BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Malaria
3.1.1 Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang
disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas
tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepatosplenomegali.
3.1.2 Epidemiologi
Malaria merupakan masalah seluruh dunia dengan transmisi yang
terjadi di lebih dari 100 negara dengan jumlah populasi keseluruhan 1,6 juta
orang. Daerah transmisi utama adalah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis
dimana hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular
malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 - 2010, prevalensi
malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % menjadi 0,6%. Sementara itu
berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka
kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000
penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun
2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria
mencapai 1,3%. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur
Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara
Timur (4,4%).
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P.
falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di
beberapa provinsi antara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun
2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan adanya P. knowlesi yang dapat
14
3.1.3 Etiologi
B. Patogenesis
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah
yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan
merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) dan
IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan dibawa aliran darah ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi
demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu
yang bebeda-beda. Plasmodium falciparum memerlukan waktu 36-48
jam, P. vivax/P. ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P.
falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/P. ovale selang waktu satu
hari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi
maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium vivax dan P. ovale hanya
menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari
seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel
darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah.
Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax , P. ovale dan P.
malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. Plasmodium falciparum
menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi
pada infeksi akut dan kronis.
Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium
dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel
radang ini akan menyebabkan limpa membesar.
18
3.1.6 Diagnosis
A. Anamnesis
C. Pemeriksaan Fisik
Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah atau diare, ikterus, dan
hepatosplenomegali.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum,
disertai satu atau lebih kelainan sebagai berikut:
- hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasit
- malaria serebral dengan kesadaran menurun
- anemia berat, kadar hemoglobin <7 g/dl
- perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata
- ikterus, kadar bilirubin serum >50 mg/dl
- hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
- gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24
jam
- hiperpireksia
- edem paru
- syok, hipotensi, gangguan asam basa
C. Pemeriksaan Penunjang
3.1.7 Tatalaksana
A. Medikamentosa
Pencegahan relaps
- Primakuin fosfat oral
- Malaria falciparum: 0,5-0,75 mg basa/kgBB, dosis tunggal, pada
hari pertama pengobatan
- Malaria vivax, malariae, dan ovale: 0,25 mg/kgBB, dosis tunggal
selama 5-14 hari
B. Suportif
C. Antipiretik
Diberikan bila demam >39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal
D. Indikasi Rawat
E. Pemantauan
3.1.8 Komplikasi
- Malaria serebral
- Black water fever (hemoglobinuria masif)
- Malaria algida (syok)
- Malaria biliosa (gangguan fungsi hati)
Pada P. malariae dapat terjadi penyulit sindrom nefrotik
3.1.9 Prognosis
3.2.2 Etiologi
Kebanyakan kasus diare (± 85%) disebabkan oleh Rotavirus, ETEC,
dan tidak ditemukan mikroorganisme penyebab. Sisanya (± 15%)
disebabkan bakteri lainnya, virus lainnya, parasit, malabsorpsi makanan,
alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi, dan lain-lain. Jadi
kebanyakan penyebab diare tidak memerlukan antimikroba/antibiotik untuk
mengatasinya.
Kebanyakan kasus diare (± 80%) disebabkan oleh agen infeksi,
dimana 1/3 kasus (± 30%) diare di masyarakat disebabkan oleh rotavirus.
Separuh (± 50%) kasus diare yang dirawat di RS disebabkan oleh rotavirus,
26
3.2.3 Klasifikasi
27
Program P2 Diare
Penilaian ini sedikit lebih rumit, tetapi lebih baik dalam menentukan derajat
dehidrasi dibandingkan MTBS. Penilaian ini mirip dengan MTBS, tetapi terdapat
penambahan penilaian air mata dan keadaan mukosa mulut dan lidah.
PENILAIAN A B C
1. Lihat
2. Periksa
Gejala Klinis
3.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi dasar terjadinya diare adalah absorpsi yang berkurang
dan atau sekresi yang meningkat. Beberapa mekanisme yang mendasarinya
adalah mekanisme sekretorik (diare sekretorik), mekanisme osmotik (diare
osmotik), dan campuran. Prinsip dasar infeksi oleh bakteri adalah
kemampuan bakteri mengeluarkan toksin-toksin, yang dapat bertindak
sebagai reseptor untuk melekat pada enterosit, merusak membran enterosit
dan kemudian menghancurkannya (sitolitik, disebut sitotoksin),
mengaktifkan second messenger intraseluler sehingga terjadi peningkatan
sekresi (disebut enterotoksin), dan merusak/merangsang sistem persarafan
(disebut neurotoksin). Pada infeksi bakteri, kerusakan sel dapat terjadi
tergantung jenis bakteri yang menginvasi, tetapi dapat pula entrositnya
utuh/tidak rusak. Jika enterositnya tidak rusak maka diare yang
ditimbulkannnya adalah diare sekresi. Jika enterositnya rusak maka
disamping diare sekresi juga dapat terjadi diare osmotik (tergantung pada
tingkat kerusakan enterosit). Prinsip dasar diare karena virus adalah invasi
virus ke dalam enterosit untuk berkembang biak sehingga enterosit lisis.
Lisisnya enterosit menyebabkan gangguan pada villi (pemendekan pada
villi) sehingga menyebabkan kripta hipertropi dan hiperplasi.
Diare Sekretori
Diare terjadi akibat aktifnya ”pompa:” yang bekerja mengeluarkan
elektrolit dan air ke lumen usus. Biasanya pompa yang terangsang adalah
pompa clorida. ”Pompa” ini terangsang karena adanya rangsangan mediator-
mediator intraseluler (second messengger) yang terangsang karena toksin
bakteri.
Beberapa bakteri mengeluarkan enterotoksin tanpa invasi maupun
merusak struktur mukosa usus. Bakteri ini menempel di sel, kemudian
mengeluarkan enterotoksin yang mengikat reseptor mukosa yang spesifik
yang kemudian meningkatkan aktifitas mediator intraseluler (second
messenger). Meningkatnya aktifitas mediator intraseluler menyebabkan
31
Vibrio cholera: Bakteri yang lolos dari asam lambung, akan bermultiplikasi
di lumen usus yang bersifat basa. Bakteri mengasilkan suatu protein yang
dapat melekatkan dirinya pada enterosit. Kemudian bakteri menghasilkan
enzim adenylate cyclase, yang mengubah ATP menjadi cAMP, sehingga
terjadi sekresi Cl¯ di kripta dan hambatan absorbsi Na+ di villus, yang
menyebabkan sekresi air, garam, dan basa.
Diare Osmotik
34
3.2.5 Tatalaksana
Menurut WHO ada 4 dasar terapi diare:
1. Pemberian cairan: untuk mengobati atau mencegah dehidrasi,
2. Diet: meneruskan ASI dan makanan lainnya,
3. Obat-obatan: tidak memakai antibiotika, terkecuali pada kasus kolera dan
disentri, WHO telah merekomendasikan pemakaian zinc dan
4. Penyuluhan.
Secara umum penanganan diare ditujukan untuk:
1. Mencegah / menangulangi dehidrasi dan kemungkinan terjadinya
intoleransi,
2. Mengobati kausa dari diare,
3. Mencegah / menanggulangi gangguan gizi, dan
4. Menanggulangi penyakit penyerta.
Pemberian terapi cairan untuk mengobati atau mencegah dehidrasi
dapat melalui oral dan parenteral. Pemberian cairan peroral lebih
menguntungkan dibandingkan parenteral karena mudah, murah, dan lebih
mengurangi frekuensi BAB dan lama diare dibandingkan parenteral.
Pemberian cairan peroral diberikan pada diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi
ringan sedang. Pada keadaan dimana diare dengan dehidrasi berat gagal
dilakukan pemasangan IVFD dan fasilitas/tempat untuk pemasangan IVFD
37
Terapi rehidrasi cepat pada dehidrasi berat, pada terapi awal menurut
WHO/Depkes menggunakan RL 30 ml selama 30 menit pada anak 1 tahun
ke atas dan 1 jam pada anak di bawah 1 tahun. Terapi lanjutan, menurut
WHO/ Depkes menggunakan RL 70 ml selama 2,5 jam untuk anak 1 tahun
ke atas dan 5 jam untuk anak di bawah 1 tahun. Monitoring rehidrasi
dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang, rehidrasi dihentikan.
Pada diare akut murni/tanpa masalah/ tanpa penyakit penyulit
rehidrasi ditujukan untuk menganti PWL. Pemberian rehidrasi cepat (3-6
jam) parenteral ditujukan untuk : (1) Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila
ada syok) dan (2) Mengganti defisit yg terjadi atau untuk menganti PWL,
sementara pergantian CWL dan IWL diberikan peroral, tetapi jika peroral
tidak memungkinkan IVFD dapat dipertahankan. Pada diare akut tanpa
dehidrasi dapat diberikan rehidrasi oral setiap kali anak mengalami BAB
cair dengan ketentuan kurang dari satu tahun diberikan 50-100 ml dan pada
umur 1-5 tahun diberikan oralit 100-200 ml. Pemberian ASI tetap dilakukan
namun frekuensinya dilakukan lebih sering dan lebih lama pada seiap
pemberian.
Pada diare akut murni dengan dehidrasi ringan sedang, diberikan
upaya rehidrasi oral melalui pemberian oralit sebanyak 75 cc/kgbb/4jam.
Jika gagal dlam melakukan upaya rehidrasi oral, maka dapat dilakukan
pemberian IVFD RL dengan dosis 75 ml/kgbb/4jam.
Berbeda dengan diare akut murni, pada diare akut dengan penyakit
penyulit, tujuan pemberian cairan yang diberikan selama 24 jam adalah (1)
Mengganti kehilangan yang telah terjadi, yang menentukan derajat dehidrasi
pada saat dirawat (previous water loss = PWL), (2) Mencukupi kehilangan
abnormal dari cairan yang sedang berlangsung (on going water losses =
concomitant water loss = CWL, (3) Menganti cairan melalui keringat,
pernafasan / Inseseble cairan, disebut inssible water loss (IWL). Atau (1)
Mempertahankan kebutuhan rumatan dan (2) Menganti cairan yang hilang
(PWL/CWL). Penyakit penyulit adalah keadaan/penyakit yang dapat
membahayakan jika dilakukan pemberian terapi rehidrasi cepat.
39