Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM

A. KAJIAN PUSTAKA
1. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan
sianosis, bradikardi, hipotonia, dan tidak ada respon terhadap rangsangan,
yang secara objektif dapat dinilai dengan skor APGAR. Keadaan ini disertai
hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis
yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah depresi susunan
saraf pusat dengan kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan adanya
gangguan neurologis berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty (HIE), akan
tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera. (Kosim, 1998;
Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005)
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfixia
dalam kehamilan dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis,
keracunan obat bius, uremia, toksemia gravidarum, anemia berat, cacat
bawaan, atau trauma. Sementara itu, asfiksia dalam persalinan disebabkan
oleh partus yang lama, ruptura uteri, tekanan terlalu kuat kepala anak pada
plasenta, prolapsus, pemberian obat bius yang terlalu banyak dan pada saat
yang tidak tepat, plasenta previa, solusia plasenta, serta plasenta tua
(serotinus) (Nurarif, 2013).

1
2. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Asfiksia
Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan
asfiksia livida dengan masing-masing manifestasi klinis sebagai berikut
(Nurarif, 2013):
Tabel 1. Karakteristik Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna Kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus Otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi Rangsangan Negatif Positif
Bunyi Jantung Tidak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik

Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR


(Nurarif, 2013).
Tabel 2. APGAR score
Nilai
Tanda
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan
(color/warna ekstremitas biru ekstremitas
kulit) kemerahan
P : Pulse (heart Tidak ada < 100x per menit >1100x per menit
rate/denyut nadi)
G : Grimance Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
(reflek)
A : Activity Lumpuh Fleksi lemah Aktif
(tonus otot)
R : Respiration Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
(usaha bernapas)

Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score


berada pada rentang 0-3, asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi
normal atau dengan sedikit asfiksia jika APGAR score berada pada rentang
7-10 (Nurarif, 2013).

2
3. Etiologi
Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013).
a. Faktor ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui
plasenta berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang
dan dapat menyebabkan gawat janin dan akhirnya terjadilah asfiksia.
Berikut merupakan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia
pada bayi baru lahir (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Preeklamsia dan eklamsia
2) Demam selama persalinan
3) Kehamilan postmatur
4) Hipoksia ibu
5) Gangguan aliran darah fetus, meliputi :
a) gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri
b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
c) hipertensi pada penyakit toksemia
6) Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
b. Faktor plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen
melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia
(Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Abruptio plasenta
2) Solutio plasenta
3) Plasenta previa
c. Faktor fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa
didahului tanda gawat janin (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Air ketuban bercampur dengan mekonium
2) Lilitan tali pusat
3) Tali pusat pendek atau layu
4) Prolapsus tali pusat

3
d. Faktor persalinan
Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu (Nurarif, 2013):
1) Persalinan kala II lama
2) Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan
sehingga menyebabkan depresi pernapasan pada bayi
e. Faktor neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia
(Nurarif, 2013):
1) Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm
2) Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, forsep)
3) Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasi paru, dll.
4) Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial

4. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor
maternal, plasenta-tali pusat, dan fetus atau neonatus (Volpe, 2001; Aurora,
2004; dan Levene, 2005) :
a. Kelainan maternal, dapat meliputi hipertensi, peyakit vaskular, diabetes,
drug abuse, penyakit jantung, paru, gangguan susunan saraf pusat,
hipotensi, ruptura uteri, tetani uteri, panggul sempit.
b. Kelainan plasenta dan tali pusat, meliputi infark dan fibrosis plasenta,
prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus.
c. Kelainan fetus atau neonatus meliputi anemia, hidrops, infeksi,
pertumbuhan janin terhambat, serotinus.
Selain itu, kurangnya kesadaran calon ibu untuk melakukan ANC,
status nutrisi yang rendah, perdarahan saat melahirkan, dan infeksi saat
kehamilan juga merupakan faktor resiko terjadinya asfiksia. Ditambah lagi
dengan letak bayi sungsang dan kelahiran dengan berat bayi kurang dari
2500 gram, maka akan memperburuk keadaan dan meningkatkan resiko

4
asfiksia (Majeed, 2007 dan Pitsawong, 2011). Namun sayangnya,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ogunlesi dkk (2013) dinyatakan
bahwa dari 354 orang responden yang diteliti, hampir seluruhnya tidak
mengetahui faktor resiko terjadinya asfiksia (Ongunlesi, 2013).

5. Patofisiologi
Pada awal proses kelahiran setiap bayi akan mengalami hipoksia
relatif dan akan terjadi adaptasi akibat aktivitas bernapas dan menangis.
Apabila proses adaptasi terganggu, maka bayi bisa dikatakan mengalami
asfiksia yang akan berefek pada gangguan sistem organ vital seperti
jantung, paru-paru, ginjal dan otak yang mengakibatkan kematian
(Manuaba, 2008).
Asfiksia terjadi karena janin kekurangan O2 dan kadar CO2
bertambah, timbul rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ
(denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus
berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Maka timbul
rangsangan dari nervus sispatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat
akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan
intrauteri dan bila kita periksa kemudian banyak air ketuban dan
mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan dapat terjadi atelektasis.
Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang (Manuaba, 2008).
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti dan
denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler
berkembang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu
primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukan pernafasan yang dalam,
denyut jantung menurun terus menerus, tekanan darah bayi juga mulai
menurun, dan bayi akan terlihat lemas. Pernafasan makin lama makin
lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekuner. Selama apneu
sekunder denyut jantung, tekanan darang dan kadar O2 dalam darah (PaO2)
terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak akan menunjukan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan

5
terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan tidak di mulai segera
(Manuaba, 2008).

6. Pathway

Paralisis pusat pernapasan Persalinan lama, lilitan tali Faktor lain : obat-obatan
pusat, presentasi janin
abnormal

ASFIKSIA

Janin kekurangan O2 dan Paru-paru terisi cairan


kadar CO2 meningkat

Bersihan Jalan Napas Gangguan metabolisme dan


Tidak Efektif perubahan asam basa

Suplai O2 dalam darah Suplai O2 dalam paru Asidosis respiratorik

Resiko Kerusakan otak Gangguan perfusi-ventilasi


Ketidakseimbangan
Suhu Tubuh Napas cuping hidung,
sianosis, hipoksia

Napas cepat
Gangguan Pertukaran Gas

Apneu

DJJ dan TD Kematian bayi Resiko Cidera

Ketidakefektifan Pola Proses Keluarga


Napas Terhenti

Janin tidak bereaksi Resiko Sindrom


terhadap rangsangan Kematian Bayi
Mendadak
6
Gambar 1. Bagan Patofisiologi Asfiksia
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan diantaranya yaitu (William, 2004) :
a. Analisa Gas Darah (AGD) : pH kurang dari 7,20
b. Penialaian APGAR score, meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha
napas, tonus otot, dan reflek
c. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
d. Pengkajian spesifik

8. Penatalaksanaan
Asfiksia merupakan kejadian kegawatan pada janin sehingga
memerlukan tindakan yang cepat. Adapun prosedur pertolongan bayi
dengan asfiksia adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):

PENILAIAN :
Bayi tidak menangis, tidak bernapas atau megap-megap

LANGKAH AWAL (dilakukan dalam 30 detik) :


1). Jaga bayi tetap hangat, 2). Atur posisi bayi : leher agak ekstensi, 3). Isap lendir,
4). Keringkan dan rangsang taktil, 5). Reposisi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya Tidak

VENTILASI :
1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan
2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi
3. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20
cm air dalam 30 detik
------------------------------------------------------------------------------------------
4. Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya Tidak

Lanjutkan ventilasi, hentikan tiap 30 detik


--------------------------------------------------------------------------
Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan
teratur
7
Ya Tidak

ASUHAN PASCA RESUSITASI : Setelah ventilasi selama 2 menit tidak berhasil, siapkan
1. Jaga bayi agar tetap hangat rujukan
2. Lakukan pemantauan
3. Konseling
4. Pencatatan Bila bayi tidak bisa dirujuk dan tidak bisa bernapas,
hentikan ventilasi setelah 20 menit

Konseling dukungan emosional dan pencatatan bayi


meninggal

Gambar 2. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir

Pada pertolongan persalinan, setiap petugas perlu mengetahui apakah


bayi mempunyai resiko mengalami asfiksia. Pada keadaan tersebut,
bicarakan dengan ibu dan keluarganya kemungkinan diperlukannya
tindakan resusitasi. Akan tetapi, pada keadaan tanpa faktor resiko pun
beberapa bayi dapat mengalami asfiksia. Oleh karena itu, petugas harus siap
melakukan resusitasi bayi setiap melakukan pertolongan persalinan (Depkes
RI, 2005).
Tahap persiapan meliputi (Depkes RI, 2005):
a. Persiapan keluarga
Bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi pada ibu dan bayi sebelum menolong persalinan.
b. Persiapan tempat
Tempat untuk resusitasi harus hangat, terang, rata, keras, bersih, kering,
sebaiknya dekat pemancar panas, dan tidak berangin.
c. Persiapan alat resusitasi
Alat yang digunakan meliputi :
1) Kain ke 1 : untuk mengeringkan bayi
2) Kain ke 2 : untuk membungkus bayi

8
3) Kain ke 3 : untuk mengganjal bahu bayi
4) Alat pengisap lendir DeLee
5) Tabung dan sungkup
6) Kotak alat resusitasi
7) Handscun
8) Stopwatch atau jam tangan
d. Persiapan diri
Penolong harus mencuci tangan dan menggunakan APD sebelum
menolong persalinan.
Keputusan melakukan resusitasi dinilai dari kondisi bayi tidak
bernapas atau bernapas megap-megap. Selain itu, resusitasi juga dilakukan
jika air ketuban bercampur dengan mekonium. Dalam manajemen asfiksia,
proses penilaian sebagai dasar pengambilan keputusan bukanlah suatu
proses sesaat yang dilakukan hanya satu kali. Pada setiap tahapan
manajemen asfiksia senantiasa dilakukan penilaian untuk membuat
keputusan, tindakan apa yang tepat untuk dilakukan (Depkes RI, 2005).
Setelah dilakukan resusitasi, maka bayi baru lahir dengan asfiksia
diberikan asuhan pasca resusitasi. Asuhan pasca resusitasi merupakan
perawatan intensif selama 2 jam pertama. Asuhan yang diberikan sesuai
dengan hasil resusitasi, meliputi (Depkes RI, 2005 dan Agarwal, 2008):
a. Bila resusitasi berhasil
Hal yang pertama kali dilakukan setelah resusitasi berhasil yaitu
memindahkan bayi ke ruangan bayi dan menjaga bayi agar tetap hangat.
Kemudian lakukan monitoring tanda-tanda vital secara berkala. Lakukan
juga pemeriksaan analisa gas darah, kadar gula darah, hematokrit, dan
kadar kalsium.
Sementara itu, berikan konseling kepada ibu terkait pemberian ASI,
menjaga kehangatan bayi dengan teknik Kangoroo Mother Care, dan
jelaskan kepada ibu bagaimana tanda-tanda bahaya pada bayi baru lahir.
Selain itu, selalu monitor warna kulit, suhu, dan respirasi rate minimal
pada dua jam pertama, serta lakukan pencatatan atau dokumentasi.

9
b. Bila perlu rujukan
Bayi perlu rujukan jika :
1) RR < 30x per menit, atau > 60x per menit
2) Adanya tarikan dinding dada
3) Bayi merintih (ada bunyi napas saat ekspirasi) atau megap-megap (ada
bunyi napas saat inspirasi)
4) Tubuh bayi pucat atau kebiruan
5) Bayi lemas
Siapkan surat rujukan dan lakukan pencatatan atau dokumentasi setiap
kali selesai melakukan tindakan.
c. Bila resusitasi tidak berhasil
1) Lakukan konseling berupa pemberian dukungan moral kepada
keluarga yang kehilangan. Ibu akan merasa sedih, bahkan menangis.
Perubahan hormon setelah kehamilan mungkin menyebabkan
perasaan ibu sangat sensitif. Jelaskan kepada ibu dan keluarga bahwa
ibu memerlukan istirahat, dukungan moral, dan makanan bergizi.
2) Berikan asuhan tindak lanjut berupa kunjungan nifas.
3) Lakukan pencatatan atau dokumentasi
Ada beberapa hal yang tidak dianjurkan dilakukan terhadap bayi
dengan asfiksia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang sebaiknya dihindari
saat melakukan pertolongan kepada bayi dengan asfiksia beserta akibat yang
ditimbulkannya (Depkes RI, 2001) :
Tabel 3. Tindakan yang Tidak Dianjurkan dan Akibat yang Mungkin
Ditimbulkannya
Tindakan Akibat
Menepuk bokong Trauma dan melukai
Menekan rongga dada Fraktur, pneumototaks, gawat napas,
kematian
Menekankan paha ke perut bayi Ruptura hepar atau lien, perdarahan
Mendilatasi sfingter ani Robek atau luka pada sfingter

10
Kompres dingin atau panas Hipotermi, luka bakar
Meniupkan oksigen atau udara dingin Hipotermi
ke muka atau tubuh bayi
Berdasarkan penelitian oleh Berglund dkk (2008) dinyatakan bahwa
kepatuhan terhadap protap penatalaksanaan atau manajemen asfiksia bayi
baru lahir masih rendah dan harus ditingkatkan, terutama menyangkut
tindakan ventilasi. Pendokumentasian juga harus diperbaiki agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Berglund, 2008).
Penatalaksanaan dari sisi medikamentosa dapat dilakukan dengan
(Depkes RI, 2005 dan IAI, 2012):
a. Cairan penambah volume darah
Cairan diberikan jika bayi terlihat pucat, kehilangan darah, dan atau tidak
memberikan respon yang memuaskan terhadap resusitasi. Cairan yang
dipakai dapat berupa garam fisiologis (dianjurkan), ringer laktat, dan
dapat juga berupa darah O-negatif dengan dosis 10 ml/kgBB/5-10 menit
melalui jalur vena umbilikalis.
b. Epinefrin
Epinefrin diberikan setelah VTP (ventilasi tekanan positif) 30 detik dan
VTP+kompresi dada selama 30 detik tidak memberikan hasil positif
sehingga frekuensi jantung tetap > 60 kali per menit. Dosis yang
diberikan sebanyak 0,1 s.d. 0,3 ml/kgBB melalui rute IV dengan
pengenceran 1 : 10.000 dan diberikan secepat mungkin.
c. Natrium bikarbonat
Hanya diberikan jika dicurigai terjadinya asidosis metabolik atau terbukti
sudah terjadi asidosis metabolik. Dosis pemberian yaitu sebanyak 2
mEq/kgBB (larutan 4,2%) melalui jalur vena umbilikus dengan
kecepatan < 1 mEq/kgBB/menit. Natrium bikarbonat tidak boleh
diberikan jika ventilasi masih belum adekuat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gregorio dkk (2011) menyatakan
bahwa ternyata kafein dapat digunakan untuk penanganan apneu pada bayi
baru lahir prematur sehubungan dengan belum matangnya sistem saraf pada

11
bayi tersebut. Dinyatakan bahwa kafein memiliki toksisitas yang rendah dan
waktu paruh yang panjang. Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa
kemungkinan menarik dari efek yang dihasilkan oleh kafein, seperti efek
perlindungan kafein terhadap otak dan paru-paru (Gregorio, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gathwala dkk (2010) menyatakan
bahwa pemberian magnesium dalam dosis tertentu kepada bayi dengan
asfiksia berat dapat memberikan perlindungan terhadap sistem saraf bayi.
Ion magnesium mempunyai reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang
dapat melindungi otak dari kerusakan lebih lanjut akibat asfiksia (Gathwala,
2010).

9. Komplikasi
Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya
adalah sebagai berikut (Karlsson, 2008) :
a. Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
b. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus,
perdarahan paru, edema paru
c. Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos
d. Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1
ml/kg/jam) untuk 24 jam atau lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L
e. Hematologi : DIC
f. Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau alanine amino
transferase > 100 U/L sejak minggu pertama kelahiran
Komplikasi yang khas pada asfiksia neonatorum yaitu Enselopati
Neonatal atau Hipoksik Iskemik Enselopati yang merupakan sindroma
klinis berupa gangguan fungsi neurologis pada hari-hari awal kehidupan
bayi aterm (Moster, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Azzopardi dkk
(2009) serta penelitian oleh Wintermark dkk (2011) menyatakan bahwa
meskipun induksi hipotermia sedang selama 72 jam pada bayi dengan
asfiksia neonatorum tidak secara signifikan mengurangi tingkat kematian

12
maupun cacat berat, tetapi menghasilkan pengaruh baik terhadap sistem
saraf pada bayi yang selamat (Azzopardi, 2009 dan Wintermark, 2011).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Hal-hal yang dikaji pada bayi baru lahir dengan asfiksia setelah tindakan
resusitasi meliputi (Carpenito, 2007 dan Mansjoer, 2000) :
a. Sirkulasi
Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110-180 kali per menit. Tekanan
darah 60-80 mmHg sistolik dan 40-45 mmHg diastolik
1) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas
maksimal tepat di kiri dari mediasternum pada ruang intercostae III/IV
2) Mur-mur biasanya terjadi pada selama beberapa jam pertama
kehidupan
3) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena
b. Eleminasi
Dapat berkemih saat lahir
c. Makanan atau cairan (status nutrisi)
1) Berat badan : 2500-4000 gram
2) Panjang badan : 44-45 cm
3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai dengan gestasi
d. Neurosensori
1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas
2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30
menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas).
Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma)
3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi
menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemia, atau efek nekrotik)
e. Pernapasan
1) APGAR score optimal : antara 7 s.d. 10

13
2) Rentang RR normal dari 30-60 kali per menit, pola periodik dapat
terlihat
3) Bunyi napas bilateral, kadang-kadang krekels umum awalnya silidrik
thorax : kertilago xifoid menonjol umum terjadi
f. Keamanan
Suhu normal pada 36,5 s.d. 37,5 0C. Ada verniks (jumlah dan distribusi
tergantung pada usia gestasi
g. Kulit
Kulit lembut, fleksibel, pengelupasan kulit pada tangan atau kakai dapat
terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang
menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau
perubahan warna herliquin, petekie pada kepala atau wajah (dapat
menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau
tanda nukhal), bercak portuine, telengiektasis ( kelopak mata, antara alis
dan mata, atau pada nukhal), atau bercak mongolia (terutama punggung
bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penampakan elektroda internal)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain yaitu
(Nurarif, 2013 dan NANDA, 2009) :
a. Gangguan pertukaran gas b.d. ventilasi-perfusi
b. Ketidakefektifan pola napas b.d. hipoventilasi, kerusakan neurologis
c. Resiko keterlambatan perkembangan, faktor resiko berupa kekurangan
oksigen ke otak
d. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh, faktor resiko berupa pemajanan
suhu lingkungan yang ekstrem, umur dan berat badan ekstrem.
e. Resiko cidera, faktor resiko berupa hipoksia jaringan
f. Resiko infeksi, faktor resiko berupa pertahan tubuh primer tidak adekuat
g. Resiko sindrom kematian bayi mendadak, faktor resiko berupa
prematuritas organ

14
3. Intervensi Keperawatan
Dx Tujuan dan Intervensi
No.
Keperawatan Kriteria Hasil
1 Gangguan NOC : NIC :
pertukaran gas b.d
gangguan aliran Respiratory status : Gas 1. Respiratory Monitoring
darah ke alveoli, Exchange (3350)
alveolar edema, a. Monitor rata-rata
Respiratory status : kedalaman, irama dan
alveoli-perfusi
ventilation usaha respirasi.
(00030)
b. Catat pergerakan dada,
Vital sign status
amati kesimetrisan,
Setelah dilakukan penggunana otot
tindakan keperawatan tambahan, retraksi otot
selama 3 x 45 menit subklavikular dan
gangguan pertukaran gas interkostal.
klien dapat teratasi c. Monitor suara napas
dengan kriteria hasil : seperti dengkur
d. Monitor otot
1. Klien mampu diafragma (gerakan
menunjukkan paradoksis)
peningkatan e. Auskultasi suara
ventilasi dan napas, catat area
oksigenasi yang penurunan/ tidak
adekuat adanya ventilasi dan
2. Memelihara suara tambahan.
kebersihan paru- f. Auskultasi suara paru
paru dan bebas dari untuk mengetashui
tanda-tanda distress hasil tindakan
pernapasan g. Kolaborasi pemberian
3. Tanda-tanda vital O2
dalam rentang
normal

2. Ketidakefektifan NOC : NIC :


pola napas (00032)
Respiratory status : Gas 1. Oxygen Therapy (3320)
Exchange a. Monitor aliran oksigen
b. Observasi adanya
Respiratory status :

15
ventilation tanda-tanda
hipoventilasi
Vital sign status Pertahankan jalan
napas yang paten
Setelah dilakukan
c. Atur peralatan
tindakan keperawatan
oksigenasi
selama 3 x 45 menit
d. Pertahankan posisi
ketidakefektifan pola
pasien.
nafas klien dapat
berkurang dengan kriteria
hasil :
1. Klien mampu
menunjukkan
peningkatan
ventilasi dan
oksigenasi yang
adekuat
2. Memelihara
kebersihan paru-
paru dan bebas dari
tanda-tanda distress
pernapasan
3. Tanda-tanda vital
dalam rentang
normal
3. Ketidakefektifan NOC : NIC :
perfusi jaringan
perifer Tissue perfusion : Peripheral Sensation
berhubungan cerebral management
dengan hipoksia
Setelah dilakukan 1. Monitor adanya daerah
organ
tindakan keperawatan tertentu yang hanya peka
selama 3x24 jam terhadap panas/dingin
ketidkefektifan perfusi 2. Monitor adanya paratese
jaringan perifer dapat 3. Monitor adanya
teratasi dengan kriteria tromboplebitis
hasil : 4. Kolaborasi dengan dokter
1. menunjukkan fungsi
sensori motorik cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran membaik, tidak
ada gerakan-gerakan
involunteer.

4. Resiko NOC : NIC :


ketidakseimbangan Thermoregulation

16
suhu tubuh Thermoregulation: 1. Temperature Regulation
(00005) newborn (3900)
a. Monitor suhu tubuh
Setelah dilakukan minimal setiap 2 jam
tindakan keperawatan b. Rencanakan
selama 2 x 24 jam resiko monitoring suhu
ketidakseimbangan suhu secara kontinu
tubuh klien dapat c. Monitor TD,HR,RR
berkurang dengan kriteria d. Monitor warna dan
hasil : suhu kulit
e. Tentukan intake cairan
Suhu kulit normal
dan nutrisi
1. Suhu badan 36o-37oC f. Selimuti pasien
2. TTV dalam batas g. Kolaborasi pemberian
normal antipiretik bila perlu
3. Gula darah dalam
batas normal
4. Keseimbangan asam
basa dalam batas
normal
5. Bilirubin dalam batas
normal
6. Hidrasi kuat
5. Resiko cedera NOC : NIC :
berhubungan 1. Environmental
dengan hipoksia Risk Control
jaringan Management (6480)
Setelah dilakukan a. Sediakan lingkungan
tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam tidak yang aman untuk
ada resiko cedera pada pasien
klien dengan kriteria hasil b. Identifikasikan
:
kebutuhan keamanan
1. Klien terbebas dari pasien sesuai dengan
cedera kondisi fisik dan
2. Keluarga mampu fungsi kognitif pasien
menjelaskan serta riwayat penyakit
cara/metode untuk terdahulu pasien
mencegah cedera c. Menghindarkan
3. Keluarga mampu lingkungan yang

17
menjelaskan faktor berbahaya
resiko lingkungan/ d. Memasang side rail
perilaku personal tempat tidur
4. Keluarga mampu e. Menyediakan tempat
memodifikasi gaya tidur yang bersih dan
hidup untuk nyaman
mencegah cedera f. Membatasi
5. Keluarga dapat pengunjung
menggunakan g. Menganjurkan
fasilitas kesehatan keluarga untuk
yang ada untuk klien menemani pasien
6. Keluarga mampu h. Mengontrol
mengenali lingkungan dari
perubahan status kebisingan
kesehatan klien i. Memindahkan barang
–barang yang dapat
membahayakan
j. Berikan penjelasan
kepada keluarga
tentang adanya status
kesehatan dan
penyebab penyakit

18
DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based


Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Agarwal R, Ashish J, Ashok K, Deorari, Vinod KP. 2008. Post-Resuscitation


Management of Asphyxiated Neonates. Indian Journal of Pediatrics : 75;
175-80.

Aurora S, Snyder EY. 2004. Perinatal Asphyxia. In : Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 536-55.

Azzopardi DV, Brenda S, David E, Leight D, Henry LH, Edmund J, et al. 2009.
Moderate Hypothermia to Treat Perinatal Asphyxial Encephalopathy. The
New England Journal of Medicine : 361 (14); 1349-58.

Berglund S, Mikael N, Charlotta G, Hans P, Sven C. 2008. Neonatal Resuscitation


After Severe Asphyxia – A Critical Evaluation of 177 Swedish Cases.
Acta Pediatric : 97; 714-9.

Bulecheck, Gloria M, et all. 2008. Nursing intervention Classification (NIC) Fifth


Edition. USA: Mosbie Elsevier.

Carpenito, LJ.2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta


: EGC

Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar Pelayanan Kebidanan, Buku 1. Jakarta :


Depkes RI

Departemen Kesehatan RI. 2005. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk
Bidan. Jakarta : Depkes RI.

Gathwala G, Khera A, Singh J, Balhara B. 2010. Magnesium for Neuroprotection


in Birth Asphyxia. Jornal of Pediatric Neurosciences : (5); 102-4.

Gregorio HO, Rojas DM, Villanueva D, Jaime HB, Bonilla XS, Gonzales LT, et
al. 2011. Caffeine Therapy for Apnoea of Prematurity : Pharmacological
Treatment. African Jornal of Pharmacy and Pharmacology : 5(4); 564-71.

19
Hasan R, Alatas H. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK-UI.

Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Sesialite Obat Indonesia volume 47.
Jakarta : ISFI Penerbitan.

Karlsson M. 2008. On Evaluation of Organ Damage in Perinatal Asphyxia : an


Experimental and Clinical Studi. Stockholm : Departemen of Clinical
Science and Education Sodersjukhuset.

Kosim MS. 1998. Asfiksia Neonatorum dalam Kumpulan Makalah Pelatihan


Dokter Spesialis Anak dalam Bidang NICU untuk RSU Kelas B Tingkat
Nasional. Semarang : IAI.

Levene M, Evans DJ. 2005. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. In : Rennie JM eds.


Roberton’s Textbook of Neonatologi 4th ed. Philadelphia : Elsevier
Limited; 1128-48.

Majeed R, Yasmeen M, Farrukh M, Naheed PS, Uzma DMR. 2007. Risk Factor
of Birth Asphyxia. J Ayub Med Coll Abbottabad : 19(3); 67-71.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta


Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth


Edition. USA: Mosbie Elsevier.

Moster D, Lie RT, Markestad T. 2002. Joint Association of Apgar Scores and
Early Neonatal Symptoms with Minor Disabilities at School Age. Arch.
Dis. Child. Fetal Neonatal Ed : 86; 16-21.

NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification


2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication.

Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.

Ongunlesi TA, Fetuga MB, Adekanmbi AF. 2013. Mother’s Knowladge About
Birth Asphyxia : The Need to Do More!. Nigerian Journal of Clinical
Practice : 16(1); 31-6.

Pitsawong C, Prisana P. 2011. Risk Factors Associated with Birth Asphyxia in


Phramongkutklao Hospital. Thai J of Obstertrics and Gynaecology : 19;
165-71.

Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In : Volpe JJ eds. Neurologi


of the newborn 4th ed. Philadelphia : WB. Saunders Co; 217-394.

20
William MG. 2004. Perinatal Asphyxia. Clin Evid : 12; 1-2.

Wintermark P, Hansen A, Gregas MC, Soul J, Lebrecque M, Robertson RL, et al.


2011. Brain Perfusion in Asphyxiated Nerborns Treated with Therapeutic
Hypothermia. Am J Neuroradiol : 32; 2023-29.

21

Anda mungkin juga menyukai