Anda di halaman 1dari 19

5

BAB II

DASAR TEORI

2.1 DRILLING BIT

Drilling bit atau pahat bor adalah suatu alat yang dipasang paling ujung

bawah pada rangkaian pemboran, yang berfungsi untuk mengkorek atau

menghancuran batuan sehingga terjadilah lubang bor. Bermacam-macam jenis

pahat bor dibuat oleh pabrik, disesuaikan dengan batuan yang sering dijumpai di

operasi pemboran. Secara umum dalam proses pemboran, pahat dapat digolongkan

menjadi empat jenis, yaitu :

2.1.1. Wing Bit

Wing bit terbuat dari sebuah nipple baja yang pada ujung bawahnya

diberi sayap, dilass kuat dengan bahan penguat. Diantara sayap-sayap terdapat

lubang nozzle untuk aliran cairan pemboran menyemprot secara kuat kearah bawah

sehingga membantu membersihakan dasar lubang bor.

Wing bit hanya digunakan untuk mengebor lapisan tanah yang lunak,

biasanya hanya untuk mengebor trayek conductor atau surface casing.

Pemeliharaan pahat ini cukup mudah, karena hanya melakukan rewelding dan

rebuilding apabila pahat telah aus atau rusak. Pada operasi pemboran saat ini

jarang menggunakan pahat bor jenis ini.


6

2.1.2. Theree Cone Roller Rock Bit

Pahat ini mempunyai 3 buah cone bergigi-gigi yang dapat berputar

karena ditumpu dengan Roller Bearing. Gigi-gigi yang menyatu denagn cone dan

diperkeras dengan bahan pengeras disebut Mill Tooth Bit. Cone yang dipasangi gigi-

gigi yang terbuat dari Tungsten Carbide disebut Insert Bit.

Pahat bor model ini sangat banyak jenisnya, menyesuaikan berbagai

macam sifat batuan, dari lapisan yang lunak sampai yang keras. Pembuatan bit

harus sesuai dengan Standard IADC (International Association Of Drilling

Contractors) dengan code masing-masing yang dapat dikomparasikan.

2.1.3. Fixed Cutter Bit

Fixed Cutter Bit merupakan bit yang tidak mempunyai cone yang dapat

berputar, bentuknya menyerupai wing bit. Pahat ini dikenal dengan nama PDC Drill

Bit (Polycrystalline Diamond Compact) dan Natural Diamond Drill Bit, mempunyai

performance yang lebih baik dibandingakn dengan Cone Bit, dan dapat

menghasilkan interval pemboran yang panjang karena umur pemakaian juga lebih

panjang.

PDC Bit juga dibuat berbagai ukuran, dari 2” - 5½” untuk Slim Hole dan

sampai 17½” pada pemboran biasa, bit jenis ini juga dibuat untuk lapisan tanah yang

sangat lunak sampai lapisan tanah yang sangat keras. Untuk lapisan yang lunak

mempunyai cutter yang besar-besar dan semakin keras lapisannya semakin kecil

cutternya. Pada akhir-akhir ini, pahat jenis ini paling banyak digunakan, interval
7

lubang bor yang terbentuk oleh tiap pahat lebih panjang sehingga mengurangi

jumlah trip rangkaian pemboran untuk mengganti pahat.

2.1.4. Coring Bits

Coring bits adalah jenis pahat khusus yang digunakan untuk melakukan

pengambilan contoh batuan dari dasar lubang bor, lazimnya disebut pengintian.

Pahat inti ini pada bagian tengahnya berlubang sehingga ada formasi batuan yang

tidak terpotong oleh pahat dan masuk ke dalam barrel khusus daria lat pengintian

dan nantinya akan terbawa keluar dari lubang bor sewaktu mencabut rangkaian

pipa.

Jenis-jenis core bits antara lain Blade core barrel head, Tungsten Carbide

Insert Core Barrel Head, Roller Core Barrel Head, PDC Core Barrel Head, Natural

Diamond Core Barrel Head. Ukuran yang standard untuk core bits adalah : 3½”

sampai 6¼”

2.2 KOMPOSISI KIMIA BATUAN

Batuan adalah kumpulan dari mineral-mineral, mineral merupakan zat-zat

yang tersusun dari komposisi kimia tertentu yang dinyatakan dalam bentuk rumus-

rumus dimana menunjukkan macam-macam unsur serta jumlahnya yang terdapat

dalam mineral tersebut. Banyak sedikitnya suatu komposisi kimia akan membentuk

suatu jenis mineral tertentu dan akan menentukan macam batuan. Untuk batuan

reservoir umumnya terdiri dari batuan sedimen klastik yang berupa (batupasir dan
8

batuan shale) serta batuan sedimen non-klastik berupa (batuan karbonat) atau

batuan vulkanik.

2.2.1. Batupasir

Komposisi mineral dan tekstur menjadi dasar utama dalam

mengklasifikasikan batupasir. Menurut Pettijohn, mineral utama penyusun batupasir

adalah quartz (SiO2), feldspar (KNaCa(AlSi3O8)) dan rock fragment (unstabil grain).

Berdasarkan tekstur batuan, batupasir dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama,

yaitu : Orthoquartzites, Graywacke, dan Arkose. Pembagian tersebut didasarkan

pada jumlah kandungan mineral kwarsanya.

a. Orthoquartzites

Orthoquartzites merupakan jenis batuan yang terbentuk dari proses

sedimentasi dengan tidak mengalami perubahan bentuk dan didapatkan terutama

dari mineral kuarsa (quartz). Mineral pengikatnya (semen) terutama adalah silika

dan orthoquartzites. Batuan ini juga merupakan jenis batuan sedimen yang relatif

lebih bersih yaitu bebas dari clay dan shale dengan komposisi kimia jenis ini

tersusun dari unsur silika yang tinggi jika dibandingkan dengan unsur-unsur

penyusun lainnya.

b. Graywacke

Graywacke merupakan jenis batupasir yang tersusun dari mineral-mineral

berbutir kasar, terutama mineral kwarsa dan feldspar dengan mineral pengikatnya

yaitu clay dan karbonat.


9

c. Arkose

Arkose merupakan jenis batupasir yang biasanya tersusun dari mineral

quartz sebagai mineral yang dominan.

2.2.2. Batuan Karbonat

Batuan karbonat secara umum terjadi karena adanya proses kimia yang

bekerja padanya, baik secara langsung maupun dengan perantaraan organisme.

Batuan karbonat terdiri dari limestone (batugamping) dan dolomite.

a. Dolomite

Dolomite merupakan jenis batuan yang mengalami perubahan unsur

karbonate lebih dari 50% (Pettijohn, 1958) dengan adanya proses dolomitisasi yang

bekerja. Batuan dengan unsur kalsit yang lebih besar dari dolomite disebut dolomitic

limestone, sebaliknya bila unsur dolomite lebih besar disebut limycalcitic.

b. Limestone

Limestone adalah istilah yang biasanya dipakai untuk kelompok batuan

yang mengandung paling sedikit 80 % calcium carbonat atau magnesium. Pada

limestone fraksi disusun terutama oleh mineral calcite. Tabel II-6 memperlihatkan

susunan kimia pembentuk batuan limestone, bahwa kandungan CaO dan CO2

sangat besar, mencapai lebih besar dari 95%. Unsur lain yang penting adalah MgO

dalam jumlah berkisar antara 1-5%, kemungkinan mengandung mineral dolomit.

Limestone pada umumnya mengandung unsur MgCO3 antara 4% dan kadang-

kadang mencapai lebih dari 40%.


10

2.2.3. Batuan Lempung / Shale

Shales (Mudstone) mengandung > 50% butiran berukuran lanau dan

lempung (berukuran < 0.0625 mm). Shale adalah batuan yang kaya akan

kandungan clay sehingga memiliki porositas rendah (umumnya 10%),

permeabilitasnya sangat rendah (< 1 mD) dan Immobile hydrocarbon (gelembung-

gelembung hidrokarbon dikelilingi oleh phase air). Shale merupakan batuan yang

berlaminasi dan tubuh lapisannya tipis, berbutir halus, kandungan mineralnya adalah

lempung dan silt. Sifat-sifat fisik shale ditentukan oleh sifat-sifat mineral yang

dikandungnya dimana menurut Krynine (1948) shale realitanya adalah berupa

campuran mekanik yang memperkirakan 50% silt, 35% “clay or mika fraksi” dan 15%

material kimia.

2.3. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU PEMBORAN

2.3.1. Karakteristik Batuan

Beberapa macam karakteristik batuan yang berpengaruh pada laju

pemboran antara lain adalah:

a. Drillability

Drillability memperlihatkan tingkat kemudahan suatu batuan untuk dibor. Pada

umumnya drillability suatu batuan akan semakin berkurang seiring bertambahnya

kedalaman serta semakin kompak dan keras suatu batuan.


11

b. Hardness

Hardness suatu batuan menunjukan tingkat ketahanan suatu batuan terhadap

goresan. Mohs membuat 10 tingkat skala kekerasan mulai dari Talc dengan tingkat

kekerasan 1 sampai Intan dengan tingkat kekerasan 10, namun secara umum

kekerasan batuan dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: Batuan lunak dengan

skala Mohs dibawah 4 (Fluorite), batuan sedang dengan skala mohs antara 4

sampai 7 (Fluorite sampai Quartz) dan batuan keras dengan skala Mohs besar dari

7 (Quartz).

c. Abrassiveness

Abrassiveness merupakan sifat menggores dan mengikis batuan yang dapat

menyebabkan keausan pada gigi-gigi pahat. Setiap batuan mempunyai sifat

abrasivitas yang berbeda-beda. Batuan beku mempunyai tingkat abrsivitas yang

besar. Hal ini dikarenakan cutting hasil gerusan mata bor umunya berbentuk runcing,

tajam dan pipih, sehingga dibutuhkan pahat dengan “gauge” yang punya pelindung

khusus.

d. Fracturing

Fracturing yang dimaksud merupakan rekahan alami yang terdapat pada lapisan

produktif. Ketika mata bor memasuki zona ini, laju pemboran akan bertambah

secara mendadak, kondisi ini dapat mempercepat kerusakan pada bantalan dan

”bearing” pahat.
12

2.3.2. Pengaruh Parameter Bor

Parameter yang dimaksud adalah:

a. Weight On Bit (WOB) dan Banyaknya Putaran Pahat (RPM)

WOB dan RPM merupakan faktor mekanik yang berpengaruh langsung terhadap

laju pemboran. Beban pada pahat merupakan suatu beratan yang diberikan agar

dapat menembus suatu formasi batuan. Pengaturan WOB juga ditujukan untuk

mendapatkan kondisi ”string” yang kaku sehingga mengurangi deviasi lubang.

Dalam kondisi normal, WOB diberikan berkisar antara 60 – 80%. RPM sendiri

menyatakan banyaknya putaran pahat per menit. Peningkatan RPM yang melebihi

kecepatan putaran kritisnya akan dapat menimbulkan getaran (vibrasi) pada drill

string sehingga pemboran menjadi tidak efektif.

Jika kedua parameter bor ini dioptimalkan, laju penetrasi akan bertambah sampai

pada suatu batas tertentu, dan apabila telah melampui batas tersebut tidak akan

terjadi peningkatan laju penetrasi.

b. Bit Hydraulic

Faktor hidrolika sangat berpengaruh dalam mencapai laju pemboran yang optimal.

Hidrolika pahat disini didefinisikan sebagai penggunaan debit aliran dan tenaga yang

ditimbulkan oleh semburan lumpur melalui nozzle kedalam lubang bor guna

membersihkannya dari cutting. Ada beberapa hal yang mempengaruhi hidrolika

pahat, yaitu:

1. Tenaga dan kapasitas pompa lumpur

Kemampuan kerja pompa lumpur tergantung dari diameter liner, panjang

stroke dan jumlah stroke per menit (SPM).


13

2. Jet velocity dan ukuran nozzle.

Pembersihan cutting dari lubang bor merupakan faktor yang sangat penting.

Cutting yang tertinggal dalam lubang bor akan menyebabkan kerja pahat

menjadi terganggu saat menggerus formasi karena akan terjadi proses re-

grinding. ”Jet velocity” tidak membor lubang akan tetapi membantu

membersihkan cutting dari dasar lubang. Luas penampang nozzle sangat

berpengaruh pada besar kecilnya jet velocity suatu pahat. Semakin kecil

ukuran nozzle maka akan semakin tinggi jet velocity suatu pahat.

3. Pressure Loss pada Pahat

Besarnya ”pressure loss” pada pahat juga ditentukan oleh nozzle yang

digunakan.

4. Bit Hydraulic Horse Power (BHHP)

BHHP merupakan besarnya tenaga yang dibutuhkan untuk membersihkan

lubang dari cutting, dimana besarnya tergantung dari energi fluida yang keluar

dari pahat. BHHP ditentukan oleh jumlah tenaga yang tersedia (horse power

pompa). BHHP dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut ini,

2.3.3. Derajat Kerusakan Pahat

Identifikasi derajat keausan pahat dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu :

1. Kerusakan / keausan gigi pahat

Keausan dan ketumpulan gigi pahat dinyatakan dalam perdelapan bagian dari

ketinggian gigi pahat yang telah aus. Keausan ini disimbolkan dengan “T”

(Teeth), dimulai dari T1 sampai T8.


14

2. Posisi Cone terhadap tempat kedudukannya

Posisi cone terhadap tempatnya dinyatakan dengan notasi “B” (Bearing).

3. Pengecilan Diameter Pahat

Pahat yang telah dipakai seringkali mengalami pengecilan diameter, yang

biasanya disebabkan oleh gesekan dengan formasi, terutama formasi dengan

tingkat abrsive yang tinggi. Untuk menandai adanya pengecilan diameter

pahat, digunakan notasi “G” (gauge) dan notasi ”I” (In-gauge) bila tidak terjadi

pengecilan diameter pahat.

2.3.4. Kode IADC

Pada tahun 1972 IADC membuat daftar klasifikasi ”Rolling Cutter Bit”

dengan maksud untuk mempermudah dalam pemilihan pahat. Rolling Cutter Bit atau

Tree Cone Bit terdiri dari dua jenis yaitu:

1. Milled Tooth Bit

2. Tungsten Carbide Insert Bit

Kode IADC terdiri dari tiga angka, dimana masing-masing angka menunjukkan arti

yang berbeda. Penggolongan Tree Cone Bit terdiri dari tiga angka, misalnya IADC

1.2.3, digit pertama menunjukkan jenis gigi yang terdiri lagi dari delapan tingkatan;

angka 1 sampai 3 menunjukkan jenis ”Milled Tooth”, angka 4 menunjukkan jenis

pahat khusus, dan angka 5 sampai 8 menunjukkan jenis ”Insert Bit”.

Digit kedua menunjukkan tingkat kekerasan dari tiap-tiap jenis formasi yang mampu

ditembus oleh pahat dengan jenis gigi yang ditunjukkan digit pertama tadi, yaitu
15

lunak, sedang dan keras. Sedangkan angka ketiga menunjukkan ciri-ciri khusus

bantalan dan rancangan lainnya.

Sebagai contoh: Pahat Rolling Cutter Bit dengan IADC 5.2.7 mempunyai

arti sebagai berikut; angka 5 menunjukkan jenis gigi merupakan ”insert” yang

digunakan untuk membor formasi lunak sampai sedang dengan ”compressive

strength” batuan rendah. Angka 2 menunjukkan bahwa pahat digunakan untuk

formasi dengan kekerasan sedang. Angka 7 menunjukan bahwa pahat tersebut

dilengkapi “friction bearing” dan “gauge protection”. Penentuan bentuk gigi-gigi pahat

disesuaikan dengan formasi yang akan dibor. Untuk formasi lunak giginya lebih

panjang dan runcing dengan jumlah yang lebih sedikit serta kerucut dan bantalannya

lebih kecil, sedangkan untuk formasi yang keras bentuk giginya lebih pendek dan

besar serta kerucut dan bantalannya lebih besar.

Pada ”Tungsten Carbide” gigi-giginya berbentuk kancing atau “button”

dengan bentuk cendrung membundar. Gigi-gigi ditanamkan pada permukaan

kerucut pemotongnya. Sama halnya dengan pahat “Roller Cone”, kemampuan

penetrasi pahat PDC (Polycristalline Diamond Compat) juga dipengaruhi oleh

karakteristik batuan, beban pada pahat (WOB), banyaknya putaran pahat per menit

(RPM) serta hydrolika lumpur.

Dengan parameter yang sesuai pahat PDC mampu lebih cepat membor

formasi dibanding dengan pahat lain, dengan konsekuensi timbulnya torsi yang

besar. Torsi yang terlalu besar dapat menimbulkan in-efisiensi biaya operasional,

dimana ”footage” pahat akan semakin kecil. Untuk mereduksi torsi pada PDC ini,

dilakukan evolusi seperti memperbesar sudut ”Back rakes”, memperkecil ukuran


16

”cutter” serta menambahkan ”gage” khusus pada pahat.

Pahat PDC bisa di ”re-run” selama cutting elemen yang terpakai tidak lebih dari

50%. Rusaknya ”cutter” pada pahat PDC juga dapat disebabkan oleh perubahan

formasi secara tiba-tiba, ”junk” di dalam lubang, penambahan WOB yang berlebihan

dan ”broken formation”.

Sedangkan body pahat bisa rusak karena adanya penambahan

kecepatan aliran fluida pada pahat dan abrasi akibat bergeseran dengan material

cutting yang keras. Derajat keausan pahat PDC utamanya dilihat dari sisa ”cutter”

pada pahat. Cutter yang aus dibedakan atas delapan tingkatan dengan skala 0

sampai 8. Angka 0 menunjukkan bahwa cutter masih utuh dan belum terpakai,

sedangkan angka 8 menunjukkan cutter telah habis dipakai. Keausan Bearing atau

seals untuk pahat PDC dinotasikan dengan ”X”, sedangkan untuk ”Gauge” tetap

ditentukan menggunakan dengan ”Ring Gauge” dengan notasi sebagai berikut:

1. ”IN” digunakan jika pahat masih dalam kondisi ”In-Gauge”.

2. Sedangkan kondisi ”Undergauge” bila ukuran ”Cutter” mendekati 1/16”.

2.4. CORING DAN ANALISA CORE

Coring dan analisa core dilakukan untuk mengetahui keadaan batuan,

baik sifat fisik batuan tersebut maupun sifat-sifat lainnya pada saat proses pemboran

berlangsung.
17

2.4.1. Coring

Coring adalah suatu usaha untuk mendapatkan contoh batuan (core) dari

formasi di bawah permukaan untuk dianalisa sifat fisik batuan secara langsung. Ada

dua macam metode coring, yaitu bottom hole coring dan sidewall coring. Pemilihan

metode coring yang akan digunakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda

antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, yaitu biaya, kekerasan formasi, ukuran

core yang diinginkan, kedalaman pemboran, dan kondisi lubang bor.

a. Bottom Hole Coring

Bottom hole coring adalah cara pengambilan core yang dilakukan pada

waktu pemboran berlangsung. Metode ini menggunakan sejenis pahat yang terbuka

di tengahnya dan mempunyai pemotong "dougnut shaped hole" sehingga

menghasilkan plug silinder (core) di tengahnya. Saat pemboran berlangsung, core

ini akan menempati core barrel yang berada di atas pahat dan akan tetap berada di

sana sampai diangkat ke permukaan.

b. Sidewall Coring

Sidewall coring adalah cara pengambilan core yang dilakukan setelah

operasi pemboran selesai atau pada waktu pemboran berhenti. Metode ini

dipergunakan untuk mendapatkan contoh core dari zona tertentu ataupun pada zona

yang telah dibor. Hal ini umumnya dilaksanakan dengan menggunakan peralatan

seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.37. Suatu peluru kosong yang dapat

menggigit dengan sendirinya ditembakkan dari suatu panel kontrol elektris di

permukaan. Suatu kabel baja yang fleksibel menarik kembali peluru yang telah terisi

core.
18

Sampel yang diperoleh dengan metode ini biasanya mempunyai diameter

¾-1 3/16 inci dengan panjang ¾ - 1 inci. Sidewall coring lebih banyak dipergunakan

pada daerah yang batuannya lunak, di mana kondisi lubangnya tidak memungkinkan

untuk operasi Drill Stem Test.

2.4.2. Analisa Core

Setelah di laboratorium core tersebut disusun kembali sesuai dengan

nomor sampel dan urutan kedalamannya, baru kemudian dianalisa satu persatu.

Core tersebut minimal telah mengalami dua proses, yaitu proses pemboran dan

proses perubahan kondisi tekanan dan temperatur dari kondisi reservoir ke kondisi

permukaan. Dalam proses pemboran core dipengaruhi oleh air filtrat lumpur

sehingga akan mempengaruhi harga saturasi core. Pada proses perubahan kondisi

tekanan dan temperatur pengaruhnya banyak terjadi pada harga saturasi core,

akibat pengaruh ekspansi gas maka satuarasi air dan minyak menjadi berkurang.

Dari hasil coring, maka core yang didapat dapat di analisa besaran-

besaran petrofisiknya di laboratorium. Analisa core ada dua macam, yaitu analisa

core rutin dan analisa core spesial. Analisa core rutin meliputi pengukuran porositas,

permeabilitas, dan saturasi fluida. Analisa core spesial memerlukan sampel yang

segar (fresh), yang meliputi pengukuran kompresibilitas, wettabilitas, dan tekanan

kapiler, dan parameter yang bisa ditentukan disini adalah distribusi fluida.

a. Analisa Core Rutin

Core yang telah sampai di permukaan akan mengalami perubahan dari

keadaan awal di reservoir. Core tersebut telah mengalami flushing dan kontaminasi
19

oleh fluida pemboran, penurunan tekanan dan temperatur sehingga gas dalam

larutan minyak akan terbebaskan. Akibatnya kandungan fluida yang ditentukan di

laboratorium tidak seperti kandungan aslinya.

Namun dalam banyak kasus penentuan porositas dan permeabilitas

absolut tidak begitu terpengaruh oleh faktor-faktor di atas. Analisa core rutin yang

dilakukan di laboratorium meliputi pengukuran porositas, permeabilitas, saturasi

fluida.

b. Analisa Core Spesial

Analisa core special dapat digunakan untuk menentukan sifat-sifat

batuan seperti tekanan kapiler, kompresibilitas dan wettabilitas .

2.5. DAERAH CEKUNGAN JAWA TIMUR

Daerah cekungan di Jawa Timur meliputi daerah Laut Jawa dan Palung

Jawa Timur Utara-Madura. Daerah cekungan yang pertama lebih merupakan

cekungan Epi-Continental dan beberapa unsur tektonik.

2.5.1. Percekungan Laut Jawa Timur

a. Daerah pengankatan karimun jawa disebelah barat.

b. Monoklin selatan, kelanjutan selatan karimun jawa

c. Palung pati, yang berkelanjutan ke pertelukan Florence barat dan berorientasi

timur laut-barat daya

d. Lengkung (kubat) bawean, yang merupakan daerah positif


20

e. Cekungan Florence timur sebelah utara lengkung bawean dan membuka ke

Graben Tuban yang dibatasi oleh patahan barat timur. Cekungan Florence

timur sendiri merupakan setengan Graben

f. Arah positif JS-I (JS-I positif trend), merupakan sisi timur cekungan florence

timur dan batasnya bersifat patahan

g. Depresi masalembo, suatu cekungan terdapat disebelah timura arah positif JS-

I trend. Depresi ini membuka ke depresi madura utara.

h. Daerah tinggi masalembo merupakan elemen tekonik paling timur dari daerah

cekungan laut jawa timur dan membatasinya dari laut dalam Flores

i. Pertelukan JS-20, merupakan suatu depresi yang penting yang membuka ke

barat ke Graben tuban utara dan cekungan madura. Yang sangat khas

didaerah percekungan ini adalah arah tektonik yang membujur timur laut-barat

daya, dan cekungan sempit-sempit yang berupa graben atau setengan graben,

sering dalam bentuk patahan tumbuh (Growth Fault)

Satuan stratigrafi belum diberi nama resmi. Sedimentasi dimulai dari

tenggara pada jaman Eosen sedangakan kearah barat – utara sedimentasi klastik

kasar terjadi dalam graben dan cekungan dalam keadaan non-marin. Secara

berangsur-angsur transgresi bergerak ke arah barat dan sedimentasi karbonan yang

luas menutupi seluruh daerah, termasuk unsur-unsur tektonik positif terjadi pada

jaman Miosen Bawah (Te) dan disebut formasi Kujung. Perkembangan formasi

kujung ini adalah menumpang (Onlapping) sehingga terdapat perubahan fasies dari

karbonat ditimur menjadi klastik di barat.


21

Kearah selatan pada pinggiran paparan epikontinental menjelang

kecekungan Geosinklin Jawa timur- Madura, formasi kujung sering kali berkembang

menjadi terumbu yang berpontensi sebagai perangkap. Selain itu pada atap formasi

kujung terdapat pula terumbu tiang (pinnancle). Diatas formasi kujung diendapakan

formasi tuban (formasi rembang, lapisan OK), yang terutama terdiri dari serpih atau

napal dan pada bagian barat yang mendekati karimunjawa jaga terdapat lapisan

pasir (ngrayong sand) yang produktif di cekungan jawa timur. Didalam formasi tuban

mungkin sekali terdapat banyak ketidakselarasan. Semua formasi ini secara tidak

selaras tertutup oleh gamping-gamping terumbu dari formasi madura (Karren

limestone) yang berkisar dari pliosen sampai plistosen, malahan sampai resen.

Struktur dalam lapisan sedimen tersier terutama dipengaruhi oleh

patahan dasar, dan sering merupakan lipatan landai dengan arah timur laut-

baratdaya. Lapangan minyak sampai saat ini banyak ditemukan disekitar pertelukan

JS-20. disii terdapat lapangan minyak JS-20 (lapangan poleng) dan juga sumur JS-

1, yang didapatkan dari formasi kujung yang berkembang sebagai terumbu.

2.5.2. Cekungan Jawa Timur - Madura

Daerah cekungan ini lebih merupakan geosinklin, dengan ketebalan

sediment tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan

ini adalah arah timur – barat dan kelihatannya merupakan gejala tektonik tersier

muda. Disebelah selatan, cekungan yang memanjang timur- barat ini dibatasi oleh

pegunungan Kendeng, yang menerus ke pantai selatan madura, dengan sedimen


22

tersier terlipat sangat ketat, yang diarengi sesar-sesar naik. Pada umumnya disini

dapat dibedakan dua jalur sedimentasi yaitu :

a. Jalur Rembang –Madura

Disini fase regresi didapatkan dalam sediment klastik yang merupakan

reservoir minyak.

b. Jalur Randublatung-Madura

Pada umumnya terdiri dari sedimen halus seperti serpih napal, dengan

tekanan lebih (over pressure), sehingga mengakibatkan diapir serpih. Dalam

arah utara-selatan terjadi perubahan fasies dari sedimen cekunagn epikontinen

ke geosinklin. Dalam hal ini terutama formasi kujung menjadi gamping

cekungan. Lapisan yang tertua dalah formasi kujung yang terdapat dalam

fasies cekungan yang berumur Te. Diatasnya terdapat formasi Tuban yang

pada bagian atasnya terdapat fasa regresif dan berkembang dalam fasies pasir

(anggota Ngrayong), yang merupakan reservoir minyak penting. Formasi ini

dibatasi dari formasi yang ada diatasnya, yaitu formasi kawengan (formasi

kalibeng), oleh suatu ketidakselarasan yang menghilang berwujud sedimentasi

menerus dalam jalur Randublatung-Selat Madura.

Formasi kawenagn yang terdiri dari anggota Wonocolo, anggota Ledok, dan

anggota Mundu merupakan lapiran reservoir penting, dan berumur Miosen atas

Pliosen. Formasi paling atas adalah formasi Lidah, yang berumur Pliosen

sampai Pleistosen. Formasi Lidah dan formasi kawengan berubah fasies

menjadi gambing terumbu formasi Madura.


23

Terdapatnya minyak bumi dicekungan jawa timur utara, ditemukan dalam

fasa regresif anggoata Ngrayong dan formasi Kawengan yang transgresif diatasnya

terutama dalam anggota Wonocolo.

Anda mungkin juga menyukai