belakang
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Nisya, 2014). Kata – kata kasar dan menyakitkan, perasaan takut yang dirasakan
baik anak maupun istri, berselingkuh dengan wanita lain hingga mencari alasan untuk mencapai
tahap bercerai merupakan suatu kekerasan psikis yang kerap kali tidak disadari oleh sebuah
keluarga (Arini, 2013).
Memberikan kebutuhan anak adalah kewajiban setiap orang tua. Pada umumnya anak
membutuhkan kebutuhan jasmani yang terdiri dari makanan, minuman, nutrisi, pakaian dan tempat
tinggal yang sesuai. Selain itu, orang tua juga bertanggungjawab untuk dapat memberikan cinta

1
dan kasih saying, penghargaan, keberhasilan dan kebebasan. Apabila hal – hal tersebut tidak
terpenuhi maka orangtua dapat dikatakan melakukan penelantaran anak (Fitriani et al., 2015).
Pada tahun 2015, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan (LBH APIK) Jakarta menerima pengaduan sebanyak 573 kasus. Kasus KDRT
menyumbang presentase terbanyak yaitu sebesar 69.1% atau 396 kasus dengan jenis KDRT
kekerasan fisik 68 kasus, kekerasan psikis 90 kasus, kekerasan seksual 7 kasus, penelantaran
rumah tangga 62 kasus, gabungan kekerasan fisik, psikis dan ekonomi 131 kasus, gabungan
kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual 38 kasus (Yayasan LBH APIK, 2016).
Pembuatan laporan kasus ini ditujukan agar masyarakat mengetahui sanksi – sanksi apa
yang akan dijatuhkan bila melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga yang mencakup
tetntang perselingkuhan yang berujung pada perzinaan serta penelantaran terhadap anak yang
diharapkan akan menekan angka kekerasan dalam rumah tangga.

Presentasi Kasus
Ny. A usia 36 tahun adalah seorang karyawan travel dengan gaji Rp 4.000.000. Dia
menikah sejak tahun 2007 dengan Tn. I. Tn. I usia 30 tahun seorang manager dengan gaji Rp
5.000.000. Pada Tahun 2015 Ny. A menggugat cerai suaminya. Gugatan cerai tersebut diajukan
karena sebab – sebab berikut ini:
1. Dari awal pernikahan, Tn. I tidak pernah mempercayakan gajinya kepada Ny. A dan biaya
makan sehari – hari serta kebutuhan pribadinya dipenuhi oleh Ny. A sendiri.
2. Tahun ke empat pernikahan, anak kedua dari pernikahannya terdiagnosis Cerebral Palsy.
Tn. I beserta orang tuanya tidak bisa menerima keadaan tersebut. Seluruh biaya medis dan
alternatif yang diperlukan untuk kesehatan anaknya, ditanggung sendiri oleh Ny. A. Selain
itu, Tn. I juga memberikan perlakuan yang berbeda antara anak pertama dan kedua
sehingga anak kedua tidak mendapatkan hak yang layak sebagai anak.
3. Tahun ke lima pernikahan, Ny. A menemukan adanya WIL (Wanita Idaman Lain). Pada
saat ketahuan, Tn. I berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Pada tahun ke lima tersebut,
Ny. A juga berhenti bekerja dengan alasan ingin lebih intensif merawat anak keduanya.
Selama 4 bulan tidak bekerja, Tn. I selalu marah – marah karena menganggap Ny. A tidak
lagi bisa membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga yang seharusnya menjadi
tanggung jawab Tn. I. Pada akhirnya Ny. A kembali bekerja di tempat lain dengan gaji
yang pas – pasan.

2
4. Tahun ke delapan pernikahan, Tn. I kembali memiliki WIL serta terdapat bukti percakapan
yang tidak sengaja diketahui oleh adik Ny. A.
5. Pada bulan Agustus 2015, Ny. A mengalami penyakit menular seksual yang ditularkan dari
Tn. I. Ny. A berobat dan sembuh namun Tn. I tetap tidak mau berobat sehingga
menyebabkan Ny. A tidak mau lagi berhubungan badan dengan Tn. I. Kondisi ini makin
memperkuat alasan Tuan I. untuk terus menjalin hubungan dengan wanita lain.
6. Kekecewaan psikis yang dirasakan oleh anak pertama dalam mencari figur seorang bapak.

Diskusi
Definisi KDRT hakekatnya mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang
ada dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang menentukan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual
atau psikologis, termasuk ancaman tindakan sewenag – wenang baik yang terjadi didepan umum
atau dalam kehidupan pribadi (Retnani, 2013).
Karakteristik kekerasan psikis dalam rumah tangga menurut LBH APIK Jakarta, meliputi
makian, umpatan, hinaan, diludahi, suami menikah lagi tanpa pengetahuan istri, suami memiliki
WIL, meninggalkan istri tanpa izin, otoriter, berjudi dan mabuk – mabukan, ancaman dengan
benda atau senjata api, anak diambil keluarga suami, keluarga suami melakukan terror, melakukan
hubungan seksual dengan orang lain didepan istri atau anak. Ny. A mengalami kekerasan psikis
dikarenakan suami memiliki WIL, serta keluarga dari pihak suami yang melakukan terror
(Retnani, 2013). Ny. A mengalami kekerasan psikis dikarenakan suami memiliki WIL, serta
keluarga dari pihak suami yang melakukan terror yang dalam artian tekanan dari keluarga pihak
suami yang tidak menerima akan hadirnya anak yang tidak sempurna.
Anak penyandang cacat adalah anak dengan kebutuhan khusus yang secara signifikan
mengalami kelainan atau penyimpangan baik fisik, mental, intelektual, social dan emosional.
Dukungan keluarga sangat diperlukan oleh tiap individu didalam siklus kehidupannya. Beban
orang tua merupakan suatu tolak ukur dalam menilai dampak terhadap anggota keluarga lain dari
perawatan anak dengan berkebutuhan khusus. Beban pengasuhan merupakan stress multidimensi
terhadap tekanan – tekanan fisik, psikologis, emosi, social dan finansial yang merupakan memicu
awal timbulnya pertengkaran dalam kasus ini (Retnaningsih & Dini, 2016).

3
Pada kasus ini, adanya WIL yang lebih dari satu kali diketahui dalam rumah tangga,
tekanan dari keluarga sekitar yang tidak mendukung akan kehadiran anak yang memiliki
kebutuhan khusus serta turut menyalahkan kondisi yang terjadi pada rumah tangga tentu akan
memberikan dampak psikologis terhadap sang istri juga anak. Dengan kata lain tindakan ini
merupakan suatu kekerasan psikis. Barang siapa yang melakukan perbuatan kekerasan psikis
dalam lingkup rumah tangga maka seseorang tersebut telah melakukan tindakan melawan hukum
(Fitriani, 2015).
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 5 UU PKDRT “setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga, dengan cara:
kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga”. Menurut
pasal 5 huruf d UU PKDRT dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni
sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 ayat 1 UU PKDRT, bahwa, “Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkungan rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut”
Larangan melakukan penelantaran rumah tangga dalam pasal ini diancam dengan pidana
dalam pasal 49 UU PKDRT sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000
setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud pasal 9 ayat 1” (Fitriani, 2015).
Disebutkan pula dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45 yaitu, “Setiap
orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000 (Sembilan juta rupiah)” (Arini, 2013). Dalam kasus ini tidak
dilakukan pidana karena istri tidak ingin memperkarakan hingga kepengadilan atau hanya sebatas
mediasi atau konseling.
Pasal 27 BW (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) berisi: “Pada waktu yang sama, seorang
lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan
hanya dengan satu orang lelaki saja” (Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan
Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa)

4
Delik perzinaan dalam KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia diatur dalam bab XIV
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Ketentuan yang secara khusus mengatur perzinaan ada
dalam Pasal 284 yang berbunyi :
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
a). Terhadap seorang pria telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal
27 BW berlaku baginya;
b). Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal
27 BW berlaku baginya.
c). Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin;
d). Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu padahal
diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku
baginya.
2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana
bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai
atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.
3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama pernikahan
belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan pisah meja dan
tempat tidur menjadi tetap (Regar, 2013). Dalam kasus ini suami atau pelaku dapat dikenakan
pidana penjara paling lama selama sembilan bulan karena telah melanggar pasal 284 KUHP.
Pembuktian kekerasan psikis dalam rumah tangga tidak semudah pembuktian kekerasan
fisik. Namun, kekerasan psikis dapat dilihat dari teori pembuktian tradisional berikut:
1) Teori negatif
Menegaskan bahwa hakim diperbolehkan menjatuhkan pidana jika mendapatkan
keyakinan dengan alat bukti yang sah bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa. Teori ini dianut oleh pasal 294 ayat 1 HIR yang menyebutkan keharusan adanya
keyakinan hakim dan keyakinan tersebut didasarkan pada alat – alat bukti yang sah.
2) Teori positif

5
Hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa jika terdapat bukti minimum yang
diatur oleh undang – undang. Teori ini dianut oleh KUHAP, yakni pada pasal 183 yang
menyebutkan, “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
diperoleh sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tidak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Arini, 2013).

Selain itu, untuk memutuskan suatu perkara Majelis hakim harus melihat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum (JPU), yaitu dengan menganalisa dan mempertimbangkan segala sesuatunya
sesuai pasal 184 KUHAP mengenai alat – alat bukti yang digunakan di persidangan. Pasal 184
KUHAP berisi:
1) Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan
terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Untuk menentukan berat ringannya suatu kriteria penelantaran rumah tangga dilihat dari fakta,
alibi serta motif pelaku atau terdakwa mengapa melakukan hal tersebut (Nisya, 2014).
Sementara itu, berdasarkan pasal 49 UU PKDRT, UU No. 23 tahun 2004 pasal 45,
hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penelantaran rumah tangga adalah pidana penjara atau
denda. Namun bila pelaku dijatuhkan hukuman penjara atau denda memiliki banyak kekurangan.
penjara akan membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana kedalam
lembaga pemasyarakatan akan lebih membuat keluarga pelaku lebih ditelantarkan dengan tidak
adanya pencari nafkah. Sedangkan hukuman denda juga kurang disarankan karena uang yang
diberikan akan menjadi milik negara. Hasil penelitian yang telah dilakukan menujukan bila
hukuman yang tepat ialah ganti rugi karena dapat memberikan manfaat dan juga perlindungan
untuk korban (Fitriani et al., 2015).

Pelaporan kasus serupa dengan penelantaran rumah tangga dikarenakan hadirnya WIL juga
tercatat di LBH APIK Sulawesi Tengah namun pihak kepolisian akan melakukan mediasi antara
pelaku dan korban dengan pengharapan keluarga bisa utuh kembali, oleh karena itu tidak heran
bila terjadi pencabutan laporan setelahnya atau kasus berlanjut hingga kepengadilan (Julianty,
2013).

6
Perzinaan dalam tinjauan hukum pidana Islam lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan
dalam KUHP. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu
dilakukan. Persetubuhan tersebut apabila dilakukan oleh orang yang telah menikah maka
pelakunya disebut pelaku muhsan, dan apabila persetubuhan dilakukan oleh orang yang belum
menikah maka pelakunya disebut pelaku gairu muhsan (Regar, 2013).
Surah Al- Isra Ayat 32

Artinya :
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk”.
Al-Qur’an dan sunnah secara tegas menjelaskan hukum bagi pelaku zina baik yang belum
menikah (ghairu muhsan) yakni didera seratus kali. Sementara bagi pelaku zina muhsan dikenakan
sanksi rajam. Rajam secara bahasa berarti melempari batu, sedangkan menurut istilah, rajam
adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya. Dasar hukum didera atau cambuk kali
adalah firman Allah dalam surah An-Nur ayat 2.

Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Berbicara tentang kekerasan dalam rumah tangga ayat yang perlu diperhatikan yaitu pada
surah An-nisa’ ayat 34

7
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Kesimpulan
Perselingkuhan yang berujung pada perzinaan serta penelantaran anak merupakan salah
satu jenis KDRT yaitu kekerasan psikis. Sanksi pidana untuk penelantaran rumah tangga yang
seharusnya diterapkan sesuai dengan pasal 49 UU PKDRT yaitu pidana penjara paling lama 3
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000, UU No. 23 Tahun 2004 pasal 45 yaitu pidana
penjara paling lama 3 tahun atau dendapaling banyak Rp 9.000.000, serta pasal 284 KUHP tentang
perkawinan dan perzinaan dengan sanksi pidana penjara paling lama 9 bulan. Namun pada kasus
ini tidak disarankan untuk sanksi pidana penjara karena akan semakin menelantarkan rumah
tangga, dan tidak disarankan membayar denda karena akan semakin menyangsarakan pihak korban
karena tidak mendapat apa – apa, untuk kasus seperti ini lebih disarankan untuk sanksi ganti rugi
serta mediasi atau bimbingan konseling. Dalam islam dijelaskan hukum perselingkuhan yang
berujung pada zina jelas merupakan dosa besar dan penelantaran yang merupakan tidak
kedzaliman dilarang oleh Allah SWT.

8
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur kepada Allah SWT karena tugas laporan kasus blok elektif ini dapat selesai
tepat pada waktunya. Saya ucapkan terima kasih kepada dr. Elita Donanti, M.Biomed sebagai tutor
kelompok 5 domestic violence dan dr. Ferryal Basbet SpF. DFM yang telah memberikan
bimbingan dan perhatiannya kepada kami sehingga dapat terselesaikannya laporan kasus ini.
Selain itu, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pengurus LBH APIK Jakarta yang telah
memberikan kesempatan untuk berkunjung dan memperoleh data.

Daftar Pustaka
Anonim. (2014). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 5 UU No 23 Tahun 2004.
http://perahujagad.blogspot.co.id/2014/10/tinjauan-hukum-islam-terhadap-pasal-5.html
(diakses tanggal 17 November 2016)

Arini R. (2013). Kekerasan Psikis dalam Rumah Tangga sebagai Suatu Tindak Pidana.
http://id.portalgaruda.org/ (diakses tanggal 16 November 2016)

Fitriani., Mulyadi M., Ekaputra M., Bariah C. (2015). Tindak Pidana Penelantaran Rumah
Tangga Menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
467K/Pid.Sus/2013. http://id.portalgaruda.org/. (diakses tanggal 16 November 2016)

Julianty. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga:
Studi Kasus Istri Korban Penelantaran Rumah Tangga Di Wilayah Kota Palu.
http://id.portalgaruda.org/ (diakses tanggal 16 November 2016)

Nisya I. N. (2014). Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Sanksi Pidana terhadap


Penelantaran Rumah Tangga. http://id.portalgaruda.org/ (diakses tanggal 16 November
2016)

Regar S. M. B. (2013). Kajian Kebijakan Kriminalisasi terhadap persetubuhan diluar Perkawinan


yang Sah sebagai Delik Perzinaan dalam RUU KUHP 2012. http://id.portalgaruda.org/
(diakses tanggal 21 November 2016)

Retnani F. (2013). Pertanggungjawaban Pidana Suami yang Menelantrkan dan Melakukan


Kekerasan Psikis terhadap Istri ditinjau dari Undang – Undang No. 23 Tahun 2004

9
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://id.portalgaruda.org/
(diakses tanggal 21 November 2016)

Retnaningsih D., Dini I. K. (2016). Analisa Dukungan Keluarga dengan Beban Orangtua dalam
Merawat Anak Penyandang Cacat Tingkat SD di SLB Negeri Semarang.
http://id.portalgaruda.org/ (diakses tanggal 21 November 2016)

Yayasan LBH APIK Jakarta. (2016). Catatan Penanganan Kaus dan Advokasi LBH APIK Jakarta
2015. http://www.lbh-apik.or.id/database-50-catatan-tahunan-2015.html (diakses tanggal
21 November 2016)

10

Anda mungkin juga menyukai