Anda di halaman 1dari 158

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT

NOMOR : 3 TAHUN 2009


TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH
TAHUN 2007-2025
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANDUNG BARAT

Menimbang : a. bahwa Kabupaten Bandung Barat memerlukan perencanaan


pembangunan jangka panjang sebagai landasan, arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh, yang dilakukan
secara bertahap dan berkesinambungan, untuk mewujudkan
mandat masyarakat Kabupaten Bandung Barat yang Cerdas,
Maju, Makmur, Agamis, dengan Visi Kabupaten Agroindustri dan
Wisata Ramah Lingkungan;
b. bahwa Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
mengamanatkan penetapan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah dengan Peraturan Daerah;
c. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
sebagaimana dimaksud pada huruf b, merupakan dokumen
perencanaan pembangunan untuk periode 20 (dua puluh) tahun
terhitung sejak tahun 2007 sampai dengan 2025, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, b dan c, perlu menetapkan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
2025 dengan Peraturan Daerah.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara


Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4287);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Nomor
4389);
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4421);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4844);
6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4438);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4688);
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
9. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4700);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Rencana
Kerja Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4405);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4663);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4664);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,
Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4817);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4833);
16. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 11);
17. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005
tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah
Tahun 2005 Nomor 13 Seri Tambahan Lembaran Daerah Nomor
15);
18. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah
Tahun 2008 Nomor 8 Seri E);
19. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2008
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 (Lembaran Daerah
Tahun 2008 Nomor 54 Seri E);
20. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 3 Tahun
2008 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah
(Lembaran Daerah Nomor 3 Tahun 2008).
21. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 9 Tahun
2008 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah
(Lembaran Daerah Nomor 9 Tahun 2008);
22. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga
Teknis Daerah (Lembaran Daerah Nomor 10 Tahun 2008);
23. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 13 Tahun
2008 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi
Kecamatan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung
Barat (Lembaran Daerah Nomor 13 Tahun 2008);
24. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 1 Tahun
2009 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
(Lembaran Daerah Nomor 1 Tahun 2009);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN BANDUNG BARAT
DAN
BUPATI BANDUNG BARAT

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT


TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
DAERAH TAHUN 2007-2025

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Bandung Barat;
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pernerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945;
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
4. Bupati adalah Bupati Bandung Barat;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Bandung Barat;
6. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten
Bandung Barat Tahun 2007-2025 yang selanjutnya disebut
RPJP Daerah, adalah dokumen perencanaan pembangunan
daerah Kabupaten Bandung Barat untuk periode 20 (dua
puluh) tahun terhitung sejak tahun 2007 sampai dengan
tahun 2025, yang memuat visi, misi dan arah pembangunan
jangka panjang kabupaten;
7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Kabupaten Bandung Barat Tahun 2008-2013 yang
selanjutnya disingkat RPJMD, adalah dokumen
perencanaan pembangunan Kabupaten Bandung Barat
untuk periode 5 (lima) tahunan yang merupakan visi, misi
dan program Bupati Bandung Barat dengan berpedoman
pada RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Provinsi
Jawa Barat;
8. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung
Barat yang selanjutnya disebut RKPD adalah dokumen
perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Bandung
Barat untuk periode 1 (satu) tahunan yang digunakan
sebagai pedoman untuk menyusun Kabijakan Umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Bandung Barat;
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya
disebut APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten Bandung Barat;
10. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat
Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen
perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode
1 (satu) tahun;

BAB II
PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 2
Program Pembangunan Daerah Periode Tahun 2007-2025
dilaksanakan sesuai dengan RPJP Daerah dan merupakan satu
kesatuan dengan sistem perencanaan Provinsi Jawa Barat dan
Nasional.

Pasal 3
(1) RPJP Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
berpedoman pada RPJP Daerah Provinsi Jawa Barat dan
RPJP Nasional, yang memuat Visi, Misi, dan Arah
Pembangunan Daerah.
(2) RPJP Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam
penyusunan :
a. RJPM Daerah yang memuat Visi, Misi dan Program
Bupati Bandung Barat;
b. RTRW Kabupaten Bandung Barat; dan
c. Dokumen perencanaan pembangunan lainnya.

Pasal 4
( 1) Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan
untuk menghindarkan kekosongan rencana pembangunan
daerah, Bupati yang sedang menjabat pada tahun terakhir
jabatannya, diwajibkan menyusun RKPD untuk tahun
pertama periode jabatan Bupati berikutnya.
( 2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai pedoman untuk menyusun APBD tahun pertama
periode jabatan Bupati berikutnya.
Pasal 5
(1) RPJP Daerah Kabupaten Bandung Barat menjadi
pedoman dalam penyusunan RPJM Daerah Kabupaten
Bandung Barat yang memuat Visi, Misi, dan Program
Bupati Bandung Barat.
(2) Periodisasi pembangunan jangka panjang daerah
Kabupaten Bandung Barat dibagi dalam tahapan
pembangunan jangka menengah dengan tahun
perencanaan yang disesuaikan dengan masa jabatan
Bupati.

BAB III
TATA URUT RPJP DAERAH
Pasal 6
Tata urut RPJP Daerah adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, pengertian, maksud
dan tujuan, landasan penyusunan, ruang lingkup,
sistematika penulisan dan proses penyusunan.
BAB II : KONDISI UMUM DAERAH
Berisi tentang kondisi saat ini, tantangan dan modal
dasar.
BAB III : VISI DAN MISI
Berisi tentang Visi Pembangunan Daerah dan Misi
Pembangunan.
BAB IV : ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS
PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH
TAHUN 2007-2025
Berisi tentang tahapan dan prioritas pembangunan.
BAB V : PENUTUP

Pasal 7
Isi beserta uraian RPJP Daerah Kabupaten Bandung Barat
tercantum dalam Lampiran sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB IV
PENGENDALIAN DAN EVALUASI
Pasal 8

(1) Pemerinntah Daerah melakukan pengendalian dan evaluasi


terhadap pelaksanaan RPJP Daerah.
(2) Tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
oleh Bupati.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9
Rencana Strategis Daerah Kabupaten Bandung Barat yang telah
ditetapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Daerah ini, masih tetap berlaku dan wajib disesuaikan dengan
RPJP Daerah ini paling lambat 6 (enam) bulan.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Daerah
harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Daerah ini diundangkan.

Pasal 11
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bandung Barat.
Ditetapkan di : Bandung Barat
pada tanggal : 1 Mei 2009

BUPATI BANDUNG BARAT,

H. ABUBAKAR

Diundangkan di Bandung Barat


Pada tanggal 1 Mei 2009

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN BANDUNG BARAT

H. MAS ABDUL KOHAR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2009


NOMOR 3
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT
NOMOR : 3 TAHUN 2009
TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH
TAHUN 2007-2025

I. UMUM
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Kabupaten
Bandung Barat Tahun 2007-2025 merupakan dokumen perencanaan pembangunan
daerah untuk kurun waktu 20 (dua puluh) tahun, yang digunakan sebagai acuan
dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah
untuk setiap jangka waktu 5 (lima) tahun. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah memuat mandat, visi, misi
dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional. Dengan demikian, dokumen ini lebih bersifat visioner dan
hanya memuat hal-hal yang mendasar sehingga memberi keleluasaan yang cukup
bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, telah ditetapkan visi
pembangunan nasional tahun 2005-2025, yaitu "Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil
dan Makmur". Visi pembangunan nasional tersebut mengarah pada pencapaian
tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat
kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi. Pelaksanaan upaya tersebut
dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Kurun waktu RPJP Daerah adalah 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP
Daerah Tahun 2007-2025 terbagi dalam tahapan perencanaan pembangunan pada
periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah daerah 5 (lima) tahunan,
yang dituangkan dalam:
a. RPJM Daerah I Tahun 2007-2008
b. RPJM Daerah II Tahun 2008-2013
c. RPJM Daerah III Tahun 2013-2018
d. RPJM Daerah IV Tahun 2018-2023
e. RPJM Daerah V Tahun 2023-2025
f. RPJM Daearah VI Tahun 2025-2028 sebagai RPJM Daerah Transisi
RPJP Daerah tersebut digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan
RPJM Daerah. Pentahapan rencana pembangunan daerah disusun dalam masing--
masing periode RPJM Daerah sesuai dengan visi, misi dan program Bupati yang
terpilih secara langsung oleh rakyat. RPJM Daerah memuat strategi pembangunan
daerah, kebijakan umum, program, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dan rencana kerja yang berupa kerangka
regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJM Daerah dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) yang merupakan rencana pembangunan tahunan daerah, yang memuat
prioritas pembangunan daerah, rancangan kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal, serta program, dan kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJP Daerah ini mempunyai kedudukan sebagai kerangka dasar
pengelolaan pembangunan daerah dalam kurun waktu 20 tahun, yang merupakan
penjabaran kehendak masyarakat Kabupaten Bandung Barat dengan tetap
memperhatikan arahan rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi
Jawa Barat dan rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan merupakan
pedoman dalam penyusunan RPJM Daerah, RTRW Kabupaten, dan dokumen
perencanaan pembangunan lainnya di Kabupaten Bandung Barat.
Kesesuaian RPJP Daerah ini dengan dokumen perencanaan lainnya di
Kabupaten Bandung Barat dan Provinsi Jawa Barat mutlak diperlukan untuk
keterpaduan kesinambungan, harmonisasi, dan menjamin kepastian hukum bagi
seluruh masyarakat Kabupaten Bandung Barat dalam mewujudkan visi, misi
Kabupaten Bandung Barat.
Dalam menjaga kontinuitas pembangunan dan menghindarkan kekosongan
rencana pembangunan daerah, Bupati yang sedang memerintah pada tahun terakhir
pemerintahannya diwajibkan menyusun RKPD dan Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (RAPBD) pada tahun pertama periode pemerintahan Bupati
berikutnya, yaitu pada tahun 2009, 2014, 2018 dan 2022. Namun demikian, Bupati
terpilih pada periode berikutnya tetap mempunyai ruang gerak yang luas untuk
menyempurnakan APBD melalui mekanisme Perubahan APBD (APBD-P)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Dengan adanya kewenangan untuk menyusun RKPD dan
RAPBD sebagaimana dimaksud di atas, maka jangka waktu keseluruhan RPJP
Daerah adalah 2007-2025.
Tujuan yang ingin dicapai dengan ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Barat tentang RPJP Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007-2025
adalah untuk:
1. Menetapkan mandat, visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang
Kabupaten Bandung Barat;
2. Menjamin terwujudnya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten;
4. Mendukung koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pencapaian tujuan
daerah dan nasional;
5. Mewujudkan keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan;
6. Mewujudkan tercapainya penggunaan sumberdaya secara efektif, efisien,
berkeadilan dan berkelanjutan;
7. Mengoptimaikan partisipasi masyarakat.
RPJP Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2005-2025 yang dituangkan
dalam bentuk mandat, visi, misi dan arah pembangunan daerah adalah produk dari
semua elemen masyarakat, pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan organisasi
politik di Kabupaten Bandung Barat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Istilah-istilah dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan
pasal-pasal dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 2
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup Jelas.
Pasal 4
Cukup Jelas.
Pasal 5
Cukup Jelas.
Pasal 6
Cukup Jelas.
Pasal 7
Cukup Jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Pengendalian dan evaluasi pelaksanaan RPJP Daerah dilakukan
oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah, sesuai dengan
bidang tugasnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas

Pasal 11
Cukup Jelas
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Kabupaten Bandung Barat
(2005-2025)

Draft Akhir

PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BARAT


2008
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas selesainya Naskah Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2005-2025 . Naskah RPJPD
Kabupaten Bandung Barat ini memuat pendahuluan, gambaran umum daerah, visi dan misi
pembangunan, serta arah, tahapan, dan prioritas pembangunan daerah di Kabupaten Bandung
Barat selama periode 2005-2025.
Naskah RPJPD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2005-2025 ini merupakan naskah
yang telah disempurnakan berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders yakni: Pemerintah
Kabupaten Bandung Barat, pelaku usaha, dan lembaga swadaya masyarakat dalam Pra-
Musrenbang dan Musrenbang Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, naskah ini juga
didiskusikan bersama dengan publik melalui diskusi publik yang difasilitasi oleh Pusat
Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran dengan Harian Umum Galamedia.
Harapan kami, mudah-mudahan Naskah RPJPD Kabupaten Bandung Barat Tahun
2005-2025 ini dapat memberikan gambaran, prospek, dan proyeksi Kabupaten Bandung
Barat 20 (dua puluh) tahun ke depan, serta dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan
di dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2005-2025
oleh DPRD Kabupaten Bandung Barat.

Atas perhatian dan kerjasama seluruh stakeholders di dalam penyiapan, penyelesaian,


pembahasan, dan penyempurnaan Naskah RPJPD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2005-
2025 ini kami ucapkan terima kasih.

BUPATI BANDUNG BARAT

H. ABUBAKAR

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar vi

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Pengertian 2
1.3 Maksud dan Tujuan 3
1.4 Landasan Hukum 3
1.5 Hubungan RPJPD dengan Dokumen Perencanaan Lainnya 4
1.6 Alur Pikir 7
1.7 Sistematika Penulisan 8
1.8 Proses Penyusunan 9

BAB II KONDISI UMUM 13


2.1 Kondisi Saat Ini 13
2.1.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 13
2.1.2 Ekonomi 28
2.1.3 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 37
2.1.4 Politik dan Aparatur Pemerintahan 54
2.1.5 Hukum dan Hak Asasi Manusia 65
2.1.6 Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 67
2.1.7 Tata Ruang dan Infrastruktur 67
2.2 Tantangan 77
2.2.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 77
2.2.2 Ekonomi 79
2.2.3 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 82
2.2.4 Politik dan Aparatur Pemerintahan 83
2.2.5 Hukum dan Hak Asasi Manusia 87
2.2.6 Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 87
2.2.7 Tata Ruang dan Infrastruktur Masyarakat 88
2.3 Modal Dasar 92

BAB III VISI DAN MISI 94


3.1 Visi Pembangunan Daerah 94
3.2 Misi Pembangunan Daerah 95
3.3 Perwujudan Visi dan Misi 96

ii
BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA 97
PANJANG DAERAH TAHUN 2005 - 2025
4.1 Arah Pembangunan 97
4.1.1 Meningkatnya kualitas Sumberdaya Manusia yang sehat, 97
Cerdas dan kreatif
4.1.2 Terwujudnya Tatakelola yang Baik 97
4.1.3 Meningkatnya Perekonomian Masyarakat Yang Produktif, 98
Berkeadilan dan Berdayasaing
4.1.4 Terpeliharanya Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan 98
Hidup
4.1.5 Mengintegrasikan Nilai-nilai Agama dan Budaya Dalam 99
Pembangunan
4.2 Tahapan dan Prioritas Pembangunan 99
RPJM Daerah Pertama (2005-2008) 99
RPJM Daerah Kedua (2008-2013) 100
RPJM Daerah Ketiga (2013-2018) 107
RPJM Daerah Keempat (2018-2023) 115
RPJM Daerah Kelima (2023-2025) 122
RPJM Daerah Kelima (2025-2028) sebagai RPJMD Transisi 129

BAB V PENUTUP 137

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 14
2007
Tabel 2.2 Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut 16
Kecamatan dan Lapangan Usaha di Kabupaten Bandung Barat Tahun
2007
Tabel 2.3 Sektor Penyerap Tenaga Kerja di Kabupaten Bandung Barat 17
Tabel 2.4 Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Kecamatan dan Partisipasi 17
Bersekolah di Kabupaten Bandung Barat
Tabel 2.5 Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Kecamatan dan Ijasah 18
Tertinggi yang Dimiliki
Tabel 2.6 Persentase Penduduk Laki-laki dan Perempuan Usia 10 Tahun ke atas 19
menurut Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2007
Tabel 2.7 Jumlah Sarana dan Prasarana Sekolah TK, SD, SLTP, SMA dan yang 19
Sederajat di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
Tabel 2.8 Jumlah Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kabupaten Bandung 20
Barat Tahun 2007
Tabel 2.9 Kondisi Keluarga Dalam Kategori Pra-KS dan KS-1 Kabupaten 21
Bandung Barat Tahun 2007
Tabel 2.10 Jumlah Sarana Peribadatan di Kabupaten Bandung Barat 22
Tabel 2.11 Jumlah Organisasi Kemasyarakatan 23
Tabel 2.12 Jumlah Sarana Olah Raga di Kabupaten Bandung Barat 23
Tabel 2.13 Capaian IPM per Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat Tahun 25
2003-2007
Tabel 2.14 Capaian Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Barat 26
Tahun 2007
Tabel 2.15 Perkembangan Capaian Indikator Agregat IPM per Kecamatan 27
(2003-2007)
Tabel 2.16 PDRB atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 28
2004-2008
Tabel 2.17 PDRB atas dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha 28
Tahun 2004-2008
Tabel 2.18 Kontribusi Sektoral PDRB menurut Lapangan Usaha Tahun 2004- 29
2007

iv
Tabel 2.19 Laju Pertumbuhan Ekonomi atas dasar Harga Konstan menurut 30
Lapangan Usaha Tahun 2004-2007
Tabel 2.20 Lokasi Industri di Kabupaten Bandung Barat berdasarkan Skala dan 31
Jenis Produk yang Dihasilkan, 2006
Tabel 2.21 Lokasi Perdagangan dan Jasa berdasarkan Jenis Kegiatan di 32
Kabupaten Bandung Barat tahun 2006
Tabel 2.22 Lokasi Jasa Keuangan berdasarkan Bentuk Usaha di Kabupaten 33
Bandung Barat tahun 2006
Tabel 2.23 Laju Inflasi Kabupaten Bandung Barat menurut Lapangan Usaha 34
Tahun 2004-2007
Tabel 2.24 Purchasing Power Parity Kabupaten Bandung Barat 35
Tabel 2.25 Tekanan Penduduk Beberapa Kota di Jawa Barat 45
Tabel 2.26 Potensi Gerakan Tanah di Kabupaten Bandung Barat 50
Tabel 2.27 Komposisi Komisi-komisi di DPRD Kabupaten Bandung Barat 57
(2007-2009)
Tabel 2.28 Komposisi Panitia-panitia Tetap di DPRD Kabupaten Bandung Barat 58
(2007-2009)
Tabel 2.29 Komposisi Keanggotaan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten 58
Bandung Barat (2007-2009)
Tabel 2.30 Komposisi Keanggotan Badan Urusan Rumah Tangga DPRD 58
Kabupaten Bandung Barat (2007-2009)
Tabel 2.31 Rentang Kendali dari sisi Orbitrasi Pusat Pemerintahan 63
Tabel 2.32 Rentang Kendali ditinjau dari Jumlah Desa per Kecamatan 64
Tabel 2.33 Penilaian Kesesuaian Hirarki Pusat Pelayanan Rencana dengan Hasil 68
Analisis
Tabel 2.34 Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bandung Barat 69
Tabel 2.35 Tingkat Aksesibilitas Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung 72
Barat
Tabel 2.36 Neraca Air Kabupaten Bandung Barat berdasarkan Data 2005 73
Tabel 2.37 Sebaran Sumber Mata Air Kabupaten Bandung Barat 74
Tabel 2.38 Jaringan Irigasi di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2004 75
Tabel 2.39 Tingkat Pemenuhan Sarana Pendidikan di Kabupaten Bandung Barat 76
Tabel 2.40 Tingkat Pemenuhan Sarana Kesehatan di Kabupaten Bandung Barat 76
Tahun 2005
Tabel 2.41 Tingkat Pemenuhan Sarana Perdagangan di Kabupaten Bandung 77
Barat
Tabel 2.42 Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) di 88
Kabupaten Bandung Barat
Tabel 2.43 Arahan Fungsi Kawasan Pusat-pusat Pertumbuhan di KBB 90

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.1 Alur Pikir Penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat 8
Gambar 1.2 Proses Perencanaan Pembangunan 9
Gambar 2.1 Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Barat menurut 14
Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun2007
Gambar 2.2 Tingkat Pengangguran per Kecamatan di Kabupaten Bandung 15
Barat Tahun 2007
Gambar 2.3 Capaian IPM di Kabupaten Bandung Barat (2003-2007) 24
Gambar 2.4 Angka Daya Beli Kabupaten Bandung Barat 36
Gambar 2.5 Wilayah Administratif Kabupaten Bandung Barat 38
Gambar 2.6 Kawasan Kabupaten Bandung Barat di Cekungan Bandung 39
Gambar 2.7 Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Bandung Barat 40
Gambar 2.8 Peta Curah Hujan Kabupaten Bandung Barat 41
Gambar 2.9 Peta Jenis Tanah Kabupaten Bandung Barat 42
Gambar 2.10 Peta Kawasan Lindung Kabupaten Bandung Barat 43
Gambar 2.11 Peta Sebaran Permukiman di Kabupaten Bandung Barat 46
Gambar 2.12 Peta Kawasan Lindung di Kabupaten Bandung Barat yang berada 47
dalam Kondisi Baik berdasarkan Citra Satelit Aster
Gambar 2.13 Peta Konflik Penggunaan Lahan di Kabupaten Bandung Barat 48
Gambar 2.14 Peta Tingkat Bahaya Erosi di Kabupaten Bandung Barat 51
Gambar 2.15 Peta Potensi Rawan Banjir di Kabupaten Bandung Barat 52
Gambar 2.16 Pencemaran Air Sungai Citarum 54
Gambar 2.17 Komposisi Keanggotaan DPRD Kabupaten Bandung Barat 56
(2007-2009)

vi
vii
LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH KABUPATEN
BANDUNG BARAT
NOMOR :
TANGGAL :
TENTANG : RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA
PANJANG DAERAH KABUPATEN
BANDUNG BARAT TAHUN 2005-2025

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembaharuan tata kelola pemerintahan, termasuk yang berlangsung di daerah telah
membawa perubahan dalam berbagai dimensi, baik struktural maupun kultural. Dalam hal
penyelenggaraan pembangunan di daerah, telah dikeluarkan peraturan perundang-undangan
baru dengan orientasi memperluas partisipasi publik. Undang-undang tersebut adalah
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Selain undang-undang tersebut, telah diterbitkan terlebih dahulu Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya diterbitkan pula peraturan lain yang
terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004
tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga.
Sistem perencanaan pembangunan nasional yang baru mewajibkan Pemerintah
menyusun dokumen perencanaan yang meliputi perencanaan jangka panjang (periode 20
tahun); perencanaan jangka menengah (periode 5 tahun); dan perencanaan jangka pendek
(periode 1 tahun). Ketiganya merupakan dokumen perencanaan yang menjadi acuan bagi
setiap Satuan Kerja Perangkat Pemerintah (SKPD), baik di Pusat maupun di Daerah dalam
menyusun rencana kerja instansi pemerintah.
Secara khusus, setiap dokumen perencanaan memiliki materi atau substansi yang
berbeda ruang lingkupnya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah memuat visi, misi,
dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. Materi RPJP kemudian

Bab I 1
dijabarkan ke dalam sejumlah dokumen perencanaan yang lebih operasional, seperti RPJM,
Renstra-SKPD, Rencana Kerja Pemerintah Daerah, dan Rencana Kerja SKPD.
Berdasarkan muatan yang terkandung dalam dokumen perencanaan tersebut, RPJP
Daerah pada dasarnya merupakan dokumen yang memiliki nilai strategis karena memuat
rencana pembangunan daerah untuk merealisasikan visi dan misi daerah. Materi RPJP ini
menjadi dokumen publik yang dapat digunakan untuk menguji kinerja Pemerintah Daerah
dalam menjabarkan visi dan misi tersebut, sekaligus menjadi indikator untuk menguji
konsistensi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan komitmen seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders). Sebagai dokumen strategis daerah, maka seyogyanya RPJP
Daerah memuat gambaran kondisi umum daerah secara obyektif yang berisi data geografis,
demografis, sosial, budaya, ekonomi, dan tata ruang daerah sebagai basis data dalam analisis
kebutuhan daerah.
Kabupaten Bandung Barat adalah daerah administrasi baru hasil pemekaran dari
Kabupaten Bandung, yang dibentuk sebagai respon atas adanya tuntutan sebagian masyarakat
untuk memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan yang yang lebih baik kualitasnya.
Upaya pemenuhan hal inilah yang menjadi landasan dalam penyusunan RPJP Daerah
Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, kondisi geografis Kabupaten Bandung Barat yang
strategis, berada di antara pusat-pusat pertumbuhan seperti Kota Bandung dan Kota Cimahi,
yang menjadikan Kabupaten Bandung Barat sangat menarik bagi investasi. Namun, potensi
yang dimiliki tersebut belum dimanfaatkan dengan perencanaan yang matang. Hal ini
menjadi landasan lainnya bagi penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat. Sehubungan
dengan hal dimaksud, RPJP Daerah Kabupaten Bandung Barat periode 2005-2025
merupakan dokumen perencanaan strategis yang memberikan landasan hukum bagi
optimalisasi pengelolaan sumber-sumberdaya yang dimiliki Kabupaten Bandung Barat untuk
mewujudkan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat di Kabupaten
Bandung Barat.

1.2 Pengertian
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bandung Barat
adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah yang merupakan penjabaran dari
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 yang ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9
Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat

Bab I 2
2005-2025, yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang daerah untuk
periode 20 (duapuluh) tahun terhitung sejak Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2025.

1.3 Maksud dan Tujuan


Penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 dimaksudkan untuk
menyediakan acuan resmi bagi Pemerintah Daerah dan DPRD serta masyarakat dalam
menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) secara partisipatif,
melalui rangkaian konsultasi publik, forum SKPD, dan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Daerah.
Tujuan dari penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 adalah sebagai
berikut:
1) Menyediakan dokumen perencanaan jangka panjang sebagai acuan resmi bagi seluruh
jajaran Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat dalam menentukan prioritas
program lima tahunan yang akan dituangkan ke dalam RPJMD.
2) Menciptakan sinergitas pelaksanaan pembangunan daerah antarwilayah dan
antarsektor pembangunan berdasarkan kondisi riil dan proyeksi ke depan.

1.4 Landasan Hukum


Landasan hukum penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat adalah:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 18, pasal 18 B,
pasal 20, pasal 20 A, pasal 21, pasal 23, pasal 23 C, pasal 33, pasal 34;
b. Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
c. Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
d. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundangundangan;
e. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
f. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
g. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah;
h. Undang-undang No. 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di
Jawa Barat;
i. Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
j. Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
k. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

Bab I 3
l. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
m. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;
n. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan;
o. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional;
p. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;
q. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
r. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.
s. Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 54 Tahun 2008 tentang RPJMD Provinsi
Jawa Barat Tahun 2008-2013.

1.5. Hubungan RPJPD dengan Dokumen Perencanaan Lainnya


RPJPD Kabupaten Bandung Barat secara substantif tidak berdiri sendiri. Dokumen
RPJPD ini terkait dengan keberadaan dokumen perencanaan lainnya, baik perencanaan
pembangunan nonspasial (nonkeruangan), maupun yang bersifat spasial (keruangan). Oleh
karena itu, penyusunan RPJP Kabupaten Bandung Barat selain memperhatikan RPJP
Nasional dan RPJPD Provinsi Jawa Barat juga perlu memperhatikan dokumen perencanaan
lainnya, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi, dan
RTRW Kabupaten Bandung Barat sendiri.
Kabupaten Bandung Barat, awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Bandung,
sehingga harus pula memperhatikan RTRW Kabupaten/Kota lain di sekitarnya, yaitu RTRW
Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Purwakarta, dan Kabupaten Subang, untuk pengoptimalan dan sinergi penataan ruang,
penatagunaan lahan, lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTRW menjadi pedoman
untuk penyusunan RPJPD dan RPJMD (Pasal 26). Hal ini juga ditegaskan kembali dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah

Bab I 4
Perencanaan Pembangunan Daerah pada pasal 2 ayat 3, pasal 25 ayat 1, pasal 31 serta pasal
32 ayat 1 dan 2.
RPJPD secara khusus nantinya harus dijadikan acuan sepenuhnya untuk penyusunan
RPJMD setiap 5 tahun sekali dalam rangka mencapai visi, misi, dan arah pembangunan
jangka panjangnya.

1.5.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025


Berdasarkan permasalahan, tantangan, serta keterbatasan yang dihadapi bangsa dan
negara Indonesia, ditetapkan visi pembangunan nasional Tahun 2005 2025 adalah:
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur
Visi pembangunan nasional tahun 2005 2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan
nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur untuk dapat
mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai.
Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8
(delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut:
1) Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila.
2) Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
3) Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
4) Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
5) Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
6) Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
7) Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional.
8) Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
Dalam kaitannya dengan visi dan misi nasional tersebut, RPJPD Kabupaten Bandung
Barat berusaha menjabarkannya dan berperan serta berkontribusi dalam pencapaiannya ke
dalam skala yang lebih kecil untuk lingkup Kabupaten Bandung Barat sendiri, terutama
dalam hal mencapai masyarakat yang berakhlak mulia, berdaya saing, berkeadilan, dan
produktif.

Bab I 5
1.5.2. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tanggal 10 Maret 2008. Penataan ruang wilayah nasional
ini bertujuan untuk mewujudkan:
1) ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
2) keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
3) keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
4) keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5) keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/
kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
6) pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
7) keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah.
8) keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan pertahanan dan keamanan negara
yang dinamis serta integrasi nasional.
9) Dalam RTRWN, Pemerintah menentukan struktur dan pola ruang secara nasional,
kawasan strategis nasional (KSN), dan kawasan andalan. Struktur ruang secara nasional
menetapkan fungsi kota (Pusat Kegiatan Nasional/PKN, Pusat Kegiatan Wilayah/PKW,
Pusat Kegiatan Strategis Nasional/PKSN dan metropolitan), bandara (pusat penyebaran
primer, sekunder dan tersier), pelabuhan laut (internasional dan nasional), jaringan
transportasi (jaringan jalan arteri primer, kolektor primer, jalan tol, dan jalan strategis
nasional; jalur KA lintas utama dan lintas cabang; lintasan penyeberangan; alur laut
kepulauan Indonesia /ALKI); dan prasarana nasional (prasarana listrik dan
telekomunikasi). Dalam pola ruang secara nasional, RTRWN ini juga metetapkan
kawasan lindung nasional, kawasan andalan (darat dan laut), dan kawasan strategis
nasional.
Dalam RTRWN, Kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) dan Kabupaten Bandung sebagai salah satu Pusat Kegiatan Wilayah (PKW).
Karena pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Bandung, maka Kabupaten Bandung
Barat juga merupakan salah satu dari Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang dilalui jaringan
lintas nasional di bagian tengah-selatan Pulau Jawa dengan fungsi jalan arteri primer.
Kabupaten Bandung Barat termasuk dalam Kawasan Andalan Bandung Raya.

Bab I 6
1.5.3. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Bandung Tahun
2005-2025
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025, telah
ditetapkan visi pembangunan Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025, adalah:
Dengan Iman dan Takwa, Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia
Pernyataan Visi Pembangunan Provinsi Jawa Barat di atas, memiliki makna :
1) Iman dan takwa merupakan landasan dalam melaksanakan aktivitas guna pencapaian visi
dan misi yang ditetapkan melalui pengamalan ajaran agama. Pengamalan ajaran agama
secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat akan mewujudkan situasi yang kondusif
untuk melaksanakan pembangunan daerah.
2) Provinsi Jawa Barat Termaju di Indonesia dimaksudkan sebagai provinsi yang memiliki
berbagai keunggulan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Keunggulan
tersebut ditunjukkan dalam semua aspek kehidupan terutama aspek sumberdaya manusia,
ekonomi, pemerintahan, sosial, budaya, dan lingkungan hidup.
Upaya perwujudan visi pembangunan jangka panjang Provinsi Jawa Barat tersebut
akan dicapai melalui 5 (lima) misi pembangunan jangka panjang Jawa Barat 2005-2025
sebagai berikut:
Misi Satu : Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang sehat,
cerdas dan kreatif
Misi Dua : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good
Governance)
Misi Tiga : Meningkatkan perekonomian masyarakat dan pengembangan
industri yang berdaya saing serta berkeadilan.
Misi Empat : Memelihara kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup
Misi Lima : Mengintegrasikan kearifan nilai-nilai agama dan budaya
dalam pembangunan

1.6 Alur Pikir


Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten
Bandung, secara konseptual dilakukan dengan memperhatikan berbagai hal/pokok persoalan
yang terdapat di wilayah Kabupaten Bandung Barat, meliputi kondisi sosial budaya dan
ekonomi, sumberdaya manusia, serta sumberdaya alam dan lingkungan. Berbagai kondisi
tersebut dianalisis untuk mengetahui potensi, kendala, dan tantangan di masa depan sebagai

Bab I 7
modal dasar bagi pembangunan Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan modal dasar ini,
dirumuskan visi dan misi pembangunan Kabupaten Bandung Barat yang dilandasi oleh nilai-
nilai/semangat, konsep, dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam gagasan pembangunan
berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka (WCED, the Brundland Report, 1987). Dalam asas
pembangunan berkelanjutan ini terkandung upaya melakukan pembangunan yang
keberhasilannya akan ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu: ekonomi, ekologi, dan sosial.
Dalam hal ini kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi akan disertai dengan upaya
melestarikan lingkungan dan ditujukan untuk mencapai pemerataan (keadilan) sosial.
Pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan keseimbangan/kelestarian lingkungan dan
keadilan sosial tidak akan mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara
berkelanjutan.
Gambar 1.1
Alur Pikir Penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat

1.7 Sistematika Penulisan


Naskah RPJPD Kabupaten Bandung Barat disusun berdasarkan sistematika sebagai
berikut:
BAB I : Pendahuluan yang memuat latar belakang, pengertian, maksud dan tujuan,
landasan hukum, hubungan RPJPD dengan dokumen perencanaan lainnya,
sistematika penulisan, alur pikir, serta proses penyusunan.

Bab I 8
BAB II : Kondisi umum daerah yang memuat uraian mengenai kondisi sampai dengan titik
awal penyusunan RPJP Daerah dalam setiap sektor pembangunan serta tantangan
yang akan dihadapi selama 20 tahun ke depan dan modal dasar.
BAB III : Visi dan Misi Pembangunan Daerah 2005-2025 yang memuat visi pembangunan
daerah Kabupaten Bandung Barat dan misi pembangunan yang akan dilaksanakan
untuk mewujudkan visi tersebut.
BAB IV : Arah, tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005-
2025 yang memuat upaya-upaya pencapaian visi dan misi Kabupaten Bandung
Barat, serta tahapan dan prioritas pembangunan.
BAB V : Penutup

1.8 Proses Penyusunan


Penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 disusun dengan
menggunakan pendekatan perencanaan yang bersifat partisipatif, teknokratik, atas-bawah (top
down), bawah-atas (bottom up), dan politik, dengan mengedepankan proses prediksi dan
analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh langsung maupun
tidak langsung terhadap pembangunan daerah.
Gambar 1.2
Proses Perencanaan Pembangunan
Ag enda
Masyarakat Proses Pejabat Pol
(Pemilih) Politik Terpilih

Dialami
Kebutuhan oleh Arah,
Masyarakat Kegagalan
Diserasikan, dan
yg bersifat Visi Jangka Diterjemahkan ke Tahapan &
Panjang dalam Program - kegiatan
Barang Publik Pasar RPJP Nasional Prioritas
Pembangunan
Diamati dalam
oleh RPJPD
Perspektif
Pengamat Proses Jangka
Profesional Teknokratik Menengah

Sumber: Bappenas, 2005


Barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat terbagi dalam dua kelompok: (1)
barang-barang privat; dan (2) barang publik. Barang privat dapat diperoleh / dipertukarkan di
pasar, tetapi barang publik tidak. Hal ini karena barang publik didefinisikan sebagai barang
yang bersifat nonexcludable dan nonrivalry , sehingga tidak memberikan insentif bagi
kalangan swasta untuk menyediakan dan mempertukarkannya di pasar. Artinya, pasar tidak
mampu menyediakan barang publik untuk dipertukarkan. Fenomena ini yang dinamakan
dengan kegagalan pasar atau market failure .

Bab I 9
Ketiadaan barang publik akibat kegagalan pasar dialami langsung oleh masyarakat,
sehingga kalau ada pihak yang menawarkannya, akan terjadi semacam transaksi. Inilah yang
terjadi dalam pemilihan umum baik di tingkat nasional maupun lokal, sehingga pemilu
dipandang sebagai market of plan . Pemilih akan menimang-nimang program-program yang
ditawarkan masing-masing calon presiden/kepala daerah, dan bila ada yang sesuai dia akan
memilih calon presiden/kepala daerah yang menawarkannya. Dengan demikian, visi, misi,
dan program pasangan Presiden/Wapres atau Kepala Daerah/Wakilnya terpilih menjadi
sebuah dokumen rencana yang diakui oleh Undang-undang atau Perda (bila di daerah). Inilah
yang dinamakan proses politik dalam perencanaan.
Sementara itu, para profesional juga dapat menjadi sumber pengidentifikasian
kebutuhan masyarakat. Walau tidak mengalami sendiri, berbekal pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki, para profesional dapat dengan baik mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk permasalahan yang tidak disadari
oleh masyarakat itu sendiri. Hasil pengamatannya inilah yang menjadi titik tolak
perencanaannya. Penyusunan rencana yang demikian dinamakan proses teknokratik.
Rencana-rencana yang dihasilkan proses ini sering diberi label perspektif , dan kalau itu
untuk jangka menengah, maka dinamakan perspektif jangka menengah.
Baik proses politik maupun proses teknokratik dipandu oleh visi jangka panjang.
Inilah yang menjamin adanya konsistensi antar rencana limatahunan dalam periode jangka
panjang. Karena rencana yang dihaslkan proses politik dan proses teknokratik dapat berbeda,
maka untuk dapat keduanya harus diserasikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa yang dapat
dijalankan oleh para birokrat. Hasil penyerasian inilah yang akan menjadi agenda yang
tertuang dalam RPJM yang termuat pula arah dan prioritasnya dalam dokumen RPJP untuk
menjamin kesinambungan dari rencana jangka panjang tersebut.
Untuk menjabarkan komitmen politik kepala daerah dan seluruh stakeholders ke
dalam rancangan program prioritas, maka diperlukan strategi perencanaan pembangunan
daerah yang tepat. Strategi perencanaan pembangunan daerah diartikan sebagai suatu cara
yang digunakan dalam proses perumusan atau penyusunan rencana-rencana pembangunan di
suatu daerah, mulai dari penetapan visi, misi, tujuan, sasaran, sebagai bagian atau tahapan
dari keseluruhan proses pembangunan yang menghasilkan dokumen perencanaan
pembangunan daerah yang bersifat makro.
Dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi, strategi perencanaan pembangunan
juga perlu menerapkan strategi partisipasi yang mengadopsi prinsip pemerintahan yang baik
seperti pembuatan keputusan yang demokratis, partisipasi, transparansi dan sistem

Bab I 10
pertanggungjawaban. Masyarakat terlibat dalam proses mengidentifikasi, membahas,
menyampaikan persepsi, menyampaikan kebutuhan dan tujuan-tujuan pembangunan. Proses
yang partisipatif untuk menentukan tujuan pembangunan daerah jangka menengah perlu
memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat sebagai kelompok identitas menurut profesi,
umur, gender, dan kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang perlu dicerminkan
dalam kebijakan daerah. Tentunya perencanaan pembangunan ini juga berpijak pada
bagaimana proses perencanaan pembangunan daerah sejalan dengan standar-standar serta
persyaratan teknis perencanaan.
Kegiatan perencanaan tingkat daerah harus diarahkan berdasarkan isu yang dianggap
relevan bagi pembangunan. Kegiatan ini dimulai dengan perumusan visi dan tujuan umum
pembangunan jangka panjang berdasarkan masukan dari kelompok stakeholders terkait,
sehingga visi dan misi menjadi milik bersama dan acuan untuk semua pelaku pembangunan
di daerah. Untuk beragam partisipasi masyarakat diterapkan alat dan metode yang
memberikan kesempatan luas kepada semua unsur masyarakat/stakeholders untuk
menyalurkan persepsi dan aspirasinya yang selanjutnya dimasukkan ke dalam pembuatan
tujuan kebijakan dan program pembangunan daerah. Forum-forum stakeholders, seperti
LSM, organisasi perempuan, pemuda dan dunia usaha difasilitasi untuk meningkatkan
partisipasi di antara masyarakat setempat dan kelompok kepentingan sebagai elemen yang
mendukung untuk menentukan prioritas pembangunan daerah. Forum stakeholders berperan
sebagai salah satu proses untuk menyuarakan kepentingan masyarakat terhadap tujuan
pembangunan secara spesifik.
Dalam proses perumusan visi pembangunan daerah sebagai dasar untuk perencanaan
jangka menengah penting untuk menampung aspirasi masyarakat melalui berbagai forum
stakeholders yang ada di level daerah. Perencanaan dilihat sebagai proses terstruktur yang
bertahap dan bertingkat. Perencanaan pembangunan daerah oleh lembaga teknis didasarkan
pada analisis potensi dan kebutuhan daerah, integrasi rencana spasial dan rencana
pembangunan dari tingkat provinsi maupun nasional. Aspek tersebut dipadukan dengan alur
perencanaan partisipatif untuk menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat. Hasil
pemaduan dua perspektif, yakni dari masyarakat sipil dan lembaga pemerintahan, selanjutnya
menjadi dasar bagi para perencana dalam menyusun dokumen perencanaan yang diterima
semua pihak yang sekaligus sesuai dengan norma dan standar nasional.
Penyusunan RPJPD Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 melalui berbagai tahap
dialog sektoral maupun dialog lintas sektor yang melibatkan berbagai kepentingan baik dari
pihak pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah desa, dunia usaha,

Bab I 11
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat. Penyusunan dokumen
RPJP daerah Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 juga melibatkan masyarakat luas melalui
dialog-dialog publik. Pengumpulan data sekunder Kabupaten Bandung Barat yang dilakukan
meliputi: (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten Bandung (sebagai
kabupaten induk), dan data penggunaan lahan di kecamatan-kecamatan yang menjadi wilayah
Kabupaten Bandung Barat sebagaimana termuat dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten
Bandung; (2) Kabupaten Bandung Dalam Angka; (3) Statistik Sosial Ekonomi Kabupaten-
Kota Jawa Barat (SUSEDA); (4) Statistik Keuangan Daerah Kabupaten Bandung.

Bab I 12
BAB II
KONDISI UMUM DAERAH

2.1. Kondisi Saat Ini


2.1.1 Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama
2.1.1.1 Kependudukan

Berdasarkan data BPS, luas wilayah Kabupaten Bandung Barat adalah 1.305,7738
km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 1.534.869 jiwa, terdiri dari 774.644
laki-laki dan 760.225 perempuan, sehingga diketahui rata-rata kepadatan penduduk di
Kabupaten Bandung Barat adalah 1.175 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang besar
seringkali menjadi beban dalam proses pembangunan apabila berkualitas rendah. Oleh karena
itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat
perlu secara terus-menerus melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya baik
melalui peningkatan pendidikan maupun kesehatan dan upaya pengendalian jumlah
penduduk.
Dilihat dari penyebarannya, jumlah penduduk Kecamatan Lembang memiliki
penduduk terbanyak (170.439 jiwa), sedangkan kecamatan yang paling sedikit penduduknya
adalah Kecamatan Rongga (59.042 jiwa). Kecamatan yang kepadatan penduduknya tertinggi
adalah Kecamatan Ngamprah (3.894 jiwa), dan kecamatan yang kepadatannya terkecil adalah
Kecamatan Gunung Halu (475 jiwa). Secara rinci, penyebaran dan kepadatan penduduk tiap-
tiap kecamatan di Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Komposisi penduduk Kabupaten Bandung Barat berdasarkan data BPS (Suseda,
2008), tergolong penduduk muda menuju "transisi". Golongan penduduk muda diperlihatkan
dengan panjang batang piramida kelompok umur 5-9, 10-14 tahun lebih panjang dari
kelompok umur lainnya. Artinya, ada kecenderungan komposisi penduduk Kabupaten
Bandung Barat di masa depan akan semakin didominasi oleh penduduk usia produktif. Agar
lebih jelas, komposisi penduduk Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Bab II 13
Tabel 2.1
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
Jumlah Penduduk Persentase
Luas Kepadatan
Kecamatan (Jiwa) Penduduk
(jiwa/Km2)
Km2 % 2007 2008 (%)
Kec. Cililin 81,55 6,24 86.360 88.478 5,76 1.085
Kec. Sindangkerta 120,35 9,22 64.507 66.281 4,32 551
Kec. Gununghalu 160,80 12,31 74.292 76.394 4,98 475
Kec. Batujajar 83,68 6,41 109.451 112.401 7,32 1.343
Kec. Lembang 97,01 7,43 165.786 170.439 11,10 1.757
Kec. Cisarua 55,36 4,24 63.706 65.499 4,27 1.183
Kec. Padalarang 51,58 3,95 151.736 155.802 10,15 3.021
Kec. Cipatat 125,50 9,61 120.282 123.605 8,05 985
Kec. Cipeundeuy 101,25 7,75 82.044 85.789 5,59 847
Kec. Cikalong Wetan 112,09 8,58 111.450 114.489 7,46 1.021
Kec. Cipongkor 76,15 5,83 84.229 86.610 5,64 1.137
Kec. Ngamprah 36,08 2,76 136.656 140.515 9,15 3.894
Kec. Parongpong 44,65 3,42 86.909 89.381 5,82 2.002
Kec. Rongga 113,12 8,66 57.471 59.042 3,85 522
Kec. Cihampelas 46,63 3,57 98.415 100.144 6,52 2.148
Kabupaten Bandung Barat 1.305,78 100,00 1.493.294 1.534.869 100,00 1.175
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2008.

Gambar 2.1
Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Barat menurut Golongan Umur
dan Jenis Kelamin Tahun 2008

>65

60- 64

55- 59

50- 54

45- 49

40- 44

35- 39

30- 34

25- 29

20- 24

15- 19

10- 14

05- 09

00- 04

50.000 0
100.000 L P 50.000 100.000

Bab II 14
2.1.1.2 Ketenagakerjaan
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diperlihatkan dari tingkat penyerapan tenaga
kerjanya. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu masyarakat semakin rendah tingkat
pengangguran yang ada di daerah itu. Tingkat pengangguran yang dimaksud adalah rata-rata
pengangguran yang ada di tiap kecamatan berdasarkan umur 10 tahun ke atas yang mencari
kerja. Tingkat pengangguran di Kabupaten Bandung Barat selama tahun 2007 mencapai
18,24%. Angka ini menunjukkan tingkat pengangguran yang mengkhawatirkan. Artinya
terdapat hampir 20% dari angkatan kerja tidak produktif dan terjadi tingkat ketergantungan
tenaga kerja produktif yang tinggi dan mengakibatkan akselerasi perekonomian menjadi
lambat. Tingkat pengangguran per kecamatan di Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat pada
Gambar 2.2 dengan data independen dari kecamatan lainnya.

Gambar 2.2
Tingkat Pengangguran per Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
Persen

40

35
30

25
20

15
10

5
-
Cihampelas

Cililin

Sindangkerta

GunungHalu

Rongga

Batujajar

Padalarang

Ngamprah

Cipatat

Cipongkor

CikalongWetan

Cipeundeuy

Cisarua

Parongpong

Lembang

Sumber : Suseda 2007

Berdasarkan data pada Gambar 2.2 Kecamatan Cipongkor menunjukkan tingkat


pengangguran yang terendah, diikuti oleh Kecamatan Padalarang dan Kecamatan
Parongpong. Oleh karena itu, ketiga kecamatan tersebut memiliki tingkat aktivitas
perekonomian yang tinggi dan memiliki potensi penarik untuk para pencari kerja dari
kecamatan lainnya yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi.
Sebaliknya untuk tingkat pengangguran yang tertinggi ada pada Kecamatan
Cipeundeuy dan Kecamatan Cikalong Wetan yang memiliki tingkat pengangguran lebih dari
30%. Tingkat pengangguran yang tinggi ini dikhawatirkan akan menjadi sebab terjadi migrasi

Bab II 15
penduduk ke luar kecamatan menuju daerah-daerah yang tingkat penganggurannya rendah
atau malah akan ikut memadati kota-kota yang ada di sekitar Jawa Barat.
Sektor penyerap tenaga kerja di Kabupaten Bandung Barat bisa menunjukkan sektor
yang berkembang di wilayah Kabupaten Bandung Barat. Tabel 2.2 berikut ini
menggambarkan tingkat penyerapan tenaga dari tiap sektor di setiap kecamatan di Kabupaten
Bandung Barat.

Tabel 2.2
Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Kecamatan
dan Lapangan Usaha di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
No Kecamatan Pertanian Industri Perdagangan Jasa lainnya Jumlah
1 Cihampelas 22,15 26,14 21,69 11,92 18,09 100,00
2 Cililin 44,84 12,89 16,44 15,61 10,22 100,00
3 Sindangkerta 57,14 4,54 12,34 12,34 13,63 100,00
4 GunungHalu 38,77 9,40 14,45 16,32 21,06 100,00
5 Rongga 71,05 2,11 9,22 12,99 4,62 100,00
6 Batujajar 19,71 29,34 16,52 23,70 10,74 100,00
7 Padalarang 14,69 26,82 23,27 16,57 18,65 100,00
8 Ngamprah 17,33 39,26 14,41 16,14 12,86 100,00
9 Cipatat 39,09 13,59 14,41 20,03 12,88 100,00
10 Cipongkor 47,86 5,31 18,68 15,02 13,13 100,00
11 CikalongWetan 33,26 11,46 14,70 30,55 10,03 100,00
12 Cipeundeuy 45,51 1,12 13,05 31,84 8,48 100,00
13 Cisarua 69,27 1,49 18,13 9,36 1,75 100,00
14 Parongpong 26,93 4,55 21,22 30,02 17,28 100,00
15 Lembang 27,85 5,52 16,51 19,84 30,27 100,00
Sumber : Suseda 2007

Tabel 2.2 menunjukkan kecamatan yang paling banyak menyerap tenaga kerja di
sektor pertanian berdasarkan persentasinya ada di Kecamatan Rongga yang mencapai 71%
diikuti Kecamatan Cisarua dan Sindangkerta dan yang terendah ada di Kecamatan Padalarang
14,69%. Penyerapan tenaga kerja terbesar di sektor industri adalah Kecamatan Ngamprah,
Batujajar, Padalarang dan Kecamatan Cihampelas. Penyerap tenaga kerja terbesar di sektor
perdagangan adalah Kecamatan Batujajar, Cihampelas dan Parongpong. Sedangkan penyerap
tenaga kerja terbesar sektor jasa Kecamatan Cipeundeuy, Cikalong Wetan dan Kecamatan
Parongpong.
Apabila dilihat secara makro, penyerap tenaga kerja terbesar di Kabupaten Bandung
Barat adalah sektor pertanian (29,68%) diikuti sektor lainnya 28,17%, perdagangan 16,73%,
industri 15,57% dan sektor jasa 9,43%. Data penyerapan tenaga kerja tersebut menunjukkan
bentuk struktur ekonomi di kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Berdasarkan
data tersebut diketahui bahwa sektor pertanian merupakan ciri dari struktur ekonomi di
Kabupaten Bandung Barat, walaupun sektor lainnya juga memberikan kontribusi yang cukup

Bab II 16
merata dalam perekonomian di Kabupaten Bandung Barat. Secara rinci penyerap tenaga kerja
di Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3
Sektor Penyerap Tenaga Kerja di Kabupaten Bandung Barat
Persentase
No Sektor
2007 2008
1 Pertanian 34,16 29,68
2 Industri 14,99 15,57
3 Perdagangan 16,73 17,15
4 Jasa 19,03 9,43
5 Lainnya 15,09 28,17
Jumlah 100,00 100,00
Sumber : Suseda 2007-2008

2.1.1.3 Pendidikan
Pendidikan adalah elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial-ekonomi
masyarakat. Tidak itu saja, pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup
individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin
baik kualitas sumberdayanya. Tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Bandung Barat
dapat dilihat dari tingkat partisipasi sekolah, ijasah tertinggi yang dimiliki dan angka melek
huruf, secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.4
Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Kecamatan dan Partisipasi Bersekolah
di Kabupaten Bandung Barat
Partisipasi sekolah
Tidak/belum Masih Tidak
No Kecamatan Jumlah
sekolah sekolah bersekolah lagi
Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa %
1 Cililin 792 4.33 12.105 5.81 58.611 5.93 71.508 5,88
2 Cihampelas 1.121 6.13 15.099 7.24 62.660 6.34 78.880 6,49
3 Sindangkerta 723 3.96 10.351 4.97 40.705 4.12 51.778 4,26
4 Gununghalu 1.188 6.50 8.912 4.28 53.943 5.46 64.043 5,27
5 Rongga 1.434 7.85 7.445 3.57 36.535 3.69 45.413 3,74
6 Cipongkor 1.907 10.44 12.927 6.20 51.398 5.20 66.232 5,45
7 Batujajar 1.325 7.25 15.445 7.41 73.062 7.39 89.832 7,39
8 Lembang 1.761 9.64 22.266 10.68 110.115 11.14 134.142 11,04
9 Parongpong 886 4.85 8.735 4.19 58.436 5.91 68.056 5,60
10 Cisarua 295 1.61 8.738 4.19 43.862 4.44 52.894 4,35
11 Ngamprah 643 3.52 21.453 10.29 89.834 9.08 111.931 9,21
12 Padalarang 850 4.65 18.275 8.77 104.249 10.54 123.373 10,15
13 Cipatat 3.920 21.45 18.960 9.10 75.617 7.65 98.497 8,10
14 Cipeundeuy 766 4.19 15.317 7.35 53.657 5.43 69.741 5,74
15 Cikalongwetan 662 3.63 12.397 5.95 76.152 7.70 89.211 7,34
16 Cihampelas - - - - - - - -
Kab. Bandung Barat 18.271 1,15 208.426 17,14 988.834 81.34 1.215.531 100,00
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah, 2007

Bab II 17
Tabel 2.4 menunjukkan bahwa anak usia 10 tahun ke atas yang tidak sekolah lagi
jumlahnya 988.834 orang (81,34%). Di dalam angka tersebut terkandung angka dropout
karena yang dihitung adalah usia sekolah 10 tahun ke atas yang tidak lagi sekolah. Angka
tersebut cukup besar dan perlu diwaspadai.
Ijasah yang dimiliki oleh penduduk di Kabupaten Bandung Barat umur 10 tahun ke
atas, menunjukkan bahwa mereka yang belum memiliki ijasah jumlahnya sekitar 18,50%,
memiliki Ijasah SD dan yang setara jumlahnya 47,79%; lulusan SMP atau setara 18,52%,
lulusan SMA 12,86% dan yang telah memiliki ijasah perguruan tinggi (D-2, D-3, S-1, dan
seterusnya) jumlahnya 2,33%. Secara Rinci penduduk umur 10 tahun ke atas yang telah
memiliki ijasah dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini.

Tabel 2.5
Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Kecamatan dan Ijasah Tertinggi yang Dimiliki
Ijasah tertinggi yang dimiliki
No Kecamatan Tdk/blm SD / SLTP / SLTA / Perguruan Jumlah
punya Ijasah setara SD setara SLTP setara SLTA tinggi
1 Cililin 14,008 40,847 10,016 6,190 446 71,508
2 Cihampelas 13,074 35,896 18,576 10,011 1,324 78,880
3 Sindangkerta 7,366 28,380 12,530 2,767 736 51,778
4 Gununghalu 11,073 35,214 11,392 5,871 493 64,043
5 Rongga 15,735 21,496 5,322 2,566 294 45,413
6 Cipongkor 9,171 43,072 8,387 4,716 887 66,232
7 Batujajar 12,806 43,998 21,376 10,641 1,011 89,832
8 Lembang 26,290 57,500 21,418 21,311 7,622 134,142
9 Parongpong 14,922 34,176 10,680 5,809 2,470 68,056
10 Cisarua 17,978 26,320 6,415 1,872 309 52,894
11 Ngamprah 15,429 31,590 29,618 31,371 3,924 111,931
12 Padalarang 7,286 51,310 22,882 36,083 5,813 123,373
13 Cipatat 23,104 48,968 19,218 5,700 1,506 98,497
14 Cipeundeuy 17,574 33,266 14,788 3,891 221 69,741
15 Cikalongwetan 19,080 48,889 12,513 7,504 1,226 89,211
Kab. Bandung Barat 224,896 580,922 225,131 156,302 28,280 1,215,531
% 18.50 47.79 18.52 12.86 2.33 100.00
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah 2007

Berdasarkan data BPS Kabupaten Bandung tahun 2007, rata-rata lama sekolah (RLS)
penduduk kabupaten Bandung Barat adalah 8,2 tahun setara dengan kelas dua (2) SMP.
Apabila dibandingkan antara penduduk perempuan dan laki-laki yang melanjutkan
pendidikan, terlihat bahwa jumlah penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang
melanjutkan pendidikan SLTP ke atas sekitar 74.625 orang lebih kecil dari penduduk laki-
laki usia 10 tahun ke atas yang melanjutkan pendidikan SLTP ke atas, yakni sebanyak
109.956 orang. Kondisi ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam pemerataan akses

Bab II 18
pendidikan. Persentase antara penduduk perempuan dan laki-laki usia 10 tahun ke atas
menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 2.6 berikut.

Tabel 2.6
Persentase Penduduk Laki-laki dan Perempuan Usia 10 Tahun ke atas
menurut Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2007
No Pendidikan yang Jenis Kelamin Jumlah
Ditamatkan Laki-Laki Perempuan
1 Tidak/Belum Tidak tamat SD 18,16 21,22 19,71
2 SD 48,33 50,27 49,24
3 SLTP 18,37 17,85 18,08
4 SLTA 13,17 8,78 11,03
5 Perguruan Tinggi 1,97 1,89 1,93
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS Suseda, 2007

Berdasarkan data BPS tahun 2007, di Kabupaten Bandung Barat masih terdapat warga
masyarakat yang tidak bisa baca tulis. Penduduk yang sudah mampu baca tulis huruf latin
sebanyak 712.848 orang (58,65%), yang memiliki kemampuan huruf lainnya sekitar 12,797
(1,05%), yang memiliki kemampuan huruf latin dan lainnya sekitar 455.281 orang (37,46%)
dan yang belum dapat baca tulis huruf latin masih berjumlah sekitar 34.604 (2,85%).

Tabel 2.7
Jumlah Sarana dan Prasarana Sekolah TK, SD, SLTP, SMA dan yang Sederajat
di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
Kategori Sekolah
No Kecamatan TK SD SLTP SMA RA MI MTs MA
1 Cililin 2 40 11 6 14 15 7 5
2 Cihampelas 1 45 5 2 18 16 7 3
3 Sindangkerta 3 42 6 3 10 11 4 2
4 Gununghalu 1 36 3 1 12 21 4 3
5 Rongga 1 35 2 0 3 6 1 0
6 Cipongkor 2 49 4 3 7 23 5 2
7 Batujajar 7 53 5 2 21 12 13 4
8 Lembang 18 66 8 5 18 3 4 0
9 Parongpong 4 36 4 1 11 3 1 1
10 Cisarua 2 28 2 2 6 4 3 3
11 Ngamprah 28 45 6 1 14 2 2 0
12 Padalarang 12 65 8 2 18 12 4 4
13 Cipatat 3 59 4 1 15 9 5 2
14 Cipeundeuy 3 44 5 3 3 12 4 2
15 Cikalongwetan 5 60 7 2 6 7 8 4
Jumlah 92 703 80 34 176 156 72 35
Sumber; Kabupaten Bandung Dalam Angka 2006

Semua kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung Barat sudah memiliki sarana dan
prasarana pendidikan berupa sekolah, mulai Taman Kanak-Kanak sampai dengan tingkat

Bab II 19
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang setara. Kecuali Kecamatan Rongga yang belum
memiliki Sekolah Menengah Atas. Sekolah Dasar dan yang setara merupakan jenis sekolah
yang paling banyak di daerah ini. Secara rinci penyebaran sarana dan prasarana pendidikan di
Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat pada Tabel 2.7.

2.1.1.4 Kesehatan
Kabupaten Bandung Barat sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit Umum yang
berstatus milik pemerintah daerah, fasilitas kesehatan yang ada baru terbatas pada
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Praktek dokter, praktek bidan, Rumah Sakit Bersalin, dan
Apotek. Terdapat 1 (satu) milik swasta yang berlokasi di Kota Baru Parahyangan.
Keberadaan Rumah Sakit Bersalin di Kecamatan Lembang, Parompong dan Kecamatan
Padalarang. Di Kecamatan Cililin, Cihampelas; dan Gununghalu tidak terdapat Poliklinik,
terdapat Apotek di Kecamatan Cililin, Batujajar, Lembang, Parompong, Ngamprah, cipatat,
Cipendeuy dan Kecamatan Cikalong Wetan. Kondisi sarana dan prasarana kesehatan yang
ada di Kabupoaten Bandung Barat dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut.

Tabel 2.8
Jumlah Sarana dan Prasarana Kesehatan
di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
Sarana dan Prasarana Kesehatan
RS Puskesmas Praktek Praktek
No Kecamatan Poliklinik Puskesmas Apotek
Bersalin Pembantu Dokter Bidan
1 Cililin 0 0 1 3 6 15 5
2 Cihampelas 0 0 0 4 7 13 0
3 Sindangkerta 0 6 2 5 1 14 0
4 Gununghalu 0 0 1 5 1 5 0
5 Rongga 0 7 1 2 1 4 0
6 Cipongkor 0 0 2 0 2 11 0
7 Batujajar 2 6 1 4 10 15 2
8 Lembang 3 4 4 2 29 32 4
9 Parongpong 2 4 2 3 15 10 2
10 Cisarua 0 3 1 6 8 11 0
11 Ngamprah 0 1 2 2 12 25 5
12 Padalarang 5 14 4 3 17 20 2
13 Cipatat 0 5 4 4 6 10 1
14 Cipeundeuy 0 5 2 7 4 9 1
15 Cikalongwetan 0 5 2 3 4 6 4
Jumlah 12 60 29 53 123 200 26
Sumber: Kabupaten Bandung Dalam Angka, 2007

Data Tabel 2.8 menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan di Kecamatan Cipongkor,


Rongga, Gununghalu dan Kecamatan Sindangkerta masih sangat terbatas. Oleh karena itu
beralasan apabila Capaian IPM di kecamatan tersebut juga rendah.

Bab II 20
Di Kabupaten Bandung Barat masih banyak keluarga yang termasuk kedalam kategori
miskin (pra-KS dan KS-1), sehingga mereka sulit dalam mengakses sarana kesehatan maupun
pendidikan. Tingginya presentase jumlah penduduk yang termasuk dalam kategori Pra-KS
dan KS-1 ini menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduknya juga masih rendah. Tingkat
kemiskinan yang masih tinggi inilah yang menyebabkan daya beli masyarakat juga rendah.
Kondisi penduduk dalam kategori Pra-KS dan KS-1 setiap kecamatan di Kabupaten Bandung
Barat dapat dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9
Kondisi Keluarga Dalam Kategori Pra-KS dan KS-1
Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
Keluarga Pra-KS dan KS-1
No Kecamatan
(%)
1 Cihampelas 53,96
2 Cililin 51,19
3 Sindangkerta 50,81
4 GunungHalu 21,57
5 Rongga 36,99
6 Cipongkor 56,29
7 Batujajar 30,27
8 Lembang 25,74
9 Parongpong 11,90
10 Cisarua 31,32
11 Ngamprah 22,53
12 Padalarang 14,01
13 Cipatat 29,40
14 Cipendeuy 46,07
15 Cikalong Wetan 64,76
Sumber : Potensi Desa BPS Pusat, 2007

2.1.1.5 Keagamaan
Masyarakat Kabupaten Bandung Barat adalah masyarakat yang agamis, dan sebagian
besar penduduknya beragama Islam. Secara umum, kehidupan antarumat beragama berjalan
harmonis yang ditandai dengan tidak terjadinya konflik antarumat beragama. Untuk
mendukung ibadat, telah dibangun tempat-tempat peribadatan dan sebagian besar dibangun
secara swadaya masyarakat.Jumlah tempat ibadah umat Islam yaitu masjid jumlahnya tidak
kurang dari 2.137 buah. Tabel 2.10 dapat dilihat kondisi tempat ibadah yang ada di Kabupaten
Bandung Barat.

Bab II 21
Tabel 2.10
Jumlah Sarana Peribadatan di Kabupaten Bandung Barat

No Kecamatan Pondok Pesantren Mesjid Gereja


1 Cililin 6 247 0
2 Sindangkerta 46 147 0
3 Gununghalu 1 214 0
4 Rongga 4 124 0
5 Cipongkor 3 179 0
6 Batujajar 3 140 3
7 Lembang 6 148 5
8 Parongpong 3 149 3
9 Cisarua 7 106 1
10 Ngamprah 2 115 0
11 Padalarang 6 179 3
12 Cipatat 15 152 0
13 Cipeundeuy 7 122 0
14 Cikalong Wetan 4 115 0
15 Cihampelas 44 152 0
Kabupaten Bandung Barat 113 2137 15
Sumber; BPS Kabupaten Bandung 2006

2.1.1.6 Organisasi Kemasyarakatan dan Sarana Olah Raga


Organisasi kemasyarakatan yang ada di Kabupaten Bandung Barat meliputi organisasi
masyarakat (ormas), partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi
Pemuda Masjid. Organisasi kemasyarakat ini merupakan sarana bagi masyarakat untuk
menyalurkan berbagai aktivitas sosial mereka. Melalui organisasi inilah akan tumbuh
berbagai kegiatan yang diharapkan menjadi sarana partisipasi politik dan sarana pembentukan
kepemimpinan masyarakat. Di Kabupaten Bandung Barat jumlah organisasi masyarakat, baik
berupa organisasi politik, organisasi masyarakat maupun organisasi masjid, cukup merata di
Kabupaten Bandung Barat. Kondisi tersebut merupakan modal yang cukup berharga bagi
pengembangan wilayah. Tabel 2.10 berikut dapat diketahui jumlah Organisasi
Kemasyarakatan tahun 2004 yang dapat menjadi gambaran umum dan menjadi estimasi di
masa yang akan datang.
Sarana olahraga yang berfungsi sebagai media dalam membina prestasi serta
menciptakan masyarakat yang sehat di Kabupaten Bandung Barat sudah tersedia secara
cukup. Berbagai sarana olah raga yang ada di Kabupaten Bandung Barat antarta lain lapangan
sepakbola, bola voli, basket, tenis, kolam renang dan lain-lain. Sarana olahraga tersebut juga
merupakan salah satu dari pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten
Bandung Barat untuk digunakan oleh masyarakat. Berikut ini adalah data mengenai
ketersediaan sarana olahraga di Kabupaten Bandung Barat.

Bab II 22
Tabel 2.11
Jumlah Organisasi Kemasyarakatan

Jenis dan Jumlah Anggota


No Kecamatan Organisasi Kemasyarakatan
Ormas Parpol LSM Remaja Masjid
1 Padalarang 36 78 7 100
2 Cililin 57 91 28 164
3 Gununghalu 35 54 1 71
4 Rongga 34 57 0 130
5 Sindangkerta 15 45 23 2120
6 Cipongkor 33 89 7 176
7 Batujajar 95 45 1 165
8 Cihampelas 11 15 0 10
9 Cipatat 68 87 14 366
10 Cikalong Wetan 78 80 37 140
11 Cipeundeuy 44 86 5 93
12 Cisarua 30 39 3 131
13 Parongpong 22 40 3 54
14 Ngamprah 21 90 12 72
15 Lembang 68 87 14 182
Jumlah 636 968 158 3964
Sumber: BPS, 2007

Tabel 2.12
Jumlah Sarana Olah Raga di Kabupaten Bandung Barat

NO KECAMATAN SB BV BT TM BSKT TL
1 Padalarang 15 83 28 36 2 4
2 Cililin 25 117 96 92 10 3
3 Gununghalu 17 40 11 46 0 1
4 Rongga 28 64 4 51 0 0
5 Sindangkerta 7 51 28 22 1 0
6 Cipongkor 17 93 27 52 0 0
7 Batujajar 32 72 50 24 1 1
8 Cihampelas 4 23 9 25 1 0
9 Cipatat 21 126 46 32 0 19
10 Cikalong Wetan 24 125 63 83 1 3
11 Cipeundeuy 10 78 21 54 2 9
12 Cisarua 29 80 93 27 3 0
13 Parongpong 8 64 44 25 2 4
14 Ngamprah 5 60 56 90 0 2
15 Lembang 21 152 69 90 9 8
Jumlah 259 1205 636 724 31 54
Sumber; BPS Kabupaten Bandung 2007

Keterangan:
SB = Sepak Bola BV = Bola Voli Bskt = Basket
BT = Bulu Tangkis TM = Tenis Meja TL = Tenis Lapangan

Data pada tabel 2.12 menunjukkan bahwa sarana olahraga yang tersedia di
Kabupaten Bandung Barat banyak didominasi oleh sarana olahraga yang terbuka seperti
lapangan sepakbola, bola voli, dan bulu tangkis. Hal tersebut dapat dimengerti karena jenis

Bab II 23
olahraga tersebut disukai oleh banyak orang dan dilakukan secara masal. Sementara itu,
olahraga yang memerlukan sarana yang mahal seperti Tenis Lapangan dan Bola Basket
jumlahnya relatif terbatas.

2.1.1.7 Indek Pembangunan Manusia (IPM)


Salah satu indikator dari hasil kinerja pembangunan dapat dilihat dari perolehan
angka Indek Pembangunan manusia (IPM). Capaian IPM Kabupaten Bandung Barat yang
terdiri atas tiga komponen yaitu komponen pendidikan, kesehatan, dan komponen daya beli
dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Angka IPM ini sekaligus dapat digunakan
sebagai dasar pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pembangunan di daerah,
karena dari tiga komponen IPM tersebut dapat dilihat komponen apa saja yang harus
ditingkatkan. Capaian IPM Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2004 sampai dengan tahun
2008 dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.

Gambar 2.3
Capaian IPM di Kabupaten Bandung Barat (2004-2008)

72
71 71,09
70 70,11 70,01
69
68
67 66,86
66 66,06
65
64
63
2004 2005 2006 2007 2008

Sumber: Data diolah, 2008

Pada periode tahun 2003 sampai dengan 2006 Kabupaten Bandung Barat masih
termasuk dalam wilayah Kabupaten Bandung dan baru pada tahun 2007-2008 Kabupaten
Bandung Barat terpisah dari Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, capaian IPM selama
rentang waktu 2003 sampai dengan 2008 sebesar 5,89% merupakan bagian dari capaian
Kabupaten Bandung. Namun, data tersebut menunjukkan bahwa kecamatan-kecamatan di
wilayah Kabupaten Bandung Barat memiliki potensi yang cukup besar untuk menjadi

Bab II 24
sejahtera dan maju. Capaian IPM per kecamatan selama rentang waktu 2004 sampai dengan
2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.13
Capaian IPM per Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2003-2008
IPM
No. Kecamatan
2004 2005 2006 2007 2008
1 Cililin 67,20 68,97 69,65 70,45 71,33
2 Cihampelas 67,29 68,64 69,43 70,27 71,13
3 Sindangkerta 65,24 66,55 67,00 67,55 68,61
4 Gununghalu 64,16 65,57 66,30 67,15 68,35
5 Rongga 60,80 61,30 62,16 63,36 64,34
6 Cipongkor 61,39 62,12 62,54 64,43 65,68
7 Batujajar 65,71 67,23 68,01 68,87 70,76
8 Lembang 69,11 70,85 71,37 72,67 73,86
9 Parongpong 68,25 69,15 70,01 71,22 72,33
10 Cisarua 65,17 65,76 66,60 67,20 68,61
11 Ngamprah 65,88 67,42 68,10 69,72 71,12
12 Padalarang 67,52 68,32 68,91 70,83 72,01
13 Cipatat 65,65 66,88 67,74 68,51 69,81
14 Cipeundeuy 66,08 66,63 66,81 67,61 68,89
15 Cikalong Wetan 66,88 67,50 68,05 68,73 69,59
Sumber: BPS, 2003-2007

Tabel 2.13 menunjukkan capaian IPM Kecamatan di wilayah Bandung Barat


cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data capaian IPM perkecamatan tersebut
menunjukkan masih ada kecamatan yang capaian IPM-nya masih agak tertinggal dari
kecamatan-kecamatan lainnya. Kecamatan yang termasuk tertinggi capaian IPM-nya adalah
Lembang, Parongpong, Cililin dan Cihampelas sedangkan kecamatan yang termasuk rendah
capaian IPM-nya rendah di Kabupaten Bandung Barat adalah Rongga, Cipongkor,
Gununghalu, Cisarua dan Sindangkerta. Secara rinci, capaian IPM di Kabupaten Bandung
Barat dilihat dari aspek kesehatan, pendidikan, dan aspek daya beli dapat dilihat pada tabel.
2.14.

Bab II 25
Tabel 2.14
Capaian Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007
No. Kecamatan IPM
Kom. Kesehatan Kom. Pendidikan Kom. Daya Beli IPM Rangking IPM
AHH Indeks AMH RLS Indeks PPP Indeks
1 Cililin 67,04 70,07 99,60 9,04 86,50 548,51 57,43 71,33 4
2 Cihampelas 66,67 69,45 99,89 9,01 86,62 548,00 57,31 71,13 5
3 Sindangkerta 65,25 67,08 98,95 7,81 83,33 539,81 55,42 68,61 11
4 Gununghalu 63,70 64,50 97,12 7,44 81,28 556,44 59,26 68,35 13
5 Rongga 61,30 60,50 94,50 6,12 76,61 542,00 55,93 64,34 15
6 Cipongkor 59,27 57,12 99,54 6,49 80,78 555,90 59,14 65,68 14
7 Batujajar 65,85 68,08 98,52 9,09 85,87 552,38 58,32 70,76 7
8 Lembang 68,15 71,92 99,88 8,80 86,15 574,81 63,51 73,86 1
9 Parongpong 69,60 74,33 98,56 8,44 84,45 551,86 58,20 72,33 2
10 Cisarua 65,50 67,50 96,01 8,23 82,29 542,45 56,03 68,61 12
11 Ngamprah 63,75 64,58 99,23 9,9 87,91 563,42 60,87 71,12 6
12 Padalarang 65,10 66,83 99,95 8,67 85,89 573,95 63,31 72,01 3
13 Cipatat 65,10 66,83 97,30 7,57 81,69 563,59 60,92 69,81 8
14 Cipeundeuy 65,43 67,38 98,09 7,87 82,69 544,01 56,39 68,89 10
15 Cikalong Wetan 66,57 69,28 97,49 7,03 80,61 554,83 58,89 69,59 9
Kab. Bandung Barat 67,00 70,00 98,29 8,26 83,89 557,01 59,39 71,09
Sumber: BPS, 2003-2007

Ditinjau dari masing-masing indikator agregat bidang pendidikan, kesehatan, dan


daya beli, kondisi capaian IPM di Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2003 sampai dengan
tahun 2007 adalah sebagai berikut:

Bab II 26
Tabel 2.15
Perkembangan Capaian Indikator Agregat IPM per Kecamatan (2003-2007)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
No. Kecamatan Angka Harapan Hidup (AHH) Angka Merek Huruf (AMH) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Purchasing Power Parity (PPP)
2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008 2004 2005 2006 2007 2008
1 Cililin 66,67 68,08 69,07 69,67 67,04 99,5 99,59 99,59 99,60 99,60 7,93 8,87 8,96 9,02 9,04 52,14 52,82 53,59 55,25 57,43
2 Cihampelas 66,51 67,10 68,25 68,82 66,67 99,7 99,89 99,89 99,89 99,89 8,03 8,84 8,93 8,99 9,01 52,13 52,79 53,59 55,41 57,31
3 Sindangkerta 65,17 65,82 65,60 66,17 65,25 98,8 98,92 98,92 98,94 98,95 7,17 7,46 7,65 7,76 7,81 50,78 51,34 52,43 53,29 55,42
4 Gununghalu 60,92 61,45 62,62 63,13 63,70 96,8 96,85 97,05 97,08 97,12 6,88 6,72 7,21 7,38 7,44 54,10 55,02 55,56 57,18 59,26
5 Rongga 58,76 59,08 59,53 60,00 61,30 91,7 92,21 94,31 94,37 94,50 5,66 5,76 5,76 5,96 6,12 50,29 50,83 51,28 53,92 55,93
6 Cipongkor 52,67 53,27 53,72 55,12 59,27 99,3 99,52 99,52 99,54 99,54 5,90 6,18 6,28 6,35 6,49 52,28 52,98 53,59 57,69 59,14
7 Batujajar 64,26 64,82 64,87 65,50 65,85 97,0 97,65 98,47 98,50 98,52 8,99 8,66 8,97 9,05 9,09 51,59 52,22 53,59 55,33 58,32
8 Lembang 68,09 69,04 69,73 70,37 68,15 99,6 99,87 99,87 99,88 99,88 8,77 8,64 8,59 8,76 8,80 56,99 58,15 58,68 61,57 63,51
9 Parongpong 70,59 71,33 72,28 72,85 69,60 98,0 98,44 98,52 98,54 98,56 8,19 8,40 8,32 8,38 8,44 51,57 52,18 53,59 56,48 58,20
10 Cisarua 64,51 64,89 65,33 65,88 65,50 93,3 94,01 95,91 95,94 96,01 7,32 7,44 8,14 8,16 8,23 51,09 51,66 52,43 53,62 56,03
11 Ngamprah 60,76 61,08 62,05 62,73 63,75 99,0 99,20 99,22 99,23 99,23 9,33 9,36 9,60 9,76 9,9 53,12 53,93 54,75 58,59 60,87
12 Padalarang 62,34 63,08 64,02 65,53 65,10 99,8 99,95 99,95 99,95 99,95 8,43 8,51 8,50 8,60 8,67 55,59 56,67 57,18 61,20 63,31
13 Cipatat 63,26 64,06 64,72 65,28 65,10 95,8 96,13 97,25 97,27 97,30 7,38 7,47 7,47 7,50 7,57 55,23 56,25 57,06 58,72 60,92
14 Cipeundeuy 65,09 65,62 65,37 65,73 65,43 97,3 97,89 98,06 98,07 98,09 7,08 7,11 7,72 7,84 7,87 51,36 51,95 52,55 54,28 56,39
15 Cikalong Wetan 67,92 68,24 68,00 68,50 66,57 96,4 96,53 97,43 97,45 97,49 6,33 6,56 6,88 6,92 7,03 53,99 54,89 55,91 57,36 58,89
Sumber: BPS, 2003-2007

Bab II 27
2.1.2 Ekonomi
Struktur ekonomi dari Kabupaten Bandung Barat masih sama dengan struktur kabupaten
induknya yaitu Kabupaten Bandung. Tingkat penghidupan mayoritas penduduk adalah berasal
dari sektor pertanian dan industri pengolahan. Tabel-tabel berikut menunjukkan dinamika
perkembangan ekonomi Kabupaten Bandung Barat selama periode 2004 s.d. 2008 di Tabel 2.16
dan 2.17 dapat menggambarkan kondisi kemampuan potensi wilayah Kabupaten Bandung Barat
dalam 9 (sembilan) sektor perekonomian.

Tabel 2.16
PDRB atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2008
(dalam Juta Rupiah)
No Sektor 2004 2005 2006 2007 2008
1 Pertanian 871.454,18 1.040.290,87 1.176.470,08 1.299.815,28 1.491.236,74
2 Pertambangan dan Penggalian 38.458,65 45.148,08 50.372,04 55.816,82 58.121,25
3 Industri Pengolahan 3.720.997,18 4.435.844,35 5.110.400,64 5.761.640,36 6.577.889,60
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 550.702,55 657.321,76 750.971,05 842.017,50 919.640,86
5 Bangunan 180.505,56 215.651,63 148.035,52 279.999,26 323.265,85
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.453.838,05 1.723.952,17 1.956.591,51 2.267.290,04 2.634.504,96
7 Pengangkutan dan Komunikasi 474.597,50 549.712,45 706.213,57 809.614,85 939.445,25
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 215.420,87 253.994,06 285.361,53 324.895,06 369.958,65
9 Jasa-jasa 401.041,84 481.075,34 555.600,37 642.692,59 720.563,96
Produk Domestik Regional Bruto 7.907.016,38 9.402.990,71 10.740.016,31 12.283.781,76 14.034.627,13
Sumber: BPS, 2004-2007

Tabel 2.17
PDRB atas dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2008
(dalam Juta Rupiah)
No Sektor 2004 2005 2006 2007 2008
1 Pertanian 668.467,41 704.610,56 708.207,37 722.700,91 746.596,61
2 Pertambangan dan Penggalian 30.111,57 31.759,16 33.797,27 35.665,74 37.626,79
3 Industri Pengolahan 2.709.653,55 2.848.886,35 3.004.815,85 3.160.393,70 3.313.355,90
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 413.971,35 435.805,61 457.785,64 481.574,28 505.209,46
5 Bangunan 139.487,75 144.771,83 153.501,58 160.681,26 167.300,28
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.074.262,60 1.125.609,76 1.197.600,96 1.281.607,69 1.367.910,40
7 Pengangkutan dan Komunikasi 330.727,79 341.390,88 363.080,60 385.678,62 405.694,95
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 164.231,72 172.532,49 181.161,87 193.490,27 203.295,97
9 Jasa-jasa 282.245,70 294.647,56 313.470,54 335.214,43 354.244,06
Produk Domestik Regional Bruto 5.813.159,44 6.100.014,20 6.413.421,68 6.757.006,90 7.101.234,43
Sumber: BPS, 2004-2007

Bab II 28
Dengan jelas dua tabel di atas memperlihatkan dominasi sektor pertanian dan industri
pengolahan dalam perekonomian Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2004 s.d. 2008. Sektor
industri pengolahan selama 5 (lima) tahun tersebut rata-rata menjadi penyumbang perekonomian
terbesar yaitu 47% terhadap PDRB total, disusul oleh sektor pertanian dengan kontribusi sebesar
rata-rata 11% serta sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar rata-rata
18% per tahunnya.

Tabel 2.18
Kontribusi Sektoral PDRB menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2007
No Sektor 2004 2005 2006 2007 2008
1 Pertanian 11% 12% 11% 11% 11%
2 Pertambangan dan Penggalian 1% 1% 1% 1% 1%
3 Industri Pengolahan 47% 47% 47% 47% 47%
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 7% 7% 7% 7% 7%
5 Bangunan 2% 2% 2% 2% 2%
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 18% 18% 19% 19% 19%
7 Pengangkutan dan Komunikasi 6% 6% 6% 6% 6%
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3% 3% 3% 3% 3%
9 Jasa-jasa 5% 5% 5% 5% 5%
Produk Domestik Regional Bruto 100% 100% 100% 100% 100%
Sumber: BPS, 2004-2007

Namun dominasi kontribusi sektor pertanian di Kabupaten Bandung Barat dari tahun ke
tahun makin menurun ditinjau dari sudut laju pertumbuhan sektoral (6,63% pada tahun 2004
menjadi hanya 2,05% pada tahun 2007) berdasarkan PDRB dengan dasar harga konstan 2000.
Sementara itu, sektor industri pengolahan (dari 4,84% pada tahun 2004 menjadi 5,18% pada
tahun 2007) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran dari 5,33% (tahun 2004) menjadi 7,01%
(tahun 2007) justru menunjukkan kecenderungan stabil bahkan laju pertumbuhan sektoralnya
meningkat.

Tabel 2.19
Laju Pertumbuhan Ekonomi atas dasar Harga Konstan menurut Lapangan Usaha
Tahun 2004-2007 (dalam persen)
No Sektor 2004 2005 2006 2007 2008
1 Pertanian 6.63 5.41 0.51 2.05 3,31
2 Pertambangan dan Penggalian 9.92 5.47 6.42 5.53 5,50
3 Industri Pengolahan 4.84 5.14 5.47 5.18 4,84
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5.47 5.27 5.04 5.2 4,91
5 Bangunan 7.68 3.79 6.03 4.68 4,12

Bab II 29
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5.33 4.78 6.4 7.01 6,73
7 Pengangkutan dan Komunikasi 6.02 3.22 6.35 6.22 5,19
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 11.16 5.05 5 6.81 5,07
9 Jasa-jasa 7.13 6.1 4.68 5.28 5,68
Laju Pertumbuhan Ekonomi 5.48 4.93 5.14 5.36 5,09
Sumber: BPS, 2004-2007

2.1.2.1 Struktur Ekonomi Sektoral KBB


Struktur perekonomian di sebuah wilayah ditandai dengan adanya perubahan kontribusi
dan laju pertumbuhan sektoral, baik kinerja ataupun potensinya dari sektor-sektor primer seperti
pertanian dan pertambangan/penggalian; sektor-sektor sekunder seperti perdagangan, hotel dan
restoran; serta sektor-sektor sekunder seperti jasa perusahaan atau jasa keuangan.

2.1.2.1.1 Pertanian
Kabupaten Bandung Barat memiliki daerah geografis yang berbukit dan terdiri dari
daerah pertanian. Beberapa kecamatan memiliki sumberdaya alam berbasis pertambangan dan
penggalian seperti marmer dan kapur. Jenis sumberdaya alam lainnya juga tersedia hanya
tingkat kandungannya relatif kecil seperti bijih besi. Perkebunan dan kehutanan di wilayah
Kapubaten Bandung Barat juga cukup banyak tersebar dibeberapa kecamatan seperti Cikalong
Wetan, Cipeundeuy, Lembang, Gunung Halu dan Rongga Kepemilikan perkebunan tersebut
dimiliki oleh pemerintah dan juga oleh perorangan.
Tanaman pangan meliputi tanaman bahan makanan, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Tanaman bahan makanan terdiri dari jenis padi-padian, jagung, umbi-umbian, dan kacang-
kacangan. Pada tahun 2006, luas panen padi mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun
2005. Demikian pula dengan hasil produksinya. Padi sawah luas panen dan produksinya
mengalami penurunan masing-masing 6,5% dan 0,06%. Sementara itu, padi ladang luas panen
dan produksinya mengalami penurunan masing-masing sebesar 11,12% dan 0,08%. Pada tahun
2006, rata-rata terjadi juga penurunan pada tanaman sayur-sayuran, terutama pada bawang
merah, kubis, tomat, kentang, dan kacang panjang.
Dari sisi potensi peternakan, jenis ternak yang diusahakan di wilayah Kabupaten
Bandung Barat adalah ternak besar dan kecil, produksi daging, susu, dan telur. Tahun 2006,
jumlah ternak sapi perah sebanyak 53.203 ekor, sapi potong 8.586 ekor, kerbau 5.680 ekor, kuda
7.423 ekor, domba 842.858 ekor, dan kambing 60.145 ekor. Sementara itu, untuk ternak kecil
atau unggas adalah ayam buras 4.177.909 ekor, ayam petelur 569.829 ekor, ayam pedaging

Bab II 30
4.574.250 ekor, dan itik 576.967 ekor. Produksi daging, susu, dan telur pada tahun 2006 adalah
berturut-turut sebagai berikut: 42.389.822 kg, 112.626.373 kg, dan 11.670.964 kg. Prospek
perikanan memperlihatkan angka yang cukup menjanjikan. Pada tahun 2006, luas kolam air
tenang adalah 1.314 ha dengan total produksi sebesar 4.341 ton, sedangkan luas mina padi 6.728
ha dengan produksi 3.037 ton, dan luas kolam air deras seluas 7.030 ha dengan produksi 237 ton.

2.1.2.1.2 Industri Pengolahan


Hanya beberapa kecamatan yang menjadi lokasi berdomisilinya beberapa usaha industri.
Kawasan industri dan sentra industri hanya terpusat di Kecamatan Padalarang, demikian juga
LIK/PIK. Secara umum, industri berskala besar dan menengah berlokasi di kecamatan
Padalarang, sementara industri kecil menyebar hampir di seluruh kecamatan di Wilayah
Kabupaten Bandung Barat. Indsutri kecil yang tercatat paling banyak terdapat di Kabupaten
Bandung Barat adalah industri anyaman dan makanan. Tabel berikut menampilkan penyebaran
dan pemusatan industri di kabupaten Bandung Barat.

Tabel 2.20
Lokasi Industri di Kabupaten Bandung Barat berdasarkan Skala dan Jenis Produk
yang Dihasilkan, 2006

Sumber: Potensi Desa, BPS Pusat, 2006

2.1.2.1.3 Perdagangan, Jasa Umum dan Keuangan


Sebuah wilayah dapat dilihat dan ditentukan struktur ekonominya berdasarkan kegiatan
sektor tersier yang beroperasi di wilayah tersebut. Karenanya untuk 20 tahun ke depan potensi

Bab II 31
Kabupaten Bandung Barat dalam sektor tersier ini dapat digambarkan dengan perkembangan
awal dari jumlah unit kegiatan-kegiatan ekonomi yang dikategorikan sebagai sektor tersier ini
seperti perdagangan, jasa dan jasa keuangan. Toko kelontong berdasarkan data BPS merupakan
unit terbanyak di Kabupaten Bandung Barat di mana konsentrasi terbanyak berada di daerah
Kecamatan Lembang. Demikian juga dengan jasa-jasa wisata terkait seperti hotel dan restoran,
kecamatan Lembang merupakan pusat kegiatan perekonomian di sektor tersier ini.
Untuk sektor jasa keuangan, unit terbanyak di KBB sampai dengan tahun 2006 adalah
koperasi sebanyak 157 buah, sementara bank umum dan BPR merata terdapat di hampir seluruh
kecamatan kecuali Kecamatan Cihampelas, Sindangkerta, Rongga dan Batujajar.

Tabel 2.21
Lokasi Perdagangan dan Jasa berdasarkan Jenis Kegiatan
di Kabupaten Bandung Barat tahun 2006

Sumber: Potensi Desa, BPS Pusat, 2006

Bab II 32
Tabel 2.22
Lokasi Jasa Keuangan berdasarkan Bentuk Usaha

di Kabupaten Bandung Barat tahun 2006


Sumber: Potensi Desa, BPS Pusat, 2006

2.1.2.2 Laju Inflasi


Berdasarkan stabilitas harga, angka laju inflasi yang dicatat dari tahun 2004 s.d. 7.47%).
Namun, data menunjukkan pula bahwa 3 sektor perekonomian yaitu sektor pertanian, industri
pengolahan, dan keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan justru secara parsial menunjukkan
adanya peningkatan laju inflasi. Hal ini dapat dikategorikan sebagai 2 hal yang berbeda ditinjau
dari pengaruhnya. Peningkatan laju inflasi untuk 3 sektor ini dapat dikatakan positif sebagai
indikator adanya peningkatan produktivitas atau tumbuhnya kegiatan riil perekonomian di tiga
sektor tersebut. Namun, dapat juga kenaikan laju inflasi ini dikateogrikan berpengaruh negatif
bila diduga bahwa naiknya harga di ketiga sektor ini dikarenakan adanya petumbuhan konsumsi
masyarakat yang tidak dibarengi dengan kemampuan wilayah dalam penyediaannya maupun
distribusinya.

Tabel 2.23
Laju Inflasi Kabupaten Bandung Barat menurut Lapangan Usahan
Tahun 2004-2007 (dalam persen)
No Sektor 2004 2005 2006 2007
1 Pertanian 5.65 13.25 12.52 8.07
2 Pertambangan dan Penggalian 10.15 11.3 4.84 5
3 Industri Pengolahan 4.72 13.38 9.23 7.19
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 7.26 13.38 8.76 6.59
5 Bangunan 9.54 15.11 8.48 7.84
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 8.34 13.13 7.2 7.79
7 Pengangkutan dan Komunikasi 11.86 12.21 20.8 7.92
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 4.89 12.23 7 6.6
9 Jasa-jasa 9.04 14.91 8.56 8.17

Bab II 33
Laju Inflasi 13.32 9.75 9.75 7.47
Sumber: BPS, 2004-2007

2.1.2.3 Daya Beli


Tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Bandung Barat bisa dicerminkan dengan
tingkat Purchasing Power Parity (PPP) yang menunjukkan tingkat kekuatan daya beli dari
pendapatan yang diterimanya relatif terhadap daerah lain. Peningkatan PPP bisa dijadikan acuan
sebagai peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat karena bisa menunjukkan kondisi daya
beli atau kemampuan konsumsi dari masyarakatnya.
Indek Daya Beli ini diukur dengan memperhitungkan konsumsi riil perkapita yang
menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat dalam melakukan konsumsi pada suatu
perekonomian. Tingkat konsumsi ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat
dengan memperhitungkan tingkat daya beli (Purchasing Power Parity = PPP/unit).

Tabel 2.24
Purchasing Power Parity Kabupaten Bandung Barat
No Kecamatan 2006 2007 2008
1 Cililin 531,90 539,07 548,51
2 Cihampelas 531,90 539,78 548,00
3 Sindangkerta 526,89 530,61 539,81
4 Gununghalu 540,41 547,45 556,44
5 Rongga 521,89 533,30 542,00
6 Cipongkor 531,90 549,65 555,90
7 Batujajar 531,91 539,43 552,38
8 Lembang 553,94 566,43 574,81

Bab II 34
9 Parongpong 531,91 544,40 551,86
10 Ciarua 526,89 532,01 542,45
11 Ngamprah 536,92 553,53 563,42
12 Padalarang 547,43 564,85 573,95
13 Cipatat 546,92 554,09 563,59
14 Cipeundeuy 527,40 534,90 544,01
15 Cikalongwetan 541,92 548,19 554,83
Sumber: Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung 2007

Angka daya beli Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2007 masih ada di sekitar Rp
545.000 per bulan. Angka ini masih jauh dari angka ideal Rp 732.700 dari UNDP. Oleh karena
itu, tingkat kesejahteraan di Kabupaten Bandung Barat masih belum termasuk kategori sejahtera
bila berdasarkan standar UNDP. Gambar berikut memperlihatkan perkembangan daya beli di
Kabupaten Bandung Barat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2007. Semenjak tahun 2006
angka daya beli ada pada kisaran 535 ribu rupiah. Walaupun ada kenaikan sepanjang kurun
waktu tersebut, daya beli di Kabupaten Bandung Barat masih terasa sulit untuk mencapai tingkat
daya beli minimum yang diberikan oleh UNDP. Hal tersebut tercermin dari tren sepanjang tahun
2006 sampai dengan tahun 2007
Faktor eksternal dari kebijakan pemerintah menjadi sangat kuat pengaruhnya terhadap
daya beli di Kabupaten Bandung Barat. Peran daerah industri di beberapa kecamatan masih
belum mampu mendorong perkonomian masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, kebijakan
pemerintah untuk menaikkan daya beli akan diperlihatkan dari peran pemerintah dalam
mendukung dunia usaha yang kondusif, artinya masyarakat mempunyai akses yang sama akan
semua infrastruktur dan suprastruktur ekonomi.
Gambar 2.4
Angka Daya Beli Kabupaten Bandung Barat (ribuan rupiah)

Bab II 35
Sumber: Data diolah, 2008

Gambar 2.4 menggambarkan perkembangan ekonomi yang ada di Kabupaten Bandung


Barat. Kecamatan Cipongkor dan Kecamatan Padalarang merupakan kecamatan yang mengalami
peningkatan daya beli tertinggi di antara semua kecamatan di Kabupaten Bandung Barat.
Peningkatan yang tinggi tersebut tidak lepas dari aktivitas yang lebih tinggi ekonomi di kedua
kecamatan daripada kecamatan lainnya.

2.1.2.4 Penerimaan Fiskal Daerah


Kecamatan yang memiliki jumlah PDRB Kecamatan dengan prospek kapasitas fiskal
yang terbesar yaitu Kecamatan Cililin, Lembang, Padalarang, Ngamprah, dan Cikalong Wetan.
Bila dilihat dari total luas wilayah dan jumlah penduduk, wilayah Barat memiliki 43 % luas
wilayah dari Kabupaten Bandung Barat sedangkan jumlah penduduk sebesar 36% ekuivalensi
dengan jumlah Produk Domestik Regional Bruto yang mendekati 36%. Dilihat dari Pajak Daerah
wilayah yang memiliki kontribusi yang besar terhadap Kabupaten Bandung Barat yaitu
Kecamatan Cililin, Lembang, dan Padalarang, sedangkan untuk potensi retribusi adalah
Kecamatan Cililin, Lembang, dan Padalarang.
Hal ini agak sedikit janggal jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh
Kecamatan Padalarang dan Batujajar berdasarkan hasil penelitian Potensi Wilayah Kabupaten
Bandung. Pada wilayah tersebut sangat besar untuk industri klasifikasi besar seperti tekstil,
kertas, dan industri menengah lainnya yang cukup berpotensi dalam menyerap tenaga kerja di
wilayah Bandung Barat khususnya dan Kabupaten Bandung umumnya. Bila melihat pada hal
tersebut tampaknya aktivitas perekonomian yang ada di wilayah Bandung Barat tidak
memberikan spillover effect terhadap wilayah sekitarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan pemerintah dalam menyerap usaha fiskal di wilayah Bandung Barat sebesar 76%
sedangkan sisanya sebesar 24% masih belum tergali. Bila dibandingkan dengan usaha fiskal
Kabupaten Bandung wilayah Bandung Barat sebesar 96% memiliki usaha fiskal sebesar 96%
dari kemampuan usaha fiskal Kabupaten Bandung.

2.1.3 Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup


2.1.3.1 Kewilayahan Kabupaten Bandung Barat

Bab II 36
Kabupaten Bandung Barat merupakan wilayah pemerintahan yang berada di bagian barat
Cekungan Bandung, dengan luas sekitar 130.567 hektar (Gambar 2.5). Wilayah seluas itu terbagi
ke dalam 15 Kecamatan dan terbagi lagi dalam 165 Desa, yaitu: Ngamprah (11 Desa, luas 3.608
hektar), Padalarang (10 Desa, luas 5.158 hektar), Batujajar (13 Desa, luas 8.368 hektar),
Cihampelas (10 Desa, 4.660 hektar), Cililin (11 Desa, luas 8.150 hektar), Sindangkerta (11 Desa,
luas 12.034 hektar), Gununghalu (9 Desa, luas 16.079 hektar), Rongga (8 Desa, luas 11.312
hektar), Cipongkor (14 Desa, luas 7.615 hektar, Cipatat (12 Desa, luas 12.549 hektar),
Cipeundeuy (12 Desa, 10.125 hektar), Cikalong Wetan (13 Desa, luas 11.208), Cisarua (8 Desa,
luas 5.536 hektar), Parongpong (7 Desa, luas 4.339 hektar), Lembang (16 Desa, luas 9.826
hektar).

Gambar 2.5

Bab II 37
Wilayah Administratif Kabupaten Bandung Barat

Sumber: Bappeda Jabar, 2008/Puslit KP2W Lemlit Unpad

2.1.3.2 Bentukan Alam Kabupaten Bandung Barat


Kabupaten Bandung Barat, dengan luas sekitar 130. 567 hektar, merupakan bagian barat
dari bentukan alam Cekungan Bandung yang memiliki luas sekitar 343.087 hektar (Gambar 2.6).
Di sebelah utara dibatasi oleh bentang alam bergelombang sampai curam dengan puncak
tertinggi Gunung Burangrang (+2064 m) dan Gunung Tangkuban Parahu (+2076 m). Di sebelah
timur dibatasi oleh dataran rendah Sungai Citarum dan deretan gunung-gunung kecil yang
merupakan pematang gunung, antara lain Gunung Mariuk (+865 m), Gunung Malang (+794 m),
Gunung Lagadar (+897 m). Di sebelah timur dibatasi oleh bentang alam bergelombang sampai
curam dengan puncak tertinggi antara lain Gunung Masigit (+2078), Gunung Rametuk (+1523
m), dan Gunung Kendeng (+1901 m). Di sebelah barat dibatasi oleh bentang alam
bergelombang dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung Palasari (+992 m), Pasir
Pateungteung (+1008 m), Pasir Sanggar (+1106 m), Pasir Gambir (+1083 m), Pasir Pogor (+935
m). Di sebelah utara yang merupakan bagian dari kaki Gunung Tangkuban Parahu terdapat

Bab II 38
bentukan alam berupa gawir memanjang dengan arah barat-timur. Bentukan alam khas ini terjadi
karena adanya sesar Lembang yang panjangnya kurang lebih 22 Km.

Gambar 2.6
Kawasan Kabupaten Bandung Barat di Cekungan Bandung

Sungai-sungai yang terdapat di Kabupaten Bandung Barat masuk ke dalam Sub Daerah
Aliran Sungai (DAS) Cihaur dan sub DAS Cikapundung dengan sungai-sungainya yang
mengalir ke selatan, dan masuk ke Sub DAS Ciminyak yang sungai-sungainya mengalir ke utara.
Semua sungai-sungai tersebut bermuara di Sungai Citarum dan Waduk Saguling.

2.1.3.3 Kawasan Lindung Ideal Kabupaten Bandung Barat


Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang
dimaksud dengan kawasan lindung adalah adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, yang dimaksud dengan kawasan lindung adalah sama dengan

Bab II 39
definisi dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2006 sebagai dasar hukumnya, yaitu
kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna
kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Penentuan kawasan lindung yang ideal didasarkan pada overlay peta-peta kemiringan
lereng (Gambar 2.7), curah hujan (Gambar 2.8), dan jenis tanah (Gambar 2.9) yang terdapat di
Kabupaten Bandung Barat.

Gambar 2.7
Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Bandung Barat

Daerah dengan kemiringan <8% (datar) terdapat di bagian timur (hulu) Waduk Saguling.
Daerah dengan kemiringan 8%-15% (agak landai) terdapat di sekitar Waduk Saguling dan
beberapa tempat di barat laut dan timur laut. Daerah dengan kemiringan 15%-25% (agak curam)
terdapat mendominasi di hampir seluruh wilayah, terutama di utara, barat laut, dan selatan.
Daerah dengan kemiringan 25%-45% (curam) terdapat di timur laut, barat, dan selatan. Daerah
dengan kemiringan >45% terdapat di utara, barat laut, selatan, dan timur.
Curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten Bandung Barat berkisar antara 1.500
mm/tahun hingga 4.500 mm/tahun. Curah hujan rata-rata 1.500-2.000 mm/th terdapat di timur

Bab II 40
Waduk Saguling. Curah hujan rata-rata 2.000-2.500 mm/th terdapat di sekitar Waduk Saguling
sebelah utara, barat, dan selatan. Curah hujan rata-rata 2.500-3.000 mm/tahun terdapat agak
meluas di sebelah barat dan sedikit memanjang di sebelah utara. Curah hujan rata-rata 3.000-
3.500 mm/tahun terdapat sebelah utara. Curah hujan rata-rata 3.500-4.000 mm/tahun terdapat
sedikit disebelah utara. Curah hujan rata-rata 4.000-4.500 mm/tahun juga terdapat sedikit di
sebelah utara.
Gambar 2.8
Peta Curah Hujan Kabupaten Bandung Barat

Jenis tanah yang tersebar menutupi wilayah Kabupaten Bandung Barat terdiri dari tanah
alluvial yang tidak peka terhadap erosi, latosol yang bersifat agak peka terhadap erosi, andosol
dan podsol merah kuning yang peka terhadap erosi, dan regosol yang sangat peka terhadap
erosi. Penyebaran tanah jenis alluvial (tidak peka terhadap erosi) terdapat di sekitar waduk
Saguling sebelah utara dan timur. Penyebaran tanah jenis latosol (agak peka terhadap erosi)
terdapat dominan di hampir seluruh wilayah di utara, barat, dan selatan. Penyebaran jenis tanah
andosol (peka terhadap erosi) terdapat di sebelah utara dan sedikit di selatan. Penyebaran jenis
tanah podsol merah kuning (peka terhadap erosi) terdapat di sebelah barat, barat laut Waduk

Bab II 41
Saguling, dan di sebelah Selatan. Penyebaran jenis tanah regosol (sangat peka terhadap erosi)
terdapat sedikit di bagian utara.

Gambar 2.9
Peta Jenis Tanah Kabupaten Bandung Barat

Berdasarkan overlay kemiringan lereng, curah hujan, dan jenis tanah yang terdapat di
Kabupaten Bandung Barat, diperoleh luasan kawasan lindung yang ideal untuk Kabupaten
Bandung Barat sekitar 78.340 hektar atau sekitar 60% dari total wilayah Kabupaten Bandung
Barat seluas 130.567 hektar (Gambar 2.10). Dari sekitar 78.340 hektar kawasan lindung tersebut,
sekitar 19.585 hektar (15% dari total wilayah Kabupaten Bandung Barat) merupakan kawasan
lindung di dalam kawasan hutan, dan sekitar 58.755 hektar (45% dari total wilayah Kabupaten
Bandung Barat) merupakan kawasan lindung di luar kawasan hutan atau di kawasan milik
masyarakat.

Bab II 42
Gambar 2.10
Peta Kawasan Lindung Kabupaten Bandung Barat

Sumber : BAPPEDA 2003 / SOBIRIN 2008

2.1.3.4 Tekanan Penduduk dan Kerusakan Lingkungan


Dalam masyarakat agraris, tekanan penduduk dapat didefinisikan sebagi suatu kekuatan
yang mendorong petani untuk memperluas lahan garapannya, biasanya dengan merambah hutan
dipinggir desa; atau keluar dari desanya ke tempat lain yang memberi harapan, biasanya ke kota
untuk mengadu nasib memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perluasan lahan garapan potensial terjadi karena ketrampilan dan teknologi yang rendah,
yang pada gilirannya dapat menimbulkan masalah lingkungan berupa rusaknya hutan, naiknya
resiko erosi dan banjir dalam musim hujan, dan kekurangan air dalam musim kemarau.

Bab II 43
Tekanan penduduk dapat dinyatakan secara matematis dengan rumus:

zfPo (1+r)t
TPt = --------------
L

dengan penjelasan:
TPt : tekanan penduduk pada tahun t
z : luas lahan yang diperlukan untuk mendukung kehidupan seorang petani pada tingkat
hidup yang layak (ha/orang)
f : prosentase petani dalam populasi
r : laju pertumbuhan penduduk
Po : besarnya penduduk populasi pada tahun dasar
T : interval waktu perhitungan
L : luas lahan petani (ha)

Pada tekanan penduduk TP=1 tidak terdapat dorongan pada petani untuk memperluas
lahan garapannya. Oleh sebab itu, dari sisi lingkungan, harus selalu diupayakan angka TP=1 atau
<1, untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan. Jadi dengan konsep ini, jumlah
penduduk seberapa pun tidak masalah, asalkan nilai TP=1 atau < 1.
Besarnya dorongan perluasan lahan dan besarnya koefisien z bergantung pada beberapa
faktor, antara lain adalah besarnya standar hidup layak/ batas kemiskinan, pemanfaatan lahan,
tingkat kesuburan lahan, teknologi, intensitas penanaman, nilai ekonomi, dan pasar. Pada
komunitas penduduk miskin, koefisien z akan rendah, sebaliknya pada komunitas penduduk
kaya, koefisien z akan tinggi.
Perhitungan tekanan penduduk tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan
pengembangan wilayah pertanian, tetapi juga dapat dilakukan bagi pengembangan kawasan
industri dan perkotaan. Namun, caranya telah dimodifikasi sehingga rumusnya juga berbeda.
Untuk mengetahui tekanan penduduk di suatu kawasan industri dan perkotaan, diperlukan
perhitungan-perhitungan yang harus didukung oleh berbagai jenis data terutama kependudukan,
kemampuan/ketrampilan, kesesuaian pemanfaatan lahan, dan tingkat sosial ekonomi penduduk.
Data kependudukan mencakup jumlah dan pertumbuhannya, komposisi penduduk,
lapangan kerja, dan tendensi perubahan lapangan pekerjaan khususnya jumlah petani dan non
petani. Data kemampuan/ketrampilan dan kesesuaian pemanfaatan lahan digunakan untuk
mengetahui produksi optimum yang dapat dihasilkan untuk jenis pemanfaatan lahan tertentu,

Bab II 44
data tingkat sosial ekonomi untuk menentukan besarnya batas kebutuhan yang harus dipenuhi
agar penduduk yang bersangkutan dapat hidup dengan layak.
Berdasarkan hasil perhitungan, berikut adalah tabel tekanan penduduk beberapa kota di
Jawa Barat yang dikutip dari Jurnal Kependudukan Pajajaran Vol. 2, No,2, Juli 2000 dan dari
BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2004, sebagai berikut:

Tabel 2.25
Tekanan Penduduk Beberapa Kota di Jawa Barat
No Kabupaten/Kota TP 1980 TP 2000
1 Bogor 3,93 9,51
2 Sukabumi 2,73 4,48
3 Cianjur 3,35 5,63
4 Bandung 3,75 7,19
5 Garut 3,56 5,66
6 Tasikmalaya 3,72 5,69
7 Ciamis 3,15 4,01
8 Kuningan 4,39 6,48
9 Cirebon 2,04 3,50
10 Majalengka 3,32 4,94
11 Sumedang 3,44 4,54
12 Indramayu 1,37 2,26
13 Subang 1,94 2,82
14 Purwakarta 3,10 4,90
15 Karawang 1,34 2,12
16 Bekasi 2,00 4,03
17 Kota Bogor 1,89 3,16
18 Kota Bandung 16,35 25,27
19 Kota Cirebon 1,39 2,28
20 Kota Sukabumi - -
Jawa Barat 3,34 5,42
Sumber: Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung 2007

Tabel di atas menunjukkan bahwa Tekanan Penduduk Jawa Barat pada tahun 2000
menunjukkan angka 5,42, artinya berada di atas angka ideal TP=1. Ini berarti bahwa dorongan
penduduk untuk mengeksploitasi lingkungan cukup tinggi, sehingga kerusakan lingkungan
semakin tak terelakkan. Tekanan penduduk tertinggi di Jawa Barat adalah Bandung, yaitu
mencapai 25,27 pada tahun 2000. Tekanan penduduk di Kabupaten Bandung (DAS Citarum

Bab II 45
Hulu) mencapai angka 7,19 pada tahun 2000. Dapat dipastikan pada tahun 2008 angka TP
Kabupaten Bandung (dan Bandung Barat) telah meningkat lagi.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya tekanan penduduk Jawa Barat, antara lain
kehidupan yang semakin konsumtif dan tidak diimbangi dengan ketrampilan/ teknologi yang
memadai sehingga nilai produktivitas tidak seimbang dengan kerusakan lahan yang terjadi.
Beberapa contoh sukes ideal misalnya di negara maju seperti Singapura, Negeri Belanda, dan
negara maju lainnya, dengan nilai produktivitas mereka yang tinggi dan efisiensi pemanfaatan
lahan sedemikian rupa, mereka dapat membangun lingkungan hidup yang amat baik. Prasyarat
utama yaitu karena tingkat kemampuan/ketrampilan, kemajuan teknologi dan kesadaran
lingkungan mereka yang sangat tinggi, sehingga TP mendekati angka 1.

Gambar 2.11
Peta Sebaran Permukiman di Kabupaten Bandung Barat

Bab II 46
2.1.3.5 Konflik Pemanfaatan Lahan
Tekanan penduduk yang besar telah menyebabkan terjadinya intervensi kegiatan manusia
mengalih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Akibatnya kawasan lindung yang
masih sehat yang masih tersisa tidak lebih dari 20% dari total wilayah Kabupaten Bandung Barat
(26.113 ha). Seluruh kawasan lindung di luar kawasan hutan atau kawasan milik masyarakat
dapat dikatakan semuanya tidak lagi berfungsi lindung, karena telah beralih fungsi menjadi
permukiman dan pertanian yang tidak berasas konservasi.

Gambar 2.12
Peta Kawasan Lindung di Kabupaten Bandung Barat
yang berada dalam Kondisi baik berdasarkan Citra Satelit Aster

Fungsi kawasan lindung di Kabupaten Bandung Barat bagian utara umumnya telah
berubah menjadi permukiman dan lahan pertanian yang tidak berwawasan lingkungan/ berasas
konservasi, sedangkan di bagian selatan umumnya telah berubah menjadi lahan pertanian yang
tidak berwawasan lingkungan/ berasas konservasi (Gambar 2.13).

Bab II 47
Gambar 2.13
Peta Konflik Penggunaan Lahan di Kabupaten Bandung Barat

2.1.3.6 Potensi Kebencanaan di Kabupaten Bandung Barat


Berdasarkan sejarah kebencanaan di seluruh Cekungan Bandung pada umumnya dan
Kabupaten Bandung Barat pada khususnya, dapat diidentifikasi potensi kebencanaan yang
kemungkinan besar berisiko bagi kehidupan di Kabupaten Barat. Pemahaman untuk mengurangi
risiko bahaya (hazard risk), mengurangi kerentanan (vulnerability), dan meningkatkan kapasitas
masyarakat (capacity building) harus merupakan program prioritas untuk menjamin keselamatan
dan keberlanjutan Kabupaten Bandung Barat.
Potensi kebencanaan yang dapat diidentifikasi di Kabupaten Bandung Barat dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, yaitu:

2.1.3.6.1 Bencana Geologi


2.1.3.6.1.1 Letusan Gunung Api Tangkuban Perahu
Gunung Api Tangkuban Parahu yang terletak di ujung utara Kabupaten Bandung Barat,
memiliki tipe strato dengan kawah ganda dan diklasifikasikan masih aktif. Sewaktu-waktu
gunung ini berpotensi meletus dan dapat membahayakan kehidupan penduduk. Sejarah letusan
Gunung Tangkuban Perahu tercatat sebagai jenis peningkatan kegiatan antara lain terjadinya
letusan abu, letusan freatik, gempa gunung api, pembentukan fumarol baru, kolom awan abu,

Bab II 48
telah tercatat pada tahun-tahun 1829, 1846, 1896, 1900, 1910, 1926, 1935, 1952, 1957, 1961,
1965, 1967, 1969, 1971, 1983,1992, 1994, 2005.
Bahaya primer yang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu ini seperti awan panas,
lontaran material (pijar)/bom vulkanik, hujan abu lebat, aliran lava, dan gas racun. Gunung
Tangkuban Perahu termasuk ke dalam beberapa gunung di Indonesia yang memiliki karakteristik
letusan gas beracun. Walaupun sementara ini letusan yang terjadi umumnya hanya berupa
letusan freatik atau letusan uap air saja, dan hanya terbatas di sekitar areal kawah, namun tetap
harus diwaspadai. Dalam klasifikasi tingkat ancaman bahaya dimasukkan sebagai potensi agak
rawan.

2.1.3.6.1.2 Gempa Bumi Darat


Wilayah Kabupaten Bandung Barat termasuk wilayah yang dilewati sesar aktif Cimandiri
dan Lembang. Sesar Cimandiri terdapat mulai dari Palabuhan Ratu-Sukabumi-Cianjur hingga
Padalarang. Sejarah gempa bumi di sesar ini tercatat cukup banyak, misalnya Palabuhan Ratu
(1900), Cibadak (1973), Gandasoli (1982), Padalarang (1910), Tanjungsari (1972), Conggeang
(1948), dan Sukabumi (2001). Mengenai kegempaan, potensi gempa merusak telah diprediksi
oleh para ahli geologi dari adanya sesar aktif Lembang yang terletak di Kabupaten Bandung
Barat bagian utara. Sesar Lembang memiliki panjang 22 km yang membentang dari timur ke
barat. Tingginya gawir sesar yang mencerminkan besaran pergeseran sesar yang pernah terjadi
berdimensi sekitar 450 meter di ujung timur (Maribaya dan Gunung Palasari) hingga 40 meter di
sebelah barat atau Cisarua dan menghilang di ujung barat di sekitar utara Padalarang. Bila sesar
ini kembali aktif, maka para ahli memprediksi magnitude gempa yang terjadi bisa mencapai 6,9
skala Richter.
Selama ini memang tidak tercatat sejarah kegempaan oleh adanya sesar Lembang ini.
Namun, menurut para ahli, perlu adanya kewaspadaan yang tinggi, karena sesar ini melewati
permukiman dan kawasan budidaya yang cukup padat penduduk. Dalam klasifikasi tingkat
ancaman bahaya dimasukkan sebagai potensi agak rawan.

Bab II 49
2.1.3.6.1.3 Pergerakan Tanah
Risiko bencana pergerakan tanah dapat berupa: longsoran, rayapan dan longsoran yang
disertai banjir bandang. Tercatat 13 dari 15 kecamatan di Kabupaten Bandung Barat memiliki
potensi gerakan tanah menengah s.d tinggi. Kecamatan yang memiliki potensi gerakan tanah
menengah-tinggi adalah Gununghalu dan Rongga. Kedua kecamatan ini terletak di bagian
selatan Kabupaten Bandung Barat. Berikut data wilayah potensi gerakan tanah di Kabupaten
Bandung Barat per-Desember 2008:
Tabel 2.26
Potensi Gerakan Tanah di Kabupaten Bandung Barat
No Wilayah/Kecamatan Potensi Terjadi Gerakan
Tanah
1 Gununghalu Menengah-Tinggi
2 Cililin Menengah
3 Rongga Menengah-Tinggi
4 Sindangkerta (bagian tengah) Menengah
5 Parongpong Menengah
6 Cikalong Wetan (bagian utara) Menengah
7 Lembang Menengah
8 Ngamprah Menengah
9 Cisarua Menengah
10 Cipeundeuy Menengah
11 Cipatat (bagian barat) Menengah
12 Batujajar (bagian barat) Menengah
13 Batujajar (bagian timur) Menengah

Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2008.


Keterangan:
Menengah : Daerah yang mempunyai potensi Menengah untuk terjadi Gerakan Tanah. Pada Zona ini dapat
terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan
dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.
Tinggi : Daerah yang mempunyai potensi Tinggi untuk terjadi Gerakan Tanah. Pada Zona ini dapat
terjadi Gerakan Tanah jika curah hujan di atas normal, sedangkan gerakan tanah lama dapat aktif
kembali.

Tingkat bahaya erosi di Kabupaten Bandung Barat juga sangat perlu diwaspadai.
Penyebaran jenis tanah yang sangat rentan terhadap erosi, dan alih fungsi kawasan lindung
menjadi kawasan budidaya berpotensi menyebabkan erosi di hulu DAS sangat berlebihan, serta
sedimentasi di hilir, di sungai, dan di waduk juga sangat berlebihan.
Daerah yang perlu diwaspadai terhadap ancaman bahaya erosi ini antara lain di bagian
utara, bagian timur, dan bagian selatan (Gambar 2.14). Pemanfaatan lahan dengan sistem
konservasi yang baik sangat disarankan, misalnya dengan sistem agroforest (wanatani).

Bab II 50
Gambar 2.14
Peta Tingkat Bahaya Erosi di Kabupaten Bandung Barat

2.1.3.6.1.4 Penurunan Lahan


Eksploitasi air tanah secara berlebihan, khususnya untuk industri, dapat menyebabkan
penurunan muka air tanah yang memicu terjadinya amblesan (land subsidence) akibat
terperasnya air pori di dalam sedimen lunak seperti lempung dan lumpur. Wilayah KBB yang
masuk zonasi tingkat kerawanan pengambilan air tanah rawan dan kritis adalah kecamatan
Batujajar, Ngamprah, Padalarang (Distamben, 2000).

2.1.3.6.2 Bencana Hidrometeorologis


2.1.3.6.2.1 Banjir
Potensi banjir di Kabupaten Bandung Barat diperkirakan tidak sebesar potensi banjir
seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung (Majalaya, Baleendah, Dayeuhkolot), namun karena
Kabupaten Bandung Barat juga memiliki daerah-daerah yang datar dan rendah, maka ancaman
banjir ini perlu sekali diwaspadai. Daerah-daerah yang dapat terancam banjir yaitu daerah
dataran di sekitar Waduk Saguling.

Bab II 51
Gambar 2.15
Peta Potensi Rawan Banjir di Kabupaten Bandung Barat

2.1.3.6.2.2 Kekeringan
Semakin berkurangnya hutan yang potensial mempengaruhi iklim mikro sangat
berdampak pada kekeringan. Masalah ketersediaan dan kebutuhan air baku di Kabupaten
Bandung Barat akan menjadi masalah besar di kemudian hari bila tidak diantisipasi mulai
sekarang. Bahkan bila sumberdaya air di Kabupaten Bandung Barat ini tidak dikelola dengan
baik, maka akan menjadi bencana besar. Di musim hujan air berlebih menjadi bencana banjir,
dan di musim kemarau menjadi bencana kekeringan yang sangat kerontang.
Berdasarkan analisis ketersediaan dan kebutuhan air baku, diperoleh beberapa hal sebagai
berikut:
1) Tahun 2010, penduduk 1.582.832 jiwa, kebutuhan air baku 11,692 m3/detik, ketersediaan
5,113 m3/detik.
2) Tahun 2015, penduduk 1.741.115 jiwa, kebutuhan air baku 12,001 m3/detik, ketersediaan
5,113 m3/detik.
3) Tahun 2020, penduduk 1.915.226 jiwa, kebutuhan air baku 12,836 m3/detik, ketersediaan
5,113 m3/detik.

Bab II 52
4) Tahun 2025, penduduk 2.106.748 jiwa, kebutuhan air baku 13,596 m3/detik, ketersediaan
5,113 m3/detik.
Ketersediaan air baku dari tahun ke tahun diprediksi tetap, karena sumbernya pun
terbatas. Di samping itu, dari tahun ke tahun kualitas airnya pun semakin buruk. Padahal
kebutuhan akan air baku dari tahun ke tahun semakin besar. Oleh sebab itu, perlu adanya
kebijakan yang khusus dalam hal pengelolaan sumberdaya air, antara lain:
1) perlu pemulihan kawasan lindung yang serius
2) perlu pembangunan embung-embung/waduk-waduk kecil, perbaikan situ-situ,
pemeliharaan mata air.
3) perlu dipikirkan Waduk Saguling sebagai sumber air baku (tentunya harus bersifat
komprehensif, multi sektor, dan antar wilayah, sebab sekarang Waduk Saguling
merupakan pembuangan limbah dan sampah dari wilayah lain).

2.1.3.6.3 Bencana Lingkungan


Potensi terjadinya bencana lingkungan dapat terdiri atas berbagai pencemaran antara lain
pencemaran air dan udara, sampah yang tidak terkelola (sangat rawan), penjarahan hutan
(rawan), alih fungsi lahan (sangat rawan), pertanian tidak konservatif (sangat rawan), wabah
penyakit (rawan), gagal panen (rawan), dan kebakaran (agak rawan).
Penurunan kualitas air Waduk Saguling merupakan masalah besar, sebab selain
mengganggu pasokan air baku, juga berpotensi merusak infrastruktur pembangkit listrik.
Penurunan ini disebabkan oleh pencemaran organik terutama senyawa nitrogen dan fosfat yang
berasal dari air limbah industri, penduduk, pertanian, dan aktivitas perikanan Jaring Apung.
Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, fosfat, dan zat organik dapat
dibagi 3 kategori yaitu: pencemaran amat sangat berat (hypertrophic = penyuburan amat sangat
berat), pencemaran berat (eutrophic = penyuburan berat), dan pencemaran sedang (oligotrophic
= penyuburan sedang), dan mesotrophic (belum tercemar). Waduk Saguling termasuk dalam
tingkat eutrophic yaitu pencemaran kelas berat.

Bab II 53
Gambar 2.16
Pencemaran Air Sungai Citarum

2.1.4 Politik dan Aparatur Pemerintahan


Kabupaten Bandung Barat merupakan daerah otonom pertama di Jawa Barat yang
dibentuk melalui proses pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru. Hal ini berbeda
dengan daerah-daerah otonom lain di Jawa Barat yang berawal dari peningkatan status dari kota
administratif menjadi kota otonom, seperti Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, Kota Depok, dan
Kota Banjar. Sebagai daerah otonom baru yang terbentuk melalui proses pemekaran,
pembentukan Kabupaten Bandung Barat memerlukan proses panjang yang berlangsung sekira 2
(dua) tahun sejak dimunculkannya wacana pemekaran pada tahun 2004. Wacana ini berawal dari
tuntutan masyarakat yang disampaikan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD) dari 15 desa di
wilayah barat Kabupaten Bandung. Tuntutan tersebut pada intinya menghendaki agar ada
perbaikan kualitas pelayanan publik bagi masyarakat di wilayah barat Kabupaten Bandung.
Rentang kendali yang sangat luas dan kondisi geografis wilayah Kabupaten Bandung ketika itu
menyebabkan hasil pembangunan kurang dinikmati secara merata di seluruh wilayah Kabupaten
Bandung, terutama di wilayah barat.
Selama 2 (dua) tahun, berbagai kekuatan politik di wilayah barat Kabupaten Bandung
memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Bandung Barat. Dalam proses ini, tampak bahwa
kekuatan infrastruktur politik di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Bandung Barat

Bab II 54
bergerak cukup dinamis. Beberapa lembaga swadaya masyarakat yang saat itu bergerak
memperjuangkan Kabupaten Bandung Barat adalah Komite Pembentukan Kabupaten Bandung
Barat (KPKBB), Forum Ulama Bandung Barat (FUBB), Forum Peduli Bandung Barat (FPBB),
dan Generasi Muda Bandung Barat (GMBB). Keberadaan lembaga-lembaga ini menjadi
cerminan dari kekuatan infrastruktur politik di wilayah Kabupaten Bandung Barat, meskipun
setelah Kabupaten Bandung Barat terbentuk, hanya sebagian dari lembaga-lembaga ini yang
masih bertahan memantau kinerja pemerintahan yang baru terbentuk.
Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti bahwa partisipasi politik masyarakat setelah
Kabupaten Bandung Barat terbentuk mengalami penurunan. Setelah terbentuk melalui UU No.
12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, dinamika partisipasi politik
masyarakat di Kabupaten Bandung Barat masih menunjukkan kecenderungan yang menarik.
Dalam berbagai peristiwa politik nasional maupun lokal, tampak bahwa tingkat partisipasi politik
di Kabupaten Bandung Barat relatif cukup dinamis. Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat
Tahun 2008 lalu misalnya, yang merupakan event politik pertama bagi Kabupaten Bandung
Barat setelah resmi dibentuk, tingkat partisipasi politik mencapai 70% dari 1.008.874 pemilih
yang terdaftar dan berhak memilih (KPUD Provinsi Jawa Barat, 2008). Tingkat partisipasi ini
tidak jauh berbeda pada event pemilihan bupati dan wakil bupati secara langsung di Kabupaten
Bandung Barat yang diselenggarakan pada tahun 2008. Hasil perhitungan suara menunjukkan
tingkat partisipasi politik sebesar 67% (KPUD Kabupaten Bandung Barat, 2008). Besaran angka
ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat Kabupaten Bandung Barat cukup
tinggi dalam event politik formal.
Ditinjau dari sisi konfigurasi partai politik di Kabupaten Bandung Barat, tampak bahwa
partai-partai politik besar masih menduduki posisi kuat. Hal ini tergambar dari hasil Pemilu
Legislatif Tahun 2004. Kendati masih menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Bandung, namun
hasil pemilu pada masa tersebut dapat menggambarkan konstelasi partai politik di Kabupaten
Bandung Barat, khususnya dilihat dari daerah pemilihan yang mencakup kecamatan-kecamatan
di Kabupaten Bandung Barat sekarang. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPUD Kabupaten
Bandung, pada Pemilu Legislatif 2004 distribusi perolehan suara partai-partai politik peserta
Pemilu adalah sebagai berikut, Partai Golkar meraih 765.713 suara (33,91%), disusul PDI
Perjuangan 411.180 suara (18,20%), PKS 234.336 suara (10,38%), PPP 177.604 suara (7,86%),
Partai Demokrat 143.123 suara (6,34%), PAN 115.208 suara (5,10%), PBB 103.872 suara

Bab II 55
(4,60%), dan PKB 85.822 suara (3,8%). Dengan demikian kursi DPRD Kabupaten Bandung
Barat masih dikuasai partai-partai besar, seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, dan PPP.
Jumlah kursi yang diperoleh partai besar tersebut diperkirakan hampir sama dengan komposisi
DPRD Kabupaten Bandung.
Dalam UU No. 12 tahun 2007 pasal (10) ayat (1) dinyatakan bahwa pengisian DPRD
Kabupaten Bandung Barat didasarkan pada hasil Pemilu Legislatif 2004. Berdasarkan hasil
tersebut, maka komposisi keanggotaan DPRD Kabupaten Bandung Barat adalah sebagai berikut:

Gambar 2.17
Komposisi Keanggotaan DPRD Kabupaten Bandung Barat (2007-2009)

4% 4% Golkar
5%
PDIP
7% 38% PPP
PKS
9%
Demokrat

11% PBB
PKB
22%
PAN

Sumber: Kabupaten Bandung Barat, 2008

Berdasarkan komposisi tersebut, tampak bahwa kecenderungan memilih di kalangan


masyarakat Kabupaten Bandung Barat masih terfokus pada partai-partai politik besar, tapi
menarik untuk diperhatikan bahwa tingkat variasi pilihan partai politik cukup tinggi. Hal ini
diindikasikan dari keberadaan 8 (delapan) partai politik yang berhasil memperoleh kursi di
DPRD Kabupaten Bandung Barat. Meski persentase perolehan suaranya tidak terlampau jauh
berbeda, tapi PBB, PKB, dan PAN masih berhasil meraih simpati masyarakat di Bandung Barat.
Preferensi terhadap partai-partai politik dengan asas atau pencitraan Islam tampaknya masih

Bab II 56
mewarnai konfigurasi politik di Bandung Barat. Hal ini diindikasikan dari 4 (empat) partai
politik bernuansa Islam yang berhasil meraih kursi di DPRD, yakni PPP, PKS, PBB, dan PKB.
Perbandingan komposisi keanggotaan DPRD Kabupaten Bandung Barat berdasarkan
jenis kelamin masih didominasi laki-laki sebanyak 41 orang, dan jumlah anggota DPRD berjenis
kelamin perempuan hanya sebesar 4 orang. Jumlah ini masih jauh dari kuota 30% yang
diamanatkan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Hanya 3 (tiga) fraksi
yang memiliki anggota perempuan, yakni Golkar (2 orang), PDIP (1 orang), dan PKS (1 orang).
Sementara itu, fraksi-fraksi lain di DPRD tidak memiliki anggota perempuan.
Sebagai mitra kerja Pemerintah Kabupaten, DPRD Kabupaten Bandung Barat dilengkapi
dengan komisi, panitia, dan badan. Komisi di DPRD Kabupaten Bandung Barat berjumlah 4
(empat) buah, dengan komposisi sebagai berikut:
Tabel 2.27
Komposisi Komisi-komisi di DPRD Kabupaten Bandung Barat (2007-2009)
Komisi A Komisi B Komisi C Komisi D
Ketua Golkar PPP PDIP PDIP
Wakil Ketua PDIP Amanah PKS Golkar
Demokrasi
Sekretaris PKS Golkar Golkar Bintang
Kebangkitan
Anggota 3 orang Golkar 3 orang Golkar 3 orang Golkar 3 orang Golkar
1 orang PDIP 2 orang PDIP 1 orang PDIP 2 orang PDIP
1 orang PPP 1 orang Amanah 1 orang Amanah 1 orang PKS
1 orang Bintang Demokrasi Demokrasi 1 orang PPP
Kebangkitan 1 orang PKS 1 orang PPP 1 orang Amanah
1 orang Amanah 1 orang Bintang 1 orang Bintang Demokrasi
Demokrasi Kebangkitan Kebangkitan
Sumber: www.bandungbaratkab.go.id

DPRD Kabupaten Bandung Barat juga memiliki 3 (tiga) panitia tetap, yakni Panitia
Anggaran, Panitia Legislasi, dan Panitia Musyawarah dengan komposisi sebagai berikut:

Bab II 57
Tabel 2.28
Komposisi Panitia-panitia Tetap di DPRD Kabupaten Bandung Barat (2007-2009)
Panitia Anggaran Panitia Legislasi
Panitia Musyawarah
Ketua Harian Golkar PKS Golkar
Wakil Ketua PDIP PPP PDIP
PPP
Sekretaris - Golkar Bukan Anggota
Anggota 6 orang Golkar 1 orang Golkar 3 orang Golkar
4 orang PDIP 1 orang PDIP 3 orang PDIP
2 orang PPP 1 orang Amanah 2 orang PPP
2 orang PKS Demokrasi 2 orang PKS
2 orang Amanah 1 orang Bintang 2 orang Amanah
Demokrasi Kebangkitan Demokrasi
2 orang Bintang 1 orang Bintang
Kebangkitan Kebangkitan
Sumber: www.bandungbaratkab.go.id

Untuk mengawasi kinerja DPRD agar sesuai dengan kode etik yang berlaku, maka
dibentuk Badan Kehormatan dengan komposisi sebagai berikut:
Tabel 2.29
Komposisi Keanggotaan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Bandung Barat
(2007-2009)
Jabatan Fraksi
Ketua Amanah Demokrasi
Wakil Ketua Golkar
Anggota 1 orang PKS
1 orang PPP
1 orang PDIP
1 orang Bintang Kebangkitan
Sumber: www.bandungbaratkab.go.id

Selain Badan Kehormatan, juga dibentuk Badan Urusan Rumah Tangga untuk menangani
urusan kerumahtanggaan DPRD, dengan komposisi sebagai berikut:
Tabel 2.30
Komposisi Keanggotan Badan Urusan Rumah Tangga DPRD
Kabupaten Bandung Barat
(2007-2009)
Jabatan Fraksi
Ketua PKS
Wakil Ketua Bintang Kebangkitan
Anggota 1 orang PDIP
2 orang Golkar
1 orang PPP
1 orang Amanah Demokrasi
Sumber: www.bandungbaratkab.go.id

Bab II 58
Berdasarkan komposisi kelembagaan DPRD tersebut, tampak bahwa distribusi kekuasaan
tersebar dengan relatif merata bagi semua fraksi di DPRD Kabupaten Bandung Barat. Kendati
meraih jumlah kursi terbanyak, namun Partai Golkar tidak mendominasi jabatan ketua dalam
komisi, panitia, ataupun badan di DPRD.
Perimbangan kekuasaan juga tampak dari hubungan antara Pemerintah Kabupaten
dengan DPRD. Selama 1 (satu) tahun sejak pengesahan UU No. 12 Tahun 2007, Kabupaten
Bandung Barat dipimpin oleh Pejabat Bupati yang pengangkatannya ditunjuk oleh Gubernur
Provinsi Jawa Barat. Pejabat Bupati ini bertugas melaksanakan urusan pemerintahan transisi
sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2007, yang meliputi:
1) Menyelenggarakan pemilihan bupati dan wakil bupati definitif (pasal 11).
2) Membentuk perangkat daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari
(pasal 13).
3) Menginventarisasi, mengatur, dan melaksanakan pemindahan personel, penyerahan aset,
serta dokumen kepada Pemerintah Kabupaten Bandung Barat (pasal 14 ayat 1).
4) Melakukan penatausahaan keuangan daerah (pasal 17).
Selain tugas-tugas yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 12 Tahun 2007,
pemerintahan transisi di bawah pimpinan Penjabat Bupati Bandung Barat juga bertanggung
jawab untuk melaksanakan fungsi pemerintahan sehari-hari, terutama dalam hal penyediaan
pelayanan publik.
Pada tahun 2008, diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung yang pertama
kali di Kabupaten Bandung Barat untuk memilih pasangan bupati dan wakil bupati definitif yang
akan memerintah Kabupaten Bandung Barat selama periode 2008-2013. Menjelang pemilihan
bupati dan wakil bupati, sejumlah nama mulai mengajukan diri untuk bersaing dalam kompetisi
pemilihan bupati dan wakil bupati. Akan tetapi, dari nama-nama tersebut, akhirnya mengerucut
pada 2 (dua) pasangan calon, yakni Abubakar-Ernawan dan Agus Yasmin-Haris Yuliana.
Pasangan Abubakar-Ernawan didukung oleh 7 (tujuh) partai politik, yakni Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Karya Peduli Bangsa,
sedangkan pasangan Agus Yasmin-Haris Yuliana didukung koalisi Partai Golkar, PKS dan Partai
Demokrat.

Bab II 59
Dengan raihan suara sebanyak 53,56%, pasangan Abubakar-Ernawan berhasil
mengungguli pasangan Agus Yasmin-Haris Yuliana dan terpilih sebagai pasangan bupati dan
wakil bupati definitif pertama di Kabupaten Bandung Barat. Hasil pemilihan bupati ini berbeda
dengan konstelasi kekuatan partai politik di DPRD Kabupaten Bandung Barat. Berbeda dengan
DPRD yang didominasi Partai Golkar, pasangan bupati dan wakil bupati justru didukung oleh
PDIP dan partai-partai lainnya. Kondisi ini tentunya menghendaki adanya pengelolaan yang
tepat dalam hubungan eksekutif dan legislatif agar tetap dapat berlangsung kondusif dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Pada awal pemerintahannya, pasangan bupati dan wakil bupati terpilih telah menyusun
organisasi perangkat daerah Kabupaten Bandung Barat berdasarkan Peraturan Bupati Bandung
Barat Nomor 3 Tahun 2007 tentang Dinas Daerah Kabupaten Bandung Barat dan Peraturan
Bupati Kabupaten Bandung Barat Nomor: 4 tahun 2007 tentang Lembaga Teknis Daerah
Kabupaten Bandung Barat. Susunan organisasi perangkat daerah tersebut terdiri dari:
1) Sekretariat Daerah, terdiri dari:
a. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial;
b. Asisten Administrasi dan Ekonomi Pembangunan;
2) Dinas, terdiri dari:
a. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal;
b. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan;
c. Dinas Kesehatan dan Sosial;
d. Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan;
e. Dinas Pekerjaan Umum;
f. Dinas Perhubungan, Pariwisata, dan Informasi;
g. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil;
3) Lembaga Teknis, terdiri dari:
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;
2. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa;
3. Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat;
4. Kantor Lingkungan Hidup;
5. Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Data Elektronik;

Bab II 60
4) Kecamatan, berjumlah 15 kecamatan, terdiri dari:
a. Padalarang;
b. Cikalongwetan;
c. Cililin;
d. Parongpong;
e. Cipatat;
f. Cisarua;
g. Batujajar;
h. Ngamprah;
i. Gunung Halu;
j. Cipongkor;
k. Cipeundeuy;
l. Lembang;
m. Sindangkerta;
n. Cihampelas;
o. Rongga.
Dengan postur organisasi perangkat daerah tersebut, dapat dikatakan susunan organisasi
perangkat daerah Kabupaten Bandung Barat bersifat ramping tetapi kaya fungsi, mengingat
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
jumlah dinas dapat mencapai 16 buah.
Organisasi perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Bandung Barat yang disusun tersebut
juga belum diisi secara optimal oleh aparatur yang ada saat ini. Hingga kini Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang bertugas di Pemerintah Kabupaten Bandung Barat berjumlah sekitar 9.800
orang. Jumlah tersebut dinilai masih kurang terutama untuk mengantisipasi perubahan organisasi
perangkat daerah yang mungkin akan dilakukan. Perubahan organisasi perangkat daerah
Pemerintah Kabupaten Bandung Barat sangat terbuka, mengingat organisasi perangkat daerah
yang digunakan sekarang merupakan ukuran yang paling minimalis.
Salah satu upaya untuk menutupi kekurangan pegawai, Pemerintah Kabupaten Bandung
Barat harus melakukan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang baru. Selain melalui
rekrutmen CPNS, langkah lain untuk memenuhi kekurangan PNS tersebut adalah dengan
mengangkat tenaga kerja kontrak (TKK) menjadi PNS. Pada tahun 2008 Pemerintah Kabupaten

Bab II 61
Bandung Barat telah mengangkat 370 orang TKK menjadi CPNS. Pengangkatan TKK menjadi
CPNS ini sudah menjadi keputusan pemerintah pusat yang mengharuskan semua TKK di daerah
harus diangkat menjadi CPNS paling lambat tahun 2009. Namun, pengangkatan TKK menjadi
CPNS juga terkendala beberapa hal, di antaranya adalah faktor usia. Aturan pengangkatan TKK
salah satunya adalah mensyaratkan batas maksimal usia TKK yang akan diangkat menjadi CPNS
adalah 46 tahun.
Persoalan lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan adalah belum
tersedianya sarana perkantoran yang memadai. Meskipun dalam UU No. 12 tahun 2007
disebutkan lokasi ibukota pemerintahan Kabupaten Bandung Barat berlokasi di Kecamatan
Ngamprah, tetapi hingga saat ini lokasi yang pasti tentang letak kompleks perkantoran
pemerintahan belum juga ditetapkan. Dalam menyelenggarakan tugas sehari-hari, Sekretariat
Daerah menggunakan bangunan yang dahulunya digunakan sebagai Kantor Kecamatan
Padalarang, sedangkan kantor-kantor organisasi perangkat daerah lainnya menggunakan
bangunan yang disewa dari masyarakat yang berlokasi di sekitar Sekretariat Daerah di
Padalarang. Sarana perkantoran yang belum memadai tentu mengurangi optimalisasi pelayanan
kepada publik. Oleh karena itu, pembangunan sarana perkantoran menjadi kebutuhan yang
mendesak. Selain sarana gedung perkantoran, sarana penunjang birokrasi lainnya seperti
teknologi dan sistem informasi masih sangat minim. Hal tersebut tentu menjadi penghambat
optimalisasi pelayanan kepada masyarakat.
Kabupaten Bandung Barat memiliki tantangan yang cukup berat terkait dengan rentang
kendali dalam penyediaan pelayanan publik. Kapasitas rentang kendali ini dapat dianalisis dari
jarak antara pusat pemerintahan provinsi dan kabupaten dengan tiap kecamatan serta dari jumlah
desa pada setiap kecamatan. Berdasarkan data Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 2007,
jarak orbitrasi untuk tiap kecamatan di Kabupaten Bandung Barat adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Tabel 2.31, tampak bahwa jangkauan rentang kendali di wilayah Kabupaten
Bandung Barat sangat bervariasi dan menunjukkan kecenderungan rentang kendali yang minim
dari pusat pemerintahan kabupaten (Ngamprah) karena masih banyak kecamatan yang berjarak
lebih dari 20 km (sekira 1 jam waktu tempuh dengan kendaraan mobil). Beberapa kecamatan
yang orbitrasinya relatif jauh dari Ngamprah adalah Cililin (21 km), Cihampelas (22 km),
Sindangkerta (31 km), Gununghalu (49 km), Rongga (51 km), Cipongkor (37 km), Cipeundeuy
(31 km), dan Cikalongwetan (21 km). Artinya, sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung

Bab II 62
Barat memiliki rentang kendali yang minim ditinjau dari sisi orbitrasi dari pusat pemerintahan.
Kondisi ini perlu segera diatasi agar penyelenggaraan pemerintahan menjadi efektif dan efisien,
misalnya dengan mendorong lahirnya kluster pusat pelayanan di wilayah Bandung Barat. Untuk
sekitar Cililin, Cihampelas, Sindangkerta, Gununghalu, Rongga, dan Cipongkor, pusat pelayanan
bisa dibentuk di Cililin. Padalarang, misalnya, dapat menjadi pusat pelayanan untuk kluster
Padalarang, Batujajar, Ngamprah, dan Cipatat. Sedangkan di wilayah utara, Lembang menjadi
pusat pelayanan untuk kluster yang mencakup wilayah Lembang, Parongpong, Cisarua, Cikalong
Wetan, dan Cipeundeuy. Dengan demikian, terjadi penyebaran infrastruktur, sarana, dan
prasarana pelayanan, baik untuk pelayanan administrasi pemerintahan, pelayanan dasar, maupun
pelayanan publik lainnya.
Tabel 2.31
Rentang Kendali dari sisi Orbitrasi Pusat Pemerintahan

Sumber: Kabupaten Bandung dalam Angka Tahun 2007, diolah

Kapasitas rentang kendali juga bisa dianalisis dari jumlah desa yang dimiliki tiap
kecamatan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kapasitas manajemen pemerintahan dalam
mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan perwilayah dan sektoral. Dari 15 kecamatan yang
menjadi wilayah Kabupaten Bandung Barat, terdapat 165 desa, dengan rincian sebaran seperti
dijelaskan dalam Tabel 2.32.

Bab II 63
Tabel 2.32
Rentang Kendali ditinjau dari Jumlah Desa per Kecamatan
No. Kecamatan Jumlah Desa
1 Cililin 11
2 Cihampelas 10
3 Sindangkerta 11
4 Gununghalu 9
5 Rongga 8
6 Cipongkor 14
7 Batujajar 13
8 Lembang 16
9 Parongpong 7
10 Cisarua 8
11 Ngamprah 11
12 Padalarang 10
13 Cipatat 12
14 Cipeundeuy 12
15 Cikalong Wetan 13
JUMLAH 165
Sumber: Kabupaten Bandung dalam Angka, 2007

Berdasarkan data di atas, jumlah desa perkecamatan sudah relatif memadai ditinjau dari
rentang kendali. Artinya, jumlah desa ini tidak terlampau menyulitkan untuk melakukan
pengendalian dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan. Jumlah desa sebanyak 16 di
Kecamatan Lembang merupakan jumlah terbanyak, tapi bila dikaitkan dengan kecenderungan
perkembangan kewilayahan, tampaknya dalam 20 tahun mendatang, Lembang akan berkembang
pesat sebagai kota satelit yang menopang Kota Bandung. Karena itu, jumlah desa di Kecamatan
Lembang akan banyak berubah status menjadi kelurahan, demikian juga di Kecamatan Batujajar
dan Padalarang, akan tumbuh menjadi kecamatan yang bercorak kota (urban).
Kecenderungan perubahan ini perlu diantisipasi melalui pengembangan kapasitas desa-
desa di Kabupaten Bandung Barat, terutama agar pemerintah desa mampu meningkatkan
kemampuannya dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Demikian pula,
pemberdayaan masyarakat desa harus ditingkatkan agar mampu memanfaatkan dampak positif
dari pengaruh pergeseran corak perdesaan ke perkotaan, sehingga masyarakat memiliki daya
saing yang memadai.
Pemerintah Kabupaten Bandung Barat berupaya mengimbangi kekurangan dalam hal
sarana perkantoran dengan tetap memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.
Namun, sebagai sebuah daerah otonom baru, kekurangan sarana dan prasarana menjadi kendala

Bab II 64
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari sisi aparatur, walaupun pada masa awal
proses pembentukan daerah otonom baru pemenuhan kebutuhan aparatur diperoleh dari daerah
induk (Kabupaten Bandung) dan dari luar daerah induk melalui mekanisme fit and proper test,
tetapi dalam praktiknya, kompetensi aparatur yang diharapkan masih belum tercapai.
Pembenahan birokrasi Pemerintah Kabupaten Bandung Barat selain dilakukan melalui
pembenahan unsur aparatur, juga dilakukan melalui pembenahan sistem kepemerintahan, antara
lain melalui penyususnan Tugas Pokok, Fungsi, Tata Kerja dan Uraian Tugas untuk tiap bidang
pada struktur organisasi pemerintah daerah. Namun, belum semua istansi memiliki Standar
Pelayanan Minimal maupun Standar Operasional Prosedur.
Dalam hal kerjasama dan koordinasi, yang bersifat vertikal dengan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi, terutama dalam melaksanakan program dari Pusat dan Provinsi masih perlu
ditingkatkan. Hal itu perlu dilakukan mengingat Kabupaten Bandung Barat, sebagai daerah
otonom baru dituntut untuk memiliki akselerasi tinggi dalam pelaksanaan pembangunan.
Demikian pula, koordinasi horizontal dengan DPRD, Kejaksaan, Kepolisian, TNI, Pengadilan,
dan dengan instansi-instansi vertikal yang ada di Kabupaten Bandung Barat juga masih perlu
ditingkatkan karena masih ada elemen vertikal tersebut yang masih menginduk kepada daerah
lain seperti Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung (induk).

2.1.5. Hukum dan Hak Asasi Manusia


Perubahan mendasar dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan membawa dampak
terhadap perkembangan sistem hukum. Perubahan itu ditandai dengan pelaksanaan paradigma
baru yang mengubah sistem otoriter ke sistem demokrasi dan sistem sentralistik ke sistem
otonomi. Dampak perubahan itu adalah perlunya dilakukan pembangunan hukum yang dianut
selama ini selaras dengan tuntutan demokrasi dan otonomi daerah. Keberpihakan produk-produk
hukum pada kepentingan penguasa ketimbang rakyat dan dominasi kepentingan pemerintah
pusat ketimbang pemerintah daerah harus berubah.
Dalam perjalanannya pembangunan hukum secara empiris menunjukkan beberapa
masalah yang sangat mempengaruhi pembangunan hukum ke depan. Saat ini masih terdapat
kesenjangan antara substansi dan struktur hukum dengan budaya hukum. Dari sisi substansi
hukum seperti produk materi hukum menunjukkan peningkatan kuantitas. Begitu pun dari sisi
struktur hukum seperti penyediaan dan pembinaan aparatur serta peningkatan sarana dan

Bab II 65
prasarana hukum. Namun, kesemuanya tidak diimbangi dengan budaya hukum seperti
peningkatan profesionalisme dan integrasi moral aparat hukum, kesadaran hukum masyarakat
serta mutu produk materi hukum.
Pemberantasan korupsi, kejahatan ekonomi, dan penyalahgunaan kekuasaan belum
diikuti langkah-langkah nyata dan integritas moral pemerintah serta aparat penegak hukum
dalam penegakan hukum. Terjadinya praktik-praktik campur tangan dalam proses peradilan,
tumpang tindih dan kerancuan baik substansi maupun struktur hukum mengakibatkan terjadinya
krisis hukum dan krisis kepercayaan terhadap hukum. Kondisi hukum yang demikian
menyebabkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) belum optimal.
Berbagai pelanggaran hak asasi, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan masih kerap terjadi.
Dalam pembangunan hukum, masyarakat tidak menginginkan peraturan hukum yang
sekedar ada. Sisi kepastian hukum (rechtzekerheid) tetap harus mempertimbangkan keadilan
(justice). Oleh karenanya produk hukum yang transparan dan partisipatif adalah sebuah
keniscayaan. Di samping itu, penegakan hukum (law enforcement) di semua lini kehidupan, baik
di antara sesama aparat birokrasi dan juga dalam hubungan antara aparat birokrasi penegakan
hukum dalam rangka pelayanan bagi masyarakat (public service) sangat diperlukan.
Pembangunan hukum di daerah hendaknya diarahkan sesuai dengan semangat otonomi
daerah. Di mana otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem tersendiri
mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat
lokal berupa keadilan. Untuk selanjutnya, hukum otonom dikembangkan menjadi hukum yang
bersifat responsif, yakni hukum yang menjadi fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan
dan aspirasi sosial. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat
partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik
dari segi individu, maupun kelompok masyarakat; dan juga harus bersifat aspiratif yang
bersumber dari keinginan atau kehendak masyarakat (demokratis). Artinya, produk hukum
tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya
Pembentukan hukum yang demokratis dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah pada
gilirannya akan memberikan pengaruh terhadap efektivitas hukum yang optimal dalam
penegakannya. Sekaligus memberikan jaminan pengoptimalan pelaksanaan hak asasi manusia
(HAM).

Bab II 66
2.1.6. Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat
Ketentraman dan ketertiban wilayah mutlak diperlukan dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan karena pada gilirannya ketentraman dan ketertiban wilayah akan membawa
peningkatan kualitas kehidupan (quality of life) masyarakat sebagai salah satu pilar
pembangunan berkelanjutan. Dalam prakteknya, ketentraman dan ketertiban sebuah wilayah
sering menimbulkan problematika tersendiri. Hal ini dipicu oleh terjadinya masalah sosial
seperti peningkatan jumlah penduduk dan arus urbanisasi, peningkatan kejahatan, tingginya
pengangguran, kemiskinan, kenakalan remaja, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat,
kerusakan lingkungan, dan birokrasi yang kerapkali disfungsional.
Problematika ketentraman dan ketertiban memang harus diatasi. Namun masalahnya
ketentraman dan ketertiban masih dipahami secara sempit, belum dipandang sebagai sebuah
entitas utuh dari pranata sosial. Akibatnya, terjadi orientasi ketertiban dalam mewujudkan
ketentraman. Hal ini hanya akan membawa sikap represif dan kecenderungan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power). Akibatnya, terjadi sikap tidak simpati masyarakat pada penegakan
ketertiban. Hal itu membuat semakin menguatnya sikap tidak acuh masyarakat terhadap
ketentraman dan ketertiban.

2.1.7 Tata Ruang dan Infrastruktur


Pengembangan wilayah dalam struktur tata ruang Kabupaten Bandung Barat sampai saat
ini masih timpang. Pada beberapa kecamatan seperti Kecamatan Ngamprah dan Padalarang,
terjadi pemusatan pertumbuhan perkotaan, sementara wilayah kecamatan lainnya kurang
mendapat sentuhan pembangunan. Kedua kecamatan tersebut menurut analisis hirarki kota
berada pada tingkat PKL-1, sementara kecamatan lainnya di bawah tingkat tersebut dengan
menggunakan terminologi dalam RTRW Kabupaten Bandung: PKL-1, PKL-2, DPP-1 dan
DPP-2.
Pusat permukiman orde-1 dalam lingkup wilayah Kabupaten Bandung Barat (yang
didefinisikan dalam RTRW Kabupaten Bandung sebagai PKL-1, yaitu Lembang dan
Padalarang). Sedangkan berdasarkan hasil analisis sistem kota-kota dengan menggunakan
analisis pembobotan terhadap ketersediaan fasilitas dan kegiatan utama pusat permukiman,
menunjukkan bahwa kota-kota yang termasuk dalam hirarki-1 adalah kota-kota di sekitar Kota
Bandung, yaitu Ngamprah dan Padalarang.

Bab II 67
Berdasarkan perbandingan hasil kajian struktur yang berkembang saat ini terhadap
kesesuaiannya dengan RTRW Kab. Bandung 2001, beberapa kesimpulan yang dapat diambil
mengenai Kabupaten Bandung Barat adalah:
1. Hasil analisis sistem kota-kota eksisting menunjukkan sistem kota-kota yang kurang
hirarkis. Hal tersebut menunjukkan perlunya peningkatan integrasi fungsional spasial dan
keterkaitan (linkages) antar pusat-pusat permukiman.
2. Hasil penilaian kesesuaian sistem kota-kota antara rencana dengan hasil analisis
menunjukkan terdapat beberapa kota/ pusat permukiman yang perlu peningkatan hirarki
(terutama untuk PKL-1 dan PKL-2) dengan pengembangan sarana dan prasarana kota
serta aksesibilitas kota terhadap wilayah luarnya

PKL-1 (Pusat Kegiatan Lingkungan Pertama)


Merupakan pusat kegiatan yang mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan bagi bagian wilayah
kabupaten, dengan kegiatan spesifik yang jangkauan pelayanannya luas, serta memberikan
kontribusi yang cukup besar pada pembentukan struktur kegiatan di Kabupaten/Kota.

PKL-2 (Pusat Kegiatan Lingkungan Kedua)


Merupakan pusat kegiatan yang mempunyai fungsi melayani lokal wilayah/
antarkecamatan/ perkotaan, khususnya kecamatan yang berdekatan.
DPP-1 (Desa Pusat Pertumbuhan 1)
Merupakan desa yang melayani kawasan perdesaan (agropolitan) dan berpotensi
meningkatkan kegiatan produksi dan sektor ekonomi lainnya di desa tersebut maupun desa
sekitarnya.
DPP-2 (Desa Pusat Pertumbuhan 2)
Merupakan desa yang melayani kawasan perdesaan dan berpotensi untuk meningkatkan
kegiatan produksi dan sektor ekonomi lainnya di desa tersebut maupun desa sekitarnya.

Tabel 2.33
Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bandung Barat
No Kecamatan Cakupan Wilayah (desa) Luas Fungsi yang Fasilitas
(Ha) Dikembangkan Penunjang
1. Ngamprah DPP-1 151 Pusat pemerintahan, Pendidikan,
Desa Bojongkoneng 463 permukiman, pasar desa,
Desa Margajaya 120 perdagangan dan sub terminal,
Desa Gadobangkong 150 jasa, pertanian lahan puskesmas
Desa Mekarsari 199 basah dan lahan
Desa Cilame 673 kering

Bab II 68
No Kecamatan Cakupan Wilayah (desa) Luas Fungsi yang Fasilitas
(Ha) Dikembangkan Penunjang
Desa Cimanggu 610
Desa Sukatani 467
2. Batujajar DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Bojonghaleuang 333 perdagangan dan pasar desa,
Desa Cikande 694 jasa, pariwisata sub terminal,
Desa Batujajar Timur 299 puskesmas
Desa Batujajar Barat 202
Desa Selacau 569
Desa Giriasih 436
3. Cisarua DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Jambudipa 146 perdagangan dan pasar desa,
Desa Padaasih 762 jasa, pertanian sub terminal,
Desa Pasirhalang 293 hortikultura, puskesmas
peternakan sapi dan
pariwisata
4. Cililin DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Cililin perdagangan, pasar desa,
Karangtanjung perikanan dan sub terminal,
pariwisata puskesmas
5. Parongpong DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Karyawangi 1992 perdagangan dan pasar desa,
Desa Cihanjuang 383 jasa, pertanian, sub terminal,
pariwisata puskesmas
6. Cikalongwetan DPP-1 313 Permukiman, Pendidikan,
Desa Cipatgumanti perdagangan dan pasar desa,
Desa Cikalongwetan 844 jasa, perkebunan, sub terminal,
Desa Mandalasari 1064 konservasi puskesmas
Desa Mandamukti 1065
7. Gununghalu DPP-2 Permukiman, Pendidikan,
Desa Gununghalu 4661 perdagangan dan pasar desa,
jasa, pertanian, sub terminal,
perikanan puskesmas
8. Cihampelas DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Cihampelas perdagangan dan pasar desa,
Desa Cipatik jasa, perikanan dan sub terminal,
Desa Citapen pariwisata puskesmas
Desa Mekarmukti
Desa Singajaya
9. Cipatat DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Mandalasari 419 perdagangan dan pasar desa,
Desa Rajamandala 1691 jasa, industri sub terminal,
Desa Cipatat 702 ekstraktif, perikanan puskesmas
Desa Ciptaharja 1423
Desa Mandalawangi 479
10. Sindangkerta DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Pasirpogor 343 perdagangan dan pasar desa,
Desa Puncaksari 570 jasa, pertanian dan sub terminal,
Desa Cikadu 335 perikanan puskesmas
Desa Ciptakarya 403
Desa Cicangkanggirang 751
Desa Sindangkerta 312
11. Cipeundey DPP-1 Permukimman, Pendidikan,
Desa Nyenang 431 perdagangan dan pasar desa,
Desa Cipeundeuy 204 jasa, pertanian, sub terminal,
Desa Sukahaji 236 perikanan, dan puskesmas
Desa Bojongmekar 2429 industri
12. Cipongkor DPP-1 Permukiman, Pendidikan,
Desa Cijenuk 449 perdagangan dan pasar desa,
Desa Cibenda 605 jasa, konservasi, sub terminal,
pertanian puskesmas
13. Rongga DPP-2 Permukiman, Pendidikan,

Bab II 69
No Kecamatan Cakupan Wilayah (desa) Luas Fungsi yang Fasilitas
(Ha) Dikembangkan Penunjang
Desa Bojong 1089 perdagangan dan pasar desa,
jasa, pertanian lahan sub terminal,
basah, perkebunan puskesmas
dan perikanan.
Sumber : Hasil Analisis Bappeda dan RTRW Kabupaten Bandung Barat, 2006

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jawa Barat mengamanatkan proporsi
kawasan lindung sebesar 45% dan kawasan budidaya 55%. Namun pengendalian pemanfaatan
ruang menjadi kendala dalam mewujudkan proporsi tersebut. Sebagian Kawasan Bandung Utara
(KBU) termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat. Wilayah tersebut hanya diijinkan
untuk dibangun sebesar 20 % dari luas wilayah, sedangkan saat ini pembangunan di KBU
semakin sulit untuk dikendalikan. Jika KBU yang merupakan kawasan resapan air semakin rusak
maka akibatnya akan terjadi bencana banjir di Kawasan Cekungan Bandung.
Kabupaten Bandung Barat memiliki kawasan yang cukup strategis, yaitu Kawasan
Penelitian Bosscha. Kawasan tersebut dalam RTRWN tidak termasuk kawasan strategis.
Observatorium Bosscha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia.
Saat ini, kondisi di sekitar Observatorium Bosscha dianggap tidak layak untuk mengadakan
pengamatan. Hal tersebut diakibatkan oleh perkembangan pemukiman di daerah Lembang dan
Kawasan Bandung Utara yang tumbuh pesat. Banyak daerah atau kawasan yang dahulunya
rimbun atau berupa hutan-hutan kecil dan area pepohonan tertutup, saat ini menjadi area
pemukiman, vila atau daerah pertanian yang bersifat komersial besar-besaran. Akibatnya,
intensitas cahaya dari kawasan permukiman menyebabkan terganggunya penelitian atau kegiatan
peneropongan yang seharusnya membutuhkan intensitas cahaya lingkungan yang minimal.
Permasalahan tata ruang Kabupaten Bandung Barat sebagai wilayah perencanaan, antara
lain sebagai berikut :
1) Terjadi pergeseran guna lahan dari pertanian menjadi perumahan tanpa adanya rencana
penataan ruang yang jelas
2) Pengembangan kawasan perkotaan masih bersifat linier, mengakibatkan kegiatan di satu
ruas jalan terlalu bertumpuk sehingga dapat menyebabkan tundaan serta kemacetan.
Sarana dan prasarana wilayah merupakan faktor yang sangat berperan bagi peningkatan
perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Salah satu faktor penyebab pemekaran
Kabupaten Bandung menjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat adalah adanya

Bab II 70
ketimpangan jumlah dan pelayanan sarana dan prasarana wilayah di kecamatan-kecamatan yang
saat ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat.
Prasarana transportasi, khususnya jalan raya di Kabupaten Bandung Barat hanya meliputi
fungsi jalan kolektor primer. Jalan yang berfungsi sebagai jalan kolektor primer adalah jalan
yang menghubungkan Kecamatan Cimareme dan Kecamatan Soreang melalui Cipatik. Secara
umum, jalan-jalan yang ada di Kabupaten Bandung Barat memiliki nilai VCR lebih kecil dari 0,8
(seperti yang disyaratkan dalam MKJI 1997) artinya tidak dibutuhkan penanganan berupa
pelebaran jalan untuk menambah kapasitas.
Aksesibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kemudahan pencapaian
suatu daerah dari segi transportasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas adalah suatu
jarak tempuh, waktu tempuh,dan biaya tempuh. Berdasarkan kriteria penentuan tersebut
dilakukan suatu pembobotan untuk menetapkan tingkat aksesibilitas dari tiap-tiap kecamatan
yang terdapat di Kabupaten Bandung Barat. Hasil dari pembobotan tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut
Tabel 2.34
Tingkat Aksesibilitas Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat
Aksesibilitas
No.
Tinggi Sedang Rendah
1 Cililin Rongga
2 Cihampelas Cipongkor
3 Sindangkerta Cisarua
4 Gununghalu Ngamprah
5 Batujajar Cipatat
6 Lembang
7 Parongpong
8 Padalarang
9 Cipeundeuy
10 Cikalong Wetan
Sumber : RTRW Kabupaten Bandung, 2006

Sebagai ibukota kabupaten, Kecamatan Ngamprah merupakan kecamatan dengan tingkat


aksesibilitas tinggi. Keberadaan tol Cipularang yang melewati Kecamatan Padalarang merupakan
hal yang positif karena mempermudah akses Kabupaten Bandung Barat dengan kota-kota lain
seperti Jakarta dan Bekasi. Kecamatan Rongga merupakan kecamatan yang memiliki jarak
terjauh dari ibukota kabupaten (57 km). Beberapa desa di Kecamatan Gununghalu relatif masih
sulit dikunjungi karena kurang baiknya prasarana jalan yang ada. Pembangunan jalan baru dan
perbaikan prasarana jalan lama diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan tersebut. Selain

Bab II 71
itu, permasalahan aksesibilitas ini dapat diatasi dengan membangun konsep kluster dengan
membuat beberapa pusat kegiatan wilayah.
Berdasarkan data Kabupaten Bandung yang belum dimekarkan, terdapat beberapa
permasalahan menyangkut sistem penyediaan air bersih untuk kabupaten Bandung. PDAM
Kabupaten Bandung pada tahun 2002 hanya dapat melayani 4,64% penduduk administrasi
daerah pelayanan dengan tingkat kehilangan air (unaccounted for water) sebesar 41,9%.
Berdasarkan Neraca Air Kecamatan di Bandung Barat tahun 2005, 8 dari 15 kecamatan
memiliki nilai neraca air minus. Artinya, kecamatan-kecamatan tersebut tidak memiliki sumber
air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal yang positif adalah kondisi mata air
yang ada di wilayah Kabupaten Bandung Barat berjumlah cukup banyak dan memiliki debit
yang cukup besar, sehingga dapat langsung digunakan sebagai sumber air bersih. Dari 15
kecamatan yang ada, 11 kecamatan memiliki sumber mata air yang masih dapat
dimanfaatkan,yang pada umumnya, dengan mayoritas dari kecamatan-kecamatan tersebut
memiliki lebih dari 1 mata air.
Tabel 2.35
Neraca Air Kabupaten Bandung Barat berdasarkan Data 2005
Kebutuhan air 2005 Potensi Sumber (m3/thn) Potensi Neraca Air
No Kecamatan
m3/hr m3/thn Air Permukaan Mata Air Total (m3/thn) (m3/thn)
1 Cililin 5.109 1.839.182 0 4852224 4852224 3.013.042
2 Cihampelas 5.925 2.132.920 0 0 0 (2.132.920)
3 Sindangkerta 3.743 1.347.391 0 1368576 1368576 21.185
4 Gununghalu 4.272 1.538.050 0 2395008 2395008 856.958
5 Rongga 3.357 1.208.482 0 0 0 (1.208.482)
6 Cipongkor 4.849 1.745.817 0 93312 93312 (1.652.505)
7 Batujajar 6.409 2.307.317 0 62208 62208 (2.245.109)
8 Lembang 9.660 3.477.628 0 27558144 27558144 24.080.516
9 Parongpong 5.146 1.852.532 0 8211456 8211456 6.358.924
10 Cisarua 3.658 1.316.874 0 16391808 16391808 15.074.934
11 Ngamprah 8.059 2.901.077 0 0 0 (2.901.077)
12 Padalarang 8.960 3.225.670 0 933120 933120 (2.292.550)
13 Cipatat 7.022 2.527.897 151787,52 1399680 1551467,52 (976.429)
14 Cipeundeuy 4.623 1.664.125 0 0 0 (1.664.125)
15 Cikalong Wetan 6.501 2.340.406 7464,96 114307200 114314665 111.974.259
Sumber : RTRW Kabupaten Bandung, 2006 - Keterangan: (cetak tebal = defisit air)

Hampir seluruh sumber air di Kabupaten Bandung Barat berasal dari mata air, kecuali
Kecamatan Cipatat dan Cikalong Wetan yang mampu menambah kebutuhan air bakunya dari air
permukaan.

Bab II 72
Terdapat 8 (delapan) kecamatan yang neraca airnya dalam kondisi defisit karena tidak
memiliki sumber air yang memadai, yaitu Kecamatan Cihampelas, Rongga, Cipongkor,
Batujajar, Ngamprah, Padalarang, Cipatat, dan Cipeundeuy.
Di tahun-tahun mendatang kebutuhan sumberdaya air ini akan menjadi masalah yang
memerlukan perhatian besar, karena jumlah penduduk yang semakin meningkat sedangkan
ketersediaan air boleh dikatakan tidak bertambah, bahkan mutunya semakin buruk. Berkaitan
dengan hal ini, Kabupaten Bandung Barat perlu membuat terobosan-terobosan untuk memenuhi
kebutuhan air baku ini, misalnya pemulihan kawasan lindung pembangunan embung-embung/
waduk-waduk kecil, perbaikan situ-situ, pemeliharaan mata air, dan dipikirkan Waduk Saguling
sebagai sumber air baku.
Tabel 2.36
Sebaran Sumber Mata Air Kabupaten Bandung Barat
Kapasitas
No Kecamatan Jumlah
(liter/detik)
3)
1 Cikalong Wetan 52 3675
2 Parongpong3) 20 264
3)
3 Ngamprah 17 290
3)
4 Padalarang 1 30
3)
5 Cipatat 7 45
3)
6 Cisarua 49 527
3)
7 Batujajar 1 2
3)
8 Cililin 11 156
3)
9 Gunung Halu 3 77
3)
10 Sindang Kerta 8 44
3)
11 Cipongkor 1 3
Sumber: Laporan Potensi Sumberdaya Air, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, 2001

Keberadaan mata air tidak terlepas dari kondisi kawasan lindung di bagian hulu DAS.
Semakin kawasan lindung terdegradasi, maka potensi mata air akan menyusut. Degradasi
kawasan lindung yang mengancam Kabupaten Bandung Barat terutama oleh sebab alih fungsi
lahan, sehingga mengakibatkan kawasan lindung ini tidak lagi mampu mengendalikan run off
yang meresap ke dalam tanah menjadi sumber mata air. Perhatian terhadap pemulihan kawasan
lindung di Kabupaten Bandung Barat perlu menjadi program prioritas.

Bab II 73
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian di Kabupaten Bandung
Barat. Oleh karena itu, di sektor pertanian perlu ada pencetakan sawah baru dengan didukung
sistem pengairan yang efektif dan efisien.yang sangat berperan dalam perkembangan
perekonomian. Faktor penunjang peningkatan produksi di lahan basah tersebut (padi) adalah
adanya prasarana pengairan.

Tabel 2.38
Jaringan Irigasi di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2004
Sumber air / Luas (ha) Tingkat
No. DAERAH IRIGASI Kecamatan
Nama sungai Baku Potensial Fungsional Jaringan
1 2 3 4 5 6 7 8
Pasir Kuntul K. Cimeta Ngamprah 76 76 76 Teknis
1 Padalarang 101 100 100 Teknis
2 Cijanggel K. Cimahi Ngamprah 325 231 231 Teknis
3 Cukangkawung K. Cukangkawung Padalarang 39 33 33 Semi Teknis
Ngamprah 95 80 80 Semi Teknis
Batujajar 259 45 45 Semi Teknis
4 Cidadap K. Cidadap Gununghalu 774 504 504 Teknis
5 Leuwikuya K. Ciwidey Cililin 1.587 1.477 1.477 Teknis
Cijanggel K. Ciwidey Cisarua 388 231 231 Teknis
6 Parongpong 145 140 140 Teknis
7 Cibodas K. Cikapundung Lembang 404 236 236 Teknis
Sumber : Kabupaten Bandung Dalam Angka Tahun 2001 2004

Sungai-sungai yang mengalir ke bagian wilayah Bandung Barat sebagian besar


dimanfaatkan sebagai air irigasi (di bawah 50%). Berarti sumber air yang ada belum dapat
dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurangnya
jaringan irigasi atau lokasi irigasi tidak dapat dijangkau oleh sumber air. Untuk beberapa,

Bab II 74
kecamatan masih perlu dikembangkan sistem penyediaan air bersih regional (Lembang, Cisarua,
Ngamprah, Padalarang).
Kendala yang terjadi adalah keadaan sungai-sungai yang terancam semakin sakit , yaitu
menunjukkan perbedaan debit di musim penghujan dengan debit di musim kemarau semakin
besar. Pemulihan kawasan lindung merupakan program yang sangat prioritas agar debit sungai-
sungai tersebut sehat kembali dan mampu memenuhi kebutuhan irigasi yang rata-rata sebesar 1
liter/detik/hektar.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang akan membantu meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia dan mempengaruhi kemajuan pembangunan daerah. Karena itu
fasilitas yang berkaitan dengan pendidikan khususnya pendidikan formal harus memadai baik
dari segi jumlah maupun kualitasnya. Berdasarkan data tahun 2004, Kecamatan Parongpong dan
Rongga tidak memiliki SLTA. Jika dihitung berdasarkan standar kebutuhan sarana pendidikan,
hampir seluruh kecamatan berada dalam tingkat pelayanan tidak mencukupi.

Tabel 2.39
Tingkat Pemenuhan Sarana Pendidikan di Kabupaten Bandung Barat
No. Tingkat Pemenuhan Kecamatan
TK SD SLTP SLTA
1 <1 Seluruh Cililin, Cihampelas, Seluruh Seluruh
Tidak Mencukupi Kecamatan Gununghalu, Batujajar, Kecamatan Kecamatan
Lembang, Cisarua,
Parongpong, Ngamprah,
Padalarang, Cipatat,
Cipeundeuy,
Cikalongwetan
2 =1 - - - -
Mencukupi
3 >1 - Sindangkerta, Cipongkor - -
Lebih dari Mencukupi

Kondisi serupa juga terdapat pada pelayanan sarana kesehatan. Bandung Barat saat ini
tidak memiliki rumah sakit. Fasilitas kesehatan yang ada hanya puskesmas di tiap kecamatan.
Akibatnya, warga yang membutuhkan perawatan harus dirujuk ke rumah sakit di Cimahi atau di
Kota Bandung.

Tabel 2.40
Tingkat Pemenuhan Sarana Kesehatan di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2005
No. Tingkat Kecamatan

Bab II 75
Pemenuhan Rumah Sakit RS Bersalin Puskesmas Apotik
1 - (sesuai belum Cililin, Cihampelas, Tidak ada Tidak ada
membutuhkan) Sindangkerta,
Gununghalu, Rongga,
Cipongkor, Batujajar,
Parongpong, Cisarua,
Cipatat, Cipeundeuy,
Cikalongwetan
2 <1 Lembang, Ngamprah Tidak ada Hampir Seluruh Tidak ada
Tidak Mencukupi Kecamatan kecuali 7
kecamatan di bawah
(dengan nilai = 1)
3 =1 Tidak ada Sindangkerta, Tidak ada
Mencukupi Cisarua
4 >1 - Tidak ada - Tidak ada
Lebih dari
Mencukupi
Sumber : Hasil Analisis, 2008

Untuk sarana perdagangan, beberapa kecamatan telah memenuhi standar pelayanan.


Kabupaten Bandung Barat telah memiliki pusat perbelanjaan dan pasar yang merupakan salah
satu prasyarat fasilitas kawasan perkotaan.

Tabel 2.41
Tingkat Pemenuhan Sarana Perdagangan di Kabupaten Bandung Barat
Kecamatan
Tingkat
No Pusat
Pemenuhan Pasar Toko Warung
Perbelanjaan
1 <1 - Seluruh kecamatan - Seluruh
Tidak kecuali kecamatan
Mencukupi Sindangkerta dan kecuali Batujajar
yang memiliki nilai dan yang
>1 memiliki nilai
>1

2 =1 - Sindangkerta - Batujajar
Mencukupi
3 >1 Seluruh Kecamatan Cililin, - -
Lebih dari kecuali dengan nilai Cihampelas,
Mencukupi < 1 dan belum Gununghalu,
membutuhkan Rongga,
Cipongkor,
4 Belum Cipeundeuy
membutuhkan

Permasalahan sampah saat ini menjadi permasalahan serius di Bandung Barat. TPA di
Cipatat yang digunakan bersama oleh Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kabupaten
Bandung, dan Kota Cimahi sangat terbatas daya tampungnya karena menggunakan sistem open

Bab II 76
dumping dan sanitary land fill. Penggunaan kembali TPA Leuwigajah dengan sistem
pengolahan sampah ramah lingkungan menjadi solusi terbaik.

2.2. Tantangan
2.2.1. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama
Berdasarkan kondisi sosial budaya Kabupaten Bandung Barat saat ini, tantangan 20 tahun
ke depan adalah sebagai berikut:
1) Dalam dua puluh tahun mendatang, Kabupaten Bandung Barat akan menghadapi tekanan
jumlah penduduk yang semakin tinggi. Pada tahun 2025 laju pertumbuhan penduduk di
Kabupaten Bandung Barat akan mencapai 18,47%, sehingga diperkirakan pada tahun 2025
jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat akan mencapai sekira 2.086.423 orang.
Pengendalian jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya perlu diperhatikan untuk
terwujudnya penduduk yang tumbuh dengan seimbang guna peningkatan kualitas, daya saing
dan kesejahteraannya. Selain itu, persebaran dan mobilitas penduduk perlu mendapatkan
perhatian, sehingga ketimpangan persebaran dan kepadatan penduduk antar kecamatan dapat
dikurangi. Untuk mendorong akselerasi persebaran mobilitas penduduk perlu dibangun
sarana dan prasarana (jalan) yang dapat mempermudah aksesibilitas mobilitas antar wilayah.
2) Di bidang pendidikan, masih terdapat penduduk umur 10 tahun ke atas yang tidak
melanjutkan sekolah, jumlahnya mencapai 988.834 orang, meskipun di dalam angka tersebut
terkandung angka drop out karena yang dihitung adalah usia sekolah 10 tahun ke atas yang
tidak lagi bersekolah. Rata-Rata Lama Sekolah penduduk Kabupaten Bandung Barat baru
mencapai 8,2 tahun (setara kelas 2 SMP). Oleh karena itu, berdasarkan ijasah yang dimiliki
oleh penduduk, sebagian besar besar penduduk hanya memiliki Ijasah SD (47,79%), dan 18
sebanyak 18,50% belum memiliki ijasah. Selain itu, berdasarkan data tahun 2007, di
Bandung Barat masih ada sekitar 34.604 (2,85%) yang belum dapat baca tulis huruf latin.
Semuanya merupakan kelemahan kondisi sosial budaya masyarakat Bandung Barat.
3) Rendahnya tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa perhatian
terhadap masa depan sangat rendah. Mereka tidak mampu bersaing untuk berkiprah dalam
peran sosialnya sendiri. Sementara itu Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bandung
Barat hanya senilai Rp 17 miliar pertahun, nilai tersebut bersumber dari retribusi penerangan
jalan umum yang merupakan penyumbang terbesar yaitu mencapai Rp 10 miliar, sedangkan

Bab II 77
sisanya dari retribusi hotel dan restoran di wilayah Lembang serta pendapatan lainnya. Nilai
PAD Kabupaten Bandung Barat tersebut tergolong rendah bila dibandingkan dengan daerah
lainnya. Sebagai perbandingan, PAD Kabupaten Bandung pada tahun 2007 (sebelum
dimekarkan) mencapai Rp 151 miliar per tahun. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan
anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan kebijakan daerah yang mendukung sektor
pendidikan memberi angin segar untuk tumbuh dan berkembangnya pendidikan di
Kabupaten Bandung Barat. Untuk memacu peningkatan mutu pendidikan, yang ditunggu
adalah kemampuan pengelolaan dinas pendidikan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi
guru, penyebaran guru secara merata, serta pengembangan pendidikan non-formal. Dengan
cara ini diharapkan tingkat pendidikan meningkat dan angka buta huruf dapat dikurangi.
4) Di bidang kesehatan, Kabupaten Bandung Barat belum memiliki rumah sakit umum daerah
yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sarana dan prasarana kesehatan yang
ada baru sebatas Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Selain itu, masih terdapat beberapa
kecamatan yang memiliki fasilitas kesehatan yang sangat terbatas. Di samping itu tingkat
kemiskinan (keluarga Pra-KS dan KS-1) di Kabupaten Bandung Barat masih tinggi, sehingga
mereka tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan maupun pendidikan. Semua itu
merupakan masalah yang menjadi kendala bagi pengembangan sumberdaya manusia di
Kabupaten Bandung Barat. Oleh karena itu tantangan 20 tahun ke depan dalam rangka
meningkatkan sumberdaya manusia, Kabupaten Bandung Barat perlu meningkatkan
pelayanan kesehatan yang dapat menjangkau orang-orang miskin.
5) Dari aspek keagamaan, karena semakin heterogennya masalah keagamaan di Kabupaten
Bandung Barat, pemerintah perlu menjadi fasilitator dalam rangka meningkatkan
keharmonisan kehidupan beragama melalui penggalian nilai-nilai keagamaan yang dapat
diterima oleh masyarakat.
6) Dari sisi budaya, nilai-nilai budaya masyarakat (khususnya masyarakat Sunda sebagai etnis
mayoritas) seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju menyebabkan
nilai-nilai budaya masyarakat semakin hari semakin pudar dalam memelihara (ngaruat)
budayanya. Karena itu dibutuhkan upaya pemerintah untuk menggali nilai-nilai keagaman
dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat (budaya Sunda), untuk digunakan dalam
membangun jatidiri masyarakat Bandung Barat dalam pembangunan.

Bab II 78
7) Memperhatikan permasalahan sosial budaya dan kecenderungan pencapaian IPM dan
komponen-komponennya yang belum maksimal, tantangan peningkatan IPM pada 20 tahun
ke depan harus difokuskan pada peningkatan Indeks Daya Beli. Namun demikian, pelayanan
pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat harus senantiasa ditingkatkan untuk menjamin
peningkatan Indeks Pendidikan dan Indeks Kesehatan. Untuk mendorong pencapaian IPM
diperlukan percepatan pembangunan sarana prasarana infrastruktur yang dapat mendorong
perkembangan aksesibilitas antarwilayah di Kabupaten Bandung Barat.

2.2.2. Ekonomi
Pembangunan ekonomi Kabupaten Bandung Barat dua puluh tahun mendatang
dihadapkan pada sejumlah tantangan, yakni sebagai berikut :
1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas
untuk mewujudkan secara nyata peningkatan kesejahteraan sekaligus mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan ekonomi serta mengurangi tingkat pengangguran melalui
perluasan dan penyediaan lapangan kerja. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten
Bandung Barat tahun 2005 2025 diperkirakan akan berada pada kisaran 6% sampai 10% per
tahun. Tingkat kemiskinan minimal sesuai dengan standar internasional yaitu Bank Dunia.
Tingkat pengangguran berada pada kisaran angka dibawah tingkat pengangguran propinsi
Jawa Barat atau nasional. Struktur ekonomi Kabupaten Bandung Barat ke depan akan
didominasi oleh empat sektor utama yaitu sektor pertanian (primer), industri (sekunder),
perdagangan, dan jasa-jasa (tersier) sebagai sektor-sektor yang menjadi sektor utama
penyerap tenaga kerja, sekaligus pemberi kontribusi yang cukup besar pada total PDRB yang
diharapkan pada kurun waktu 2005-2005 kontribusi sektoral dapat berimbang pada angka
masing-masing sektor sebesar 30%-an.
Seiring dengan era perdagangan bebas yang akan terus mewarnai perkembangan ekonomi
dunia di masa mendatang, peningkatan daya saing ekonomi daerah menjadi faktor penentu
bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi daerah dimana harus tumbuh banyak sektor dan
subsektor ekonomi yang selain meningkat baik kontribusi maupun laju pertumbuhan di
tingkat lokal dan nasional tapi juga kuat dalam peranan ekspornya terutama ekspor ke luar
negeri. Penguatan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah akan menjadi penggerak
pertumbuhan ekonomi daerah, yang didukung oleh reorientasi ekonomi kepada prinsip

Bab II 79
berkeadilan dengan berbasiskan data, penelitian, pengembangan teknologi serta mekanisme
pasar yang efisien.
2) Tantangan peningkatan investasi di daerah 20 tahun di masa yang akan datang tidak lepas
dari stabilitas keamanan dan ketertiban yang diiringi oleh kepastian hukum, ketersediaan
infrastruktur wilayah, ketersediaan dan kepastian lahan, perburuhan dan masalah lainnya
termasuk proses perizinan pembangunan. Pemecahan masalah tersebut sangat menentukan
keberhasilan untuk menarik investor agar dapat menanamkan modalnya di Bandung Barat.
Upaya promosi investasi juga menjadi faktor penentu untuk menarik investasi baru.
3) Upaya untuk mendukung pencapaian pertumbuhan sektor industri jangka panjang, diarahkan
pada penguatan potensi pertanian dan industri penunjang produktivitas pertanian secara
berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan didasarkan pada industri yang
berbasis pada sumberdaya alam lokal dan penguasaan teknologi dengan didukung oleh
sumberdaya manusia yang kompeten. Dengan demikian, diharapkan sektor industri dapat
menjadi penggerak utama perekonomian daerah yang memiliki struktur keterkaitan dan
kedalaman yang kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan dan tangguh di pasar
domestik dan internasional.
4) Tantangan ke depan untuk pengembangan perdagangan di Bandung Barat adalah
peningkatan sarana distribusi barang, penguatan pasar domestik, menggalakkan
pemberdayaan produk dalam negeri serta peningkatan perlindungan konsumen dan menjaga
keseimbangan antara pertumbuhan usaha perdagangan bermodal besar dan usaha
perdagangan tradisional.
5) Tantangan utama dalam pengembangan pertanian di Bandung Barat adalah adanya konversi
lahan usaha tani ke nonpertanian menyebabkan terjadi konsentrasi kapital di nonpertanian
yang semakin menekan posisi tawar sektor pertanian, rendahnya sumberdaya manusia di
sektor pertanian akibat berkurangnya minat dan ketersediaan sekolah kejuruan serta
pendidikan dan latihan (diklat) di bidang pertanian, rendahnya skala usaha tani, dan
rendahnya penghargaan terhadap petani serta lemahnya akses petani terhadap teknologi baru,
permodalan, informasi, dan pasar. Peluang pengembangan potensi pertanian masih terbuka
lebar. Lahan yang subur kandungan tanah volkanik dan curah hujan yang tinggi merupakan
faktor utama dalam pengembangan pertanian. Ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan agar

Bab II 80
tergalinya potensi pertanian yaitu jaminan tersedianya sumberdaya air dan perubahan
orientasi petanian dari penggunaan pupuk kimia dan atau pestisida pemberantasan hama.
6) Pada sisi lain, pengembangan sarana dan prasarana yang ada relatif belum dapat
memperbaiki kinerja perekonomian terutama pada sektor pertanian, upaya peningkatan
kesempatan kerja maupun pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya
meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antar subsistem dalam sistem pertanian, serta
menumbuhkembangkan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan dan budaya terutama
aspek pertanian. Tingkat kebutuhan konsumsi pangan di masa yang akan datang untuk
beberapa komoditas relatif akan meningkat secara perlahan. Peningkatan ini berhubungan
erat dengan tingkat pertumbuhan penduduk serta proyeksi tingkat konsumsi per kapita per
tahun.
7) Tantangan pengembangan pariwisata dua puluh tahun mendatang adalah terwujudnya
Bandung Barat sebagai daerah kunjungan wisata berbasis potensi lokal, seperti geowisata dan
agrowisata. Potensi wisata Bandung Barat cukup banyak dengan objek dan atraksi wisata
yang variatif dan menarik. Guna mendukung pertumbuhan wisatawan ke Bandung Barat,
maka pengembangan pariwisata difokuskan pada pengembangan daya tarik wisata yang
berakar pada alam Bandung Barat, yang didukung oleh kompetensi sumberdaya manusia,
pengelola daya tarik wisata, dan fasilitas penunjang wisata. Alam yang menarik dengan
aneka objek geowisata bernuansa lembah, sungai, air terjun, telaga/danau dan gunung sangat
berpotensi uantuk dikembangkan. Kuncinya adalah koordinasi untuk memadukan atau
menyinergikan objek wisata hayati (agrowisata) dengan potensi wisata lainnya misalnya
wisata budaya, pendidikan, kuliner dan pusat belanja. Besarnya potensi wisata mendorong
pertumbuhan dan pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat.
8) Masalah kemiskinan akan sangat berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk
memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Kebutuhan akan sandang, pangan,
papan serta pendidikan dan kesehatan merupakan tantangan yang harus mendapatkan
perhatian dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan
kemiskinan merupakan prioritas utama dalam pembangunan jangka panjang sehingga
diharapkan pada tahun 2025 jumlah penduduk miskin akan berada pada tingkat yang masih
bisa dianggap layak dan aman.

Bab II 81
2.2.3. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
Pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Bandung Barat untuk 20 tahun mendatang
dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berkaitan dengan jumlah penduduk yang semakin
banyak, keterbatasan sumberdaya alam, dan lingkungan hidup yang semakin terdegradasi. Untuk
itu, tantangan yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1. Jumlah penduduk Kabupaten Barat yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi
1.582.832 jiwa (2010), 1.741.115 jiwa (2015), 1.915.226 jiwa (2020), 2.106.748 jiwa (2025)
diupayakan menjadi modal pembangunan, bukan sebagai beban pembangunan. Jumlah
penduduk boleh banyak, namun tekanan penduduk TP tidak boleh melebihi angka 1. TP=1
artinya tidak terdapat dorongan pada penduduk untuk merusak sumberdaya alam dan
lingkungan hidupnya. Upaya-upaya mengubah paradigma perilaku penduduk menjadi
berwawasan lingkungan adalah tantangan prioritas dari Kabupaten Bandung Barat.
2. Kawasan lindung Kabupaten Bandung Barat yang ideal adalah sekitar 78.340 hektar atau
sekitar 60% dari total wilayah Kabupaten Bandung Barat seluas 130.567 hektar. Saat ini
kawasan lindung yang sehat hanya tersisa 26.113 ha atau 20% dari total wilayah.
Pemulihan kawasan lindung tahap demi tahap merupakan tantangan Kabupaten Bandung
Barat dalam 20 tahun mendatang. Membangun kawasan lindung terutama di luar kawasan
hutan merupakan tantangan yang memerlukan sinergi dengan masyarakat. Pembangunan
wanatani (agroforest) merupakan salah satu alternatif.
3. Kebutuhan air untuk RKI (Rumah Tangga, Kota, Industri) dan pertanian terus meningkat dari
tahun ke tahun. Tahun 2010 (penduduk 1.582.832 jiwa, kebutuhan air baku 11,692
m3/detik), tahun 2015 (penduduk 1.741.115 jiwa, kebutuhan air baku 12,001 m3/detik),
tahun 2020 (penduduk 1.915.226 jiwa, kebutuhan air baku 12,836 m3/detik), tahun 2025
(penduduk 2.106.748 jiwa, kebutuhan air baku 13,596 m3/detik). Dari tahun ke tahun
ketersediaannya tetap terbatas, yaitu kurang lebih hanya 5,113 m3/detik dengan kualitas yang
semakin buruk. Beberapa alternatif tantatangan lainnya adalah: perlu pemulihan kawasan
lindung yang serius, perlu pembangunan embung-embung/ waduk-waduk kecil, perbaikan
situ-situ, pemeliharaan mata air, perlu dipikirkan Waduk Saguling sebagai sumber air baku.

2.2.4. Politik dan Aparatur Pemerintahan

Bab II 82
Pemerataan pembangunan harus ditopang oleh keterlibatan berbagai level pemerintah,
tidak hanya di tingkat kecamatan tapi juga kabupaten dan provinsi. Provinsi dapat berperan
dalam memberikan subsidi atau program-program yang dapat mempercepat pertumbuhan
ekonomi di daerah-daerah yang selama ini relatif tertinggal dengan cara membuka akses
transportasi dan komunikasi. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat harus mulai mengantisipasi
kewenangan yang diperoleh dengan mempersiapkan kelembagaan dan sumberdaya aparatur yang
semakin berkualitas dengan kuantitas memadai sehingga mampu memperluas jangkauan
pelayanan publik. Berkaitan dengan perencanaan jangka panjang di bidang politik dan aparatur
pemerintahan, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Tantangan-tantangan tersebut
adalah:
1) Penataan Birokrasi
Penataan birokrasi pemerintah daerah Kabupaten Bandung Barat perlu dilakukan dengan
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan publik sehingga jumlah
aparat birokrasi yang diperlukan tidak terlampau banyak, tetapi memiliki kualifikasi dan
kompetensi yang memadai. Kepastian mengenai jumlah PNS yang akan diserahkan kepada
Kabupaten Bandung Barat merupakan langkah awal yang positif, tetapi perlu terus dikawal
agar proses ini tidak menyimpang dari rencana semula. Perlu dirumuskan analisis kebutuhan
birokrasi menyangkut perkiraan jumlah minimal aparat birokrasi yang diperlukan untuk
menggerakkan roda pemerintahan, termasuk pula pembiayaan bagi kegiatan birokrasi (gaji,
tunjangan, dan sebagainya). Analisis ini dapat berguna untuk menyusun struktur organisasi
dengan biaya dan jumlah pegawai yang efisien. Kebijakan penataan organisasi perangkat
daerah harus memperhitungkan dan memperhatikan potensi dan kemampuan daerah yang
membawa pengaruh kepada aspek pembiayaan, personil dan perlengkapan secara utuh dan
menyeluruh menyangkut perangkat daerah.
Untuk menunjang kinerja pemerintahan, khususnya di bidang pelayanan publik, tantangan
yang dihadapi Bandung Barat dalam dua puluh tahun mendatang adalah untuk melakukan
reformasi birokrasi agar tercipta struktur birokrasi pemerintah yang ramping namun optimal
dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Reformasi birokrasi juga perlu dilakukan dalam hal
penyederhaan ketatalaksanaan agar prosedur pelayanan publik menjadi lebih sederhana,
efisien, dan efektif. Hal ini perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kualitas

Bab II 83
pelayanan publik, tapi juga untuk mendorong minat investasi yang selanjutnya akan
menumbuhkan dinamika perekonomian di Bandung Barat.
2) Optimalisasi KinerjaKecamatan dan Pemerintah Desa dalam Pelayanan Publik
Pembangunan berkelanjutan akan berdampak efektif bila ditindaklanjuti dengan program dan
kegiatan yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan kecamatan-kecamatan dan
pemerintah desa di Kabupaten Bandung Barat, antara lain dengan melakukan desentralisasi
atau pelimpahan kewenangan pada kecamatan dan pemerintah desa sebagai unit pelayanan
publik terdepan. Pelimpahan kewenangan ini diorientasikan untuk mencapai pemerataan
pembangunan di seluruh wilayah sehingga tidak terjadi kesenjangan dan di sisi lain, dapat
memacu lahirnya pusat-pusat perekonomian baru di kabupaten yang baru terbentuk itu
melalui pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati kepada Camat, baik di
bidang pemerintahan, ekonomi dan pembangunan, pendidikan dan kesehatan, sosial dan
kesejahteraan rakyat, dan pertanahan serta penyerahan kewenangan dan pembiayaan kepada
pemerintah desa. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan kapasitas kecamatan dan
pemerintah desa agar mampu melaksanakan kewenangan yang dilimpahkan tersebut secara
efektif, efisien, dan akuntabel.
3) Pengembangan Kapasitas Manajemen Pemerintahan
Tantangan ini harus menjadi bagian dari reformasi birokrasi jangka panjang agar penataan
kelembagaan (organisasi) birokrasi berjalan seiring dengan pembenahan ketatalaksanaan dan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat birokrasi di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Bandung Barat. Di masa mendatang, Kabupaten Bandung Barat akan menghadapi
tantangan berat berupa arus mobilitas penduduk yang sangat cepat, tuntutan akan pelayanan
publik yang makin meningkat, dan kemungkinan kerawanan-kerawanan yang muncul akibat
penurunan kualitas lingkungan hidup. Untuk mengantisipasi perubahan-perubahan ini, maka
kapasitas manajemen pemerintahan harus ditingkatkan, antara lain dilakukan melalui
pembenahan mekanisme rekrutmen aparat birokrasi pemerintah daerah, pembentukan
assessment centre sebagai media untuk menjamin penempatan pegawai berdasarkan sistem
merit dan kompetensi, perbaikan metode pendidikan dan pelatihan bagi aparat birokrasi
untuk meningkatkan kompetensinya, serta pengembangan budaya kerja yang profesional
yang berorientasi pada output dan outcome dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
birokrasi.

Bab II 84
4) Pemberdayaan Masyarakat
Terbentuknya Kabupaten Bandung Barat tidak dapat dilepaskan dari peran serta kelompok-
kelompok masyarakat yang secara aktif menyampaikan aspirasinya. Ini adalah modal sosial
yang perlu terus diberdayakan sebagai kekuatan pendukung bagi terwujudnya good
governance di Kabupaten Bandung Barat. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud tidak
hanya terkait dengan pembinaan organisasi-organisasi kemasyarakatan atau parpol yang ada
di Kabupaten Bandung Barat, tapi juga civil society pada umumnya, seperti yang berupa
forum-forum warga sebagai wadah diskusi dan komunikasi antar warga dan antara warga
dengan pemerintah. Kabupaten Bandung sebagai kabupaten induk pernah memiliki Perda
Transparansi. Ini mungkin bisa dicontoh dan diterapkan pula di Kabupaten Bandung Barat,
tentunya diimbangi dengan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan kewargaan
(pendidikan politik), sehingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat meningkat,
yang selanjutnya dapat membangun mutual trust (kepercayaan) dan gathering system (sistem
kebersamaan) dalam masyarakat lokal.

5) Pengembangan jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat


Salah satu prinsip penting good governance adalah membangun jejaring kemitraan
(networking) yang sinergis antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Terbentuknya
Kabupaten Bandung Barat sebagai daerah otonom baru sebenarnya merupakan peluang untuk
mulai membina kapasitas daerah dalam membangun jejaring kemitraan yang sinergis. Di
masa mendatang, peran pemerintah (government/state) dalam pembangunan harus mulai
dikurangi. Pemerintah berperan sebatas pada dimensi regulasi, fasilitasi, dan mediasi,
sedangkan peran-peran lain sebaiknya lebih banyak dimainkan oleh pelaku usaha (pasar,
privat sector) dan masyarakat (civil society). Pelayanan publik, di dalam praktik
penyelenggaraannya seyogianya dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha (pasar, privat
sector) dan masyarakat (civil society) itu sendiri. Dalam konteks inilah, regulasi dalam arti
pembuatan aturan main (rule of the game) baik berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun
Peraturan Bupati (Perbub) yang bersifat pro publik, pro gender, pro orang miskin, pro
lingkungan, dan partisipatif perlu diwujudkan di Kabupaten Bandung Barat. Hindari regulasi
yang sifatnya bias elit dan bias birokrasi pemerintahan. Untuk hal itu, perlu dibuka seluas-

Bab II 85
luasnya ruang publik (public sphere) untuk membicarakan berbagai rencana regulasi yang
menyangkut kepentingan publik. Oleh karena itu, perlu kesinergian (working together, atas
dasar kecintaan sepenuh hati dan pemahaman yang sama dan tepat terhadap visi yang ingin
diwujudkan) antara elit dan massa.
Mengingat potensi Kabupaten Bandung Barat yang sangat besar, perkembangan ekonomi,
sosial, dan budaya akan berlangsung sangat cepat, sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten
Bandung Barat perlu segera mengantisipasi dengan membangun jejaring kemitraan dalam
berbagai dimensi kehidupan, antara lain dalam penyediaan pelayanan publik dan pengelolaan
sumberdaya, khususnya sumberdaya alam. Lokasi geografis Kabupaten Bandung Barat yang
berdekatan dengan wilayah daerah lain juga mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten
Bandung Barat untuk mulai merumuskan model kerjasama antardaerah untuk pelayanan
tertentu, misalnya pelayanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan sampah, penyediaan air
bersih, sarana transportasi, dll. Kemitraan dan kerjasama antardaerah diharapkan dapat
mendorong efisiensi dalam pengelolaan keuangan daerah, sehingga pemerintah tidak mesti
menanggung seluruh biaya penyelenggaraan pemerintahan.

2.2.5 Hukum dan Hak Asasi Manusia


Kebijakan pembangunan hukum memiliki 3 (tiga) dimensi yang integral dan saling
berpengaruh satu dengan lainnya. Pertama, dimensi subtansi yang mencakup perihal materi
hukum. Kedua, dimensi struktur yang tercakup di dalamnya aparatur, serta sarana dan prasarana
hukum. Ketiga, budaya hukum, yaitu sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk perilaku
aparat penyelenggara negara, kesadaran hukum, dan penegakan hukum.
Pembangunan dan pengembangan budaya hukum adalah hal yang sangat strategis untuk
dilakukan dalam jangka panjang. Budaya hukum yang kuat dan baik akan mempengaruhi
terciptanya produk materi hukum bermutu yang transparan dan partisipatif, penegakan hukum
yang cermat, cepat dan tepat, kesadaran hukum yang baik, meningkatnya profesionalisme dan
integritas moral aparat hukum serta tersedianya sarana dan prasarana hukum yang efektif dan
efisien. Dengan demikian, diharapkan efektivitas hukum akan terwujud yang ditunjukkan
dengan ketaatan serta kepatuhan hukum masyarakat dan meningkatnya penghormatan terhadap
hak asasi manusia (HAM).

Bab II 86
2.2.6 Ketenteraman dan Ketertiban Masyarakat
Akar masalah (root cause) yang menjadikan tekanan dinamis (dynamic pressures) yang
menyebabkan masalah sosial perlu dieksplorasi lebih lanjut untuk kemudian dilakukan
penanganan serius. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pembangunan ketentraman dan
ketertiban wilayah dan masyarakat.
Mengatasi ketidaksimpatian penegakan ketentraman dan ketertiban serta sikap tidak acuh
memerlukan perubahan paradigma yang berorientasi ketertiban untuk ketentraman. Sebagai
sebuah entitas pranata sosial, ketentraman dan ketertiban tidak dapat dipandang hanya sebagai
norma, penegakan dan sanksi saja, melainkan juga sebagai proses pembentukan yang
melingkupinya.
Internalisasi norma yang menjadi pedoman ketentraman dan ketertiban bagi anggota
masyarakat perlu diprioritaskan. Dengan demikian, ketentraman dan ketertiban dapat menjadi
pranata sosial yang sungguh-sungguh berlaku bukan hanya sebagai peraturan saja. Di samping
itu, dibutuhkan sistem pengendalian sosial (social control) yang berorientasi menjaga keutuhan
masyarakat dengan mengedepankan langkah-langkah preventif melalui sosialisasi serta
pendidikan formal dan informal mengenai ketentraman dan ketertiban.
2.2.7 Tata Ruang dan Infrastruktur Masyarakat
Tantangan dalam bidang tata ruang adalah terciptanya suatu tatanan di bidang
pemanfaatan ruang yang terkendali dan mempertimbangkan keseimbangan antara pemanfaatan
dan tuntutan kelestarian lingkungan hidup. Dilihat dari konteks tata ruang dan infrastruktur,
Bandung Barat menghadapi tantangan untuk merumuskan penataan ruang yang sesuai dengan
kondisi alam yang relatif berat, yakni bentang alam yang tidak merata dan beberapa wilayah
yang merupakan wilayah dengan ketinggian tertentu yang tidak memungkinkan pengembangan
lebih lanjut. Penataan ruang selama ini belum optimal terutama dilihat dari keseimbangan
pengembangan ruang, maupun ketidaktegasan pemanfaatan ruang sehingga masih terjadi
pengembangan yang tidak sesuai dengan peraturan maupun kebutuhan lingkungan.
Dalam hal struktur tata ruang yag ada di Kabupaten Bandug Barat, terbagi kedalam 4
(empat) Wilayah Pengembangan, yaitu:
Pusat inti WP berpusat di Ngamprah dengan fungsi melayani semua kecamatan di KBB.

Bab II 87
WP Padalarang dengan pusat Kota Padalarang. Kota Padalarang berfungsi sebagai sub pusat
kota yang melayani kecamatan sekitarnya yaitu : Kecamatan Cipatat (SWP), Batujajar
(SWP), dan Kecamatan Cihampelas (SWP),
WP Lembang, pusat Kota Lembang, melayani Cisarua dan Parongpong
WP Cikalongwetan, melayani Cipeundey
WP Cililin, melayani Cipongkor, Sindangkerta, Gununghalu, Rongga

Tabel 2.42
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) di Kabupaten Bandung Barat

Cakupan
No. Hirarki Kota Wilayah Fungsi yang Dikembangkan Fasilitas Penunjang
Pelayanan
1 PKW Semua Pusat pemerintahan 1. Pemerintahan skala
Ngamprah kecamatan kabupaten, permukiman, kabupaten
perdagangan dan jasa, 2. Pendidikan: SD, SLTP,
pertanian lahan basah dan SMU, PT
lahan kering 3. Kesehatan:RSU Type B
4. Terminal Type B
5. Peribadatan
6. Ekonomi: Pasar,
perdagangan grosir
7. Fasilitas Olahraga dan
Rekreasi
8. Akomodasi:Hotel
Berbintang
2 PKL-1 Kecamatan Perumahan, industri, 1. Pendidikan: SD, SLTP,
Padalarang Batujajar, perdagangan dan jasa, SMU, PT
Cipatat dan pariwisata dan Ruang 2. Kesehatan:RSU Type C
Cihampelas Terbuka Hijau (RTH) 3. Terminal Type C
4. Peribadatan
5. Ekonomi: Pasar,
perdagangan grosir
6. Fasilitas Olahraga dan
Rekreasi
7. Akomodasi:Hotel Melati

Bab II 88
3 PKL-1 Kecamatan Wisata, agribisnis, 1. Pendidikan: SD, SLTP,
Lembang Parongpong permukiman perkotaan SMU, PT
dan Cisarua 2. Kesehatan:RSU Type C
3. Terminal Type C
4. Peribadatan
5. Ekonomi: Pasar,
perdagangan grosir
6. Fasilitas Olahraga dan
Rekreasi
7. Akomodasi:Hotel Melati

4 PKL-1 Kecamatan Permukiman, perdagangan 1. Pendidikan: SD, SLTP,


Cikalongwetan Cipeundeuy dan jasa, perkebunaan dan SMU, PT
konservasi 2. Kesehatan:RSU Type C
3. Terminal Type C
4. Peribadatan
5. Ekonomi: Pasar,
perdagangan grosir
6. Fasilitas Olahraga dan
Rekreasi
7. Akomodasi:Hotel Melati
5 PKL-1 Cililin Desa Permukiman, perdagangan, 1. Pendidikan: SD, SLTP,
bawahannya perikanan dan pariwisata SMU, PT
2. Kesehatan:RSU Type C
3. Terminal Type B
4. Peribadatan
5. Ekonomi: Pasar,
perdagangan grosir
6. Fasilitas Olahraga dan
Rekreasi
7. Akomodasi:Hotel Melati
6 PKL-2 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat
Batujajar bawahannya dan jasa, pariwisata perawatan, pendidikan, pasar,
terminal tipe C.

7 PKL-2 Cipatat Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat


bawahannya dan jasa, industri ekstraktif, perawatan, pendidikan, pasar,
perikanan terminal tipe C.
8 PKL-2 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat
Cihampelas bawahannya dan jasa, perikanan dan perawatan, pendidikan, pasar,
pariwisata terminal tipe C.
9 PKL-2 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat
Parongpong bawahannya dan jasa, pertanian dan perawatan, pendidikan, pasar,
pariwisata terminal tipe C.
10 PKL-2 Cisarua Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat
bawahannya dan jasa, perikanan perawatan, pendidikan, pasar,
holtikultura,peternakan sapi terminal tipe C.
dan pariwisata
11 PKL-2 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat
dan jasa, pertanian, perikanan perawatan, pendidikan, pasar,

Bab II 89
Cipeundeuy bawahannya dan industri terminal tipe C.

12 PKL-2 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat


Sindangkerta bawahannya dan jasa, pertanian dan perawatan, pendidikan, pasar,
perikanan terminal tipe C.
13 PKL-2 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas dengan tempat
Cipongkor bawahannya dan jasa, konservasi dan perawatan, pendidikan, pasar,
pertanian terminal tipe C.
14 PKL-3 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas, sub terminal,
Gununghalu bawahannya dan jasa, konservasi dan pendidikan, pasar
pertanian

15 PKL-3 Desa Permukiman, perdagangan Puskesmas, sub terminal,


Rongga bawahannya dan jasa, konservasi dan pendidikan, pasar
pertanian

Tabel 2.43
Arahan Fungsi Kawasan Pusat-pusat Pertumbuhan di KBB
Pusat Wilayah Pusat Wilayah
Fungsi yang Dikembangkan
WP Pengembangan Pertumbuhan Pelayanan
Ngamprah WP Padalarang Padalarang Batujajar Pusat pemerintahan kabupaten
Cipatat Konservasi
Cihampelas Pertanian
Pariwisata
Permukiman
Industri
Perdagangan
WP Lembang Lembang Parongpong Perumahan
Cisarua Konservasi
Pertanian
Pariwisata
WP Cikalongwetan Cipeundeuy Permukiman
Cikalongwetan Pertanian
Pariwisata
Perkebunan
Konservasi
Industri
WP Cililin Cililin Cipongkor Pertanian
Rongga Permukiman
Gununghalu Lindung
Sindangkerta Perkebunan
Pariwisata

Bab II 90
Peluang Kabupaten Bandung Barat untuk mengembangkan suatu ruang dan infrastruktur
antara lain ruang masih mungkin untuk diatur dan ditata bagi kepentingan masyarakat luas,
otoritas yang lebih besar dengan menjadi wilayah pemekaran untuk mengatur ruang tanpa
melupakan kerjasama dengan wilayah sekitar, pemanfaatan sumberdaya alam untuk tujuan
ekonomi baik sebagai wilayah pertanian, pariwisata dan industri sebagai sektor yang diharapakan
dapat menciptakan nilai tambah. Sudah adanya rintisan pengaturan ruang selama bergabung
dengan Kabupaten Bandung sebelumnya dapat dimanfaatkan sebagai dasar dalam perumusan
kebijakan tata ruang dengan dukungan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk lebih baik
dalam pengembangan Kabupaten Bandung Barat.
Dalam bidang Tata Ruang tantangan persoalan aspek pola tata ruang adalah sebagai
berikut:
1) Penyediaan kebutuhan lahan untuk kawasan permukiman terutama di kawasan perkotaan
dalam kondisi luasan lahan yang ada sangat terbatas karena adanya kawasan lindung yang
tidak boleh berubah fungsi dan adanya lahan sawah yang juga harus dipertahankan
keberadaannya.
2) Aspek pengendalian tata ruang menjadi prioritas terkait dengan tidak terkendalinya
pembangunan di beberapa kawasan terutama di Kawasan Bandung Utara.
3) Pemerataan pengembangan wilayah ke kecamatan-kecamatan yang berada dalam kondisi
tertinggal
4) Menetapkan Kawasan Observatorium Bosscha sebagan Kawasan Strategis Nasional dan
mengoptimalkan penggunaannya dengan mengendalikan pembangunan di Lembang dan
Kawasan Bandung Utara
5) Memberikan fungsi khusus bagi setiap kecamatan sesuai dengan potensi masing-masing
6) Mengembangkan wilayah dengan sistem yang non-linear dan mengembangkan beberapa
pusat kegiatan wilayah
7) Peningkatan integritas fungsional spasial dan keterkaitan (lingkages) antar pusat-pusat
permukiman
8) Meningkatkan hirarki kecamatan-kecamatan dengan melakukan pengembangan sarana dan
prasarana kota serta aksesibilitas kota terhadap wilayah luarnya
Tantangan yang dihadapi dalam aspek sarana prasarana di Kabupaten Bandung Barat
adalah sebagai berikut:

Bab II 91
1) Pembukaan akses ke daerah-daerah yang terisolir;
2) Perbaikan kualitas jalan yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan utama dalam skala
regional dan lokal.
3) Mengembangkan infrastruktur penampung air baku untuk memenuhi kebutuhan air terutama
pada saat musim kemarau.
4) Memperbaiki layanan jaringan irigasi teknis untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi
serta meningkatkan intensitas tanam padi sawah.
5) Mengembangkan sarana dan prasarana dasar pemukiman, berupa pengembangan rumah
susun, meningkatkan cakupan pelayanan air bersih, dan sanitasi lingkungan.
6) Mengembangkan pengelolaan sampah yang berskala lokal dan regional dengan sistem
pengolahan ramah lingkungan.
7) Memenuhi standar jumlah dan tingkat pelayanan dari sarana pendidikan, peribadatan,
perdagangan, dan kesehatan

2.3. Modal Dasar


Modal dasar pembangunan merupakan salah satu kekuatan dan peluang yang dapat
dimanfaatkan sebagai dasar pembangunan daerah, antara lain sebagai berikut :
1) Kedudukan Kabupaten Bandung Barat yang strategis, berada dekat dengan ibukota Provinsi
Jawa Barat dan menjadi jalur perlintasan menuju daerah lain di Jawa Barat maupun menuju
ibukota DKI Jakarta, merupakan dasar dalam penetapan kebijakan pembangunan daerah di
berbagai aspek;
2) Sumberdaya alam dan sumber energi yang tersedia menjadi potensi yang memberikan nilai
tambah untuk dikelola secara bertanggung jawab untuk kesejahteraan masyarakat;
3) Sumberdaya pariwisata yang cukup memadai sebagai modal untuk memberdayakan
masyarakat;
4) Karakteristik masyarakat yang religius, harmonis, bersikap terbuka dan memiliki
kemampuan untuk mengakses informasi dengan mudah, menjadi modal untuk mendukung
pelaksanaan pembangunan daerah.

Bab II 92
BAB III
VISI DAN MISI

3.1 Visi Pembangunan Daerah


Visi pembangunan daerah mengarah pada pencapaian tujuan daerah, seperti tertuang dalam
Undang-undang No. 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Jawa
Barat, yang merupakan momentum untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat,
sehingga membuka ruang dan potensi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah
Bandung Barat dan mempunyai korelasi yang signifikan dalam menunjang akselerasi
peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Barat khususnya, Provinsi Jawa Barat dan
nasional pada umumnya.

Visi pembangunan daerah merupakan penjabaran dari tugas yang dimandatkan oleh rakyat
kepada pemerintahan daerah, yaitu dalam rangka mewujudkan Kabupaten Bandung Barat yang :

Cerdas, Maju, makmur dan Agamis


Pengertian dari mandat tersebut adalah sebagai berikut:
Cerdas : seluruh komponen sumberdaya manusia di Kabupaten Bandung Barat, baik
sumberdaya aparatur maupun masyarakat harus berpendidikan, berakhlak mulia dan memiliki
integritas dan berdaya saing.
Maju : seiring dengan bertambahnya waktu, maka Kabupaten Bandung Barat harus terus maju
ke depan, mengalami peningkatan dan bertambah baik di semua aspek kehidupan.
Makmur : terpenuhinya berbagai kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, penyelenggaraan
pemerintahan maupun hasil pembangunan secara adil dan merata.
Agamis : keyakinan beragama menjadi landasan pengikat kebersamaan dalam seluruh aspek
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Berdasarkan potensi, kondisi perekonomian, dan peluang yang dimiliki Kabupaten Bandung
Barat, dengan memperhatikan nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang, maka visi pembangunan
daerah tahun 2005-2025 adalah:

KABUPATEN AGROINDUSTRI DAN WISATA RAMAH LINGKUNGAN

Pada hakikatnya, makna dari visi tersebut adalah:


Agroindustri: Mengandung pengertian terwujudnya peningkatan nilai ekonomis hasil produksi
pertanian di Kabupaten Bandung Barat melalui diversivikasi pengolahan hasil-hasil pertanian.

Bab III 94
Wisata Ramah Lingkungan: Mengandung pengertian terwujudnya pengembangan kawasan
wisata alam berrdasarkan potensi dan kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan.

3.2 Misi Pembangunan Daerah

Untuk mewujudkan mandat dan visi tersebut, dirumuskan 5 (lima) misi sebagai berikut:

Misi Satu : Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang sehat, cerdas dan kreatif,
adalah terwujudnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai oleh meningkatnya
semangat kewirausahaan, kreativitas, kompetensi, dan kemandirian yang tinggi di kalangan
seluruh komponen sumberdaya manusia Kabupaten Bandung Barat.

Misi Dua : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), adalah
tercapainya tata kelola pemerintahan yang profesional dengan menjalankan prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik yaitu partisipatif, transparan, akuntabel, dan berkelanjutan
(sustainable). Tata kelola pemerintahan yang baik bermakna pula tercapainya peningkatan
kualitas layanan publik yang didukung oleh peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan
daerah dan pemerintahan desa serta pemberdayaan masyarakat.

Misi Tiga: Meningkatkan perekonomian masyarakat dan pengembangan industri yang


berdaya saing serta berkeadilan, adalah terwujudnya kesejahteraan sosial dan ekonomi
masyarakat, yang ditandai oleh sistem perekonomian yang berkeadilan dan berdaya saing global,
disertai dengan terwujudnya sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, tercapainya
penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk
mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Misi Empat: Memelihara kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, adalah
terpeliharanya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, yang
ditandai oleh meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
terkendalinya pencemaran dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
meningkatnya upaya pengendalian resiko bencana, serta meningkatnya kesadaran masyarakat
akan kelestarian lingkungan hidup.

Misi Lima: Mengintegrasikan kearifan nilai-nilai agama dan budaya dalam pembangunan,
adalah memelihara, menumbuhkembangkan dan membangkitkan kembali nilai-nilai agama dan
budaya sebagai acuan dalam pembangunan; baik dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku
dalam hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.

Bab III 95
3.3 Perwujudan Visi dan Misi

Untuk mewujudkan visi dan misi Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 tersebut dibutuhkan:
1. Komitmen politik pimpinan daerah dan seluruh masyarakat untuk mengembangkan potensi
daerah serta meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi daerah
dalam rangka mendukung prioritas pembangunan dengan berdasarkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni: tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) dan pelaksanaan pembangunan yang berpihak pada
pertumbuhan ekonomi (pro growth), perluasan kesempatan kerja (pro job), kesetaraan
gender (pro gender), berbasis budaya lokal (pro local culture), dan peka terhadap daya
dukungl ingkungan (pro environment).
2. Mengembangkan program-program pendidikan masyarakat melalui sinergi dengan sumber-
sumber pendanaan/bantuan teknis baik dari pemerintah, dunia usaha maupun lembaga luar
negeri.
3. Mengembangkan program-program kesehatan masyarakat melalui sinergi dengan sumber-
sumber pendanaan/bantuan teknis baik dari pemerintah, dunia usaha maupun lembaga luar
negeri.
4. Meningkatkan kapasitas ekonomi daerah melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan
dengan menjalin kemitraan antara pengusaha besar dengan industri kecil dan menengah;
peningkatan kapasitas investasi di daerah; dan menjalin kerjasama antardaerah.
5. Mengoptimalkan pelayanan prima dan kelengkapan sarana dan prasarana/infrastruktur
komunikasi dan transportasi dalam kerangka pengembangan wilayah.
6. Pengembangan wilayah disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing
wilayah.
7. Pengembangan kawasan perkotaan diwilayah utara diarahkan sebagai penyangga kota
Bandung, sedangkan di wilayah selatan dikembangkan sebagai kota pendidikan dan
pemukiman.

Bab III 96
BAB IV
ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

4.1 Arah Pembangunan

4.1.1 Meningkatnya Kualitas Sumberdaya Manusia yang Sehat, Cerdas dan Kreatif

Sumberdaya manusia merupakan faktor penting yang akan menentukan keberhasilan


pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang
ditandai oleh meningkatnya semangat kewirausahaan, kreativitas, kompetensi, dan kemandirian
yang tinggi di kalangan seluruh komponen sumberdaya manusia Kabupaten Bandung Barat,
diarahkan pada kondisi-kondisi berikut:
a. terwujudnya keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan daya dukung dan daya
tampung wilayah.;
b. terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh seluruh masyarakat;
c. terwujudnya pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk seluruh
masyarakat di jalur formal, informal, dan nonformal dengan memperhatikan kondisi
wilayah;.
d. terwujudnya peningkatan kualitas pendidikan melalui pembinaan tenaga pendidik dan
kependidikan;
e. terwujudnya Wajib Belajar 9 tahun menjadi Wajib Belajar Menengah 12 tahun yang
berkualitas;dan
f. terwujudnya pemberdayaan perempuan dan pemuda yang kreatif dan inovatif.

4.1.2. Terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah
dalam era demokratisasi dewasa ini. Perubahan sosial yang cepat, yang ditandai dengan
peningkatan taraf pendidikan menyebabkan masyarakat makin kritis dalam menilai kinerja
pemerintahan. Karena itu, dalam upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik, maka
pembangunan daerah di Kabupaten Bandung Barat diarahkan pada tujuan sebagai berikut:
a. meningkatnya kualitas kinerja birokrasi yang dihasilkan oleh postur kelembagaan
(organisasi) birokrasi yang efektif dan efisien dengan kualitas sumberdaya manusia
aparat birokrasi yang kompeten;

Bab IV 97
b. meningkatnya kinerja kecamatan dan pemerintahan desa dalam memberikan pelayanan
publik yang berkualitas;
c. meningkatnya kapasitas manajemen pemerintahan yang profesional, efektif , efisien, dan
akuntabel serta bermuara kepada peningkatan pelayanan publik berbasis teknologi
informasi;
d. meningkatnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam
penyelenggaraan pembangunan dan pengawasan pemerintahan; dan
e. terwujudnya jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sinergis dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.

4.1.3 Meningkatnya Perekonomian Masyarakat yang Produktif, Berkeadilan dan


Berdaya saing

Merupakan upaya tersistem guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi


masyarakat, yang ditandai oleh tercapainya sumberdaya manusia yang berkualitas, sistem
perekonomian yang berkeadilan dan berdaya saing global berbasis pada potensi daerah. Dengan
demikian misi ini diarahkan pada kondisi sebagai berikut :
a. berkembangnya industri pertanian berupa tanaman pangan ,holtikultura, perkebunan,
kehutanan ,peternakan dan perikanan;
b. berkembangnya wisata yang ramah lingkungan;
c. terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi investasi di bidang industri pengolahan;
d. tercapainya penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta
teknologi untuk mendukung pembangum yang berkelanjutan;
e. meningkatnya daya beli masyarakat;
f. meningkatkan daya saing usaha mikro, kecil dan menengah;dan
g. terkendalinya harga serta ketersediaan bahan pokok.

4.1.4 Terpeliharanya Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

Memelihara kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, yaitu terpeliharanya


kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, yang ditandai oleh:
a. meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
b. terkendalinya pencemaran dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;dan
c. meningkatnya upaya pengendalian risiko bencana, serta meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kelestarian lingkungan hidup.

Bab IV 98
Guna mewujudkan pemeliharaan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, maka
pembangunan daerah diarahkan kepada:
a. meningkatnya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air baku;
b. meningkatnya upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana;
c. meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan;
d. terpeliharanya kawasan lindung;dan
e. terwujudnya pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang

4.1.5 Mengintegrasikan Kearifan Nilai-Nilai Agama dan Budaya dalam Pembangunan


Penyelenggaraan pembangunan daerah jangka panjang merupakan proses yang tidak
dapat dipisahkan dari nilai- nilai agama dan budaya, bahkan senantiasa harus dilandasi oleh
nilai-nilai agama dan budaya sebagai acuan dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku, baik
dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, hubungan antarmanusia, dan hubungan antara
manusia dengan lingkungan alamnya. Pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya lokal
mengarah pada penciptaan nilai-nilai yang konstruktif terhadap terwujudnya masyartakat yang
sejalan dengan prinsip-prinsip Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu, upaya mengintegrasikan
kearifan nilai-nilai agama dan budaya dalam pembangunan diarahkan pada:
a. terwujudnya masyarakat agamis yang menjujung tinggi kerukunan inter dan antar umat
beragama serta berahklak mulia;
b. pengembangan nilai-nilai luhur budaya daerah dan kearifan lokal masyarakat;
c. terwujudnya perluasan jalinan komunikasi antar kelompok masyarakat perdesaan dan
perkotaan.;
d. terwujudnya kerjasama antara pemerintah, pelaku budaya, dan masyarakat;
e. terwujudnya penguatan identitas dan jati diri masyarakat melalui penumbuhan budaya
inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

4.2 Tahapan dan Prioritas Pembangunan

RPJM Daerah Pertama (2005-2008)

Tahapan Pertama RPJPD terbagi dalam 2 (dua) periode, periode tahun 2005-2007
merupakan periode perintisan terbentuknya Kabupaten Bandung Barat dan periode 2007-2008
merupakan periode pembangunan pondasi berupa penataan birokrasi, pembentukan regulasi dan
inventarisasi asset daerah.

Bab IV 99
RPJM Daerah Kedua (2008-2013)

Misi Satu: Meningkatnya Kualitas Sumberdaya Manusia yang Sehat, Cerdas dan Kreatif.

1. Terwujudnya pengendalian pertumbuhan penduduk dengan memperhatikan daya dukung dan


daya tampung wilayah.
Strategi: Peningkatan pelayanan keluarga berencana, peningkatan pelayanan kesehatan
reproduksi, membatasi urbanisasi dan imigrasi. Membangun sistem administrasi
kependudukan.
Indikator capaian : tersedianya data dasar kependudukan, menurunnya angka fertilitas
total < 2,3, menurunnya pertumbuhan alami penduduk mencapai = 1,8 %, dan laju
pertumbuhan penduduk mencapai < 2,4 %/tahun, terwujudnya keluarga kecil yang
berkualitas.
2. Terwujudnya pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk seluruh masyarakat
mencakup semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan dengan memperhatikan kondisi
wilayah,
Strategi: Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas pelayanan
pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan.
Indikator capaian : tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, Kualitas Pelayanan
Pendidikan > 50%, anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD dan lembaga pendidikan
diharapkan telah menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
3. Terwujudnya kualitas pendidikan melalui pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan.
Strategi: meningkatkan kualitas tenaga pendidik dengan melakukan sertifikasi guru,
memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan bagi tenaga pendidik yang belum berijazah
S1, rekruitmen tenaga kependidikan berdasarkan kualitas calon.
Indikator capaian: Kualitas Tenaga Pendidik melalui sertifikasi guru > 50% dan < 55%
Guru Berijazah S-1.
4. Meningkatnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan rintisan Wajib Belajar
Menengah 12 tahun yang berkualitas
Startegi : membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar dan menengah, menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah.
Indikator capaian : Rata-rata Lama Sekolah (RLS) > 9 Tahun,
5. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Strategi : meningkatkan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, melanjutkan pendirian
rumah sakit daerah, puskesmas dan puskesmas pembantu, penyediaan tenaga medis dan

Bab IV 100
paramedis yang berkualitas.penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang cukup dan
terjangkau.
Indikator capaian : meningkatnya kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan 25%,
penyusunan sistem jaminan/asuransi kesehatan bagi masyarakat, > 75% fasilitas kesehatan
memenuhi SPM kesehatan, Umur Harapan Hidup mencapai > 67,56 dan menurunnya Angka
Kematian Bayi < 28/1000, Kelahiran Hidup serta menurunnya Angka Kematian Ibu =
4/10.000 kelahiran hidup.
6. Pemberdayaan perempuan dan pemuda menuju perempuan dan pemuda yang lebih kreatif
dan inovatif.
Strategi : peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, penurunan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi perempuan, penguatan kelembagaan dan jaringan
pengarusutamaan gender, penyediaan data dan statistik gender. Peningkatan pemberdayaan
pemuda melalui pembangunan karakter kebangsaan, meningkatkan motivasi agar pemuda
siap berpartisipasi dalam berbagai bidang pembangunan terutama dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, iptek, politik dan olah raga
Indikator capaian: meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG), meningkatnya
kesejahteraan perempuan dan peran serta perempuan dalam proses pembangunan diharapkan
25% perempuan berpartisipasi di bidang politik; meningkatnya peran pemuda dalam
pembangunan terutama di bidang sosial budaya, iptek , politik dan olahraga.

Misi Dua: Terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

1. Meningkatnya kualitas kinerja birokrasi yang dihasilkan oleh postur kelembagaan(organisasi)


birokrasi yang efektif dan efesien dan kualitas sumberdaya manusia aparat birokrasi yang
kompeten.
Strategi untuk mencapai tujuan : penyiapan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia
aparatur dengan komposisi usia, tingkat pendidikan, serta kompetensi struktural dan
fungsional yang diperlukan; pengembangan data based kepegawaian yang terintegrasi dan
tekomputerisasi, sehingga tersedia data sumberdaya manusia aparat birokrasi yang aktual dan
valid; tersedianya assesment centre dalam penempatan pejabat ; melakukan rekrutmen
aparat berbasis kompetensi; mengembangkan mekanisme reward and punishment untuk
memperkenalkan budaya organisasi baru dalam tubuh birokrasi, sistem peningkatan
kesejahteraan pegawai yang sesuai dengan ketentuan perudangan-udangan.
Indikator capaian: tersedianya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia aparatur dengan
komposisi usia, tingkat pendidikan, serta kompetensi struktural dan fungsional yang

Bab IV 101
diperlukan; tersedianya data based kepegawaian yang terintegrasi dan terkomputerisasi,
sehingga tersedia data sumberdaya manusia aparat birokrasi yang aktual dan valid; pengisian
jabatan sesuai pelaksanaan rekruitmen aparat berbasis kompetensi; tersedianya mekanisme
reward and punishment.
2. Meningkatnya kinerja kecamatan dan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan publik
yang berkualitas.
Strategi untuk mencapai tujuan: Pembenahan kelembagaan kecamatan dan desa,
pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaan pelayanan publik kepada kecamatan dan
pemerintah desa; merumuskan regulasi untuk mengatur hubungan kewenangan dan keuangan
antara desa dengan level pemerintahan di atasnya; penyusunan program pendidikan dan
pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa; mengembangkan kapasitas kecamatan
dan desa dalam hal rentang kendali melalui pengkajian pembentukan kecamatan baru, desa
baru, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan bagi desa-desa yang mulai bercorak
urban.
Indikator capaian: terlaksanakannya pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaan pelayanan
publik kepada kecamatan dan pemerintah desa; tersedianya regulasi untuk mengatur
hubungan kewenangan dan keuangan antara desa dengan level pemerintahan di atasnya;
tersusunnya program pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa;
meningkatnya kapasitas kecamatan dan desa dalam hal rentang kendali melalui pengkajian
pembentukan kecamatan baru, desa baru, dan/atau perubahan status desa menjadi kelurahan
bagi desa-desa yang mulai bercorak urban.
3. Meningkatnya kapasitas manajemen pemerintahan yang profesional, efisien, efektif, dan
akuntabel serta bermuara kepada peningkatan pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Strategi untuk mencapai tujuan: Menyusun sistem perencanaan pembangunan; menyusun
sistem pengawasan pembangunan; menyusun sistem evaluasi kinerja pemerintahan;
menginventarisasi aset daerah; menyusun mekanisme pengelolaan dan pengendalian aset
daerah; menyusun sistem pengelolaan keuangan daerah; menyusun sistem akuntabilitas
kinerja pemerintahan; pengoperasian Kantor Pelayanan Terpadu atau One Stop Service
(OSS), mengembangkan kerjasama antardaerah.
Indikator capaian: Tersusunnya sistem perencanaan pembangunan; tersusunnya sistem
pengawasan pembangunan; tersusunnya sistem evaluasi kinerja pemerintahan; tersedianya
data aset daerah yang akurat; tersusunnya mekanisme pengelolaan dan pengendalian aset
daerah; tersedianya sistem pengelolaan keuangan daerah; tersusunnya sistem akuntabilitas

Bab IV 102
kinerja pemerintahan; terlaksanakannya Kantor Pelayanan Terpadu atau One Stop Service
(OSS), meningkatnya kerjasama antardaerah.
4. Meningkatnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan
pembangunan dan pengawasan pemerintahan.
Strategi untuk mencapai tujuan: merumuskan peraturan daerah tentang transparansi dan
partisipasi publik untuk menjamin pelibatan masyarakat secara legal; menyerap aspirasi
masyarakat dalam pembangunan melalui pelaksanaan musrenbang, mengembangkan
mekanisme komunikasi politik secara dialogis antara pemerintah dengan masyarakat;
mengembangkan kemampuan berorganisasi di kalangan komunitas warga (RT/RW);
mengembangkan kapasitas organisasi di kalangan kelompok marjinal (perempuan,
masyarakat adat, dll); mengembangkan kapasitas institusi-institusi keagamaan untuk
membantu menangani masalah sosial; mengembangkan kemampuan berorganisasi di
kalangan partai politik.
Indikator capaian: tersedianya peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi publik
untuk menjamin pelibatan masyarakat secara legal; terlaksananya musrenbang mulai dari
tingkat desa sampai tingkat kabupaten, tersedianya mekanisme komunikasi politik secara
dialogis antara pemerintah dengan masyarakat; meningkatnya kemampuan berorganisasi di
kalangan komunitas warga (RT/RW); meningkatnya kapasitas organisasi di kalangan
kelompok marjinal (perempuan, masyarakat adat, dll); meningkatnya kapasitas institusi-
institusi keagamaan untuk membantu menangani masalah sosial; meningkatnya kemampuan
berorganisasi di kalangan partai politik.
5. Terwujudnya jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sinergis dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Strategi untuk mencapai tujuan: merumuskan peraturan daerah tentang kemitraan daerah;
membentuk lembaga kemitraan yang diperlukan, mengoptimalkan kapasitas lembaga
kemitraan yang sudah ada; merumuskan mekanisme resolusi konflik bagi sengketa akibat
kemitraan; merumuskan sistem evaluasi dan pengawasan kemitraan pemerintah dan
nonpemerintah.
Indikator capaian: tersedianya peraturan daerah tentang kemitraan daerah; meningkatnya
kapasitas lembaga kemitraan; tersedianya mekanisme resolusi konflik bagi sengketa akibat
kemitraan; tersedianya sistem evaluasi dan pengawasan kemitraan pemerintah dan non
pemerintah.

Bab IV 103
Misi Tiga: Meningkatnya Perekonomian Masyarakat yang Produktif , Berkeadilan dan
Berdaya Saing.
1. Meningkatnya industri pertanian ( tanaman pangan, hortilkultura, perkebunan, kehutanan,
peternakan dan perikanan ).
Strategi : meningkatkan sarana dan prasarana pendukung; menciptakan lingkungan usaha
yang kondusif;
Indikator capaian : tersedianya infrastruktur transportasi yang berkualitas menuju berbagai
sentra usaha pertanian, tujuan wisata dan kawasan industri, tersedianya berbagai balai
penelitian dan promosi. LPE 7%, pertumbuhan ekspor rata-rata 12,8% per tahun, PDRB
riil/kapita Rp 5 juta per tahun, PDRB sektor Pertanian 12%, PDRB sektor PHR 20%, PDRB
sektor Industri Pengolahan minimal 50%, jumlah wisatawan meningkat 40%, meningkatnya
PAD dari pajak hotel dan pajak restoran
2. Tercapainya penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
untuk mendukung pembangunan perekonomian yang berkelanjutan.
Strategi : Rekruitmen tenaga-tenaga ahli pertanian dan pariwisata, meningkatkan pendidikan
dan pelatihan, meningkatkan kegiatan riset dan uji coba di bidang teknologi,
Indikator pencapaian : tersedianya ahli pertanian dan pariwisata yang berkualitas,adanya
penemuan dan pemanfaatan iptek dalam sektor produksi, meningkatnya anggaran riset dan
diklat, berkembangnya sinergi kebijakan iptek lintas sektor, berkembangnya pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi,
3. Berkembangnya wisata ramah lingkungan.
Strategi : kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta memperluas kesempatan lapangan
kerja, pengembangan wisata memanfaatkan berbagai pesona alam, wisata air dan wisata
budaya.malakukan kerjasama dengan instansi terkait.
Indikator pencapaian : tersedianya tempat tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan lokal
maupun asing, meningkatnya PAD dari pajak hotel, pajak restoran dan retribusi tempat
wisata.
4. Terciptanya iklim usaha yang kondusif untuk investasi di bidang industri pengolahan.
Strategi : menetapkan kawasan industri, mempermudah perijinan, memberikan insentif bagi
investor di bidang industri pengolahan.
Indikator pencapaian : meningkatnya jumlah investasi, menurunnya pengangguran,
meningkatnya pendapatan daerah dari bagi hasil pajak.
5. Meningkatnya daya beli masyarakat perdesaan.

Bab IV 104
Strategi untuk mencapai tujuan : meningkatkan proyek yang bersifat padat karya terutama
pada desa tertinggal, menjaga kelangsungan dan kelancaran penyaluran BLT, mendorong
tumbuhnya home industri di perdesaan.
Indikator capaian : meningkatnya pendapatan per kapita rakyat di perdesaan, lancar dan
utuhnya penyaluran BLT di perdesaan, munculnya usaha-usaha home industri di perdesaan.
6. Meningkatnya daya saing UMKM dan Koperasi.
Strategi : peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan, peningkatan produktivitas,
pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam sistem usaha yang sehat,
pengembangan UMKM dilakukan secara terintegrasi dengan pengembangan agroindustri dan
pariwisata, penyediaan dana penjamin eksport, menjalin kemitraan dengan pengusaha besar
maupun dengan sesama UMKM, menghimpun kelompok usaha UMKM sejenis dalam badan
hukum koperasi, mendorong dan memfasilitasi perkembangan Koperasi.
Indikator capaian : tumbuhnya UMKM yang berdaya saing dan berbasis keunggulan
daerah, tumbuh dan berkembangnya koperasi.
7. Terkendalinya harga serta ketersediaan bahan pokok.
Strategi : menjaga stabilitas harga dan memperbaiki sistem distribusi barang kebutuhan
pokok.
Indikator capaian : tingkat inflasi umum satu digit, ketergantungan suplai kebutuhan pokok
dari daerah lain 60 %.

Misi Empat : Memelihara Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

1. Perbaikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air baku.


Strategi untuk mencapai tujuan : pencegahan dan pengendalian pencemaran air,
pengembangan sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan Rumah tangga, kota dan industri
(RKI), dan pemeliharaan sumber mata air.
Indikator Pencapaian : kualitas air baku yang melebihi Baku Mutu (BM) berkurang
sebanyak 20 %; tidak ada konversi ruang terbuka hijau (hutan dan perkebunan rakyat) untuk
peruntukan lain; pembangunan embung-embung/ waduk-waduk kecil; peningkatan
ketersediaan kebutuhan air baku sebanyak 11,692 m3/detik.
2. Melakukan upaya-upaya pengurangan resiko bencana
Strategi untuk mencapai tujuan : Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan
untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua
tingkatan masyarakat. Memasukan regulasi pengurangan resiko bencana ke dalam Perda
KBB tentang RTRW KBB.

Bab IV 105
Indikator Pencapaian : terwujudnya manajemen informasi dan pertukaran informasi
kebencanaan, implementasi pengkajian resiko dan program-program kesiapsiagaan bencana
di sekolah dan institusi pendidikan tinggi, masuknya unsur pengetahuan pengurangan resiko
bencana yang relevan pada kurikulum lokal, peningkatan keterlibatan masyarakat dan media
dalam kesiapsiagaan bencana. Terwujudnya Perda KBB tentang RTRW KBB yang
memasukan pengurangan resiko bencana sebagai bagian dari RTRW.
3. Mengubah paradigma perilaku penduduk menjadi berwawasan lingkungan
Strategi untuk mencapai tujuan: melakukan pelaksanaan sosialisasi dan edukasi kepada
penduduk mengenai pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup secara lestari.
Membentuk peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku
penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Indikator Pencapaian: penduduk mempraktekan pemeliharaan lingkungan hidup secara
lestari baik pada skala rumah tangga, komunitas, maupun kabupaten. Terbentuknya
peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku penduduk
menjadi berwawasan lingkungan.
4. Memulihkan kawasan lindung yang sudah mengalami degradasi dan membangun kawasan
lindung baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Strategi untuk mencapai tujuan: mengidentifikasi kawasan lindung yang terdegradasi,
menyusun program dan kegiatan pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi,
merencanakan dan melaksanakan pembangunan kawasan lindung di kawasan hutan dan di
luar kawasan hutan bersama-sama stakeholder, memasukan target ideal total kawasan
lindung di KBB sebesar 60% ke dalam Peraturan Daerah KBB tentang RTRW KBB.
Indikator Pencapaian: pulihnya kawasan lindung sebesar 5% dari total 20% areal kawasan
lindung yang terdegradasi, terbangunnya kawasan lindung baru di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan sebesar 10% dari total 40% kawasan lindung baru, target ideal total
kawasan lindung di KBB sebesar 60%.
5. Pengembangan infrastruktur yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Strategi untuk mencapai tujuan: melanjutkan pembangunan infrastruktur wilayah strategis
yang telah direncanakan pada tahap sebelumnya, serta melanjutkan dan meningkatkan kerja
sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan infrastruktur wilayah.
Indikator Pencapaian: adanya peningkatan aksesibilitas di wilayah-wilayah yang tertinggal
atau terisolasi.

Bab IV 106
Misi Lima : Mengintegrasikan Kearifan Nilai-Nilai Agama dan Budaya dalam
Pembangunan.

1. Terwujudnya masyarakat agamis yang menjunjung tinggi kerukunan inter dan antar umat
beragama.
Strategi : meningkatkan komunikasi antar pemimpin umat beragama, meningkatkan
pemahaman tentang cara pengamalan agama dengan baik dan benar.
Indikator capaian: meningkatnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai
agama dan kepercayaan.
2. Berkembangnya nilai-nilai luhur budaya daerah dan kearifan lokal masyarakat.
Strategi mencapai tujuan : pengembangan dan pelestarian budaya masyarakat yang berakar
pada adat istiadat setempat;
3. Terwujudnya sistem kerja sama antara forum warga dan pemerintah.
Strategi : meningkatkan keterlibatan warga dalam pembangunan.
Indikator capaian: meningkatnya pelibatan forum warga dalam pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi pembangunan, dan adanya pertemuan rutin antar aparat pemerintah dengan
forum warga.
4. Terwujudnya penguatan identitas dan jatidiri masyarakat melalui penumbuhan budaya
inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Strategi: meningkatkan budaya membaca dan menulis, mengembangkan masyarakat
pembelajar, mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif ke budaya produktif,
meningkatkan kemampuan pengungkapan kreativitas melalui kesenian.
Indikator capaian: meningkatnya pengunjung dan anggota perpustakaan daerah,
meningkatnya karya tulis baik kualitas maupun kuantitas, meningkatnya pemanfaatan
teknologi tepat guna khususnya di perdesaan.

RPJM Daerah Ketiga (2013-2018)

Misi Satu: Meningkatnya kualitas Sumberdaya Manusia yang Sehat, Cerdas dan Kreatif.

1. Terwujudnya pengendalian pertumbuhan penduduk dengan memperhatikan daya dukung dan


daya tampung wilayah.
Strategi: mempertahankan kualitas pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kesehatan
reproduksi, membatasi urbanisasi dan imigrasi, mendorong transmigrasi lokal dari daerah
perkotaan ke perdesaan, menyempurnakan sistem administrasi kependudukan.

Bab IV 107
Indikator capaian : tersedianya data dasar kependudukan, menurunnya angka fertilitas total
< 2,1 menurunnya pertumbuhan alami penduduk mencapai 1,7 %, dan laju pertumbuhan
penduduk mencapai < 2,3 %/tahun, terwujudnya keluarga kecil yang berkualitas.
2. Terwujudnya pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk seluruh masyarakat
mencakup semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan dengan memperhatikan kondisi
wilayah.
Strategi: Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas
pelayanan pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan, mendirikan SMK bidang
pertanian dan pariwisata.
Indikator Capaian : tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, Kualitas Pelayanan
Pendidikan > 75%, anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD dan lembaga pendidikan
diharapkan telah menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), tersedianya lulusan SMK
Pertanian dan Pariwisata.
3. Terwujudnya kualitas pendidikan melalui pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan.
Strategi: melanjutkan peningkatan kualitas tenaga pendidik dengan melakukan sertifikasi
guru, meningkatkan tenaga pendidik yang berijazah S1.
Indikator capaian : kualitas Tenaga Pendidik melalui sertifikasi guru > 75% dan Guru
Berijazah S-1 < 65%.
4. Meningkatnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan rintisan Wajib Belajar
Menengah 12 tahun yang berkualitas
Startegi : membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar dan menengah, menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah.
Indikator capaian : Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 10 Tahun,
5. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat,
Strategi : meningkatkan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, meningkatkan kelas rumah
sakit daerah, menambah puskesmas dan puskesmas pembantu, meningkatkan kualitas tenaga
medis dan paramedis, menambah jenis persediaan obat dan perbekalan kesehatan.
Indikator capaian : meningkatnya kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan, 50%
penyusunan sistem jaminan/asuransi kesehatan bagi masyarakat, > 90% fasilitas kesehatan
memenuhi SPM kesehatan, Umur Harapan Hidup mencapai > 68,56 dan menurunnya Angka
Kematian Bayi = 26/1000, Kelahiran Hidup serta menurunnya Angka Kematian Ibu =
4/10.000 kelahiran hidup.
6. Pemberdayaan perempuan dan pemuda menuju perempuan dan pemuda yang lebih kreatif
dan inovatif.

Bab IV 108
Strategi : menjaga dan terus meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam
pembangunan, penurunan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi perempuan, penguatan
kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender, penyediaan data dan statistik gender.
Peningkatan pemberdayaan pemuda melalui pembangunan karakter kebangsaan,
meningkatkan motivasi agar pemuda siap berpartisipasi dalam berbagai bidang
pembangunan terutama dalam bidang ekonomi, sosial budaya, iptek, politik dan olah raga.
Indikator capaian: meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG), meningkatnya
kesejahteraan perempuan dan peran serta perempuan dalam proses pembangunan diharapkan
> 27% perempuan berpartisipasi di bidang politik, banyaknya pemuda yang berperan dalam
pembangunan terutama di bidang sosial budaya, iptek , politik dan olahraga.

Misi Dua : Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

1. Meningkatnya kualitas kinerja birokrasi yang dihasilkan oleh postur kelembagaan(organisasi)


birokrasi yang efisien dan efektif dan kualitas sumberdaya manusia aparat birokrasi yang
kompeten.
Strategi : mengembangkan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional; mengembangkan sistem karir yang menunjang kreativitas
dan inovasi sumberdaya manusia birokrasi; menerapkan sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
menerapkan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; mengembangkan sistem remunerasi yang
sesuai dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
Indikator capaian: tersedianya insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional, tersedianya sistem karir yang menunjang kreativitas dan
inovasi sumberdaya manusia birokrasi, terlaksanakannya sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme,
terlaksanakannya kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; tersedianya sistem remunerasi yang sesuai
dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
2. Meningkatnya kinerja kecamatan dan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan publik
yang berkualitas.

Bab IV 109
Strategi : melakukan pembenahan kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, melakukan modernisasi
desa melalui pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa, melaksanakan
pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan
karakteristik kecamatan dan desa.
Indikator capaian: terbenahinya kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, modernisasi desa melalui
pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa, terlaksananya pendidikan dan
pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan karakteristik kecamatan
dan desa.
3. Meningkatnya kapasitas manajemen pemerintahan yang profesional, efisien, efektif, dan
akuntabel serta bermuara kepada peningkatan pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Strategi : melaksanakan sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun pada periode
sebelumnya, menyusun standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan urusan pilihan
yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat, menyusun standar operasional prosedur
untuk tiap mekanisme pelayanan, pembentukan dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line system, pelatihan
teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.
Indikator capaian: terlaksanakannya sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun
pada periode sebelumnya, tersusunnya standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan
urusan pilihan yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat, tersusunnya standar
operasional prosedur untuk tiap mekanisme pelayanan, terbentuknya dan termanfaatkannya
teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line
system, tersedianya pelatihan teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.
4. Meningkatnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan
pembangunan dan memantau pemerintahan.
Strategi : mengembangkan kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, mengembangkan mekanisme
dialog lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial,
memberdayakan partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah, memperluas
akses bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang
diselenggarakan pemerintah.
Indikator capaian: meningkatnya kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, tersedianya mekanisme dialog

Bab IV 110
lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial, meningkatnya
kapasitas partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah, meluasnya akses
bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang diselenggarakan
pemerintah.
5. Terwujudnya jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sinergis dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Strategi : melaksanakan regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode sebelumnya,
merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan pemerintah
dan non pemerintah, menyusun indikator keberhasilan kemitraan.
Indikator capaian: terlaksanakannya regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode
sebelumnya, tersedianya mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan
pemerintah dan non pemerintah, tersusunnya indikator keberhasilan kemitraan.

Misi Tiga: Meningkatnya Perekonomian Masyarakat yang Produktif, Berkeadilan dan


Berdaya Saing.

1. Meningkatnya industri pertanian ( tanaman pangan, hortilkultura, perkebunan, kehutanan,


peternakan dan perikanan ).
Strategi : meningkatkan sarana dan prasarana pendukung, menciptakan lingkungan usaha
yang kondusif.
Indikator capaian : tersedianya infrastruktur transportasi yang berkualitas menuju berbagai
sentra usaha pertanian, tujuan wisata dan kawasan industri, tersedianya berbagai balai
penelitian dan promosi, LPE 7%, Pertumbuhan Ekspor rata-rata 12,8% per tahun, PDRB
riil/kapita Rp 5 juta per tahun, PDRB sector Pertanian 12%, PDRB sektor PHR 20%, PDRB
sektor industri pengolahan minimal 50%, Jumlah wisatawan meningkat 40%. Meningkatnya
PAD dari pajak hotel dan pajak restoran.
2. Tercapainya penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
untuk mendukung pembangunan perekonomian yang berkelanjutan.
Strategi : Rekruitmen tenaga-tenaga ahli pertanian dan pariwisata, meningkatkan pendidikan
dan pelatihan,meningkatkan kegiatan riset dan uji coba di bidang teknologi,
Indikator pencapaian : Tersedianya ahli pertanian dan pariwisata yang berkualitas,adanya
penemuan dan pemanfaatan iptek dalam sektor produksi,meningkatnya anggaran riset dan
diklat, berkembangnya sinergi kebijakan iptek lintas sektor, berkembangnya pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi.

Bab IV 111
3. Berkembangnya wisata ramah lingkungan.
Strategi : kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Serta memperluas kesempatan lapangan
kerja.pengembangan wisata memanfaatkan berbagai pesona alam , wisata air dan wisata
budaya, melakukan kerjasama dengan instansi terkait.
Indikator pencapaian : tersedianya tempat tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan lokal
maupun asing, meningkatnya PAD dari pajak hotel, pajak restoran dan retribusi tempat
wisata.
4. Terciptanya iklim usaha yang kondusif untuk investasi di bidang industri pengolahan;
Strategi : menetapkan kawasan industri, mempermudah perijinan, memberikan insentif bagi
investor di bidang industri pengolahan.
Indikator pencapaian : meningkatnya jumlah investasi, menurunnya pengangguran,
meningkatnya pendapatan daerah dari bagi hasil pajak.
5. Meningkatnya daya beli masyarakat perdesaan.
Strategi : meningkatkan proyek yang bersifat padat karya terutama pada desa tertinggal,
menjaga kelangsungan dan kelancaran penyaluran BLT, mendorong tumbuhnya home
industri di perdesaan,
Indikator capaian : meningkatnya pendapatan per kapita rakyat di perdesaan, lancar dan
utuhnya penyaluran BLT di perdesaan, munculnya usaha-usaha home industri di perdesaan.
6. Meningkatnya daya saing UMKM dan Koperasi.
Strategi : peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan, peningkatan produktivitas,
pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam sistem usaha yang sehat,
pengembangan UMKM dilakukan secara terintegrasi dengan pengembangan agroindustri
dan pariwisata, penyediaan dana penjamin eksport, menjalin kemitraan dengan pengusaha
besar maupun dengan sesama UMKM, menghimpun kelompok usaha UMKM sejenis dalam
badan hukum koperasi, mendorong dan memfasilitasi perkembangan koperasi.
Indikator capaian : tumbuhnya UMKM yang berdaya saing dan berbasis keunggulan
daerah, tumbuh dan berkembangnya koperasi.
7. Terkendalinya harga serta ketersediaan bahan pokok.
Strategi : menjaga stabilitas harga dan memperbaiki sistem distribusi barang kebutuhan
pokok.
Indikator capaian : tingkat inflasi umum satu digit, ketergantungan suplai kebutuhan pokok
dari daerah lain 60 %.

Bab IV 112
Misi Empat : Memelihara Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.

1. Perbaikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air baku.


Strategi : pencegahan dan pengendalian pencemaran air, pengembangan sumberdaya air
untuk memenuhi kebutuhan Rumah tangga, kota dan industri (RKI).
Indikator capaian : kualitas air baku yang melebihi Baku Mutu (BM) berkurang sebanyak
50 %, tidak ada konversi ruang terbuka hijau (hutan dan perkebunan rakyat) untuk
peruntukan lain, perbaikan situ-situ, peningkatan ketersediaan kebutuhan air baku sebanyak
12,001 m3/detik detik.
2. Melakukan upaya-upaya pengurangan resiko bencana.
Strategi : mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana.
Indikator capaian : tersedianya manajemen sumberdaya alam dan lingkungan yang
berorientasi mengurangi resiko bencana. Implementasi RTRW yang berorientasi
pengurangan resiko bencana dan disertai pengaturan teknis lainnya.
3. Mengubah paradigma perilaku penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Strategi : melanjutkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada penduduk mengenai
pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup secara lestari, memonitor dan
mengevaluasi efektivitas peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan
perilaku penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Indikator capaian : penduduk mempraktekan pemeliharaan lingkungan hidup secara lestari
baik pada skala rumah tangga, komunitas, maupun kabupaten, pemantapan pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku penduduk
menjadi berwawasan lingkungan.
4. Memulihkan kawasan lindung yang sudah mengalami degradasi dan membangun kawasan
lindung baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Strategi : melanjutkan upaya pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi, mereview
program dan kegiatan pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi, melanjutkkan
pembangunan kawasan lindung di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan bersama-sama
stakeholders, memasukan target ideal total kawasan lindung di KBB sebesar 60% ke dalam
review Peraturan Daerah KBB tentang RTRW KBB.
Indikator capaian : pulihnya kawasan lindung sebesar 5% dari total 20% areal kawasan
lindung yang terdegradasi, terbangunnya kawasan lindung baru di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan sebesar 10% dari total 40% kawasan lindung baru, target ideal total
kawasan lindung di KBB sebesar 60%.

Bab IV 113
5. Pengembangan infrastruktur yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Strategi : Ketersediaan infrastruktur wilayah diupayakan terdistribusi pada seluruh wilayah,
dalam mendukung terwujudnya kemandirian sosial dan ekonomi Bandung Barat.
Indikator capaian : Berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi, meningkatnya
ketersediaan air baku untuk berbagai keperluan, optimalnya pengendalian banjir dan
kekeringan, optimalnya ketersediaan jaringan irigasi, meningkatnya ketersediaan air bersih
dan sanitasi, meningkatnya ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta
meningkatnya penyediaan rumah bagi masyarakat.

Misi Lima : Mengintegrasikan Kearifan Nilai-nilai Agama dan Budaya Dalam


Pembangunan.

1. Terwujudnya kerukunan inter dan antar umat beragama.


Strategi : Meningkatkan komunikasi antar pemimpin umat beragama, meningkatkan
pemahaman tentang cara pengamalan agama dengan baik dan benar.
Indikator capaian : meningkatnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai
agama dan kepercayaan.
2. Terwujudnya sistem kerja sama antara forum warga dan pemerintah.
Strategi : meningkatkan keterlibatan warga dalam pembangunan.
Indikator capaian : meningkatnya pelibatan forum warga dalam pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi pembangunan, dan adanya pertemuan rutin antar aparat pemerintah dengan
forum warga.
3. Terwujudnya penguatan identitas dan jatidiri masyarakat melalui penumbuhan budaya
inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,
Strategi : meningkatkan budaya membaca dan menulis, mengembangkan masyarakat
pembelajar, mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif ke budaya produktif,
meningkatkan kemampuan pengungkapan kreativitas melalui kesenian.
Indikator capaian : meningkatnya pengunjung dan anggota perpustakaan daerah,
meningkatnya karya tulis baik kualitas maupun kuantitas, meningkatnya pemanfaatan
teknologi tepat guna khususnya di perdesaan.

Bab IV 114
RPJM Daerah Keempat (2018-2023)

Misi Satu: Meningkatnya Kualitas Sumberdaya Manusia yang Sehat, Cerdas dan Kreatif.

1. Terwujudnya pengendalian pertumbuhan penduduk dengan memperhatikan daya dukung dan


daya tampung wilayah.
Strategi : peningkatan pelayanan keluarga berencana, peningkatan pelayanan kesehatan
reproduksi, membatasi urbanisasi dan imigrasi. Membangun sistem administrasi
kependudukan.
Indikator capaian : tersedianya data dasar kependudukan, menurunnya angka fertilitas
total < 2, menurunnya pertumbuhan alami penduduk mencapai = 1,6 %, dan laju
pertumbuhan penduduk mencapai < 2,2 %/tahun, terwujudnya keluarga kecil yang
berkualitas.
2. Terwujudnya pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk seluruh masyarakat
mencakup semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan dengan memperhatikan kondisi
wilayah,
Strategi : Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas pelayanan
pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan.
Indikator capaian : tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, semakin tingginya
Kualitas Pelayanan Pendidikan > 95% lembaga pendidikan telah menerapkan SPM;
anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD.
3. Terwujudnya kualitas pendidikan melalui pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan.
Strategi : meningkatkan kualitas tenaga pendidik dengan melakukan sertifikasi guru,
memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan bagi tenaga pendidik
yang belum berijazah S1, rekruitmen tenaga kependidikan berdasarkan kualitas calon.
Indikator capaian : Kualitas Tenaga Pendidik melalui sertifikasi guru = 95% dan Guru
Berijazah S-1 < 75%.
4. Meningkatnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan rintisan Wajib Belajar
Menengah 12 tahun yang berkualitas.
Startegi : membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar dan menengah, menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah.
Indikator capaian : Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 11 Tahun,
5. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Strategi : meningkatkan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, melanjutkan pendirian
rumah sakit daerah, puskesmas dan puskesmas pembantu, penyediaan tenaga medis dan

Bab IV 115
paramedis yang berkualitas, penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang cukup dan
terjangkau.
Indikator capaian : meningkatnya kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan,
penyusunan sistem jaminan/asuransi kesehatan bagi masyarakat < 75%, 100% fasilitas
kesehatan memenuhi SPM kesehatan, Umur Harapan Hidup mencapai > 69,56 dan
menurunnya Angka Kematian Bayi = 24/1000, Kelahiran Hidup serta menurunnya Angka
Kematian Ibu < 4/10.000 kelahiran hidup.
6. Pemberdayaan perempuan dan pemuda menuju perempuan dan pemuda yang lebih kreatif
dan inovatif.
Strategi : Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, penurunan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi perempuan, penguatan kelembagaan dan jaringan
pengarusutamaan gender, penyediaan data dan statistik gender, peningkatan pemberdayaan
pemuda melalui pembangunan karakter kebangsaan, meningkatkan motivasi agar pemuda
siap berpartisipasi dalam berbagai bidang pembangunan terutama dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, iptek, politik dan olah raga.
Indikator capaian : meningkatnya Indeks Pembangunan Gender ( IPG), meningkatnya
kesejahteraan perempuan dan peran serta perempuan dalam proses pembangunan diharapkan
> 27,5% perempuan berpartisipasi di bidang politik, meningkatnya peran pemuda dalam
pembangunan terutama di bidang sosial budaya, iptek , politik dan olahraga.

Misi Dua : Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

1. Meningkatnya kualitas kinerja birokrasi yang dihasilkan oleh postur


kelembagaan(organisasi) birokrasi yang efisien dan efektif dan kualitas sumberdaya manusia
aparat birokrasi yang kompeten.
Strategi : mengembangkan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional, mengembangkan sistem karir yang menunjang kreativitas
dan inovasi sumberdaya manusia birokrasi, menerapkan sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme,
menerapkan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; mengembangkan sistem remunerasi yang
sesuai dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.

Bab IV 116
Indikator capaian : tersedianya insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional, tersedianya sistem karir yang menunjang kreativitas dan
inovasi sumberdaya manusia birokrasi, terlaksanakannya sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
terlaksanakannya kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi, tersedianya sistem remunerasi yang sesuai
dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
2. Meningkatnya kinerja kecamatan dan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan publik
yang berkualitas.
Strategi : melakukan pembenahan kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; melakukan modernisasi
desa melalui pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa; melaksanakan
pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan
karakteristik kecamatan dan desa.
Indikator capaian : terbenahinya kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, modernisasi desa
melalui pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa, terlaksanakannya
pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan
karakteristik kecamatan dan desa.
3. Meningkatnya kapasitas manajemen pemerintahan yang profesional, efisien, efektif, dan
akuntabel serta bermuara kepada peningkatan pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Strategi : melaksanakan sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun pada periode
sebelumnya; menyusun standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan urusan pilihan
yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat, menyusun standar operasional prosedur
untuk tiap mekanisme pelayanan, pembentukan dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line system, pelatihan
teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.
Indikator capaian : terlaksanakannya sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun
pada periode sebelumnya, tersusunnya standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan
urusan pilihan yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat, tersusunnya standar
operasional prosedur untuk tiap mekanisme pelayanan; terbentuknya dan termanfaatkannya
teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line
system, tersedianya pelatihan teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.

Bab IV 117
4. Meningkatnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan
pembangunan dan memantau pemerintahan.
Strategi : mengembangkan kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, mengembangkan mekanisme
dialog lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial;
memberdayakan partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah, memperluas
akses bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang
diselenggarakan pemerintah.
Indikator capaian : meningkatnya kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, tersedianya mekanisme dialog
lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial, meningkatnya
kapasitas partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah, meluasnya akses
bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang diselenggarakan
pemerintah.
5. Terwujudnya jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sinergis dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Strategi : melaksanakan regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode sebelumnya;
merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan pemerintah
dan non pemerintah; menyusun indikator keberhasilan kemitraan.
Indikator capaian : terlaksanakannya regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode
sebelumnya; tersedianya mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan
pemerintah dan non pemerintah; tersusunnya indikator keberhasilan kemitraan.

Misi Tiga: Meningkatnya Perekonomian Masyarakat yang Produktif , Berkeadilan dan


Berdaya Saing.

1. Meningkatnya industri pertanian ( tanaman pangan, hortilkultura, perkebunan, kehutanan,


peternakan dan perikanan ).
Strategi : meningkatkan sarana dan prasarana pendukung, menciptakan lingkungan usaha
yang kondusif.
Indikator capaian : tersedianya infrastruktur transportasi yang berkualitas menuju berbagai
sentra usaha pertanian, tujuan wisata dan kawasan industri, tersedianya berbagai balai
penelitian dan promosi. LPE 7%, pertumbuhan ekspor rata-rata 12,8% per tahun, PDRB
riil/kapita Rp 5 juta per tahun, PDRB sector Pertanian 12%, PDRB sektor PHR 20%, PDRB

Bab IV 118
sektor Industri Pengolahan minimal 50%, jumlah wisatawan meningkat 40%, meningkatnya
PAD dari pajak hotel dan pajak restoran
2. Tercapainya penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
untuk mendukung pembangunan perekonomian yang berkelanjutan;
Strategi : Rekruitmen tenaga-tenaga ahli pertanian dan pariwisata, meningkatkan pendidikan
dan pelatihan,meningkatkan kegiatan riset dan uji coba di bidang teknologi,
Indikator capaian : Tersedianya ahli pertanian dan pariwisata yang berkualitas,adanya
penemuan dan pemanfaatan iptek dalam sektor produksi,meningkatnya anggaran riset dan
diklat, berkembangnya sinergi kebijakan iptek lintas sektor, berkembangnya pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi,
3. Berkembangnya wisata ramah lingkungan
Strategi : kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta memperluas kesempatan lapangan
kerja, pengembangan wisata memanfaatkan berbagai pesona alam, wisata air dan wisata
budaya, melakukan kerjasama dengan instansi terkait.
Indikator capaian : tersedianya tempat tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan lokal
maupun asing, meningkatnya PAD dari pajak hotel, pajak restoran dan retribusi tempat
wisata.
4. Terciptanya iklim usaha yang kondusif untuk investasi di bidang industri pengolahan;
Strategi : menetapkan kawasan industri, mempermudah perijinan, memberikan insentif bagi
investor di bidang industri pengolahan.
Indikator capaian : meningkatnya jumlah investasi, menurunnya pengangguran,
meningkatnya pendapatan daerah dari bagi hasil pajak.
5. Meningkatnya daya beli masyarakat perdesaan.
Strategi : meningkatkan proyek yang bersifat padat karya terutama pada desa tertinggal,
menjaga kelangsungan dan kelancaran penyaluran BLT, mendorong tumbuhnya home
industri di perdesaan,
Indikator capaian : meningkatnya pendapatan per kapita rakyat di perdesaan, lancar dan
utuhnya penyaluran BLT di perdesaan, munculnya usaha-usaha home industri di perdesaan.
6. Meningkatnya daya saing UMKM dan Koperasi.
Strategi : peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan, peningkatan produktivitas,
pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam sistem usaha yang sehat,
pengembangan UMKM dilakukan secara terintegrasi dengan pengembangan agroindustri dan
pariwisata, penyediaan dana penjamin eksport, menjalin kemitraan dengan pengusaha besar

Bab IV 119
maupun dengan sesama UMKM, menghimpun kelompok usaha UMKM sejenis dalam badan
hukum koperasi, mendorong dan memfasilitasi perkembangan Koperasi.
Indikator capaian : tumbuhnya UMKM yang berdaya saing dan berbasis keunggulan
daerah, tumbuh dan berkembangnya koperasi.
7. Terkendalinya harga serta ketersediaan bahan pokok.
Strategi : menjaga stabilitas harga dan memperbaiki sistem distribusi barang kebutuhan
pokok.
Indikator capaian : Tingkat inflasi umum satu digit, ketergantungan suplai kebutuhan pokok
dari daerah lain 60 %.

Misi Empat: Memelihara Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.

1. Perbaikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air baku.


Strategi : pencegahan dan pengendalian pencemaran air, pengembangan sumberdaya air
untuk memenuhi kebutuhan Rumah tangga, kota dan industri (RKI).
Indikator capaian : kualitas air baku yang melebihi Baku Mutu (BM) berkurang sebanyak
50 %, tidak ada konversi ruang terbuka hijau (hutan dan perkebunan rakyat) untuk
peruntukan lain; perbaikan situ-situ, peningkatan ketersediaan kebutuhan air baku sebanyak
12,001 m3/detik.
2. Melakukan upaya-upaya pengurangan resiko bencana.
Strategi : mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana.
Indikator capaian : tersedianya manajemen sumberdaya alam dan lingkungan yang
berorientasi mengurangi resiko bencana, implementasi RTRW yang berorientasi
pengurangan resiko bencana dan disertai pengaturan teknis lainnya.
3. Mengubah paradigma perilaku penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Strategi : melanjutkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada penduduk mengenai pentingnya
menjaga dan memelihara lingkungan hidup secara lestari. Memonitor dan mengevaluasi
efektivitas peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku
penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Indikator capaian : penduduk mempraktekan pemeliharaan lingkungan hidup secara lestari
baik pada skala rumah tangga, komunitas, maupun kabupaten. Pemantapan pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku penduduk
menjadi berwawasan lingkungan.

Bab IV 120
4. Memulihkan kawasan lindung yang sudah mengalami degradasi dan membangun kawasan
lindung baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Strategi : melanjutkan upaya pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi, mereview
program dan kegiatan pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi, melanjutkkan
pembangunan kawasan lindung di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan bersama-sama
stakeholders. Memasukan target ideal total kawasan lindung di KBB sebesar 60% ke dalam
review Peraturan Daerah KBB tentang RTRW KBB.
Indikator capaian : pulihnya kawasan lindung sebesar 5% dari total 20% areal kawasan
lindung yang terdegradasi. Terbangunnya kawasan lindung baru di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan sebesar 10% dari total 40% kawasan lindung baru. Target ideal total
kawasan lindung di KBB sebesar 60%.
5. Pengembangan infrastruktur yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Strategi : ketersediaan infrastruktur wilayah diupayakan terdistribusi pada seluruh wilayah,
dalam mendukung terwujudnya kemandirian sosial dan ekonomi Bandung Barat.
Indikator capaian : berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi, meningkatnya
ketersediaan air baku untuk berbagai keperluan, optimalnya pengendalian banjir dan
kekeringan, optimalnya ketersediaan jaringan irigasi, meningkatnya ketersediaan air bersih
dan sanitasi, meningkatnya ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta
meningkatnya penyediaan rumah bagi masyarakat.

Misi Lima : Mengintegrasikan Kearifan Nilai-nilai Agama dan Budaya Dalam


Pembangunan.

1. Terwujudnya kerukunan inter dan antar umat beragama.


Strategi : meningkatkan komunikasi antar pemimpin umat beragama, meningkatkan
pemahaman tentang cara pengamalan agama dengan baik dan benar.
Indikator capaian: meningkatnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai
agama dan kepercayaan
2. Terwujudnya sistem kerja sama antara forum warga dan pemerintah.
Strategi : meningkatkan keterlibatan warga dalam pembangunan.
Indikator capaian : meningkatnya pelibatan forum warga dalam pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi pembangunan, dan adanya pertemuan rutin antar aparat pemerintah dengan
forum warga.
3. Terwujudnya penguatan identitas dan jatidiri masyarakat melalui penumbuhan budaya
inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,

Bab IV 121
Strategi : meningkatkan budaya membaca dan menulis, mengembangkan masyarakat
pembelajar, mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif ke budaya produktif,
meningkatkan kemampuan pengungkapan kreativitas melalui kesenian.
Indikator capaian: meningkatnya pengunjung dan anggota perpustakaan daerah,
meningkatnya karya tulis baik kualitas maupun kuantitas, meningkatnya pemanfaatan
teknologi tepat guna khususnya di perdesaan.

RPJM Daerah Kelima (2023-2025)

Misi Satu: Meningkatnya kualitas Sumberdaya Manusia yang Sehat, Cerdas dan Kreatif.

1. Terwujudnya pengendalian pertumbuhan penduduk dengan memperhatikan daya dukung dan


daya tampung wilayah.
Strategi: peningkatan pelayanan keluarga berencana, peningkatan pelayanan kesehatan
reproduksi, membatasi urbanisasi dan imigrasi. Membangun sistem administrasi
kependudukan.
Indikator capaian : tersedianya data dasar kependudukan, menurunnya angka fertilitas total
= < 1,8, menurunnya pertumbuhan alami penduduk mencapai < 1,5 %, dan laju
pertumbuhan penduduk mencapai < 2,0 %/tahun, terwujudnya keluarga kecil yang
berkualitas.
2. Terwujudnya pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk seluruh masyarakat
mencakup semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan dengan memperhatikan kondisi
wilayah.
Strategi: penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas pelayanan
pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan.
Indikator capaian : tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, Kualitas Pelayanan
Pendidikan 100%, anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD dan lembaga pendidikan
diharapkan telah menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
3. Terwujudnya kualitas pendidikan melalui pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan.
Strategi: meningkatkan kualitas tenaga pendidik dengan melakukan sertifikasi guru,
memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan bagi tenaga pendidik yang belum berijazah
S1, rekruitmen tenaga kependidikan berdasarkan kualitas calon.
Indikator capaian: Kualitas Tenaga Pendidik melalui sertifikasi guru 100% dan Guru
Berijazah S-1 > 90%.
4. Meningkatnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan Wajib Belajar Menengah 12
tahun yang berkualitas.

Bab IV 122
Startegi : membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar dan menengah, menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah.
Indikator capaian : Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 12 Tahun,
5. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Strategi : meningkatkan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, melanjutkan pendirian
rumah sakit daerah, puskesmas dan puskesmas pembantu, penyediaan tenaga medis dan
paramedis yang berkualitas.penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang cukup dan
terjangkau.
Indikator capaian : meningkatnya kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan, 100%
penyusunan sistem jaminan/asuransi kesehatan bagi masyarakat, 100% fasilitas kesehatan
memenuhi SPM kesehatan, Umur Harapan Hidup mencapai > 70 dan menurunnya Angka
Kematian Bayi < 22/1000, Kelahiran Hidup serta menurunnya Angka Kematian Ibu <
4/10.000 kelahiran hidup.
6. Pemberdayaan perempuan dan pemuda menuju perempuan dan pemuda yang lebih kreatif
dan inovatif.
Strategi : Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, penurunan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi perempuan, penguatan kelembagaan dan jaringan
pengarusutamaan gender, penyediaan data dan statistik gender. Peningkatan pemberdayaan
pemuda melalui pembangunan karakter kebangsaan, meningkatkan motivasi agar pemuda
siap berpartisipasi dalam berbagai bidang pembangunan terutama dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, iptek, politik dan olah raga.
Indikator capaian: meningkatnya Indeks Pembangunan Gender ( IPG), meningkatnya
kesejahteraan perempuan dan peran serta perempuan dalam proses pembangunan diharapkan
30% perempuan berpartisipasi di bidang politik; meningkatnya peran pemuda dalam
pembangunan terutama di bidang sosial budaya, iptek , politik dan olahraga.

Misi Dua : Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik.

1. Meningkatnya kualitas kinerja birokrasi yang dihasilkan oleh postur kelembagaan(organisasi)


birokrasi yang efisien dan efektif dan kualitas sumberdaya manusia aparat birokrasi yang
kompeten.
Strategi : mengembangkan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional; mengembangkan sistem karir yang menunjang kreativitas
dan inovasi sumberdaya manusia birokrasi; menerapkan sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh

Bab IV 123
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
menerapkan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; mengembangkan sistem remunerasi yang
sesuai dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
Indikator capaian: tersedianya insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional; tersedianya sistem karir yang menunjang kreativitas dan
inovasi sumberdaya manusia birokrasi; terlaksanakannya sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
terlaksanakannya kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; tersedianya sistem remunerasi yang sesuai
dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
2. Meningkatnya kinerja kecamatan dan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan publik
yang berkualitas.
Strategi : melakukan pembenahan kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; melakukan modernisasi
desa melalui pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa; melaksanakan
pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan
karakteristik kecamatan dan desa.
Indikator capaian: terbenahinya kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; modernisasi desa melalui
pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa; terlaksanakannya pendidikan dan
pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan karakteristik kecamatan
dan desa.
3. Meningkatnya kapasitas manajemen pemerintahan yang profesional, efisien, efektif, dan
akuntabel serta bermuara kepada peningkatan pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Strategi : melaksanakan sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun pada periode
sebelumnya; menyusun standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan urusan pilihan
yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat; menyusun standar operasional prosedur
untuk tiap mekanisme pelayanan; pembentukan dan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line system; pelatihan
teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.

Bab IV 124
Indikator capaian: terlaksanakannya sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun
pada periode sebelumnya; tersusunnya standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan
urusan pilihan yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat; tersusunnya standar
operasional prosedur untuk tiap mekanisme pelayanan; terbentuknya dan termanfaatkannya
teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line
system; tersedianya pelatihan teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.
4. Meningkatnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan
pembangunan dan memantau pemerintahan.
Strategi : mengembangkan kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat; mengembangkan mekanisme
dialog lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial;
memberdayakan partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah; memperluas
akses bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang
diselenggarakan pemerintah.
Indikator capaian: meningkatnya kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat; tersedianya mekanisme dialog
lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial; meningkatnya
kapasitas partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah; meluasnya akses
bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang diselenggarakan
pemerintah.
5. Terwujudnya jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sinergis dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Strategi : melaksanakan regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode sebelumnya;
merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan pemerintah
dan non pemerintah; menyusun indikator keberhasilan kemitraan.
Indikator capaian: terlaksanakannya regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode
sebelumnya; tersedianya mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan
pemerintah dan non pemerintah; tersusunnya indikator keberhasilan kemitraan.

Misi Tiga: Meningkatnya Perekonomian Masyarakat yang Produktif, Berkeadilan dan


Berdaya Saing.

1. Meningkatnya industri pertanian ( tanaman pangan, hortilkultura, perkebunan, kehutanan,


peternakan dan perikanan ).

Bab IV 125
Strategi : meningkatkan sarana dan prasarana pendukung; menciptakan lingkungan usaha
yang kondusif.
Indikator capaian : tersedianya infrastruktur transportasi yang berkualitas menuju berbagai
sentra usaha pertanian, tujuan wisata dan kawasan industri, tersedianya berbagai balai
penelitian dan promosi. LPE 7%, pertumbuhan eksport rata-rata 12,8% per tahun, PDRB
Riil/kapita Rp 5 juta per tahun, PDRB sektor Pertanian 12%, PDRB sektor PHR 20%,
PDRB sektor industri pengolahan minimal 50%, jumlah wisatawan meningkat 40%,
meningkatnya PAD dari pajak hotel dan pajak restoran
2. Tercapainya penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
untuk mendukung pembangunan perekonomian yang berkelanjutan;
Strategi : rekruitmen tenaga-tenaga ahli pertanian dan pariwisata, meningkatkan pendidikan
dan pelatihan,meningkatkan kegiatan riset dan uji coba di bidang teknologi,
Indikator pencapaian : tersedianya ahli pertanian dan pariwisata yang berkualitas, adanya
penemuan dan pemanfaatan iptek dalam sektor produksi, meningkatnya anggaran riset dan
diklat, berkembangnya sinergi kebijakan iptek lintas sektor, berkembangnya pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi.
3. Berkembangnya wisata ramah lingkungan.
Strategi : kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta memperluas kesempatan lapangan
kerja, pengembangan wisata memanfaatkan berbagai pesona alam, wisata air dan wisata
budaya, melakukan kerjasama dengan instansi terkait.
Indikator pencapaian: tersedianya tempat tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan lokal
maupun asing,meningkatnya PAD dari pajak hotel,pajak restoran dan retribusi tempat wisata.
4. terciptanya iklim usaha yang kondusif untuk investasi di bidang industri pengolahan;
Strategi : menetapkan kawasan industri, mempermudah perijinan, memberikan insentif bagi
investor di bidang industri pengolahan.
Indikator capaian : meningkatnya jumlah investasi, menurunnya pengangguran,
meningkatnya pendapatan daerah dari bagi hasil pajak.
5. Meningkatnya daya beli masyarakat perdesaan.
Strategi untuk mencapai tujuan : meningkatkan proyek yang bersifat padat karya terutama
pada desa tertinggal, menjaga kelangsungan dan kelancaran penyaluran BLT, mendorong
tumbuhnya home industri di perdesaan.
Indikator capaian : meningkatnya pendapatan per kapita rakyat di perdesaan, lancar dan
utuhnya penyaluran BLT di perdesaan, munculnya usaha-usaha home industri di perdesaan.

Bab IV 126
6. Meningkatnya daya saing UMKM dan Koperasi.
Strategi : peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan, peningkatan produktivitas,
pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam sistem usaha yang sehat,
pengembangan UMKM dilakukan secara terintegrasi dengan pengembangan agroindustri dan
pariwisata, penyediaan dana penjamin eksport, menjalin kemitraan dengan pengusaha besar
maupun dengan sesama UMKM, menghimpun kelompok usaha UMKM sejenis dalam badan
hukum koperasi, mendorong dan memfasilitasi perkembangan Koperasi.
Indikator capaian : tumbuhnya UMKM yang berdaya saing dan berbasis keunggulan
daerah, tumbuh dan berkembangnya koperasi.
7. Terkendalinya harga serta ketersediaan bahan pokok.
Strategi : menjaga stabilitas harga dan memperbaiki sistem distribusi barang kebutuhan
pokok.
Indikator capaian : tingkat inflasi umum satu digit, ketergantungan supply kebutuhan pokok
dari daerah lain 60 %.

Misi Empat: Memelihara Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

1. Perbaikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air baku.


Strategi : pencegahan dan pengendalian pencemaran air, pengembangan sumberdaya air
untuk memenuhi kebutuhan Rumah tangga, kota dan industri (RKI).
Indikator capaian : kualitas air baku yang melebihi Baku Mutu (BM) berkurang sebanyak
50 %; tidak ada konversi ruang terbuka hijau (hutan dan perkebunan rakyat) untuk
peruntukan lain; perbaikan situ-situ; peningkatan ketersediaan kebutuhan air baku sebanyak
12,001 m3/detik detik.
2. Melakukan upaya-upaya pengurangan resiko bencana.
Strategi : Mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana.
Indikator capaian : tersedianya manajemen sumberdaya alam dan lingkungan yang
berorientasi mengurangi resiko bencana, implementasi RTRW yang berorientasi
pengurangan resiko bencana dan disertai pengaturan teknis lainnya.
3. Mengubah paradigma perilaku penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Strategi : melanjutkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada penduduk mengenai pentingnya
menjaga dan memelihara lingkungan hidup secara lestari. Memonitor dan mengevaluasi
efektivitas peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku
penduduk menjadi berwawasan lingkungan.

Bab IV 127
Indikator capaian: penduduk mempraktekan pemeliharaan lingkungan hidup secara lestari
baik pada skala rumah tangga, komunitas, maupun kabupaten. Pemantapan pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku penduduk
menjadi berwawasan lingkungan.
4. Memulihkan kawasan lindung yang sudah mengalami degradasi dan membangun kawasan
lindung baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Strategi tujuan: melanjutkan upaya pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi,
mereview program dan kegiatan pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi,
melanjutkkan pembangunan kawasan lindung di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan
bersama-sama stakeholders. Memasukan target ideal total kawasan lindung di KBB sebesar
60% ke dalam review Peraturan Daerah KBB tentang RTRW KBB.
Indikator capaian: pulihnya kawasan lindung sebesar 5% dari total 20% areal kawasan
lindung yang terdegradasi. Terbangunnya kawasan lindung baru di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan sebesar 10% dari total 40% kawasan lindung baru. Target ideal total
kawasan lindung di KBB sebesar 60%.
5. Pengembangan infrastruktur yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Strategi : ketersediaan infrastruktur wilayah diupayakan terdistribusi pada seluruh wilayah,
dalam mendukung terwujudnya kemandirian sosial dan ekonomi Bandung Barat.
Indikator capaian: berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi, meningkatnya
ketersediaan air baku untuk berbagai keperluan, optimalnya pengendalian banjir dan
kekeringan, optimalnya ketersediaan jaringan irigasi, , meningkatnya ketersediaan air bersih
dan sanitasi, meningkatnya ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta
meningkatnya penyediaan rumah bagi masyarakat.

Misi Lima: Mengintegrasikan kearifan nilai-nilai agama dan budaya dalam pembangunan

1. Terwujudnya kerukunan inter dan antar umat beragama.


Strategi : meningkatkan komunikasi antar pemimpin umat beragama, meningkatkan
pemahaman tentang cara pengamalan agama dengan baik dan benar.
Indikator capaian: meningkatnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai
agama dan kepercayaan
2. Terwujudnya sistem kerja sama antara forum warga dan pemerintah.
Strategi : meningkatkan keterlibatan warga dalam pembangunan.

Bab IV 128
Indikator capaian: meningkatnya pelibatan forum warga dalam pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi pembangunan, dan adanya pertemuan rutin antar aparat pemerintah dengan
forum warga.
3. Terwujudnya penguatan identitas dan jatidiri masyarakat melalui penumbuhan budaya
inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,
Strategi: meningkatkan budaya membaca dan menulis, mengembangkan masyarakat
pembelajar, mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif ke budaya produktif,
meningkatkan kemampuan pengungkapan kreativitas melalui kesenian.
Indikator capaian: meningkatnya pengunjung dan anggota perpustakaan daerah;
meningkatnya karya tulis baik kualitas maupun kuantitas, meningkatnya pemanfaatan
teknologi tepat guna khususnya di perdesaan.

RPJM Daerah Keenam (2025-2028) sebagai RPJMD Transisi

Misi Satu: Meningkatnya kualitas Sumberdaya Manusia yang Sehat, Cerdas dan Kreatif.

1. Terwujudnya pengendalian pertumbuhan penduduk dengan memperhatikan daya dukung dan


daya tampung wilayah.
Strategi: peningkatan pelayanan keluarga berencana, peningkatan pelayanan kesehatan
reproduksi, membatasi urbanisasi dan imigrasi. Membangun sistem administrasi
kependudukan.
Indikator capaian : tersedianya data dasar kependudukan, menurunnya angka fertilitas
total = 2,4, menurunnya pertumbuhan alami penduduk mencapai 1,9 %, dan laju
pertumbuhan penduduk mencapai 2,5 %/tahun, terwujudnya keluarga kecil yang berkualitas.
2. Terwujudnya pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan untuk seluruh masyarakat
mencakup semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan dengan memperhatikan kondisi
wilayah.
Strategi: penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas pelayanan
pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan.
Indikator capaian : tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, Kualitas Pelayanan
Pendidikan > 25%, anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBD dan lembaga pendidikan
diharapkan telah menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
3. Terwujudnya kualitas pendidikan melalui pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan.
Strategi: meningkatkan kualitas tenaga pendidik dengan melakukan sertifikasi guru,
memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan bagi tenaga pendidik yang belum berijazah
S1, rekruitmen tenaga kependidikan berdasarkan kualitas calon.

Bab IV 129
Indikator capaian: kualitas Tenaga Pendidik melalui sertifikasi guru > 25% dan Guru
Berijazah S-1 > 30%.
4. Meningkatnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan rintisan Wajib Belajar
Menengah 12 tahun yang berkualitas.
Startegi : membebaskan biaya pendidikan bagi sekolah dasar dan menengah, menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah.
Indikator capaian : Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 12 tahun.
5. Terwujudnya pemerataan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Strategi : meningkatkan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, melanjutkan pendirian
rumah sakit daerah, puskesmas dan puskesmas pembantu, penyediaan tenaga medis dan
paramedis yang berkualitas, penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang cukup dan
terjangkau.
Indikator capaian : meningkatnya kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan,
penyusunan sistem jaminan/asuransi kesehatan bagi masyarakat, 60% fasilitas kesehatan
memenuhi SPM kesehatan, Umur Harapan Hidup mencapai > 66,56 dan menurunnya Angka
Kematian Bayi < 30/1000, Kelahiran Hidup serta menurunnya Angka Kematian Ibu =
4/10.000 kelahiran hidup.
6. Pemberdayaan perempuan dan pemuda menuju perempuan dan pemuda yang lebih kreatif
dan inovatif.
Strategi : Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, penurunan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi perempuan, penguatan kelembagaan dan jaringan
pengarusutamaan gender, penyediaan data dan statistik gender. Peningkatan pemberdayaan
pemuda melalui pembangunan karakter kebangsaan, meningkatkan motivasi agar pemuda
siap berpartisipasi dalam berbagai bidang pembangunan terutama dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, iptek, politik dan olah raga.
Indikator capaian: meningkatnya Indeks Pembangunan Gender ( IPG), meningkatnya
kesejahteraan perempuan dan peran serta perempuan dalam proses pembangunan diharapkan
20% perempuan berpartisipasi di bidang politik; meningkatnya peran pemuda dalam
pembangunan terutama di bidang sosial budaya, iptek , politik dan olahraga.

Misi Dua : Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

1. Meningkatnya kualitas kinerja birokrasi yang dihasilkan oleh postur


kelembagaan(organisasi) birokrasi yang efisien dan efektif dan kualitas sumberdaya manusia
aparat birokrasi yang kompeten.

Bab IV 130
Strategi : mengembangkan insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional; mengembangkan sistem karir yang menunjang kreativitas
dan inovasi sumberdaya manusia birokrasi; menerapkan sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
menerapkan kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; mengembangkan sistem remunerasi yang
sesuai dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
Indikator capaian: tersedianya insentif dan disinsentif untuk meningkatkan motivasi kerja
pegawai dalam jabatan fungsional; tersedianya sistem karir yang menunjang kreativitas dan
inovasi sumberdaya manusia birokrasi; terlaksanakannya sistem uji kelayakan (fit and proper
test) sebagai syarat utama bagi penempatan para calon pejabat publik, yang dilakukan oleh
tim independen dan bertanggung jawab serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
terlaksanakannya kebijakan dan mekanisme outsourcing untuk mendorong kompetensi dan
peningkatan kinerja di kalangan aparat birokrasi; tersedianya sistem remunerasi yang sesuai
dengan beban kerja dan prestasi sumberdaya manusia birokrasi.
2. Meningkatnya kinerja kecamatan dan pemerintah desa dalam memberikan pelayanan publik
yang berkualitas.
Strategi: melakukan pembenahan kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; melakukan modernisasi
desa melalui pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa; melaksanakan
pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan
karakteristik kecamatan dan desa.
Indikator capaian: terbenahinya kelembagaan kecamatan dan desa sebagai unit pelayanan
terdepan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; modernisasi desa
melalui pengembangan infrastruktur untuk membuka akses desa; terlaksanakannya
pendidikan dan pelatihan bagi aparat kecamatan dan pemerintah desa sesuai dengan
karakteristik kecamatan dan desa.
3. Meningkatnya kapasitas manajemen pemerintahan yang profesional, efisien, efektif, dan
akuntabel serta bermuara kepada peningkatan pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Strategi: melaksanakan sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun pada periode
sebelumnya; menyusun standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan urusan pilihan
yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat; menyusun standar operasional prosedur
untuk tiap mekanisme pelayanan; pembentukan dan pemanfaatan teknologi informasi dan

Bab IV 131
komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line system; pelatihan
teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.
Indikator capaian : terlaksanakannya sistem manajemen pemerintahan yang telah disusun
pada periode sebelumnya; tersusunnya standar pelayanan minimal untuk urusan wajib dan
urusan pilihan yang menjadi unggulan Kabupaten Bandung Barat; tersusunnya standar
operasional prosedur untuk tiap mekanisme pelayanan; terbentuknya dan termanfaatkannya
teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang pelayanan publik berdasarkan on line
system; tersedianya pelatihan teknologi informasi bagi aparat birokrasi pemerintah daerah.
4. Meningkatnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan
pembangunan dan memantau pemerintahan.
Strategi : mengembangkan kapasitas kerjasama di antara organisasiorganisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat; mengembangkan mekanisme
dialog lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial;
memberdayakan partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah; memperluas
akses bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik
yangdiselenggarakan pemerintah.
Indikator capaian : meningkatnya kapasitas kerjasama di antara organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat; tersedianya mekanisme dialog
lintas suku, agama, ras, dan kelompok untuk memperkuat kohesi sosial; meningkatnya
kapasitas partai politik sebagai alat kontrol terhadap kinerja pemerintah; meluasnya akses
bagi masyarakat untuk mengikuti program-program pendidikan politik yang diselenggarakan
pemerintah.
5. Terwujudnya jejaring kemitraan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat yang
sinergis dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat.
Strategi : melaksanakan regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode sebelumnya;
merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan pemerintah
dan non pemerintah; menyusun indikator keberhasilan kemitraan.
Indikator capaian : terlaksanakannya regulasi kemitraan yang telah disusun pada periode
sebelumnya; tersedianya mekanisme insentif dan disinsentif untuk meningkatkan kemitraan
pemerintah dan non pemerintah; tersusunnya indikator keberhasilan kemitraan.

Bab IV 132
Misi Tiga: Meningkatnya Perekonomian Masyarakat yang Produktif, Berkeadilan dan
Berdaya Saing

1. Meningkatnya industri pertanian ( tanaman pangan, hortilkultura, perkebunan, kehutanan,


peternakan dan perikanan ).
Strategi : meningkatkan sarana dan prasarana pendukung; menciptakan lingkungan usaha
yang kondusif;
Indikator capaian : tersedianya infrastruktur transportasi yang berkualitas menuju berbagai
sentra usaha pertanian, tujuan wisata dan kawasan industri, tersedianya berbagai balai
penelitian dan promosi. LPE 7%, pertumbuhan Ekspor rata-rata 12,8% per tahun, PDRB
Riil/kapita Rp 5 juta per tahun, PDRB sektor pertanian 12%, PDRB sektor PHR 20%,
PDRB sektor industri pengolahan minimal 50%, jumlah wisatawan meningkat 40%,
meningkatnya PAD dari pajak hotel dan pajak restoran
2. Tercapainya penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi
untuk mendukung pembangunan perekonomian yang berkelanjutan;
Strategi : Rekruitmen tenaga-tenaga ahli pertanian dan pariwisata, meningkatkan pendidikan
dan pelatihan, meningkatkan kegiatan riset dan uji coba di bidang teknologi,
Indikator capaian : tersedianya ahli pertanian dan pariwisata yang berkualitas, adanya
penemuan dan pemanfaatan iptek dalam sektor produksi, meningkatnya anggaran riset dan
diklat, berkembangnya sinergi kebijakan iptek lintas sektor, berkembangnya pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi,
3. Berkembangnya wisata ramah lingkungan
Strategi : kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat serta memperluas kesempatan lapangan
kerja, pengembangan wisata memanfaatkan berbagai pesona alam, wisata air dan wisata
budaya, melakukan kerjasama dengan instansi terkait.
Indikator capaian : tersedianya tempat tujuan wisata yang menarik bagi wisatawan lokal
maupun asing, meningkatnya PAD dari pajak hotel, pajak restoran dan retribusi tempat
wisata.
4. Terciptanya iklim usaha yang kondusif untuk investasi di bidang industri pengolahan;
Strategi : menetapkan kawasan industri, mempermudah perijinan, memberikan insentif bagi
investor di bidang industri pengolahan.
Indikator capaian : meningkatnya jumlah investasi, menurunnya pengangguran,
meningkatnya pendapatan daerah dari bagi hasil pajak.

Bab IV 133
5. Meningkatnya daya beli masyarakat perdesaan.
Strategi : meningkatkan proyek yang bersifat padat karya terutama pada desa tertinggal,
menjaga kelangsungan dan kelancaran penyaluran BLT, mendorong tumbuhnya home
industri di perdesaan,
Indikator capaian : meningkatnya pendapatan per kapita rakyat di perdesaan, lancar dan
utuhnya penyaluran BLT di perdesaan, munculnya usaha-usaha home industri di perdesaan.
6. Meningkatnya daya saing UMKM dan Koperasi.
Strategi : peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan, peningkatan produktivitas,
pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam sistem usaha yang sehat,
pengembangan UMKM dilakukan secara terintegrasi dengan pengembangan agroindustri
dan pariwisata, penyediaan dana penjamin eksport, menjalin kemitraan dengan pengusaha
besar maupun dengan sesama UMKM, menghimpun kelompok usaha UMKM sejenis dalam
badan hukum koperasi, mendorong dan memfasilitasi perkembangan Koperasi.
Indikator capaian : tumbuhnya UMKM yang berdaya saing dan berbasis keunggulan
daerah, tumbuh dan berkembangnya koperasi.
7. Terkendalinya harga serta ketersediaan bahan pokok.
Strategi : menjaga stabilitas harga dan memperbaiki sistem distribusi barang kebutuhan
pokok.
Indikator capaian : tingkat inflasi umum satu digit, ketergantungan suplai kebutuhan pokok
dari daerah lain 60 %.

Misi Empat : Memelihara Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

1. Perbaikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur air baku.


Strategi : pencegahan dan pengendalian pencemaran air, pengembangan sumberdaya air
untuk memenuhi kebutuhan Rumah tangga, kota dan industri (RKI).
Indikator capaian : kualitas air baku yang melebihi Baku Mutu (BM) berkurang sebanyak
50 %; tidak ada konversi ruang terbuka hijau (hutan dan perkebunan rakyat) untuk
peruntukan lain; perbaikan situ-situ; peningkatan ketersediaan kebutuhan air baku sebanyak
12,001 m3/detik detik.
2. Melakukan upaya-upaya pengurangan resiko bencana.
Strategi : mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana.

Bab IV 134
Indikator capaian : tersedianya manajemen sumberdaya alam dan lingkungan yang
berorientasi mengurangi resiko bencana. Implementasi RTRW yang berorientasi
pengurangan resiko bencana dan disertai pengaturan teknis lainnya.
3. Mengubah paradigma perilaku penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Strategi : melanjutkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada penduduk mengenai pentingnya
menjaga dan memelihara lingkungan hidup secara lestari. Memonitor dan mengevaluasi
efektivitas peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku
penduduk menjadi berwawasan lingkungan.
Indikator capaian: penduduk mempraktekan pemeliharaan lingkungan hidup secara lestari
baik pada skala rumah tangga, komunitas, maupun kabupaten. Pemantapan pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan bupati yang mendorong perubahan perilaku penduduk
menjadi berwawasan lingkungan.
4. Memulihkan kawasan lindung yang sudah mengalami degradasi dan membangun kawasan
lindung baik di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Strategi : melanjutkan upaya pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi, mereview
program dan kegiatan pemulihan kawasan lindung yang terdegradasi, melanjutkkan
pembangunan kawasan lindung di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan bersama-sama
stakeholders. Memasukan target ideal total kawasan lindung di KBB sebesar 60% ke dalam
review Peraturan Daerah KBB tentang RTRW KBB.
Indikator capaian : pulihnya kawasan lindung sebesar 5% dari total 20% areal kawasan
lindung yang terdegradasi. Terbangunnya kawasan lindung baru di dalam kawasan hutan dan
di luar kawasan hutan sebesar 10% dari total 40% kawasan lindung baru. Target ideal total
kawasan lindung di KBB sebesar 60%.
5. Pengembangan infrastruktur yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Strategi : ketersediaan infrastruktur wilayah diupayakan terdistribusi pada seluruh wilayah,
dalam mendukung terwujudnya kemandirian sosial dan ekonomi Bandung Barat.
Indikator capaian : berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi, meningkatnya
ketersediaan air baku untuk berbagai keperluan, optimalnya pengendalian banjir dan
kekeringan, optimalnya ketersediaan jaringan irigasi, meningkatnya ketersediaan air bersih
dan sanitasi, meningkatnya ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta
meningkatnya penyediaan rumah bagi masyarakat.

Bab IV 135
Misi Lima : Mengintegrasikan Kearifan Nilai-nilai Agama dan Budaya Dalam
Pembangunan

1. Terwujudnya kerukunan inter dan antar umat beragama.


Strategi : Meningkatkan komunikasi antar pemimpin umat beragama, meningkatkan
pemahaman tentang cara pengamalan agama dengan baik dan benar.
Indikator capaian: meningkatnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama sesuai
agama dan kepercayaan
2. Terwujudnya sistem kerja sama antara forum warga dan pemerintah.
Strategi : meningkatkan keterlibatan warga dalam pembangunan.
Indikator capaian : meningkatnya pelibatan forum warga dalam pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi pembangunan, dan adanya pertemuan rutin antar aparat pemerintah dengan
forum warga.
3. Terwujudnya penguatan identitas dan jatidiri masyarakat melalui penumbuhan budaya
inovatif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,
Strategi : meningkatkan budaya membaca dan menulis, mengembangkan masyarakat
pembelajar, mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif ke budaya produktif,
meningkatkan kemampuan pengungkapan kreativitas melalui kesenian.
Indikator capaian : meningkatnya pengunjung dan anggota perpustakaan daerah;
meningkatnya karya tulis baik kualitas maupun kuantitas, meningkatnya pemanfaatan
teknologi tepat guna khususnya di perdesaan.

Bab IV 136
BAB V
PENUTUP

Kabupaten Bandung Barat memiliki banyak potensi sumberdaya, yang terdiri dari
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumber daya buatan, dan sumber daya energi.
Potensi tersebut dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kualitas sumberdaya manusia yang masih menunjukkan kesenjangan dalam hal pendidikan,
kesehatan, dan akses terhadap pelayanan publik menjadi tantangan tersendiri bagi Kabupaten
Bandung Barat. Ancaman kemiskinan dan pengangguran serta terbatasnya lapangan kerja
yang tersedia, sehingga masih banyak penduduk Kabupaten Bandung Barat yang harus
bekerja ke luar daerah bahkan ke luar negeri menjadi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi
di Kabupaten Bandung Barat masih belum tersebar secara merata.

Kondisi geografis Kabupaten Bandung Barat yang relatif sulit dengan resiko bencana
yang cukup besar juga menuntut perhatian dan penanganan khusus agar pembangunan di
Kabupaten Bandung Barat tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.
Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan kelestarian
lingkungan hidup, serta pengurangan resiko-resiko bencana, baik bencana alam maupun
bencana sosial, menjadi faktor kunci yang harus melandasi pembangunan jangka panjang,
jangka menengah, dan tahunan di Kabupaten Bandung Barat.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka untuk jangka waktu 20 (duapuluh) tahun


mendatang, Kabupaten Bandung Barat harus memfokuskan kebijakan dan program
pembangunan daerahnya ke arah pengelolaan potensi lokal yang dimiliki, yakni potensi
pertanian, industri kecil dan menengah, sektor perdagangan, dan jasa, terutama jasa
pariwisata yang keseluruhannya saling berkaitan untuk menopang agroindustri sebagai core
business Kabupaten Bandung Barat.

Pendekatan budaya juga perlu diterapkan dalam pembangunan daerah, khususnya


menyangkut peningkatan kapasitas modal sosial (social capital) yang dapat menunjang
keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah. Modal sosial ini antara lain menyangkut
berbagai faktor budaya lokal yang masih berperan penting di masyarakat, seperti nilai-nilai
keagamaan dan homogenitas adat istiadat sebagai faktor pengikat dan penghubung antara

Bab V 137
berbagai kelompok masyarakat. Peran serta tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat lebih
dilibatkan dalam penentuan kebijakan pembangunan serta pelaksanaannya

BUPATI BANDUNG BARAT

H. ABUBAKAR

Bab V 138

Anda mungkin juga menyukai