Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

MATERI KULIAH UMUM


MEPELING MAHASISWA BARU 2017/2018
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA

 WAWASAN NUSANTARA
 KETAHANAN NASIONAL
 BELA NEGARA
 PANCASILA DAN UUD 1945
 PENDIDIKAN KARAKTER

DI SUSUN OLEH :
AZI ZAELANI MUHAMAD DAHLAN
41155030170019
TEKNIK ARSITEK
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
Jl. Karapitan No.116 Bandung

Tahun Ajaran 2017/2018


I
WAWASAN NUSANTARA

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan keanekaragaman pendapat,


kepercayaan, dsb, memerlukan suatu perekat agar bangsa yang bersangkutan dapat bersatu
guna memelihara keutuhan negaranya.
Suatu bangsa dalam menyelengarakan kehidupannya tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya, yang didasarkan atas hubungan timbal balik atau kait-mengait antara filosofi
bangsa, idiologi, aspirasi, dan cita-cita yang dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat,
budaya dan tradisi, keadaan alam dan wilayah serta pengalaman sejarah.
Upaya pemerintah dan rakyat menyelengarakan kehidupannya, memerlukan suatu
konsepsi yang berupa Wawasan Nasional yang dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan
hidup, keutuhan wilayah serta jati diri.
Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa yaitu mawas yang artinya melihat atau
memandang, jadi kata wawasan dapat diartikan cara pandang atau cara melihat.
Kehidupan negara senantiasa dipengaruhi perkembangan lingkungan strategik
sehinga wawasan harus mampu memberi inspirasi pada suatu bangsa dalam menghadapi
berbagai hambatan dan tantangan yang ditimbulkan dalam mengejar kejayaanya.
Dalam mewujudkan aspirasi dan perjuangan ada tiga faktor penentu utama yang
harus diperhatikan oleh suatu bangsa :
1. Bumi/ruang dimana bangsa itu hidup
2. Jiwa, tekad dan semangat manusia / rakyat
3. Lingkungan

Wawasan Nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri
dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (interaksi & interelasi) serta
pembangunannya di dalam bernegara di tengah-tengah lingkungannya baik nasional, regional,
maupun global.

TEORI-TEORI KEKUASAAN
Wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang
dianut oleh negara yang bersangkutan.
1. Paham-Paham Kekuasaan
a. Machiavelli (abad XVII)
Sebuah negara itu akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil:
1. Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara dihalalkan
2. Untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (devide et empera) adalah sah.
3. Dalam dunia politik,yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
b. Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Perang dimasa depan merupakan perang total, yaitu perang yang mengerahkan segala
daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus
didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi, yang didukung oleh sosial budaya
berupa ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa untuk membentuk kekuatan
pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
c. Jendral Clausewitz (abad XVIII)
Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya dia
bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia. Dia menulis sebuah buku tentang perang
yang berjudul “Vom Kriegen” (tentang perang). Menurut dia perang adalah kelanjutan
politik dengan cara lain. Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional
suatu bangsa.
d. Fuerback dan Hegel
Ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar surplus ekonominya,
terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh negara itu.
e. Lenin (abad XIX)
Perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Perang bahkan pertumpahan
darah/revolusi di negara lain di seluruh dunia adalah sah, yaitu dalam rangka
mengkomuniskan bangsa di dunia.
f. Lucian W. Pye dan Sidney
Kemantapan suatu sistem politik hanya dapat dicapai apabila berakar pada kebudayaan
politik bangsa ybs. Kebudayaan politik akan menjadi pandangan baku dalam melihat
kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya.
Dalam memproyeksikan eksistensi kebudayaan politik tidak semata-mata ditentukan
oleh kondisi-kondisi obyektif tetapi juga harus menghayati kondisi subyektif psikologis
sehingga dapat menempatkan kesadaran dalam kepribadian bangsa.
2. Teori–Teori Geopolitik (Ilmu Bumi Politik)
Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala politik dari aspek geografi.
Teori ini banyak dikemukakan oleh para sarjana seperti :
a. Federich Ratzel
1. Pertumbuhan negara dapat dianalogikan (disamakan) dengan pertumbuhan
organisme (mahluk hidup) yang memerlukan ruang hidup, melalui proses lahir,
tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup tetapi dapat juga menyusut dan
mati.
2. Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati oleh kelompok politik dalam
arti kekuatan. Makin luas potensi ruang makin memungkinkan kelompok politik
itu tumbuh (teori ruang).
3. Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari
hukum alam. Hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup terus dan
langgeng.
4. Semakin tinggi budaya bangsa semakin besar kebutuhan atau dukungan sumber
daya alam. Apabila tidak terpenuhi maka bangsa tsb akan mencari pemenuhan
kebutuhan kekayaan alam diluar wilayahnya (ekspansi). Apabila ruang hidup
negara (wilayah) sudah tidak mencukupi, maka dapat diperluas dengan
mengubah batas negara baik secara damai maupun dengan kekerasan/perang.
Ajaran Ratzel menimbulkan dua aliran :
 menitik beratkan kekuatan darat
 menitik beratkan kekuatan laut

b. Rudolf Kjellen

1. Negara sebagai satuan biologi, suatu organisme hidup. Untuk mencapai tujuan
negara, hanya dimungkinkan dengan jalan memperoleh ruang (wilayah) yang
cukup luas agar memungkinkan pengembangan secara bebas kemampuan dan
kekuatan rakyatnya.
2. Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-
bidang: geopolitik, ekonomipolitik, demopolitik, sosialpolitik dan kratopolitik.
3. Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar, tetapi harus
mampu swasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi
untuk meningkatkan kekuatan nasional.

c. Karl Haushofer
Pandangan Karl Haushofer ini berkembang di Jerman di bawah kekuasan Adolf Hitler,
juga dikembangkan ke Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat
militerisme dan fasisme. Pokok– pokok teori Haushofer ini pada dasarnya menganut teori
Kjelen, yaitu sebagai berikut :
1. Kekuasan imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasan
imperium maritim untuk menguasai pengawasan dilaut
2. Negara besar didunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika, dan Asia
barat (Jerman dan Italia) serta Jepang di Asia timur raya.
3. Geopulitik adalah doktrin negara yang menitik beratkan pada soal strategi
perbatasan. Geopolitik adalah landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan
kelangsungan hidup untuk mendapatkan ruang hidup (wilayah).

d. Sir Halford Mackinder (konsep wawasan benua)


Teori ahli Geopolitik ini menganut “konsep kekuatan”. Ia mencetuskan wawasan benua
yaitu konsep kekuatan di darat. Ajarannya menyatakan ; barang siapa dapat mengusai
“daerah jantung”, yaitu Eropa dan Asia, akan dapat menguasai “pulau dunia” yaitu Eropa,
Asia, Afrika dan akhirnya dapat mengusai dunia.
e. Sir Walter Raleigh dan Alferd Thyer Mahan (konsep wawasan bahari)
Barang siapa menguasai lautan akan menguasai “perdagangan”. Menguasai
perdagangan berarti menguasai “kekayaan dunia” sehinga pada akhirnya menguasai
dunia.
f. W. Mitchel, A. Seversky, Giulio Douhet, J.F.C. Fuller (konsep wawasan dirgantara)
Kekuatan di udara justru yang paling menentukan. Kekuatan di udara mempunyai daya
tangkis terhadap ancaman dan dapat melumpuhkan kekuatan lawan dengan
penghancuran dikandang lawan itu sendiri agar tidak mampu lagi bergerak menyerang.
g. Nicholas J. Spykman
Teori daerah batas (RIMLAND) yaitu teori wawasan kombinasi, yang menggabungkan
kekuatan darat, laut, udara dan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keperluan
dan kondisi suatu negara.

WAWASAN NASIONAL INDONESIA


Wawasan nasional Indonesia dikembangkan berdasarkan wawasan nasional secara
universal sehingga dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dipakai
negara Indonesia.
1. Paham Kekuasaan Indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham
tentang perang dan damai berdasarkan : “Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih
cinta kemerdekaan”. Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak
mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung
persengketaan dan ekspansionisme.
2. Geopolitik Indonesia
Indonesia menganut paham negara kepulauan berdasar ARCHIPELAGO CONCEPT
yaitu laut sebagai penghubung daratan sehingga wilayah negara menjadi satu kesatuan yang
utuh sebagai Tanah Air dan ini disebut negara kepulauan.

DASAR PEMIKIRAN WAWASAN NASIONAL INDONESIA


Bangsa Indonesia dalam menentukan wawasan nasional mengembangkan dari
kondisi nyata. Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasan dari bangsa
Indonesia yang terdiri dari latar belakang sosial budaya dan kesejarahan Indonesia.
Untuk itu pembahasan latar belakang filosofi sebagai dasar pemikiran dan pembinaan
nasional Indonesia ditinjau dari :

1. Pemikiran Berdasarkan Falsafah Pancasila


Wawasan nasional merupakan pancaran dari Pancasila oleh karena itu menghendaki
terciptanya persatuan dan kesatuan dengan tidak menghilangkan ciri, sifat dan karakter dari
kebhinekaan unsur-unsur pembentuk bangsa (suku bangsa, etnis dan golongan).
2. Pemikiran Berdasarkan Aspek Kewilayahan
Dalam kehidupan bernegara, geografi merupakan suatu fenomena yang mutlak
diperhatikan dan diperhitungkan baik fungsi maupun pengaruhnya terhadap sikap dan tata laku
negara ybs.
Wilayah Indonesia pada saat merdeka masih berlaku peraturan tentang wilayah
teritorial yang dibuat oleh Belanda yaitu “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie
1939” (TZMKO 1939), dimana lebar laut wilayah/teritorial Indonesia adalah 3 mil diukur dari
garis air rendah masing-masing pulau Indonesia.

Gambar wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939


TZMKO 1939 tidak menjamin kesatuan wilayah Indonesia sebab wilayah Indonesia
menjadi terpisah-pisah, sehingga pada tgl. 13 Desember 1957 pemerintah mengeluarkan
Deklarasi Djuanda yang isinya :

a. Segala perairan disekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang


termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas/lebarnya adalah bagian-
bagian yang wajar daripada wilayah daratan Indonesia.
b. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman bagi kapal-kapal asing dijamin selama
dan sekedar tidak bertentangan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara
Indonesia.
c. Batas laut teritorial adalah 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik
ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia.
Sebagai negara kepulauan yang wilayah perairan lautnya lebih luas dari pada wilayah
daratannya, maka peranan wilayah laut menjadi sangat penting bagi kehidupan bangsa dan
negara.
Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2. Ini berarti luas wilayah laut
Indonesia lebih dari dua setengah kali luas daratannya. Sesuai dengan Hukum Laut
Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun 1982, berikut ini adalah gambar pembagian
wilayah laut menurut konvensi Hukum Laut PBB.
Gambar Pembagian wilayah menurut Konvensi Hukum Laut PBB,
Montenegro, Caracas tahun 1982

Wilayah perairan laut Indonesia dapat dibedakan tiga macam, yaitu zona laut Teritorial,
zona Landas kontinen, dan zona Ekonomi Eksklusif.
a. Zona Laut Teritorial
Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah
laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu
kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara
tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut
yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal/perairan dalam (laut nusantara).
Garis dasar adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau terluar.
Sebuah negara mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya sampai batas laut teritorial,
tetapi mempunyai kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di
bawah permukaan laut. Deklarasi Djuanda kemudian diperkuat/diubah menjadi Undang-
undang No.4 Prp. 1960.
b. Zona Landas Kontinen
Landas kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan
lanjutan dari sebuah kontinen (benua). Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter. Indonesia
terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen Asia dan landasan kontinen
Australia.
Adapun batas landas kontinen tersebut diukur dari garis dasar, yaitu paling jauh 200
mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landasan kontinen, maka batas
negara tersebut ditarik sama jauh dari garis dasar masing-masing negara.
Di dalam garis batas landas kontinen, Indonesia mempunyai kewenangan untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, dengan kewajiban untuk menyediakan
alur pelayaran lintas damai. Pengumuman tentang batas landas kontinen ini dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Febuari 1969.
c. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka
diukur dari garis dasar. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan
pertama dalam memanfaatkan sumber daya laut. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini
kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui
sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan batas zona
ekonomi eksklusif antara dua negara yang bertetangga saling tumpang tindih, maka ditetapkan
garis-garis yang menghubungkan titik yang sama jauhnya dari garis dasar kedua negara itu
sebagai batasnya. Pengumuman tetang zona ekonomi eksklusif Indonesia dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1980.
Agar lebih jelas tentang batas zona laut Teritorial, zona landas kontinen dan zona
ekonomi eksklusif lihatlah peta berikut.

Gambar Batas wilayah laut Indonesia

Melalui Konfrensi PBB tentang Hukum Laut Internasional ke-3 tahun 1982, pokok-
pokok negara kepulauan berdasarkan Archipelago Concept negara Indonesia diakui dan
dicantumkan dalam UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea) atau
konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Indonesia meratifikasi Unclos 1982 melalui UU No.17 th.1985 dan sejak 16 Nopember
1993 Unclos 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara sehingga menjadi hukum positif (hukum
yang berlaku di masing-masing negara).
Berlakunya Unclos 1982 berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi
kepentingan kesejahteraan seperti bertambah luas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Landas
Kontinen Indonesia.
Perjuangan tentang kewilayahan dilanjutkan untuk menegakkan kedaulatan
dirgantara yakni wilayah Indonesia secara vertikal terutama dalam memanfaatkan wilayah
Geo Stationery Orbit (GSO) untuk kepentingan ekonomi dan pertahanan keamanan.

3. Pemikiran Berdasarkan Aspek Sosial Budaya


Budaya/kebudayaan secara etimologis adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh
kekuatan budi manusia. Kebudayaan diungkapkan sebagai cita, rasa dan karsa (budi,
perasaan, dan kehendak).
Sosial budaya adalah faktor dinamik masyarakat yang terbentuk oleh keseluruhan
pola tingkah laku lahir batin yang memungkinkan hubungan sosial diantara anggota-
anggotanya.
Secara universal kebudayaan masyarakat yang heterogen mempunyai unsur-unsur
yang sama :

 sistem religi dan upacara keagamaan


 sistem masyarakat dan organisasi kemasyarakatan
 sistem pengetahuan
 bahasa
 keserasian
 sistem mata pencaharian
 sistem teknologi dan peralatan

Sesuai dengan sifatnya, kebudayaan merupakan warisan yang bersifat memaksa bagi
masyarakat ybs, artinya setiap generasi yang lahir dari suatu masyarakat dengan serta merta
mewarisi norma-norma budaya dari generasi sebelumnya. Warisan budaya diterima secara
emosional dan bersifat mengikat ke dalam (Cohesivness) sehingga menjadi sangat sensitif.
Berdasar ciri dan sifat kebudayaan serta kondisi dan konstelasi geografi, masyarakat
Indonesia sangat heterogen dan unik sehingga mengandung potensi konflik yang sangat besar,
terlebih kesadaran nasional masyarakat yang relatif rendah sejalan dengan terbatasnya
masyarakat terdidik.
Besarnya potensi antar golongan di masyarakat yang setiap saat membuka peluang
terjadinya disintegrasi bangsa semakin mendorong perlunya dilakukan proses sosial yang
akomodatif. Proses sosial tersebut mengharuskan setiap kelompok masyarakat budaya untuk
saling membuka diri, memahami eksistensi budaya masing-masing serta mau menerima dan
memberi.
Proses sosial dalam upaya menjaga persatuan nasional sangat membutuhkan
kesamaan persepsi atau kesatuan cara pandang diantara segenap masyarakat tentang
eksistensi budaya yang sangat beragam namun memiliki semangat untuk membina
kehidupan bersama secara harmonis.
4. Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejarahan
Perjuangan suatu bangsa dalam meraih cita-cita pada umumnya tumbuh dan
berkembang akibat latar belakang sejarah. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit landasannya
adalah mewujudkan kesatuan wilayah, meskipun belum timbul rasa kebangsaan namun
sudah timbul semangat bernegara. Kaidah-kaidah negara modern belum ada seperti rumusan
falsafah negara, konsepsi cara pandang dsb. Yang ada berupa slogan-slogan seperti yang
ditulis oleh Mpu Tantular yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Penjajahan disamping menimbulkan penderitaan juga menumbuhkan semangat
untuk merdeka yang merupakan awal semangat kebangsaan yang diwadahi Boedi Oetomo
(1908) dan Sumpah Pemuda (1928) wawasan Nasional Indonesia diwarnai oleh pengalaman
sejarah yang menginginkan tidak terulangnya lagi perpecahan dalam lingkungan bangsa yang
akan melemahkan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan nasional sebagai hasil kesepakatan bersama agar bangsa Indonesia setara dengan
bangsa lain.
PENGERTIAN WAWASAN NUSANTARA
1. Prof.Dr. Wan Usman
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah
airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam

2. Kelompok kerja LEMHANAS 1999


Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri
dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Sedangkan pengertian yang digunakan sebagai acuan pokok ajaran dasar Wawasan
Nusantara sebagai geopolitik Indonesia adalah:
cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba
beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah
dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek kehidupan
nasional untuk mencapai tujuan nasional.
LANDASAN WAWASAN NUSANTARA

 Idiil → Pancasila
 Konstitusional → UUD 1945

UNSUR DASAR WAWASAN NUSANTARA


1. Wadah (Contour)
Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara meliputi seluruh wilayah
Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta
aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia memiliki organisasi kenegaraan yang merupakan
wadah berbagai kegiatan kenegaraan dalam wujud supra struktur politik dan wadah
dalam kehidupan bermasyarakat adalah berbagai kelembagaan dalam wujud infra
struktur politik.
2. Isi (Content)
Adalah aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan
nasional.
3. Tata laku (Conduct)
Hasil interaksi antara wadah dan isi wasantara yang terdiri dari :

 Tata laku Bathiniah yaitu mencerminkan jiwa, semangat dan mentalitas yang baik
dari bangsa Indonesia.
 Tata laku Lahiriah yaitu tercermin dalam tindakan, perbuatan dan perilaku dari
bangsa Indonesia.
Kedua tata laku tersebut mencerminkan identitas jati diri/kepribadian bangsa berdasarkan
kekeluargaan dan kebersamaan yang memiliki rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan
tanah air sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang tinggi dalam semua aspek
kehidupan nasional.

HAKEKAT WAWASAN NUSANTARA


Adalah keutuhan nusantara/nasional, dalam pengertian : cara pandang yang selalu utuh
menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.
Berarti setiap warga bangsa dan aparatur negara harus berfikir, bersikap dan
bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk
produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga negara.
ASAS WAWASAN NUSANTARA
Merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara dan
diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya komponen/unsur pembentuk bangsa
Indonesia(suku/golongan) terhadap kesepakatan (commitment) bersama. Asas wasantara
terdiri dari:
1. Kepentingan/Tujuan yang sama
2. Keadilan
3. Kejujuran
4. Solidaritas
5. Kerjasama
6. Kesetiaan terhadap kesepakatan

Dengan latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi serta
memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, maka arah pandang wawasan nusantara
meliputi :

1. Ke dalam
Bangsa Indonesia harus peka dan berusaha mencegah dan mengatasi sedini mungkin
faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan mengupayakan tetap terbina
dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan.
Tujuannya adalah menjamin terwujudnya persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan
nasional baik aspek alamiah maupun aspek sosial.
2. Ke luar
Bangsa Indonesia dalam semua aspek kehidupan internasional harus berusaha untuk
mengamankan kepentingan nasional dalam semua aspek kehidupan baik politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan demi tercapainya tujuan nasional.
Tujuannya adalah menjamin kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
KEDUDUKAN WAWASAN NUSANTARA
Wawasan Nusantara merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh
rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam rangka
mencapai dan mewujudkan tujuan nasional.
Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma
nasional sbb:

 Pancasila (dasar negara) → Landasan Idiil


 UUD 1945 (Konstitusi negara) → Landasan Konstitusional
 Wasantara (Visi bangsa) → Landasan Visional
 Ketahanan Nasional (KonsepsiBangsa) → Landasan Konsepsional
 GBHN (Kebijaksanaan Dasar Bangsa) → Landasan Operasional

Fungsi Wawasan Nusantara adalah pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu


dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan, baik bagi
penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Tujuan Wawasan Nusantara adalah mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala
bidang dari rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada
kepentingan orang perorangan, kelompok, golongan, suku bangsa/daerah.

IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA


Penerapan Wawasan Nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola
tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan negara.

1. Implementasi dalam kehidupan politik


Adalah menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis,
mewujudkan pemerintahan yang kuat, aspiratif, dipercaya.

2. Implementasi dalam kehidupan Ekonomi


Adalah menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil.
3. Implementasi dalam kehidupan Sosial Budaya
Adalah menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan
menghormati segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan yang hidup disekitarnya dan
merupakan karunia sang pencipta.
4. Implementasi dalam kehidupan Pertahanan Keamanan
Adalah menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan membentuk sikap bela negara pada
setiap WNI.
SOSIALISASI WAWASAN NUSANTARA
1. Menurut sifat/cara penyampaian
 langsung → ceramah, diskusi, tatap muka
 tidak langsung → media massa
2. Menurut metode penyampaian

 ketauladanan
 edukasi
 komunikasi
 integrasi
Materi Wasantara disesuaikan dengan tingkat dan macam pendidikan serta lingkungannya
supaya bisa dimengerti dan dipahami.

TANTANGAN IMPLEMENTASI WASANTARA


1. Pemberdayaan Masyarakat
John Naisbit dalam bukunya GLOBAL PARADOX menyatakan : negara harus dapat
memberikan peranan sebesar-besarnya kepada rakyatnya.
Pemberdayaan masyarakat dalam arti memberikan peranan dalam bentuk aktivitas
dan partisipasi masyarakat untuk mencapai tujuan nasional hanya dapat dilaksanakan oleh
negara-negara maju dengan Buttom Up Planning. Sedang untuk negara berkembang dengan
Top Down Planning karena adanya keterbatasan kualitas sumber daya manusia, sehingga
diperlukan landasan operasional berupa GBHN.
Kondisi nasional (Pembangunan) yang tidak merata mengakibatkan keterbelakangan
dan ini merupakan ancaman bagi integritas. Pemberdayaan masyarakat diperlukan terutama
untuk daerah-daerah tertinggal.
2. Dunia Tanpa Batas
a. Perkembangan IPTEK → Mempengaruhi pola, pola sikap dan pola tindak masyarakat
dalam aspek kehidupan. Kualitas sumber daya Manusia merupakan tantangan serius
dalam menghadapi tantangan global.
b. Kenichi Omahe dalam bukunya Borderless Word dan The End of Nation State menyatakan
: dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti
geografi dan politik relatif masih tetap, namun kehidupan dalam satu negara tidak
mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, investasi, industri dan
konsumen yang makin individual. Untuk dapat menghadapi kekuatan global suatu negara
harus mengurangi peranan pemerintah pusat dan lebih memberikan peranan kepada
pemerintah daerah dan masyarakat.
3. Era Baru Kapitalisme
a. Sloan dan Zureker
Dalam bukunya Dictionary of Economics menyatakan Kapitalisme adalah suatu sistim
ekonomi yang didasarkan atas hak milik swasta atas macam-macam barang dan
kebebasan individu untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain dan untuk
berkecimpung dalam aktivitas-aktivitas ekonomi yang dipilihnya sendiri berdasarkan
kepentingan sendiri serta untuk mencapai laba guna diri sendiri.
Di era baru kapitalisme, sistem ekonomi untuk mendapatkan keuntungan dengan
melakukan aktivitas-aktivitas secara luas dan mencakup semua aspek kehidupan
masyarakat sehingga diperlukan strategi baru yaitu adanya keseimbangan.
b. Lester Thurow
Dalam bukunya The Future of Capitalism menyatakan : untuk dapat bertahan dalam era
baru kapitalisme harus membuat strategi baru yaitu keseimbangan (balance) antara
paham individu dan paham sosialis.
Di era baru kapitalisme, negara-negara kapitalis dalam rangka mempertahankan
eksistensinya dibidang ekonomi menekan negara-negara berkembang dengan
menggunakan isu-isu global yaitu Demokrasi, Hak Azasi Manusia, Lingkungan hidup.
4. Kesadaran Warga Negara
a. Pandangan Indonesia tentang Hak dan Kewajiban
Manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Hak dan
kewajiban dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.

b. Kesadaran belanegara
Dalam mengisi kemerdekaan perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan non fisik
untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, memberantas KKN,
menguasai Iptek, meningkatkan kualitas SDM, transparan dan memelihara persatuan.
Dalam perjuangan non fisik, kesadaran bela negara mengalami penurunan yang tajam
dibandingkan pada perjuangan fisik.

PROSPEK IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA


Berdasarkan beberapa teori mengemukakan pandangan global sbb:

1. Global Paradox menyatakan negara harus mampu memberikan peranan sebesar-


besarnya kepada rakyatnya.
2. Borderless World dan The End of Nation State menyatakan batas wilayah geografi relatif
tetap, tetapi kekuatan ekonomi dan budaya global akan menembus batas tsb. Pemerintah
daerah perlu diberi peranan lebih berarti.
3. The Future of Capitalism menyatakan strategi baru kapitalisme adalah mengupayakan
keseimbangan antara kepentingan individu dengan masyarakat serta antara negara maju
dengan negara berkembang.
4. Building Win Win World (HENDERSON) menyatakan perlu ada perubahan nuansa perang
ekonomi, menjadikan masyarakat dunia yang lebih bekerjasama, memanfaatkan
teknologi yang bersih lingkungan serta pemerintahan yang demokratis.
5. The Second Curve (IAN MORISON) menyatakan dalam era baru timbul adanya peranan
yang lebih besar dari pasar, peranan konsumen dan teknologi baru yang mengantar
terwujudnya masyarakat baru.

Dari rumusan-rumusan di atas ternyata tidak ada satupun yang menyatakan tentang
perlu adanya persatuan, sehingga akan berdampak konflik antar bangsa karena kepentingan
nasionalnya tidak terpenuhi. Dengan demikian Wawasan Nusantara sebagai cara pandang
bangsa Indonesia dan sebagai visi nasional yang mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa masih tetap valid baik saat sekarang maupun mendatang, sehingga prospek wawasan
nusantara dalam era mendatang masih tetap relevan dengan norma-norma global.
Dalam implementasinya perlu lebih diberdayakan peranan daerah dan rakyat kecil,
dan terwujud apabila dipenuhi adanya faktor-faktor dominan : keteladanan kepemimpinan
nasional, pendidikan berkualitas dan bermoral kebangsaan, media massa yang memberikan
informasi dan kesan yang positif, keadilan penegakan hukum dalam arti pelaksanaan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

KEBERHASILAN IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA


Diperlukan kesadaran WNI untuk :

1. Mengerti, memahami, menghayati tentang hak dan kewajiban warganegara serta


hubungan warganegara dengan negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia.
2. Mengerti, memahami, menghayati tentang bangsa yang telah menegara, bahwa dalam
menyelenggarakan kehidupan memerlukan konsepsi wawasan nusantara sehingga sadar
sebagai warga negara yang memiliki cara pandang.

Agar kedua hal tersebut dapat terwujud diperlukan sosialisasi dengan program yang teratur,
terjadwal dan terarah.
II
KETAHANAN NASIONAL

LATAR BELAKANG

Sejak merdeka negara Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman yang
membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Tetapi bangsa Indonesia mampu
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari agresi Belanda dan mampu
menegakkan wibawa pemerintahan dari gerakan separatis.
Ditinjau dari geopolitik dan geostrategi dengan posisi geografis, sumber daya alam dan
jumlah serta kemampuan penduduk telah menempatkan Indonesia menjadi ajang
persaingan kepentingan dan perebutan pengaruh antar negara besar. Hal ini secara
langsung maupun tidak langsung memberikan dampak negatif terhadap segenap aspek
kehidupan sehingga dapat mempengaruhi dan membahayakan kelangsungan hidup dan
eksitensi NKRI. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki keuletan dan ketangguhan
yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional sehingga berhasil
mengatasi setiap bentuk tantangan ancaman hambatan dan gangguan dari manapun
datangnya.

POKOK-POKOK PIKIRAN

1. Manusia Berbudaya
Manusia dikatakan mahluk sempurna karena memiliki naluri, kemampuan berpikir, akal,
dan ketrampilan, senantiasa berjuang mempertahankan eksistensi, pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya, berupaya memenuhi baik materil maupun spiritual. Oleh karena
itu manusia berbudaya akan selalu mengadakan hubungan-hubungan dengan: Agama,
Idiologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Seni/Budaya, IPTEK, dan Hankam.
2. Tujuan Nasional Falsafah Bangsa dan Idiologi Negara
Tujuan nasional menjadi pokok pikiran ketahanan nasional karena sesuatu organisasi
dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan akan selalu berhadapan dengan masalah-
masalah internal dan eksternal sehingga perlu kondisi yang siap menghadapi.

PENGERTIAN KETAHANAN NASIONAL INDONESIA

Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional
yang berintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan
ancaman hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk
menjamin identitas, integritas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan
mencapai tujuan nasionalnya.
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan
nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang
seimbang serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh berlandaskan
Pancasila, UUD 45 dan Wasantara.
Kesejahteraan = Kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai
nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan merata
rohani dan jasmani.
Keamanan = Kemampuan bangsa Indonesia melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap
ancaman dari luar maupun dari dalam.

HAKEKAT KETAHANAN NASIONAL DAN KONSEPSI KETAHANAN NASIONAL INDONESIA


1. Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia = Keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan
hidup dan tujuan negara.
2. Hakekat Konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia = Pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek
kehidupan nasional.

ASAS-ASAS KETAHANAN NASIONAL INDONESIA

1. Kesejahteraan dan keamanan


2. Komprehensif Integral (Menyeluruh Terpadu)
3. Mawas kedalam dan keluar
4. Kekeluargaan

SIFAT KETAHANAN NASIONAL INDONESIA

1. Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas,
integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang
saling menguntungkan
2. Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi
lingkungan strategis.
3. Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan
bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
4. Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai
dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.

PENGARUH ASPEK KETAHANAN NASIONAL PADA KEHIDUPAN BERNEGARA


Ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi sistem (tata) kehidupan
nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap-tiap aspek relatif berubah menurut
waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya
menciptakan kondisi umum yang sulit dipantau karena sangan komplek.
Konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antar aspek yang
mendukung kehidupan, yaitu:
1. Aspek alamiah (Statis)
a. Geografi
b. Kependudukan
c. Sumber kekayaan alam
2. Aspek sosial (Dinamis)
a. Ideologi
b. Politik
c. Ekonomi
d. Sosial budaya
e. Ketahanan keamanan

PENGARUH ASPEK IDEOLOGI


Ideologi → Suatu sistem nilai yang merupakan kebulatan ajaran yang memberikan
motivasi.
Dalam Ideologi terkandung konsep dasar tentang kehidupan yang dicita-citakan oleh
bangsa. Keampuhan ideologi tergantung pada rangkaian nilai yang dikandungnya yang dapat
memenuhi serta menjamin segala aspirasi hidup dan kehidupan manusia. Suatu ideologi
bersumber dari suatu aliran pikiran/falsafah dan merupakan pelaksanaan dari sistem falsafah
itu sendiri.
1. Ideologi Dunia
a. Liberalisme(Individualisme)
Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak semua orang
(individu) dalam masyarakat (kontraksosial). Liberalisme bertitik tolak dari hak asasi yang
melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk
penguasa terkecuali atas persetujuan dari yang bersangkutan. Paham liberalisme
mempunyai nilai-nilai dasar (intrinsik) yaitu kebebasan kepentingan pribadi yang
menuntut kebebasan individu secara mutlak. Tokoh: Thomas Hobbes, John Locke, J.J.
Rousseau, Herbert Spencer, Harold J. Laski
b. Komunisme(ClassTheory)
Negara adalah susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain.
Golongan borjuis menindas golongan proletar (buruh), oleh karena itu kaum buruh
dianjurkan mengadakan revolusi politik untuk merebut kekuasaan negara dari kaum
kapitalis & borjuis, dalam upaya merebut kekuasaan / mempertahankannya, komunisme,
akan:
1. Menciptakan situasi konflik untuk mengadu golongan-golongan tertentu serta
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
2. Atheis, agama adalah racun bagi kehidupan masyarakat.
3. Mengkomuniskan dunia, masyarakat tanpa nasionalisme.
4. Menginginkan masyarakat tanpa kelas, hidup aman, tanpa pertentangan,
perombakan masyarakat dengan revolusi.
c. PahamAgama
Negara membina kehidupan keagamaan umat dan bersifat spiritual religius. Bersumber
pada falsafah keagamaan dalam kitab suci agama. Negara melaksanakan hukum agama
dalam kehidupan dunia.

2. Ideologi Pancasila
Merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar budaya bangsa
Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman
dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung didalamnya.
Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa
Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta
gangguan yang dari luar/dalam, langsung/tidak langsung dalam rangka menjamin
kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi mental bangsa yang berlandaskan
keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara serta
pengamalannya yang konsisten dan berlanjut.
Untuk memperkuat ketahanan ideologi perlu langkah pembinaan sebagai berikut:
1. Pengamalan Pancasila secara obyektif dan subyektif.
2. Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu direlevansikan dan diaktualisasikan agar
mampu membimbing dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara.
3. Bhineka Tunggal Ika dan Wasantara terus dikembangkan dan ditanamkan dalam
masyarakat yang majemuk sebagai upaya untuk menjaga persatuan bangsa dan
kesatuan wilayah.
4. Contoh para pemimpin penyelenggara negara dan pemimpin tokoh masyarakat
merupakan hal yang sangat mendasar.
5. Pembangunan seimbang antara fisik material dan mental spiritual untuk
menghindari tumbuhnya materialisme dan sekularisme
6. Pendidikan moral Pancasila ditanamkan pada anak didik dengan cara
mengintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain
PENGARUH ASPEK POLITIK
Politik berasal dari kata politics dan atau policy yang berarti kekuasaan
(pemerintahan) atau kebijaksanaan.
Politik di Indonesia:

1. DalamNegeri
Adalah kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 yang
mampu menyerap aspirasi dan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam satu system
yang unsur-unsurnya:

a. StrukturPolitik
Wadah penyaluran pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat dan
sekaligus wadah dalam menjaring/pengkaderan pimpinan nasional
b. ProsesPolitik
Rangkaian pengambilan keputusan tentang berbagai kepentingan politik maupun
kepentingan umum yang bersifat nasional dan penentuan dalam pemilihan
kepemimpinan yang akhirnya terselenggara pemilu.
c. BudayaPolitik
Pencerminan dari aktualisasi hak dan kewajiban rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang dilakukan secara sadar dan rasional
melalui pendidikan politik dan kegiatan politik sesuai dengan disiplinnasional.
d. KomunikasiPolitik
Hubungan timbal balik antar berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, baik rakyat sebagai sumber aspirasi maupun sumber pimpinan-
pimpinan nasional
2. LuarNegeri
Salah satu sasaran pencapaian kepentingan nasional dalam pergaulan antar bangsa.
Landasan Politik Luar Negeri = Pembukaan UUD ’45, melaksanakan ketertiban dunia, berdasar
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dan anti penjajahan karena tidak sesuai
dengan kemanusiaan dan keadilan. Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas dan aktif.
Bebas = Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa.
Aktif = Indonesia dalam percayuran internasional tidak bersifat reaktif dan tidak menjadi
obyek, tetapi berperan atas dasar cita-citanya.
Untuk mewujudkan ketahanan aspek politik diperlukan kehidupan politik bangsa yang
sehat dan dinamis yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas politik yang
bersadarkan Pancasila UUD ‘45

 Ketahanan pada aspek politik dalam negeri = Sistem pemerintahan yang berdasarkan
hukum, mekanisme politik yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat.
Kepemimpinan nasional yang mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat
 Ketahanan pada aspek politik luar negeri = meningkatkan kerjasama internasional yang
saling menguntungkan dan meningkatkan citra positif Indonesia. Kerjasama dilakukan
sesuai dengan kemampuan dan demi kepentingan nasional. Perkembangan, perubahan,
dan gejolak dunia terus diikuti dan dikaji dengan seksama.memperkecil ketimpangan dan
mengurangi ketidakadilan dengan negara industri maju. Mewujudkan tatanan dunia baru
dan ketertiban dunia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melindungi
kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain dan hak-hak WNI di luar
negeri perlu ditingkatkan

PENGARUH ASPEK EKONOMI


Perekonomian:
1. Aspek kehidupan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bagi
masyarakat meliputi: produksi, distribusi, dan konsumsi barang-barang jasa
2. Usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat secara individu maupun
kelompok, serta cara-cara yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat untuk
memenuhi kebutuhan.
Sistem perekonomian yang diterapkan oleh suatu negara akan memberi corak
terhadap kehidupan perekonomian negara yang bersangkutan. Sistem perekonomian liberal
dengan orientasi pasar secara murni akan sangat peka terhadap pengaruh-pengaruh dari luar,
sebaliknya sistem perekonomian sosialis dengan sifat perencanaan dan pengendalian oleh
pemerintah kurang peka terhadap pengaruh-pengaruh dari luar.
Sistem perekonomian sebagai usaha bersama berarti setiap warga negara mempunyai
hak dan kesempatan yang sama dalam menjalankan roda perekonomian dengan tujuan untuk
mensejahterakan bangsa. Dalam perekonomian Indonesia tidak dikenal monopoli dan
monopsoni baik oleh pemerintah/swasta. Secara makro sistem perekonomian Indonesia
dapat disebut sebagai sistem perekonomian kerakyatan.
Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan perekonomian bangsa
yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta
kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing tinggi dan
mewujudkan kemampuan rakyat.
Untuk mencapai tingkat ketahanan ekonomi perlu pertahanan terhadap berbagai hal
yang menunjang, antara lain:
1. Sistem ekonomi Indonesia harus mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil
dan merata.
2. Ekonomi KerakyatanMenghindari:
a. Sistem free fight liberalism: Menguntungkan pelaku ekonomi yang kuat.
b. Sistem Etastisme: Mematikan potensi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
c. Monopoli: Merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan
sosial.
3. Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang antara sektor pertanian, perindustrian
dan jasa.
4. Pembangunan ekonomi dilaksanakan sebagai usaha bersama dibawah pengawasan
anggota masyarakat memotivasi dan mendorong peran serta masyarakat secara aktif.
5. Pemerataan pembangunan.
6. Kemampuan bersaing.
PENGARUH ASPEK SOSIAL BUDAYA
Sosial = Pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai
kebersamaan, senasib, sepenanggungan, solidaritas yang merupakan unsur
pemersatu
Budaya = Sistem nilai yang merupakan hasil hubungan manusia dengan cipta rasa dan karsa
yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama serta merupakan kekuatan
pendukung penggerak kehidupan.

Kebudayaan diciptakan oleh faktor organobiologis manusia, lingkungan alam,


lingkungan psikologis, dan lingkungan sejarah.
Dalam setiap kebudayaan daerah terdapat nilai budaya yang tidak dapat dipengaruhi
oleh budaya asing (local genuis). Local genuis itulah pangkal segala kemampuan budaya
daerah untuk menetralisir pengaruh negatif budaya asing.
Kebuadayaan nasional merupakan hasil (resultante) interaksi dari budaya-budaya
suku bangsa (daerah) atau budaya asing (luar) yang kemudian diterima sebagai nilai bersama
seluruh bangsa. Interaksi budaya harus berjalan secara wajar dan alamiah tanpa unsur
paksaan dan dominasi budaya terhadap budaya lainnya.
Kebudayaan nasional merupakan identitas dan menjadi kebanggaan Indonesia.
Identitas bangsa Indonesia adalah manusia dan masyarakat yang memiliki sifat-sifat dasar:

 Religius
 Kekeluargaan
 Hidup seba selaras
 Kerakyatan
Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi kehidupan sosial budaya
bangsa yang dijiwai kepribadian nasional, yang mengandung kemampuan membentuk dan
mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan
sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi dan seimbang serta kemampuan
menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.

PENGARUH ASPEK HANKAM


Pertahanan Keamanan Indonesia => Kesemestaan daya upaya seluruh rakyat
Indonesia sebagai satu sistem ketahanan keamanan negara dalam mempertahankan dan
mengamankan negara demi kelangsungan hidup dan kehidupan bangsa dan negara RI.
Pertahanan keamanan negara RI dilaksanakan dengan menyusun, mengerahkan,
menggerakkan seluruh potensi nasional termasuk kekuatan masyarakat diseluruh bidang
kehidupan nasional secara terintegrasi dan terkoordinasi.
Penyelenggaraan ketahanan dan keamanan secara nasional merupakan salah satu
fungi utama dari pemerintahan dan negara RI dengan TNI dan Polri sebagai intinya, guna
menciptakan keamanan bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional
Indonesia.
Wujud ketahanan keamanan tercermin dalam kondisi daya tangkal bangsa yang
dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan memelihara
stabilitas pertahanan keamanan negara (Hankamneg) yang dinamis, mengamankan
pembangunan dan hasil-hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan
menangkal segala bentuk ancaman.
Postur kekuatan pertahanan keamanan mencakup:

 Struktur kekuatan
 Tingkat kemampuan
 Gelar kekuatan
Untuk membangun postur kekuatan pertahanan keamanan melalui empat pendekatan:
1. Ancaman
2. Misi
3. Kewilayahan
4. Politik
→ Pertahanan diarahkan untuk menghadapi ancaman dari luar dan menjadi tanggung
jawab TNI.
→ Keamanan diarahkan untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri dan menjadi
tanggung jawab Polri. TNI dapat dilibatkan untuk ikut menangani masalah keamanan
apabila diminta atau Polri sudah tidak mampu lagi karena eskalasi ancaman yang
meningkat ke keadaan darurat.
Secara geografis ancaman dari luar akan menggunakan wilayah laut dan udara untuk
memasuki wilayah Indonesia (initial point). Oleh karena itu pembangunan postur kekuatan
pertahanan keamanan masa depan perlu diarahkan kepada pembangunan kekuatan
pertahanan keamanan secara proporsional dan seimbang antara unsur-unsur utama :

 Unsur utama Kekuatan Pertahanan = AD, AL, AU.


 Unsur utama Keamanan = Polri.
Gejolak dalam negeri harus diwaspadai karena tidak menutup kemungkinan mengundang
campur tangan asing (link up) dengan alasan-alasan:

 Menegakkan HAM
 Demokrasi
 Penegakan hukum
 Lingkungan hidup
Mengingat keterbatasan yang ada, untuk mewujudkan postur kekuatan pertahanan
keamanan kita mengacu pada negara-negara lain yang membangun kekuatan pertahanan
keamanan melalui pendekatan misi yaitu = untuk melindungi diri sendiri dan tidak untuk
kepentingan invasi (standing armed forces):
1. Perlawanan bersenjata = TNI, Polri, Ratih (rakyat terlatih) sebagai fungsi perlawanan
rakyat.
2. Perlawanan tidak bersenjata = Ratih sebagai fungsi dari TIBUM, KAMRA, LINMAS
3. Komponen pendukung = Sumber daya nasional sarana dan prasarana serta perlindungan
masyarakat terhadap bencana perang.

Ketahanan pada Aspek Pertahanan Keamanan


1. Mewujudkan kesiapsiagaan dan upaya bela negara melalui penyelenggaraan SISKAMNAS.
2. Indonesia adalah bangsa cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan dan
kedaulatan.
3. Pembangunan pertahanan keamanan ditujukan untuk menjamin perdamaian dan
stabilitas keamanan.
4. Potensi nasional dan hasil-hasil pembangunan harus dilindungi.
5. Mampu membuat perlengkapan dan peralatan pertahanan keamanan.
6. Pembangunan dan penggunaan kekuatan pertahanan keamanan diselenggarakan oleh
manusia-manusia yang berbudi luhur, arif, bijaksana, menghormati HAM, menghayati
nilai perang dan damai.
7. TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang berpedoman pada Sapta Marga.
8. Polri sebagai kekuatan inti KAMTIBMAS berpedoman pada Tri Brata dan Catur Prasetya.
Konsepsi Dasar Bela Negara
A. Latar Belakang Sejarah
Perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan
selama penjajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan sampai
dengan era mengisi kemerdakaan, menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai
dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh bangsa
Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai kejuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan
berkembang yang dilandasi oleh jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Semua itu tumbuh
menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya NKRI.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejak terjadinya krisis moneter yang kemudian
dilanjutkan dengan krisis multidimensi, telah melahirkan era reformasi yang mengakibatkan
terjadinya perubahan sosial sangat mendasar, antara lain berupa tuntutan masyarakat akan
keterbukaan, demokratisasi, dan HAM.
Perkembangan masyarakat dunia saat ini yang ditandai oleh terintegrasinya pasar-pasar
domestik ke dalam pasar global, maka tata kehidupan nasional telah menjadi semakin
transparan satu dengan lainnya. Tidak ada lagi suatu bangsa yang dapat mewujudkan cita-cita
nasionalnya tanpa adanya kontribusi maupun kerja sama dan bantuan bangsa lainnya.
Keterbatasan kualitas sumber daya manusia Indonesia di bidang iptek merupakan
tantangan serius dalam menghadapi efek global, karena penguasaan iptek merupakan nilai
tambah untuk berdaya saing di percaturan global.
UU No. 20 tahun 1982 tentang pokok-pokok pertahanan dan keamanan negara telah
berlaku sejak tahun 1982. Namun, pemahaman masyarakat akan hak dan kewajiban mereka
dalam bela negara sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat (3) amandemen keempat UUD
1945 masih lemah dan belum merata ke seluruh lapisan masyarakat. Di dalam perjuangan non
fisik secara nyata, kesadaran bela Negara mengalami penurunan yag tajam apabila
dibandingkan pada perjuangan fisik. Hal ini dapat ditinjau dari kurangnya rasa persatuan dan
kesatuan bangsa serta adanya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI,
sehingga mengarah ke disintegrasi bangsa.
Perkembangan lingkungan strategic baik global, regional, maupun nasioanal sangat erat
kaitanya dengan upaya bela Negara yang menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara
Indonesia. Kondisi perkembangan lingkungan strategic sangat menarik sebagai bahan kajian,
terutama dikaitkan dengan upaya bela Negara karena pada dasarnya hal ini merupakan peluang
dan sekaligus tantangan bagi ketahanan nasional bangsa Indonesia.

B. Pengertian Bela Negara


Berdasarkan pasal 1 ayat (2) UU No. 1 tahun 1988, bela Negara adalah tekad, sikap,
dan tindakan warga negara yang teratur, meyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan yang dilandasi
oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, serta keyakinan
akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi Negara, dan kerelaan untuk berkorban guna
meniadakan setiap ancaman, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang
membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan Negara, kesatuan dan persatuan bangsa,
keutuhan wilayah, dan yurisdiksi nasional, serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Upaya bela negara adalah kegiatan yang dilakukan oleh setiap warga negara sebagai
penunaian hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Upaya bela Negara merupakan kehormatan yang dilakukan oleh setiap warga negara secara
adil dan merata.
Hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya
bela Negara, antara lain diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela Negara
(PPBN). Pendidikan pendahuluan bela negara adalah pendidikan dasar bela negara guna
menumbuhkan kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia.
Keyakianan akan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara, kerelaan berkorban untuk
negara, serta memberikan kemampuan awal bela Negara.
Rumusan tersebut sangat jelas tujuan dan sasarannya, yaitu setiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban untuk mempertahankan kedaulatan negara, persatuan dan
kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayah NKRI. Namun demikian, mengingat kemajemukan
masyarakat dan keragaman budaya yang melatar belakanginya, maka pengertian bela negara
mempunyai implikasi sosial budaya yang tidak boleh diabaikan dalam menanamkan kesadaran
dan kepedulian segenap warga Negara.

C. Implementasi Bela Negara


Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN memuat serangkaian kebijakan
untuk mengantisipasi masa depan yang lebih mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri.
Betapapun baiknya persiapan dan penyelenggaraan PPBN dilakukan, semua itu tidak akan
memberikan hasil optimal kalau tidak didukung oleh kondisi yang memungkinkan masyarakat
dapat mengembangkan kreativitas secara leluasa. Kenyataan menunjukkan betapa masyarakat
Indonesia mampu mngembangkan ketahanan nasional melawan agresi Belanda pada masa
perang kemerdekaan. Akan tetapi, kini masyarakat mengalami kelumpuhan sungguhpun
didukung dengan penerapan teknologi canggih.
Dalam kondisi seperti itu, pembangunan pertahanan dan keamanan negara yang
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional membutuhkan perencanaan strategik
yang relatif akurat dan cerdas. Hail ini tentu membutuhkan adanya dukungan analisis yang
bersifat antisipatif dan proaktif guna mentransformasikan potensi ancaman menjadi tantangan
tugas dan sekaligus menjadi peluang bagi setiap upaya pembangunan kekuatan pertahanan dan
keamanan negara.
Implementasi bela negara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak
yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara kesatuan RI daripada
kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, bela negara menjadi pola yang
mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi, menyikapi, atau
menangani berbagai permasalahan menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dengan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara
utuh dan menyeluruh.
Untuk mengetuk hati nurani setiap warga negara agar sadar bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara diperlukan pendekatan melalui sosialisasi/pemasyarakatan bela negara dengan
program yang teratur, terjadwal dan terarah sehingga akan terwujud keberhasilan implementasi
yang dapat menumbuhkan kesadaran bela Negara.
Berdasarkan pasal 27 ayat (3) amandemen keempat UUD 1945, usaha bela Negara
merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara. Hal ini mengandung makna adanya
demokratisasi dalam pembelaan negara yang mencakup dua arti. Pertama, setiap warga negara
turut serta dalam menentukan kebijakan tentang pembelaan negara melalui lembaga-lembaga
perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan lain yang berlaku. Kedua,
setiap warga negara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara sesuai dengan
kemampuan dan profesinya masing-masing.
Pasal tersebut tidak memberikan tafsiran tentang istilah pembelaan negara yang terkait
dengan penunaian hak dan kewajiban warga negara. Oleh karena itu, makna bela negara selalu
dipersepsikan terkait dengan upaya perjuangan bangsa Indonesia menghadapi ancaman
terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia pada periode-periode berikut :
1. Periode pertama (perang kemerdakaan 1945-1949)
Bela negara dipersepsikan dengan perang kemerdekaan. Artinya, keikutsertaan warga
negara dalam bela negara diwujudkan ikut serta berperang dalam perang kemerdekaan, baik
bersenjata maupun tidak bersenjata.
2. Periode kedua (1950-1965)
Dalam menghadapi berbagai pemberontakan dan gangguan-gangguan keamanan dalam
negeri, bela Negara dipersepsikan identik dengan upaya pertahanan keamanan, baik
bersenjata maupun tidak bersenjata.
3. Periode ketiga (Orde Baru 1966-1998)
Dalam upaya menghadapi TAHG, dikembangkan dan diterapkan konsepsi ketahanan
nasional. Oleh karena itu, bela Negara dipersepsikan identik dengan ketahanan nasional.
Pada periode ini keikutsertaan warga Negara dalam bela Negara diselenggarakan melalui
segenap aspek kehidupan nasional.
4. Periode keempat (Orde Reformasi 1998-sekarang)
Bela Negara dipersepsikan sebagai upaya untuk mengatasi berbagai krisis yang sedang
dihadapi oleh segenap bangsa Indonesia. Pada periode ini keikutsertaan setiap warga Negara
dalam upaya bela negara disesuaikan dengan kemampuan dan profesi masing-masing.
Sejalan dengan perkembangan persepsi bela negara itu, upaya bela negara juga
berkembang, baik sasaran/tujuan maupun kegiatannya. Pada periode pertama dan kedua, upaya
bela negara diarahkan pada keikutsertaan warga negara dalam upaya keamanan melalui
kegiatan pertahanan dan keamanan. Pada periode ketiga dan keempat, upaya bela Negara di
samping diarahkan pada upaya keamanan melalui jalur pertahanan dan keamanan juga
diarahkan pada upaya kesejahteraan melalui jalur di luar pertahanan dan keamanan. Upaya bela
negara ini diselenggarakan secara bertahap dan berlanjut, yaitu tahap pertama melalui jalur
pendidikan dan berlanjut melalui jalur permukiman dan/atau pekerjaan.
Upaya bela negara melalui jalur pendidikan pada hakekatnya masih terbatas pada upaya
menanamkan dan menumbuhkan kesadaran bela Negara. Pada tahun 1954 melalui UU No. 29
tahun 1954, upaya bela negara telah dirumuskan dalam bentuk pendidikan pendahuluan
perlawanan rakyat (PPPR). Kemudian dengan lahirnya UU No. 20 1982 yang disempurnakan
dengan UU No. 1 tahun 1988, PPPR disempurnakan dan dikembangkan menjadi pendidikan
pendahuluan bela negara (PPBN).
Di dalam lingkungan pendidikan, PPBN dilakukan secara bertahap, yaitu tahap awal
yang diberikan pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah atas, dan dalam Gerakan
Pramuka. Untuk tahap lanjutan PPBN diberikan dalam bentuk pendidikan kewiraan pada
tingkat pendidikan tinggi. Berdasarkan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam Pasal 39 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap jalur dan jenjang
pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan adalah tentang hubungan antara warga negara dengan negara serta
pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN).
Sebelum lahir UU No. 20 Tahun 1982, sistem pengikutsertaan warga negara dalam
mempertahankan keamanan negara meliputi komponen rakyat dan komponen angkatan
bersenjata.
1. Komponen rakyat terdiri atas:
a. Kelaskaran, dan bagi yang memenuhi syarat diterima menjadi TNI maupun barisan
cadangan;
b. Pasukan gerilya desa (Pager desa) termasuk mobilasi pelajar sebagai bentuk perlambang
barisan cadangan;
c. Organisasi keamanan desa (OKD) dan organisasi perlawanan rakyat (OPR) sebagai
bentuk kelanjutan dari Pager desa;
d. Pertahanan sipil, perlawanan dan keamanan rakyat termasuk resimen mahasiswa sebagai
bentuk kelanjutan dan penyempurnaan OKD maupun OPR;
e. Perwira cadangan yang merupakan implementasi dari wajib militer di lingkungan
Depdiknas dan Depdagri.
2. Komponen angkatan bersenjata yang terdiri atas:
a. TNI sebagai hasil pengembangan dan penyempurnaan secara berangkai dan berturut-
turut sejak dari Badan Keamanan rakyat (BKR) pada Agustus 1945, Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 selanjutnya diubah menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) pada Januari 1946 dan akhirnya pada
Juli 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
b. Kepolisian Republik Indonesia
Sebelum lahir UU No. 20 tahun 1982, pengikutsertaan warga negara dalam upaya
pertahanan keamanan negara dibina untuk mewujudkan daya dan kekuatan tangkal
dengan membangun, memelihara, dan mengembangkan secara terpadu dan terarah
segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara yang terdiri atas:
1) Rakyat terlatih (Ratih) sebagai komponen dasar;
2) TNI dan Polri serta cadangan TNI sebagai komponen utama;
3) Perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus;
4) Sumber daya alam, sumber daya buatan, dan prasarana nasional sebagai komponen
pendukung.
III
PANCASILA DAN UUD 1945

A. Sejarah Lahirnya Pancasila

Pembahasan mengenai Dasar Negara dilakukan pertamakali pada saat sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) yang berlangsung
pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pada sidang tersebut terdapat usulan-usulan
tentang Dasar Negara, usulan-usulan yang dikemukakan adalah :

a. Prof. Mr. Muhammad Yamin


Mengusulkan Dasar Negara dalam pidatonya tidak tertulis pada tanggal 29 Mei 1945
dalam sidang BPUPKI, yaitu:

1. Peri Kebangsaan.
2. Peri Kemanusiaan.
3. Peri Ketuhanan.
4. Peri Kerakyatan.
5. Kesejahteraan Rakyat.

Setelah selesai berpidato, Beliau menyampaikan pula usulan-sulan tertulis naskah


rancangan UUD RI. Dalam pembukaan itu tercantum rumusan 5 dasar, yaitu :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.


2. Kebangsaan Persatuan Indonesia.
3. Rasa Kemanusian yang Adil dan Beradab.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

b. Prof.Mr.Dr.R Soepomo (31 Mei 1945)


1. Paham Persatuan.
2. Perhubungan Negara dan Agama.
3. Sistem Badan Permusyawaratan.
4. Sosialisasi Negara.
5. Hubungan antar Bangsa yang Besifat Asia Timar Raya.

c. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)


1. Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
3. Mufakat atau Demokrasi.
4. Kesejahteraan Sosial.
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan.

Oleh karena pada sidang pertama belum dicapai kata mufakat, maka dibentuklah
sebuah panitia kecil yang membahas usulan-uslan yang diajukan dalam sidang BPUPKI
baik lisan maupun tulisan yang disebut Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir.Soekarno.
Anggota Panitia Sembilan sendiri terdiri dari tokoh Nasional yang mewakili golongan
Nasioanalis dan Islam, yaitu : Drs. Moh.Hatta, Mr.A.A Maramis, Mr.Muh Yamin,
Mr.Ahmad Soebardjo, Abdul Kahar Muzakar, KH.Wahid Hasyim, Abi Kusno, Tjokrosoejoso
dan Haji Agus Salim.

Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyusun suatu naskah yang
kemudian disebut Piagam Jakarta, yang di dalamnya tercantum rumusan Dasar Negara
sebagai berikut :

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-


pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lalu dengan beberapa pertimbangan dan pembahasan ulang,maka sila pertama pada Piagam
Jakarta diubah menjadi Ketuhanan yang maha esa. Dengan demikian lahirlah Pancasila yang
menjadi dasar Negara Indonesia hingga saat ini.

B. Kedudukan dan Fungsi Pancasila di Negara Indonesia

Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara. Selain fungsi pokok tersebut,
Pancasila mempunyai beberapa fungsi lagi, yaitu :

1. Pandangan hidup bangsa Indonesia


Yaitu yang dijadikan pedoman hidup bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahteraan
lahir dan batin dalam masayarakat yang heterogen(beraneka ragam)

2. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia


Artinya Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan ciri
khas Bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga dapat
membedakan dengan bangsa lain.

3. Perjanjian Luhur
Artinya Pancasila telah disepakati secara Nasional sebagai dasar Negara tanggal 18
Agustus 1945 melalui sidang PPKI(Panitia Perseapan Kemerdekaan Indonesia).

4. Sumber dari segala sumber tertib hukum


Artinya bahwa segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus
bersumberkan Pancasila atau tidak bertentangan dengan Pancasila.

5. Cita-cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia.


Yaitu masayarakat adil dan makmur secara merata materiil dan spiritual yang
berdasarkan Pancasila.

6. Sebagai Ideologi terbuka.


Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat
terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis,
antisipatif, dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila
namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga memiliki
kemampuan yang labih tajam untuk memecahkan masalah- masalah baru dan aktual.
Sebagai sautu ideologi yang bersifat terbuka maka Pancasila memeiliki dimensi
sebagai berikut :

a. Dimensi Idealistis, yaitu nilai- nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
yang bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nlai- nilai yang
terkandung dalam lima sila pancasila : ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Maka dimensi idealistis Pancasila
bersumber pada niali- nilai filosofis yaitu filsafat Pancasila.
b. Dimensi Normatif, yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem normatif, sebagaimana terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib
hukum Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pembukaan yang di
dalamnya memuat Pancasila dalam alinea IV, berkedudukan sebagai
’staatsfundamentalnorm’(pokok kaidah negara yang fundamental).
c. Dimensi Realistis, suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila
selalu memiliki dimensi nilai- nilai ideal serta normaf maka Pancasila harus
mampu dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, baik dalam
kaitannya bermasayarakat maupun dalam segala aspek penyelenggaraan
negara.
Berdasarkan hakikat ideologi Pancasila yang bersifast terbuka yang memiliki tiga
dimensi tersebut maka ideologi Pancasila tidak bersifat ’utopis’ yang hanya
merupakan sistem ide- ide belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari- hari. Selain
itu ideologi Pancasila bukan merupakan doktrin belaka karena doktrin hanya dimiliki
pada ideologi yang hanya bersifat normatif dan tertutup, demikian pula ideologi
Pancasila bukanlah merupakan ideologi pragmatis yang hanya menekankan segi
praktis dan realistis belaka tanpa idelaisme yang rasional. Maka Ideologi Pancasila
yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai- nilai dasar(hakikat) sila- sila Pancasila
yang bersifat tetap adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan
secara dinamis terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan zaman.

Menurut BP-7 Pusat, bahwa nilai- nilai yang terkandung dalam ideologi
terbuka tediri atas 2 jenis nilai yaitu,
Pertama : nilai dasar,yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam ideologi yang berupa
cita- cita, tujuan, serta alat- alat perkembangan negara yang utama, sendi- sendi
mutlak negara terutama nilai- nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan,
serta Keadilan, ini bersifat tetap.

Kedua : nilai-nilai Instrumental, yaitu niali- nilai yang berupa arahan, kebijakan,
strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya, ini yang bersifat dinamis dan terbuka
yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka realisasi nilai- nilai
instrumental inilah yang merupakan pragsis dari ideologi. Berdasakan uraian di muka
maka Pancasila sebagai nilai dasar Ideologi negara adalah yang bersifat tetap, adapun
nilai- nilai instrumental yang merupakan pengamalan, pengembangan dan pengayaan
nilai- nilai dasar.

C. Isi Pancasila

Pancasila juga merupakan sarana atau wadah yang dapat mempersatukan bangsa
Indonesia, sebab Pancasila adalah falsafah, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang
mengandung nilai- nilai dan norma- norma yang luhur. Norma- norma tersebut yaitu :

1. Norma Agama, bersumber dari Tuhan melalui utusannya yang bersisikan peraturan
hidup yang diterima sebagai perintah-perintah,larangan-larangan dan anjuran-
anjuran yang berasl dari Tuhan.Sebagian norma agama bersifat umum,jadi berlaku
bagi seluruh golongan manusia di dunia terlepas dari agama yang dianut.
2. Norma Kesusilaan yang dianggap sebagai aturan yang datang dari suara hati sanubari
manusia,dari bisikan kalbu atau suara batin yang diinsyafi oleh setiap orang sebagai
pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
3. Norma Kesopanan merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan
segolongan mansia dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari sekelompok
masyarakat.
4. Norma Hukum adalah aturan tertiulis maupun tidak tertulis yang berisikan perintah
atau larangan yang memaksa dan akan menimbilkan sanksi yang tegas bagi setiap
orang yang melanggarnya.
Keempat norma ini berlaku dan terdapat pada masyarakat Indonesia yang masing-
masing norma mempunyai perbedaan satu sama lain.Khusus Norma Hukum yang dibuat
oleh lembaga yang berwenang,untuk membuatnya (negara) dan dari segi sanksinya lebih
tegas dan jelas serta dapat dipaksakan dalam pelaksanaannya.

D. Kesimpulan

1. Pancasila diartikan sebagai lima dasar yang dijadikan sebagai Dasar Negara dan
Pandangan Hidup Bangsa.
Suatu bangsa tidak akan berdiri kokoh tanpa Dasar Negara yang kuat.Dengan Dasar
Negara suatu bangsa tidak akan terombang-ambingkan dalam menghadapi berbagai
permasalahan baik dari dalam maupun luar.

2. Fungsi Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa: yang dijadikan pedoman hidup
bagi bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahteraan lahir batin dalam masyarakat
yang beraneka ragam.
3. Fungsi Pancasila sebagai Sumber dari segala sumber tertib hukum: segala peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus bersumber kepada
Pancasila atau tidak bertentangan dengan Pancasila.
4. Norma yang berlaku pada masyarakat Indonesia:
a. Norma Agama
b. Norma Kesusilaan
c. Norma Kesopanan
d. Norma Hukum
5. Nilai-nilai tersebut adalah:
a. Pandangan Hidup
b. Kesadaran dan cita hukum
c. Cita-cita mengenai kemerdekaan
d. Keadilan Sosial,Politik,Ekonomi
e. Keagamaan dan lain sebagainya.
6. Lahirnya Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri yang telah berurat berakar dalam
sifat dan tingkah laku manusia.Bangsa Indonesia lahir dari kepribadiannya sendiri yang
bersamaan dengan lahirnya bangsa dan negara itu,dan kepribadian itu ditetapkan
sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negara
7. a. Secara lisan:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Peri Kesejahteraan Rakyat
b. Secara tertulis:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kebangsaaan Persatuan Indonesia.

3. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan dalam


Permusayawaratan/Perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

UUD 1945
Hukum Dasar Tertulis (UUD)
UUD itu rumusannya tertulis dan tidak berubah.Adapun pendapat L.C.S wade dalam
bukunya contution law,UUD menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang
memafarkan kerangk dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintshsn suatu Negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut jadi UUD itu mengatur mekanisme
dan dasar dari setiap sistem pemerintahan.
UUD juga dapat dipandang sebagai lembaga/sekumpulan asas yang menetapkan
bagaimana kekuasaan tersebut bagi mereka memandang suatu Negara dari sudut kekuasaan
dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan.Adapun hal tersebut di bagi menjadi
tiga badan legislatif,eksekutif dan yudikatif.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain.UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam satu
Negara.Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan
supel,UUD 1945 hanya memilik 37 pasal,adapun pasal-pasal lain hanya memuat aturan
peralihan dan aturan tambahan yang mengandung makna:

1. Telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok,hanya memuat grafis
besar intruksi kepada pemerintahpusat dan semua penyelenggara Negara untuk
menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
2. Sifatnya harus supel (elastic)dimaksudkan bahwa kita harus senantiasa ingat bahwa
masyarakat ini harus terus berkembangdan dinamis seiring perubahaan zaman .Oleh
karena itu,makin supel sifatnya aturan itu makin baik.jadi kita harus menjaga agar
sistem dalam UUD itu jangan ketinggalan zaman.Menurut dadmowahyono ,seluruh
kegiatan Negara dapat dikelompokan menjadi dua macam penyelenggara kehidupan
Negara kesejahteraan social.

Sifat-sifat UUD

1. Oleh karena sifatnya maka rumusannya merupakan suatu hokum positif yang mengikat
pemerintah sebagai penyelenggara Negara maupun mengikat bagi warga Negara.
2. UUD 1945 itu bersifat supel dan singkat karena UUD 1945 memuat aturan-aturan
pokok yang setiap kali harus di kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan
memuat ham.
3. Memuat norma-norma/aturan-aturan/ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus
dilaksanakan secara kontituional.
4. UUD 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang
tertinggi,disamping itu sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif
yang lebih rendah dalam hirarki tertib hukum Indonesia.

Hukum dasar tak tertulis(Convensi)


Convensi adalah hukumdasar yang tak tertulis yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan
terperihara dalam [raktek penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis.
Sifat-sifat:
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara.
2. Tak bertentangan dengan UUD dan berjalan sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat/masyarakat
4. Bersifat sebagai pelengkap sehingga memungkinkan bawa convensi bias menjadi
aturan-aturan dasar yang tidak tercantum dalam UUD 1945.

Contoh :

1. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat.menurut pasal 37 ayat(1)


dan (4) UUD 1945 segala keputusan MPR diambil berdasarkan suara terbanyak tetapi
sistem ini kurang jiwa kekeluargaan sebagai kepribadian bangsa.oleh karena itu,dalam
praktek-praktek penyelenggaraan Negara selalu di usahakan untuk mengambil
keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan ternyata hamper selalu
berhasil.pungutan suara baru ditempuh jika usaha musyawarah untuk mufakat sudah
tak dapat dilaksanakan.
2. Praktek-praktek penyelenggaraan Negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak
tertulis antara lain:

Pidato kenegaraan presiden RI setiap 16 Agustus di dalam sidang DPR

Pidato presiden yang di ucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang rencana


anggaran pendapatan belanja (RAPB)Negara pada minggu 1, pada bulan januari tiap
tahunnya.

Jika convensi ingin di jadikan rumusan yang bersifat tertulis maka yang berwenang
adalah MPR dan rumusannya bukan lah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang
dalam ketetapan MPR dan tidak secara otomatis setingkat dengan UUD melainkan sebagai
suatu ketetapan MPR.
Dalam proses hukum sekarang ini,berbagai kejadian ilmiah tentang UUD 1945.banyak orang
yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945.Amandemen tersebut
merupakan prosedur penyempurnaan terhadap UUD 1945.tanpa harus langsung mengubah
UUD itu sendiri atau bias di bilang merupakan pelengkapan dan rincian yang di jadikan
lampiran otentik bagi UUD tersebut.(mahfud,1999:64)
Perkembangan UUD 1945 dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia
Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 didasarkan pada suatu kenyataan sejarah
selama orde lama dan orde baru bahwa penerapan terhadap pasal UUD memiliki sifat-sifat
intrerretable atau berwayuh arti sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan
terutama kepada presiden karena latar belakang politik ini lah maka pada orde baru UUD 1945
di lestarikan dan di anggap bersifat keramat yang tak dapat di ganggu gugat.
Menurut bangsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah suatu
keeharusan karena akan mengantarkan bangsa Indonesia ketahapan yang baruu dalam
melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.Amandemen terhadap UUD 1945 di lakukan
oleh bangsa Indonesia sejak 1999 di mana pemberian tambahan dan perubahan terhadap pasal
9 UUD 1945 kemudian amandemen ke2 tahun 2000 disahkan tanggal 10 Agustus 2002 UUD
1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak-banyak nya partisipasi
rakyat dalam mengambil keputusan politik,sehingga di harapkan struktur kelembagaan Negara
yang lebih demokratis ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam proses reformasi hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945
bnyak melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Memang
amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali Uud 1945, akan twtapi
merupakan proaedur penyempurnaan terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan dengan
melakukan berbagai macam perubahan pada pasal-pasal maupun memberikan tambahan-
tambahan.
Dari awal, para pendiri negara secara eksplisit sudah menyatakan bahwa Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstistusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno
menyebutnya sebagai UUD atau revolutiegrondwet. Kondisi obyektif ini sudah diantisipasi
oleh thefouding fathers dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai sarana untuk
melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan
proses penyelengaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.
Menelusuri perjalanan sejarah ketatanegaraan selama hampir setengah abad di bawah
UUD 1945 (1945-1949 dan 1959-2002), persoalan mendasar tidak hanya terletak pada sifat
kesementaraan tetapi lebih kepada kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat dalam UUD
1945. Misalnya, sangat fleksibel untuk diterjemahkan sesuai dengan keinginan pemegang
kekuasaan, terperangkap dalam design ketatanegaraan yang rancu sehingga tidak membuka
ruang untuk melaksanakan paradigma checks and balances atau akuntabilitas horizontal dalam
menciptakan good governance.
Kedua kelemahan itu sangat mewarnai perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia di
bawah UUD 1945, yang kemudian bermuara pada multi-krisis yang terjadi pada penghujung
abad XX dan sampai dua tahun pertama awal abad XXI belum menunjukkan tanda-tanda akan
berakhir. Misalnya dalam hal penafsiran, pergantian sistem presidentil kepada sistem
parlementer pada tanggal 14 November 1945. Di dua era yang berbeda, Soekarno menafsirkan
(memahami) demokrasi dalam UUD 1945 sebagai Demokrasi Terpimpin sementara Soeharto
menafsirkannya sebagai Demokrasi Pancasila dan kedua-duanya melahirkan rejim otoriter.
Krisis ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan Soeharto pada tahun 1998
memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945.
Banyak anggapan bahwa salah satu penyebab krisis itu adalah ketidakmampuan UUD 1945
mengantisipasi penyelewengan-penyelewengan dalam praktek penyelenggaraan negara.
Dalam waktu yang panjang, UUD 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh
berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN) di sekitar kekuasaan Presiden.Oleh karena itu, di masa reformasi menyusul berakhirnya
kekuasaan Soeharto, agenda perubahan UUD 1945 menjadi sesuatu yang niscaya. Ini dapat
dipahami bahwa tidak mungkin melakukan reformasi politik dan ekonomi tanpa melakukan
reformasi hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan
terhadap konstitusi (constitutional reform).

Alasan Melakukan Perubahan

1.Sifat sementara
Seperti telah dinyatakan pada bagian awal bahwa penetapan UUD 1945 tidak
dimaksudkan sebagai sebuah konstitusi yang bersifat tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh
Soekarno sebagai berikut :
“Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang-undang Dasar
Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-undang
Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram,
kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.
Selain pernyataan itu, sifat sementara juga terdapat dalam ayat (2) Aturan Tambahan
UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusayawaratan
Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar.
2.Fleksibel
Sebenarnya, persoalan UUD 1945 bukan hanya pada sifat kesementaraan itu tetapi juga
pada sifatnya yang amat fleksibel untuk dapat diterjemahkan sesuai dengan perkembangan
kondisi politik dan keinginan pemegang kekuasaan. Paling tidak ada tiga alasan yang dapat
membuktikan ini.
Pertama, keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang
mengubah kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi lembaga legislatif
yang sejajar dengan Presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja
(BP) KNIP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP inilah yang mengusulkan
untuk mengubah sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer.
Usul ini disetujui oleh pemerintah melalui Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November
1945. Pergantian sistem pemerintahan ini dilakukan dengan tidak melakukan perubahan
terhadap Undang-undang Dasar 1945.
Kedua, perdebatan tak berkesudahan dalam Konstituante telah memberikan peluang
kepada Soekarno untuk melakukan penafsiran (pemahaman) terhadap nilai-nilai demokrasi
yang terdapat dalam UUD 1945. Dengan melihat pengalaman pada era demokrasi multipartai,
Soekarno menafsirkan bahwa konsep demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945 adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong-royong antara semua kekuatan
nasional. Ini disebut oleh Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi inilah
kemudian yang mendorong Soekarno menjadi pemimpin yang otoriter dengan dukungan
Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketiga, sama halnya dengan Soekarno, Soeharto sebagai penguasa yang menggantikan
Soekarno juga mencoba melakukan penafsiran tersendiri terhadap UUD 1945. Pemahaman ini
melahirkan Demokrasi Pancasila dengan jargon “melaksanakan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Konsep ini juga melahirkan rezim otoriter dengan
dukungan AD dan Golongan Karya.
Dari tiga fakta sejarah tersebut UUD 1945 dapat dikatakan sebagai “konstitusi karet”
karena amat fleksibel untuk ditarik ulur sesuai dengan keinginan penguasa. Bahkan, dua fakta
terakhir memperlihatkan bahwa UUD 1945 telah melahirkan rezim otoriter. Di samping itu,
kelenturan yang dimiliki oleh UUD 1945 telah menjadi penyebab terjadinya KKN, memasung
semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi peluang tumbuhnya pemerintahan
yang otoriter, antikritik dan antiperbedaan pendapat.
3.Tidak konsisten
Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945.
Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan negara di
Indonesia. Inkonsistensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem presidentil
ini dapat dibuktikan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tetapi dengan
adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR membuktikan bahwa model
sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat
menjatuhkan Presiden dengan cara mengadakan Sidang Istimewa MPR. Apabila MPR
menolak pertanggungjawaban, maka Presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian
ini akan berakibat pada pembubaran kabinet.
Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada
bentuk kedaulatan yaitu Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Negara.
Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi
kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara akan dengan mudah menjelma
menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan oleh individu-individu yang
menjalankan roda pemerintahan.

Hasil Amandemen UUD 1945


Amandemen Pertama yang dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah
melakukan perubahan terhadap 9 pasal yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal
13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 21.
Pasal-pasal yang diperbaiki dalam Amandemen Pertama lebih memberikan penekanan
pada perdebatan yang muncul pada awal kejatuhan rezim Soeharto. Misalnya, pada masa itu
dirasakan bahwa kemampuan Soeharto untuk dapat bertahan sebagai Presiden sekitar 32 tahun
karena tidak adanya pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden. Untuk itu, MPR
melakukan amandemen terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan bahwa
seseorang hanya dapat menjadi Presiden Indonesia hanya untuk dua kali masa jabatan.
Di samping itu, Amandemen Pertama juga mengurangi kecenderungan UUD 1945
yang executive heavy. Ini dilakukan dengan memperbaiki bunyi pasal-pasal yang terkait
dengan DPR. Misalnya dalam pengangkatan Duta Besar, Presiden mempunyai keharusan
untuk memperhatikan pertimbangan DPR, atau dalam memberikan Amnesti dan Abolisi
Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Sementara itu, Amandemen Kedua telah dilakukan perubahan sebanyak 7 bab dan 25
pasal yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A,
Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27
ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal
28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan
Pasal 36C.
Sebagai kelanjutan, Amandemen Kedua melakukan perubahan untuk tiga hal yang
amat mendasar. Pertama, memberikan landasan yang lebih kokoh terhadap keberadaan daerah
dan pemerintahan daerah. Ini dapat dilihat dengan melakukan perubahan besar terhadap Pasal
18 UUD 1945. Kedua, melanjutkan usaha penguatan terhadap peranan DPR dalam proses
penyelenggaraan negara Indonesia. Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal
22B adalah penguatan yang “luar biasa” terhadap DPR. Ketiga, memberikan penambahan yang
lebih luas terhadap ketentuan hak asasi manusia yang dirasakan amat terbatas dalam UUD
1945.
Kemudian dilanjutkan dengan Amandemen Ketiga yang meliputi Pasal 1 ayat (2) dan
(3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat
(1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3);
Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3),
dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3);
Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan(2);
Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5);
Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).
Perubahan dan penambahan yang dilakukan dalam Amandemen Ketiga lebih tertuju
pada lembaga-lembaga negara. Misalnya (1) pergantian proses pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dari pola pemilihan dengan sistem perwakilan (di MPR) menjadi proses pemilihan
langsung, (2) perbaikan terhadap pola pertanggungjawaban Presiden untuk dapat diberhentikan
sebelum habis masa jabatannya, (3) pergantian sistem unikameral menjadi sistem bikameral,
dan (4) mengakomodasi kehadiran “lembaga baru” yaitu Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court).
Amandemen Keempat lebih merupakan penyelesaian terhadap bagain-bagian yang
masih tersisa dalam amandemen sebelumnya meliputi Pasal 2, Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat
(3), Pasal 23B, Pasal 24 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (1) dan (2),
Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan
(5). Perubahan terhadap Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan serta pencabutan terhadap
Penjelasan UUD 1945.

Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Mencermati seluruh hasil perubahan yang telah dilakukan oleh MPR, ada beberapa
catatan penting yang dapat dikemukakan. Pertama, kesemua pasal telah dilakukan perubahan
kecuali Pasal 4, 10 dan Pasal 12. Kedua, terjadi (1) penambahan 4 bab baru (dari 16 bab
menjadi 20 bab), (2) penambahan 25 pasal baru (dari 37 pasal menjadi 72 pasal), dan (3)
penambahan 120 ayat baru (dari 49 ayat menjadi 169 ayat). Ketiga, dihapusnya penjelasan
sebagai bagian dari UUD 1945. Perubahan yang begitu besar menimbulkan implikasi terhadap
struktur ketetanegaraan, yaitu terjadinya perubahan kelembagaan secara mendasar (lihat
bagan). Implikasi perubahan tidak hanya terjadi terhadap struktur lembaga-lembaga negara
tetapi juga perubahan terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.

Lembaga Negara Sebelum Amandemen Lembaga Negara Setelah Amandemen


1. MPR 1. MPR
2. Presiden / Wapres 2. DPR
3. DPR 3. DPD
4. DPA dan BPK 4. Mahkamah Konstitusi
5. MA 5. BPK
6. Mahkamah Agung
7. Mahkamah Yudisial

Beberapa Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia.


Pertama, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan
pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah
upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan
mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR
sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya” telah menjebak Indonesia dalam
pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca-abad pertengahan untuk
membenarkan kekuasaan yang absolut.
Kedua, dihapusnya sistem unikameral dengan supremasi MPR dan munculnya sistem
bikameral. Dalam sistem bikameral, masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan
yang berbeda yaitu DPR merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan
representasi wilayah (daerah). Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena selama
ini Utusan Daerah dalam MPR tidak ikut membuat keputusan politik nasional dalam peringkat
undang-undang.
Ketiga, perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem
perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman
“pahit” yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama Orde
Baru dan pemilihan Presiden tahun 1999. Empat alasan mendasar (raison d’etre) pergantian
ini.
1. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung akan mendapat
mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih
dengan tokoh yang dipilih.

2. Pemilihan langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses
pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem
multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang
mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.

3. Pemilihan langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk
menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan
dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan
wakilnya.

4. Pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam


penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances
antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih oleh rakyat. Selama
ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, MPR menjadi sumber kekuasaan
dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga ini adalah pemegang kedaulatan
rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga
tinggi negara lain termasuk kepada Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan
Presiden sangat tergantung kepada MPR.
Keempat, mekanisme impechment yang semakin jelas. Sebelum dilakukan perubahan,
dalam pasal-pasal UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan mengenai impeachment.
Instrumen untuk melakukan kontrol ini dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang
menyatakan, “…Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden
dan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan
istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawab kepada presiden”.
Berdasarkan penguraian tesebut, pelaksanaan SI akan sangat tergantung kepada dua
hal. Pertama, adanya pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dalam bentuk
pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR setelah dilakukan
Memorandum Pertama dan Memorandum Kedua.
Dengan adanya perubahan UUD 1945, perdebatan-perdebatan yang mungkin timbul
dalam pelaksanaan impechment ke depan dapat dikurangi secara signifikan dengan adanya
rumusan kaedah secara lebih jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945
Kelima, dihapusnya DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Sebelum dilakukan
Amandemen Keempat, kedudukan konstitusional DPA sebagai lembaga tinggi negara dapat
ditemui dalam Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPA berkewajiban memberi
jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dalam
penjelasan Pasal 16 dinyatakan “Dewan ini ialah sebuah Council of State yang berwajib
memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Ia hanya sebuah badan penasehat
belaka”.
Keenam, kekuasaan kehakiman tidak hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung tetapi
juga oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang terhadap undang-undang dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Sedangkan Mahkmah Konstitusi, menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kekuasaan ke tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk
mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang
hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di
samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses pengisian
lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk
meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian
Negara RI (Kapolri).

HUBUNGAN NEGARA INDONESIA DENGAN KONSTITUSINYA


Negara dan konstitusi berhubungan sangat erat, konstitusi lahir merupakan usaha untuk
melaksanakan dasar negara. Dasar negara memuat norma-norma ideal, yang penjabarannya
dirumuskan dalam pasal-pasal oleh UUD (Konstitusi) Merupakan satu kesatuan utuh, dimana
dalam Pembukaan UUD 45 tercantum dasar negara Pancasila, melaksanakan konstitusi pada
dasarnya juga melaksanakan dasar negara. Bagi bangsa Indonesia, negara dan konstitusi adalah
dwitunggal. Jika diibaratkan sebagai bangunan, negara adalah pilar-pilar atau tembok yang
tidak bisa berdiri kokoh tanpa pondasi yang kuat, yaitu konstitusi Indonesia. Hampir setiap
negara memiliki konstitusi, terlepas dari apakah konstitusi tersebut sudah berjalan optimal atau
belum.
Kaitan antara negara dengan konstitusi adalah keterkaitan antardasar negara dan
konsitusi tampak pada gagasan dasar, cita-cita, dan tujuan negara yang tertuang dalam
mukadimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar suatu negara. Pembukaan UUD 1945
merupakan suatu kebatinan negara. Pembukaan memuat asas kerohanian negara, asas politik
negara, asas tujuan negara, serta menjadi dasar hukum daripada undang-undang. Pancasila
dengan batang tubuh merupakan wujud yuridis konstitusional tentang sesuatu yang telah
dirumuskan dalam pembukaan. UUD 1945 adalah peraturan perundangan teringgi negara
Indonesia yang bersumberkan pada Pancasila.
IV
Konsep Pendidikan Karakter

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter
adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,
kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang
yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai
dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan
inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat
salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien,
menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta
keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk
berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu
(intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate
use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan
karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai
berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about,
and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what
is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without
and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi
suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-
nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral
universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden
rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai
karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut
adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur,
hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan
pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,
dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang
bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan
sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan
karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial
yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti
perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar
tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan
pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan
dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai.
Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan
sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi
sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dapat dikelompokkan dalam:

Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa
(Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut.

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et.
al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan;
yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi
nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda
dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang
menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian
psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan


upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik
memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.

Tentang Pendidikan Karakter

Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai
pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang,
termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim
Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan
dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang
lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen
oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal
ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk
ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari
standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan
implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya
dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus
diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata
dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian
Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan
operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural
tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan
implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design
tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1
menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi
yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di
sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik
berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu,
pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta
didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta
didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman
orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan
sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan
mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal
di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar
peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta
didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-
hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif,
tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik
sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta
didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk
membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat
mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra
kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial,
serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara
memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan,
muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan
komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media
yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan
nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera
dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih
operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil


pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku
sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia
negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan
administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama
ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best
practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan
terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia.
Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh
peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara
lain meliputi sebagai berikut:

1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan
baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya
sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan
oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai
tersebut.

Urgensi Pendidikan Karakter

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung
jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas
tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya
akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai
luhur bangsa serta agama.

Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah
dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true
education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Memahami Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak
akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan
berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama,
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka
tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras;
ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the
good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good
harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan.
Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta
dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu
berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa
disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat
menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika
anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya
pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter
dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter
anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas
sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena
itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam
lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru,
yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung
tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Dampak Pendidikan Karakter

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian


bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting
mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh
Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of
Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi
akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan
drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al,
2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi
anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko
penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan
terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja
sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan
berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat,
ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh
kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan
mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang
bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari
masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras,
perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di
antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara
ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis
berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap
sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas
juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Indikator Keberhasilan Program Pendidikan Karakter


Saat ini pendidikan karakter sedang dan telah menjadi trend dan isu penting dalam sistem
pendidikan kita. Upaya menghidupkan kembali (reinventing) pendidikan karakter ini tentunya
bukanlah hal yang mengada-ada, tetapi justru merupakan amanat yang telah digariskan dalam
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Dalam buku panduan Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama


disebutkan sejumlah indikator keberhasilan program pendidikan karakter oleh peserta didik,
diantaranya mencakup:

1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan
baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
18. Menghargai adanya perbedaan pendapat;
19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
22. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Memperhatikan indikator keberhasilan di atas dan seandainya saja di sekolah-sekolah kita


dapat mengimplementasikan pendidikan karakter dengan sebaik-baiknya, maka niscaya
suatu saat bangsa ini akan tampil menjadi sebuah bangsa yang cerdas, dan
bermartbat. Pertanyaan besar bagi kita semua, sanggupkah mewujudkan keberhasilan
itu?

Silabus dan RPP Bernuansa Karakter

Implementasi pendidikan karakter di sekolah salah satunya dapat dilakukan melalui


pengintegrasian dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, dimana materi pembelajaran
yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan,
dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga pembelajaran
nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Konsekuensi logis dari pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran, maka setiap
guru dituntut untuk dapat merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran yang
bernuansa karakter.

Terkait dengan kegiatan merencanakan pembelajaran yang bernuansa karakter, di bawah ini
saya sediakan tautan file contoh atau model Silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang bernuansa karakter untuk mata pelajaran IPS di SMP (merupakan
lampiran dari Panduan Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, yang
tentunya perlu dikembangkan lebih lanjut).

Anda mungkin juga menyukai