WAWASAN NUSANTARA
KETAHANAN NASIONAL
BELA NEGARA
PANCASILA DAN UUD 1945
PENDIDIKAN KARAKTER
DI SUSUN OLEH :
AZI ZAELANI MUHAMAD DAHLAN
41155030170019
TEKNIK ARSITEK
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
Jl. Karapitan No.116 Bandung
Wawasan Nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri
dan lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (interaksi & interelasi) serta
pembangunannya di dalam bernegara di tengah-tengah lingkungannya baik nasional, regional,
maupun global.
TEORI-TEORI KEKUASAAN
Wawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang
dianut oleh negara yang bersangkutan.
1. Paham-Paham Kekuasaan
a. Machiavelli (abad XVII)
Sebuah negara itu akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil:
1. Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara dihalalkan
2. Untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (devide et empera) adalah sah.
3. Dalam dunia politik,yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.
b. Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Perang dimasa depan merupakan perang total, yaitu perang yang mengerahkan segala
daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus
didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi, yang didukung oleh sosial budaya
berupa ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa untuk membentuk kekuatan
pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
c. Jendral Clausewitz (abad XVIII)
Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya dia
bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia. Dia menulis sebuah buku tentang perang
yang berjudul “Vom Kriegen” (tentang perang). Menurut dia perang adalah kelanjutan
politik dengan cara lain. Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional
suatu bangsa.
d. Fuerback dan Hegel
Ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar surplus ekonominya,
terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh negara itu.
e. Lenin (abad XIX)
Perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Perang bahkan pertumpahan
darah/revolusi di negara lain di seluruh dunia adalah sah, yaitu dalam rangka
mengkomuniskan bangsa di dunia.
f. Lucian W. Pye dan Sidney
Kemantapan suatu sistem politik hanya dapat dicapai apabila berakar pada kebudayaan
politik bangsa ybs. Kebudayaan politik akan menjadi pandangan baku dalam melihat
kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya.
Dalam memproyeksikan eksistensi kebudayaan politik tidak semata-mata ditentukan
oleh kondisi-kondisi obyektif tetapi juga harus menghayati kondisi subyektif psikologis
sehingga dapat menempatkan kesadaran dalam kepribadian bangsa.
2. Teori–Teori Geopolitik (Ilmu Bumi Politik)
Geopolitik adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala politik dari aspek geografi.
Teori ini banyak dikemukakan oleh para sarjana seperti :
a. Federich Ratzel
1. Pertumbuhan negara dapat dianalogikan (disamakan) dengan pertumbuhan
organisme (mahluk hidup) yang memerlukan ruang hidup, melalui proses lahir,
tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup tetapi dapat juga menyusut dan
mati.
2. Negara identik dengan suatu ruang yang ditempati oleh kelompok politik dalam
arti kekuatan. Makin luas potensi ruang makin memungkinkan kelompok politik
itu tumbuh (teori ruang).
3. Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari
hukum alam. Hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup terus dan
langgeng.
4. Semakin tinggi budaya bangsa semakin besar kebutuhan atau dukungan sumber
daya alam. Apabila tidak terpenuhi maka bangsa tsb akan mencari pemenuhan
kebutuhan kekayaan alam diluar wilayahnya (ekspansi). Apabila ruang hidup
negara (wilayah) sudah tidak mencukupi, maka dapat diperluas dengan
mengubah batas negara baik secara damai maupun dengan kekerasan/perang.
Ajaran Ratzel menimbulkan dua aliran :
menitik beratkan kekuatan darat
menitik beratkan kekuatan laut
b. Rudolf Kjellen
1. Negara sebagai satuan biologi, suatu organisme hidup. Untuk mencapai tujuan
negara, hanya dimungkinkan dengan jalan memperoleh ruang (wilayah) yang
cukup luas agar memungkinkan pengembangan secara bebas kemampuan dan
kekuatan rakyatnya.
2. Negara merupakan suatu sistem politik/pemerintahan yang meliputi bidang-
bidang: geopolitik, ekonomipolitik, demopolitik, sosialpolitik dan kratopolitik.
3. Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar, tetapi harus
mampu swasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan dan teknologi
untuk meningkatkan kekuatan nasional.
c. Karl Haushofer
Pandangan Karl Haushofer ini berkembang di Jerman di bawah kekuasan Adolf Hitler,
juga dikembangkan ke Jepang dalam ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat
militerisme dan fasisme. Pokok– pokok teori Haushofer ini pada dasarnya menganut teori
Kjelen, yaitu sebagai berikut :
1. Kekuasan imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasan
imperium maritim untuk menguasai pengawasan dilaut
2. Negara besar didunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika, dan Asia
barat (Jerman dan Italia) serta Jepang di Asia timur raya.
3. Geopulitik adalah doktrin negara yang menitik beratkan pada soal strategi
perbatasan. Geopolitik adalah landasan bagi tindakan politik dalam perjuangan
kelangsungan hidup untuk mendapatkan ruang hidup (wilayah).
Wilayah perairan laut Indonesia dapat dibedakan tiga macam, yaitu zona laut Teritorial,
zona Landas kontinen, dan zona Ekonomi Eksklusif.
a. Zona Laut Teritorial
Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah
laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu
kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara
tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut
yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal/perairan dalam (laut nusantara).
Garis dasar adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau terluar.
Sebuah negara mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya sampai batas laut teritorial,
tetapi mempunyai kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di
bawah permukaan laut. Deklarasi Djuanda kemudian diperkuat/diubah menjadi Undang-
undang No.4 Prp. 1960.
b. Zona Landas Kontinen
Landas kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan
lanjutan dari sebuah kontinen (benua). Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter. Indonesia
terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen Asia dan landasan kontinen
Australia.
Adapun batas landas kontinen tersebut diukur dari garis dasar, yaitu paling jauh 200
mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landasan kontinen, maka batas
negara tersebut ditarik sama jauh dari garis dasar masing-masing negara.
Di dalam garis batas landas kontinen, Indonesia mempunyai kewenangan untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, dengan kewajiban untuk menyediakan
alur pelayaran lintas damai. Pengumuman tentang batas landas kontinen ini dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Febuari 1969.
c. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka
diukur dari garis dasar. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan
pertama dalam memanfaatkan sumber daya laut. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini
kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui
sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan batas zona
ekonomi eksklusif antara dua negara yang bertetangga saling tumpang tindih, maka ditetapkan
garis-garis yang menghubungkan titik yang sama jauhnya dari garis dasar kedua negara itu
sebagai batasnya. Pengumuman tetang zona ekonomi eksklusif Indonesia dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1980.
Agar lebih jelas tentang batas zona laut Teritorial, zona landas kontinen dan zona
ekonomi eksklusif lihatlah peta berikut.
Melalui Konfrensi PBB tentang Hukum Laut Internasional ke-3 tahun 1982, pokok-
pokok negara kepulauan berdasarkan Archipelago Concept negara Indonesia diakui dan
dicantumkan dalam UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea) atau
konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Indonesia meratifikasi Unclos 1982 melalui UU No.17 th.1985 dan sejak 16 Nopember
1993 Unclos 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara sehingga menjadi hukum positif (hukum
yang berlaku di masing-masing negara).
Berlakunya Unclos 1982 berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi
kepentingan kesejahteraan seperti bertambah luas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Landas
Kontinen Indonesia.
Perjuangan tentang kewilayahan dilanjutkan untuk menegakkan kedaulatan
dirgantara yakni wilayah Indonesia secara vertikal terutama dalam memanfaatkan wilayah
Geo Stationery Orbit (GSO) untuk kepentingan ekonomi dan pertahanan keamanan.
Sesuai dengan sifatnya, kebudayaan merupakan warisan yang bersifat memaksa bagi
masyarakat ybs, artinya setiap generasi yang lahir dari suatu masyarakat dengan serta merta
mewarisi norma-norma budaya dari generasi sebelumnya. Warisan budaya diterima secara
emosional dan bersifat mengikat ke dalam (Cohesivness) sehingga menjadi sangat sensitif.
Berdasar ciri dan sifat kebudayaan serta kondisi dan konstelasi geografi, masyarakat
Indonesia sangat heterogen dan unik sehingga mengandung potensi konflik yang sangat besar,
terlebih kesadaran nasional masyarakat yang relatif rendah sejalan dengan terbatasnya
masyarakat terdidik.
Besarnya potensi antar golongan di masyarakat yang setiap saat membuka peluang
terjadinya disintegrasi bangsa semakin mendorong perlunya dilakukan proses sosial yang
akomodatif. Proses sosial tersebut mengharuskan setiap kelompok masyarakat budaya untuk
saling membuka diri, memahami eksistensi budaya masing-masing serta mau menerima dan
memberi.
Proses sosial dalam upaya menjaga persatuan nasional sangat membutuhkan
kesamaan persepsi atau kesatuan cara pandang diantara segenap masyarakat tentang
eksistensi budaya yang sangat beragam namun memiliki semangat untuk membina
kehidupan bersama secara harmonis.
4. Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejarahan
Perjuangan suatu bangsa dalam meraih cita-cita pada umumnya tumbuh dan
berkembang akibat latar belakang sejarah. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit landasannya
adalah mewujudkan kesatuan wilayah, meskipun belum timbul rasa kebangsaan namun
sudah timbul semangat bernegara. Kaidah-kaidah negara modern belum ada seperti rumusan
falsafah negara, konsepsi cara pandang dsb. Yang ada berupa slogan-slogan seperti yang
ditulis oleh Mpu Tantular yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Penjajahan disamping menimbulkan penderitaan juga menumbuhkan semangat
untuk merdeka yang merupakan awal semangat kebangsaan yang diwadahi Boedi Oetomo
(1908) dan Sumpah Pemuda (1928) wawasan Nasional Indonesia diwarnai oleh pengalaman
sejarah yang menginginkan tidak terulangnya lagi perpecahan dalam lingkungan bangsa yang
akan melemahkan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan nasional sebagai hasil kesepakatan bersama agar bangsa Indonesia setara dengan
bangsa lain.
PENGERTIAN WAWASAN NUSANTARA
1. Prof.Dr. Wan Usman
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah
airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam
Idiil → Pancasila
Konstitusional → UUD 1945
Tata laku Bathiniah yaitu mencerminkan jiwa, semangat dan mentalitas yang baik
dari bangsa Indonesia.
Tata laku Lahiriah yaitu tercermin dalam tindakan, perbuatan dan perilaku dari
bangsa Indonesia.
Kedua tata laku tersebut mencerminkan identitas jati diri/kepribadian bangsa berdasarkan
kekeluargaan dan kebersamaan yang memiliki rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan
tanah air sehingga menimbulkan rasa nasionalisme yang tinggi dalam semua aspek
kehidupan nasional.
Dengan latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi serta
memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, maka arah pandang wawasan nusantara
meliputi :
1. Ke dalam
Bangsa Indonesia harus peka dan berusaha mencegah dan mengatasi sedini mungkin
faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan mengupayakan tetap terbina
dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan.
Tujuannya adalah menjamin terwujudnya persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan
nasional baik aspek alamiah maupun aspek sosial.
2. Ke luar
Bangsa Indonesia dalam semua aspek kehidupan internasional harus berusaha untuk
mengamankan kepentingan nasional dalam semua aspek kehidupan baik politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan demi tercapainya tujuan nasional.
Tujuannya adalah menjamin kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
KEDUDUKAN WAWASAN NUSANTARA
Wawasan Nusantara merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh
rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam rangka
mencapai dan mewujudkan tujuan nasional.
Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma
nasional sbb:
ketauladanan
edukasi
komunikasi
integrasi
Materi Wasantara disesuaikan dengan tingkat dan macam pendidikan serta lingkungannya
supaya bisa dimengerti dan dipahami.
b. Kesadaran belanegara
Dalam mengisi kemerdekaan perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan non fisik
untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, memberantas KKN,
menguasai Iptek, meningkatkan kualitas SDM, transparan dan memelihara persatuan.
Dalam perjuangan non fisik, kesadaran bela negara mengalami penurunan yang tajam
dibandingkan pada perjuangan fisik.
Dari rumusan-rumusan di atas ternyata tidak ada satupun yang menyatakan tentang
perlu adanya persatuan, sehingga akan berdampak konflik antar bangsa karena kepentingan
nasionalnya tidak terpenuhi. Dengan demikian Wawasan Nusantara sebagai cara pandang
bangsa Indonesia dan sebagai visi nasional yang mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa masih tetap valid baik saat sekarang maupun mendatang, sehingga prospek wawasan
nusantara dalam era mendatang masih tetap relevan dengan norma-norma global.
Dalam implementasinya perlu lebih diberdayakan peranan daerah dan rakyat kecil,
dan terwujud apabila dipenuhi adanya faktor-faktor dominan : keteladanan kepemimpinan
nasional, pendidikan berkualitas dan bermoral kebangsaan, media massa yang memberikan
informasi dan kesan yang positif, keadilan penegakan hukum dalam arti pelaksanaan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Agar kedua hal tersebut dapat terwujud diperlukan sosialisasi dengan program yang teratur,
terjadwal dan terarah.
II
KETAHANAN NASIONAL
LATAR BELAKANG
Sejak merdeka negara Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman yang
membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Tetapi bangsa Indonesia mampu
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari agresi Belanda dan mampu
menegakkan wibawa pemerintahan dari gerakan separatis.
Ditinjau dari geopolitik dan geostrategi dengan posisi geografis, sumber daya alam dan
jumlah serta kemampuan penduduk telah menempatkan Indonesia menjadi ajang
persaingan kepentingan dan perebutan pengaruh antar negara besar. Hal ini secara
langsung maupun tidak langsung memberikan dampak negatif terhadap segenap aspek
kehidupan sehingga dapat mempengaruhi dan membahayakan kelangsungan hidup dan
eksitensi NKRI. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki keuletan dan ketangguhan
yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional sehingga berhasil
mengatasi setiap bentuk tantangan ancaman hambatan dan gangguan dari manapun
datangnya.
POKOK-POKOK PIKIRAN
1. Manusia Berbudaya
Manusia dikatakan mahluk sempurna karena memiliki naluri, kemampuan berpikir, akal,
dan ketrampilan, senantiasa berjuang mempertahankan eksistensi, pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya, berupaya memenuhi baik materil maupun spiritual. Oleh karena
itu manusia berbudaya akan selalu mengadakan hubungan-hubungan dengan: Agama,
Idiologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Seni/Budaya, IPTEK, dan Hankam.
2. Tujuan Nasional Falsafah Bangsa dan Idiologi Negara
Tujuan nasional menjadi pokok pikiran ketahanan nasional karena sesuatu organisasi
dalam proses kegiatan untuk mencapai tujuan akan selalu berhadapan dengan masalah-
masalah internal dan eksternal sehingga perlu kondisi yang siap menghadapi.
Kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional
yang berintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan
ancaman hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk
menjamin identitas, integritas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan
mencapai tujuan nasionalnya.
Konsepsi ketahanan nasional Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan
nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang
seimbang serasi dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh berlandaskan
Pancasila, UUD 45 dan Wasantara.
Kesejahteraan = Kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai
nasionalnya demi sebesar-besarnya kemakmuran yang adil dan merata
rohani dan jasmani.
Keamanan = Kemampuan bangsa Indonesia melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap
ancaman dari luar maupun dari dalam.
1. Mandiri = Percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri bertumpu pada identitas,
integritas dan kepribadian. Kemandirian merupakan prasyarat menjalin kerjasama yang
saling menguntungkan
2. Dinamis = Berubah tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi
lingkungan strategis.
3. Wibawa = Pembinaan ketahanan nasional yang berhasil akan meningkatkan kemampuan
bangsa dan menjadi faktor yang diperhatikan pihak lain.
4. Konsultasi dan Kerjasama = Sikap konsultatif dan kerjasama serta saling menghargai
dengan mengandalkan pada kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
2. Ideologi Pancasila
Merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar budaya bangsa
Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga pemahaman
dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung didalamnya.
Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa
Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta
gangguan yang dari luar/dalam, langsung/tidak langsung dalam rangka menjamin
kelangsungan kehidupan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi mental bangsa yang berlandaskan
keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara serta
pengamalannya yang konsisten dan berlanjut.
Untuk memperkuat ketahanan ideologi perlu langkah pembinaan sebagai berikut:
1. Pengamalan Pancasila secara obyektif dan subyektif.
2. Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu direlevansikan dan diaktualisasikan agar
mampu membimbing dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara.
3. Bhineka Tunggal Ika dan Wasantara terus dikembangkan dan ditanamkan dalam
masyarakat yang majemuk sebagai upaya untuk menjaga persatuan bangsa dan
kesatuan wilayah.
4. Contoh para pemimpin penyelenggara negara dan pemimpin tokoh masyarakat
merupakan hal yang sangat mendasar.
5. Pembangunan seimbang antara fisik material dan mental spiritual untuk
menghindari tumbuhnya materialisme dan sekularisme
6. Pendidikan moral Pancasila ditanamkan pada anak didik dengan cara
mengintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain
PENGARUH ASPEK POLITIK
Politik berasal dari kata politics dan atau policy yang berarti kekuasaan
(pemerintahan) atau kebijaksanaan.
Politik di Indonesia:
1. DalamNegeri
Adalah kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 yang
mampu menyerap aspirasi dan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam satu system
yang unsur-unsurnya:
a. StrukturPolitik
Wadah penyaluran pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat dan
sekaligus wadah dalam menjaring/pengkaderan pimpinan nasional
b. ProsesPolitik
Rangkaian pengambilan keputusan tentang berbagai kepentingan politik maupun
kepentingan umum yang bersifat nasional dan penentuan dalam pemilihan
kepemimpinan yang akhirnya terselenggara pemilu.
c. BudayaPolitik
Pencerminan dari aktualisasi hak dan kewajiban rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang dilakukan secara sadar dan rasional
melalui pendidikan politik dan kegiatan politik sesuai dengan disiplinnasional.
d. KomunikasiPolitik
Hubungan timbal balik antar berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, baik rakyat sebagai sumber aspirasi maupun sumber pimpinan-
pimpinan nasional
2. LuarNegeri
Salah satu sasaran pencapaian kepentingan nasional dalam pergaulan antar bangsa.
Landasan Politik Luar Negeri = Pembukaan UUD ’45, melaksanakan ketertiban dunia, berdasar
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dan anti penjajahan karena tidak sesuai
dengan kemanusiaan dan keadilan. Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas dan aktif.
Bebas = Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa.
Aktif = Indonesia dalam percayuran internasional tidak bersifat reaktif dan tidak menjadi
obyek, tetapi berperan atas dasar cita-citanya.
Untuk mewujudkan ketahanan aspek politik diperlukan kehidupan politik bangsa yang
sehat dan dinamis yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas politik yang
bersadarkan Pancasila UUD ‘45
Ketahanan pada aspek politik dalam negeri = Sistem pemerintahan yang berdasarkan
hukum, mekanisme politik yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat.
Kepemimpinan nasional yang mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat
Ketahanan pada aspek politik luar negeri = meningkatkan kerjasama internasional yang
saling menguntungkan dan meningkatkan citra positif Indonesia. Kerjasama dilakukan
sesuai dengan kemampuan dan demi kepentingan nasional. Perkembangan, perubahan,
dan gejolak dunia terus diikuti dan dikaji dengan seksama.memperkecil ketimpangan dan
mengurangi ketidakadilan dengan negara industri maju. Mewujudkan tatanan dunia baru
dan ketertiban dunia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melindungi
kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain dan hak-hak WNI di luar
negeri perlu ditingkatkan
Religius
Kekeluargaan
Hidup seba selaras
Kerakyatan
Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi kehidupan sosial budaya
bangsa yang dijiwai kepribadian nasional, yang mengandung kemampuan membentuk dan
mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan
sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi dan seimbang serta kemampuan
menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
Struktur kekuatan
Tingkat kemampuan
Gelar kekuatan
Untuk membangun postur kekuatan pertahanan keamanan melalui empat pendekatan:
1. Ancaman
2. Misi
3. Kewilayahan
4. Politik
→ Pertahanan diarahkan untuk menghadapi ancaman dari luar dan menjadi tanggung
jawab TNI.
→ Keamanan diarahkan untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri dan menjadi
tanggung jawab Polri. TNI dapat dilibatkan untuk ikut menangani masalah keamanan
apabila diminta atau Polri sudah tidak mampu lagi karena eskalasi ancaman yang
meningkat ke keadaan darurat.
Secara geografis ancaman dari luar akan menggunakan wilayah laut dan udara untuk
memasuki wilayah Indonesia (initial point). Oleh karena itu pembangunan postur kekuatan
pertahanan keamanan masa depan perlu diarahkan kepada pembangunan kekuatan
pertahanan keamanan secara proporsional dan seimbang antara unsur-unsur utama :
Menegakkan HAM
Demokrasi
Penegakan hukum
Lingkungan hidup
Mengingat keterbatasan yang ada, untuk mewujudkan postur kekuatan pertahanan
keamanan kita mengacu pada negara-negara lain yang membangun kekuatan pertahanan
keamanan melalui pendekatan misi yaitu = untuk melindungi diri sendiri dan tidak untuk
kepentingan invasi (standing armed forces):
1. Perlawanan bersenjata = TNI, Polri, Ratih (rakyat terlatih) sebagai fungsi perlawanan
rakyat.
2. Perlawanan tidak bersenjata = Ratih sebagai fungsi dari TIBUM, KAMRA, LINMAS
3. Komponen pendukung = Sumber daya nasional sarana dan prasarana serta perlindungan
masyarakat terhadap bencana perang.
Pembahasan mengenai Dasar Negara dilakukan pertamakali pada saat sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) yang berlangsung
pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pada sidang tersebut terdapat usulan-usulan
tentang Dasar Negara, usulan-usulan yang dikemukakan adalah :
1. Peri Kebangsaan.
2. Peri Kemanusiaan.
3. Peri Ketuhanan.
4. Peri Kerakyatan.
5. Kesejahteraan Rakyat.
Oleh karena pada sidang pertama belum dicapai kata mufakat, maka dibentuklah
sebuah panitia kecil yang membahas usulan-uslan yang diajukan dalam sidang BPUPKI
baik lisan maupun tulisan yang disebut Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir.Soekarno.
Anggota Panitia Sembilan sendiri terdiri dari tokoh Nasional yang mewakili golongan
Nasioanalis dan Islam, yaitu : Drs. Moh.Hatta, Mr.A.A Maramis, Mr.Muh Yamin,
Mr.Ahmad Soebardjo, Abdul Kahar Muzakar, KH.Wahid Hasyim, Abi Kusno, Tjokrosoejoso
dan Haji Agus Salim.
Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyusun suatu naskah yang
kemudian disebut Piagam Jakarta, yang di dalamnya tercantum rumusan Dasar Negara
sebagai berikut :
Fungsi pokok Pancasila adalah sebagai Dasar Negara. Selain fungsi pokok tersebut,
Pancasila mempunyai beberapa fungsi lagi, yaitu :
3. Perjanjian Luhur
Artinya Pancasila telah disepakati secara Nasional sebagai dasar Negara tanggal 18
Agustus 1945 melalui sidang PPKI(Panitia Perseapan Kemerdekaan Indonesia).
a. Dimensi Idealistis, yaitu nilai- nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
yang bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nlai- nilai yang
terkandung dalam lima sila pancasila : ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Maka dimensi idealistis Pancasila
bersumber pada niali- nilai filosofis yaitu filsafat Pancasila.
b. Dimensi Normatif, yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem normatif, sebagaimana terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tertib
hukum Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pembukaan yang di
dalamnya memuat Pancasila dalam alinea IV, berkedudukan sebagai
’staatsfundamentalnorm’(pokok kaidah negara yang fundamental).
c. Dimensi Realistis, suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila
selalu memiliki dimensi nilai- nilai ideal serta normaf maka Pancasila harus
mampu dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, baik dalam
kaitannya bermasayarakat maupun dalam segala aspek penyelenggaraan
negara.
Berdasarkan hakikat ideologi Pancasila yang bersifast terbuka yang memiliki tiga
dimensi tersebut maka ideologi Pancasila tidak bersifat ’utopis’ yang hanya
merupakan sistem ide- ide belaka yang jauh dari kenyataan hidup sehari- hari. Selain
itu ideologi Pancasila bukan merupakan doktrin belaka karena doktrin hanya dimiliki
pada ideologi yang hanya bersifat normatif dan tertutup, demikian pula ideologi
Pancasila bukanlah merupakan ideologi pragmatis yang hanya menekankan segi
praktis dan realistis belaka tanpa idelaisme yang rasional. Maka Ideologi Pancasila
yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai- nilai dasar(hakikat) sila- sila Pancasila
yang bersifat tetap adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan
secara dinamis terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
Menurut BP-7 Pusat, bahwa nilai- nilai yang terkandung dalam ideologi
terbuka tediri atas 2 jenis nilai yaitu,
Pertama : nilai dasar,yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam ideologi yang berupa
cita- cita, tujuan, serta alat- alat perkembangan negara yang utama, sendi- sendi
mutlak negara terutama nilai- nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan,
serta Keadilan, ini bersifat tetap.
Kedua : nilai-nilai Instrumental, yaitu niali- nilai yang berupa arahan, kebijakan,
strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya, ini yang bersifat dinamis dan terbuka
yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka realisasi nilai- nilai
instrumental inilah yang merupakan pragsis dari ideologi. Berdasakan uraian di muka
maka Pancasila sebagai nilai dasar Ideologi negara adalah yang bersifat tetap, adapun
nilai- nilai instrumental yang merupakan pengamalan, pengembangan dan pengayaan
nilai- nilai dasar.
C. Isi Pancasila
Pancasila juga merupakan sarana atau wadah yang dapat mempersatukan bangsa
Indonesia, sebab Pancasila adalah falsafah, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang
mengandung nilai- nilai dan norma- norma yang luhur. Norma- norma tersebut yaitu :
1. Norma Agama, bersumber dari Tuhan melalui utusannya yang bersisikan peraturan
hidup yang diterima sebagai perintah-perintah,larangan-larangan dan anjuran-
anjuran yang berasl dari Tuhan.Sebagian norma agama bersifat umum,jadi berlaku
bagi seluruh golongan manusia di dunia terlepas dari agama yang dianut.
2. Norma Kesusilaan yang dianggap sebagai aturan yang datang dari suara hati sanubari
manusia,dari bisikan kalbu atau suara batin yang diinsyafi oleh setiap orang sebagai
pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
3. Norma Kesopanan merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan
segolongan mansia dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari sekelompok
masyarakat.
4. Norma Hukum adalah aturan tertiulis maupun tidak tertulis yang berisikan perintah
atau larangan yang memaksa dan akan menimbilkan sanksi yang tegas bagi setiap
orang yang melanggarnya.
Keempat norma ini berlaku dan terdapat pada masyarakat Indonesia yang masing-
masing norma mempunyai perbedaan satu sama lain.Khusus Norma Hukum yang dibuat
oleh lembaga yang berwenang,untuk membuatnya (negara) dan dari segi sanksinya lebih
tegas dan jelas serta dapat dipaksakan dalam pelaksanaannya.
D. Kesimpulan
1. Pancasila diartikan sebagai lima dasar yang dijadikan sebagai Dasar Negara dan
Pandangan Hidup Bangsa.
Suatu bangsa tidak akan berdiri kokoh tanpa Dasar Negara yang kuat.Dengan Dasar
Negara suatu bangsa tidak akan terombang-ambingkan dalam menghadapi berbagai
permasalahan baik dari dalam maupun luar.
2. Fungsi Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa: yang dijadikan pedoman hidup
bagi bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahteraan lahir batin dalam masyarakat
yang beraneka ragam.
3. Fungsi Pancasila sebagai Sumber dari segala sumber tertib hukum: segala peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus bersumber kepada
Pancasila atau tidak bertentangan dengan Pancasila.
4. Norma yang berlaku pada masyarakat Indonesia:
a. Norma Agama
b. Norma Kesusilaan
c. Norma Kesopanan
d. Norma Hukum
5. Nilai-nilai tersebut adalah:
a. Pandangan Hidup
b. Kesadaran dan cita hukum
c. Cita-cita mengenai kemerdekaan
d. Keadilan Sosial,Politik,Ekonomi
e. Keagamaan dan lain sebagainya.
6. Lahirnya Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri yang telah berurat berakar dalam
sifat dan tingkah laku manusia.Bangsa Indonesia lahir dari kepribadiannya sendiri yang
bersamaan dengan lahirnya bangsa dan negara itu,dan kepribadian itu ditetapkan
sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negara
7. a. Secara lisan:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Peri Kesejahteraan Rakyat
b. Secara tertulis:
UUD 1945
Hukum Dasar Tertulis (UUD)
UUD itu rumusannya tertulis dan tidak berubah.Adapun pendapat L.C.S wade dalam
bukunya contution law,UUD menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang
memafarkan kerangk dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintshsn suatu Negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut jadi UUD itu mengatur mekanisme
dan dasar dari setiap sistem pemerintahan.
UUD juga dapat dipandang sebagai lembaga/sekumpulan asas yang menetapkan
bagaimana kekuasaan tersebut bagi mereka memandang suatu Negara dari sudut kekuasaan
dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan.Adapun hal tersebut di bagi menjadi
tiga badan legislatif,eksekutif dan yudikatif.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain.UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam satu
Negara.Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan
supel,UUD 1945 hanya memilik 37 pasal,adapun pasal-pasal lain hanya memuat aturan
peralihan dan aturan tambahan yang mengandung makna:
1. Telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok,hanya memuat grafis
besar intruksi kepada pemerintahpusat dan semua penyelenggara Negara untuk
menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
2. Sifatnya harus supel (elastic)dimaksudkan bahwa kita harus senantiasa ingat bahwa
masyarakat ini harus terus berkembangdan dinamis seiring perubahaan zaman .Oleh
karena itu,makin supel sifatnya aturan itu makin baik.jadi kita harus menjaga agar
sistem dalam UUD itu jangan ketinggalan zaman.Menurut dadmowahyono ,seluruh
kegiatan Negara dapat dikelompokan menjadi dua macam penyelenggara kehidupan
Negara kesejahteraan social.
Sifat-sifat UUD
1. Oleh karena sifatnya maka rumusannya merupakan suatu hokum positif yang mengikat
pemerintah sebagai penyelenggara Negara maupun mengikat bagi warga Negara.
2. UUD 1945 itu bersifat supel dan singkat karena UUD 1945 memuat aturan-aturan
pokok yang setiap kali harus di kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan
memuat ham.
3. Memuat norma-norma/aturan-aturan/ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus
dilaksanakan secara kontituional.
4. UUD 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang
tertinggi,disamping itu sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif
yang lebih rendah dalam hirarki tertib hukum Indonesia.
Contoh :
Jika convensi ingin di jadikan rumusan yang bersifat tertulis maka yang berwenang
adalah MPR dan rumusannya bukan lah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang
dalam ketetapan MPR dan tidak secara otomatis setingkat dengan UUD melainkan sebagai
suatu ketetapan MPR.
Dalam proses hukum sekarang ini,berbagai kejadian ilmiah tentang UUD 1945.banyak orang
yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945.Amandemen tersebut
merupakan prosedur penyempurnaan terhadap UUD 1945.tanpa harus langsung mengubah
UUD itu sendiri atau bias di bilang merupakan pelengkapan dan rincian yang di jadikan
lampiran otentik bagi UUD tersebut.(mahfud,1999:64)
Perkembangan UUD 1945 dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia
Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 didasarkan pada suatu kenyataan sejarah
selama orde lama dan orde baru bahwa penerapan terhadap pasal UUD memiliki sifat-sifat
intrerretable atau berwayuh arti sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan
terutama kepada presiden karena latar belakang politik ini lah maka pada orde baru UUD 1945
di lestarikan dan di anggap bersifat keramat yang tak dapat di ganggu gugat.
Menurut bangsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah suatu
keeharusan karena akan mengantarkan bangsa Indonesia ketahapan yang baruu dalam
melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.Amandemen terhadap UUD 1945 di lakukan
oleh bangsa Indonesia sejak 1999 di mana pemberian tambahan dan perubahan terhadap pasal
9 UUD 1945 kemudian amandemen ke2 tahun 2000 disahkan tanggal 10 Agustus 2002 UUD
1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak-banyak nya partisipasi
rakyat dalam mengambil keputusan politik,sehingga di harapkan struktur kelembagaan Negara
yang lebih demokratis ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam proses reformasi hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945
bnyak melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Memang
amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali Uud 1945, akan twtapi
merupakan proaedur penyempurnaan terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan dengan
melakukan berbagai macam perubahan pada pasal-pasal maupun memberikan tambahan-
tambahan.
Dari awal, para pendiri negara secara eksplisit sudah menyatakan bahwa Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstistusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno
menyebutnya sebagai UUD atau revolutiegrondwet. Kondisi obyektif ini sudah diantisipasi
oleh thefouding fathers dengan menyediakan Pasal 37 UUD 1945 sebagai sarana untuk
melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan amanat itu, sejak awal kemerdekaan
proses penyelengaraan negara dilaksanakan dengan konstitusi yang bersifat sementara.
Menelusuri perjalanan sejarah ketatanegaraan selama hampir setengah abad di bawah
UUD 1945 (1945-1949 dan 1959-2002), persoalan mendasar tidak hanya terletak pada sifat
kesementaraan tetapi lebih kepada kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat dalam UUD
1945. Misalnya, sangat fleksibel untuk diterjemahkan sesuai dengan keinginan pemegang
kekuasaan, terperangkap dalam design ketatanegaraan yang rancu sehingga tidak membuka
ruang untuk melaksanakan paradigma checks and balances atau akuntabilitas horizontal dalam
menciptakan good governance.
Kedua kelemahan itu sangat mewarnai perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia di
bawah UUD 1945, yang kemudian bermuara pada multi-krisis yang terjadi pada penghujung
abad XX dan sampai dua tahun pertama awal abad XXI belum menunjukkan tanda-tanda akan
berakhir. Misalnya dalam hal penafsiran, pergantian sistem presidentil kepada sistem
parlementer pada tanggal 14 November 1945. Di dua era yang berbeda, Soekarno menafsirkan
(memahami) demokrasi dalam UUD 1945 sebagai Demokrasi Terpimpin sementara Soeharto
menafsirkannya sebagai Demokrasi Pancasila dan kedua-duanya melahirkan rejim otoriter.
Krisis ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan Soeharto pada tahun 1998
memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945.
Banyak anggapan bahwa salah satu penyebab krisis itu adalah ketidakmampuan UUD 1945
mengantisipasi penyelewengan-penyelewengan dalam praktek penyelenggaraan negara.
Dalam waktu yang panjang, UUD 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh
berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN) di sekitar kekuasaan Presiden.Oleh karena itu, di masa reformasi menyusul berakhirnya
kekuasaan Soeharto, agenda perubahan UUD 1945 menjadi sesuatu yang niscaya. Ini dapat
dipahami bahwa tidak mungkin melakukan reformasi politik dan ekonomi tanpa melakukan
reformasi hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan
terhadap konstitusi (constitutional reform).
1.Sifat sementara
Seperti telah dinyatakan pada bagian awal bahwa penetapan UUD 1945 tidak
dimaksudkan sebagai sebuah konstitusi yang bersifat tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh
Soekarno sebagai berikut :
“Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang-undang Dasar
Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-undang
Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram,
kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.
Selain pernyataan itu, sifat sementara juga terdapat dalam ayat (2) Aturan Tambahan
UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusayawaratan
Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar.
2.Fleksibel
Sebenarnya, persoalan UUD 1945 bukan hanya pada sifat kesementaraan itu tetapi juga
pada sifatnya yang amat fleksibel untuk dapat diterjemahkan sesuai dengan perkembangan
kondisi politik dan keinginan pemegang kekuasaan. Paling tidak ada tiga alasan yang dapat
membuktikan ini.
Pertama, keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang
mengubah kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi lembaga legislatif
yang sejajar dengan Presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja
(BP) KNIP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP inilah yang mengusulkan
untuk mengubah sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer.
Usul ini disetujui oleh pemerintah melalui Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November
1945. Pergantian sistem pemerintahan ini dilakukan dengan tidak melakukan perubahan
terhadap Undang-undang Dasar 1945.
Kedua, perdebatan tak berkesudahan dalam Konstituante telah memberikan peluang
kepada Soekarno untuk melakukan penafsiran (pemahaman) terhadap nilai-nilai demokrasi
yang terdapat dalam UUD 1945. Dengan melihat pengalaman pada era demokrasi multipartai,
Soekarno menafsirkan bahwa konsep demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945 adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong-royong antara semua kekuatan
nasional. Ini disebut oleh Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi inilah
kemudian yang mendorong Soekarno menjadi pemimpin yang otoriter dengan dukungan
Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketiga, sama halnya dengan Soekarno, Soeharto sebagai penguasa yang menggantikan
Soekarno juga mencoba melakukan penafsiran tersendiri terhadap UUD 1945. Pemahaman ini
melahirkan Demokrasi Pancasila dengan jargon “melaksanakan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Konsep ini juga melahirkan rezim otoriter dengan
dukungan AD dan Golongan Karya.
Dari tiga fakta sejarah tersebut UUD 1945 dapat dikatakan sebagai “konstitusi karet”
karena amat fleksibel untuk ditarik ulur sesuai dengan keinginan penguasa. Bahkan, dua fakta
terakhir memperlihatkan bahwa UUD 1945 telah melahirkan rezim otoriter. Di samping itu,
kelenturan yang dimiliki oleh UUD 1945 telah menjadi penyebab terjadinya KKN, memasung
semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi peluang tumbuhnya pemerintahan
yang otoriter, antikritik dan antiperbedaan pendapat.
3.Tidak konsisten
Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945.
Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan negara di
Indonesia. Inkonsistensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem presidentil
ini dapat dibuktikan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tetapi dengan
adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR membuktikan bahwa model
sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat
menjatuhkan Presiden dengan cara mengadakan Sidang Istimewa MPR. Apabila MPR
menolak pertanggungjawaban, maka Presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian
ini akan berakibat pada pembubaran kabinet.
Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada
bentuk kedaulatan yaitu Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Negara.
Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi
kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara akan dengan mudah menjelma
menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan oleh individu-individu yang
menjalankan roda pemerintahan.
Mencermati seluruh hasil perubahan yang telah dilakukan oleh MPR, ada beberapa
catatan penting yang dapat dikemukakan. Pertama, kesemua pasal telah dilakukan perubahan
kecuali Pasal 4, 10 dan Pasal 12. Kedua, terjadi (1) penambahan 4 bab baru (dari 16 bab
menjadi 20 bab), (2) penambahan 25 pasal baru (dari 37 pasal menjadi 72 pasal), dan (3)
penambahan 120 ayat baru (dari 49 ayat menjadi 169 ayat). Ketiga, dihapusnya penjelasan
sebagai bagian dari UUD 1945. Perubahan yang begitu besar menimbulkan implikasi terhadap
struktur ketetanegaraan, yaitu terjadinya perubahan kelembagaan secara mendasar (lihat
bagan). Implikasi perubahan tidak hanya terjadi terhadap struktur lembaga-lembaga negara
tetapi juga perubahan terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.
2. Pemilihan langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik politik dalam proses
pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan dengan mudah terjadi dalam sistem
multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum tidak menghasilkan partai pemenang
mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.
3. Pemilihan langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk
menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kecenderungan
dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat dengan
wakilnya.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter
adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan
nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,
kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang
yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai
dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan
inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat
salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien,
menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta
keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk
berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu
(intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate
use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan
karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai
berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about,
and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our
children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what
is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without
and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi
suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-
nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral
universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden
rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai
karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut
adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur,
hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan
pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,
dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang
bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan
sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan
karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial
yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti
perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar
tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan
pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan
dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan
pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai.
Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan
sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi
sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dapat dikelompokkan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa
(Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et.
al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan;
yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi
nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda
dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang
menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian
psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai
pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang,
termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim
Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan
dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang
lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen
oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal
ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk
ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari
standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan
implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya
dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus
diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian
Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan
operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural
tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan
implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design
tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1
menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi
yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di
sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik
berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu,
pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta
didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta
didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman
orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan
sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan
mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal
di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar
peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta
didik .
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-
hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif,
tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik
sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta
didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk
membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat
mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra
kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial,
serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara
memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan,
muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan
komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media
yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan
nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera
dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih
operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol
yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia
negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan
administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama
ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best
practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan
terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia.
Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh
peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara
lain meliputi sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan
baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya
sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan
oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai
tersebut.
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung
jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas
tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan
potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya
akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai
luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah
dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true
education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak
akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan
berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama,
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka
tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras;
ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the
good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good
harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan.
Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta
dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu
berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa
disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat
menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika
anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya
pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter
dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter
anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas
sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena
itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam
lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru,
yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung
tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of
Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi
akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan
drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al,
2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi
anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko
penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan
terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja
sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan
berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat,
ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh
kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan
mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang
bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari
masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras,
perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di
antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara
ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis
berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap
sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas
juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan
baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
18. Menghargai adanya perbedaan pendapat;
19. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
20. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
21. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
22. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Konsekuensi logis dari pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran, maka setiap
guru dituntut untuk dapat merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran yang
bernuansa karakter.
Terkait dengan kegiatan merencanakan pembelajaran yang bernuansa karakter, di bawah ini
saya sediakan tautan file contoh atau model Silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang bernuansa karakter untuk mata pelajaran IPS di SMP (merupakan
lampiran dari Panduan Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, yang
tentunya perlu dikembangkan lebih lanjut).