PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2
Tanda-tanda tersebut dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus. Kadang-kadang
terdapat hematuria, dan penurunan fungsi ginjal. Insiden tertinggi pada anak usia 3-4
tahun, rasio laki-laki dibanding dengan perempuan adalah 2:1.
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan
protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular
yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma
(kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang ginjal
dan menyebabkan: – proteinuria (protein di dalam air kemih) – menurunnya kadar
albumin dalam darah – penimbunan garam dan air yang berlebihan – meningkatnya kadar
lemak dalam darah.
2.3 KLASIFIKASI
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan
sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan
mikroskop cahaya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
c. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang
terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan
proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi
pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
2.4 PATOFISIOLOGI
Pada individu yang sehat, dinding kapiler glomerrolus berfungsi sebagai sawar untuk
menyingkirkan protein agar tidak memasuki ruangan urinarius melalui diskriminasi
ukuran dan muatan listrik(Tisher, 1997, hal 37).
Dengan adanya gangguan pada glomerulus, ukuran dan muatan sawar selektif dapat rusak
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran glomerolus. Proses penyaringan pun
menjadi terganggu.molekul protein yang seharusnya mampu tersaring oleh glomerulus,
tidak dapat tersaring. Sehingga urine mengandung protein(Tisher, 1997, hal 37).
Sebagian besar protein dalam urine adalah albumin. Dengan banyaknya albumin yang
keluar bersama urine, mengakibatkan kandungan albumin dalam darah menjadi rendah
yang disebut hipoalbuminemia(Mansjoer, 1999, hal 526)
Rangkaian keadaan yang menunjukkan mulai dari proteinuria sampai sindrom nefrotik
tergantung pada perkembangan dari hipoalbuminemia.hipoalbuminemia mengurangi
tekanan onkotik plasma, dan kemudian mengakibat perpindahan cairan intravaskular ke
ruang interstitial. Perpindahan cairan ini akan menjadikan volume cairan intravaskular
4
menurun, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke ginjal / volume darah efektif
menurun(Soeparman, 1990, hal 286).
Ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin - angiotensin dan
sekresi aldosteron yang kemudian mengakibatkan retensi natrium dan air. Kejadian ini
menimbulkan edema perifer, anasarka dan asites. Kondisi hipoalbuminemia juga
mempengaruhi respon imun seseorang.faktor imun Ig G menurun sehingga penderita
nefrotik sindrom lebih peka terhadap semua macam infeksi(Soeparman, 1990, hal 286)
2.5 PATHWAY
5
2) Kolesterol serum – meningkat
3) Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
4) Laju endap darah (LED) – meningkat
5) Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
c.Uji diagnostic
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin (Betz, Cecily L,
2002 : 335).
2.7 PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau
menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan
mengatasi komplikasinya, yaitu:
• Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih
1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari
makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
• Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik,
biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon
pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari)
selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik
dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
• Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan adanya TBC
• Diuretikum
Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid, klortahidon, furosemid
atau asam ektarinat. Dapat juga diberikan antagonis aldosteron seperti spironolakton
(alkadon) atau kombinasi saluretik dan antagonis aldosteron.
• Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan
cara pengobatan sebagai berikut :
a) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila
terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
6
c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg,
10 mg sampai akhirnya dihentikan.
• Diet
Diet rendah garam (0,5 – 1 gr sehari) membantu menghilangkan edema. Minum
tidak perlu dibatasi karena akan mengganggu fungsi ginjal kecuali bila terdapat
hiponatremia. Diet tinggi protein teutama protein dengan ilai biologik tinggi untuk
mengimbangi pengeluaran protein melalui urine, jumlah kalori harus diberikan cukup
banyak.
Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari
dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema
menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang
seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan
kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3
gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan
bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari,
dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam
sedikit. Diet rendah natrium tinggi protein. Masukan protein ditingkatkan untuk
menggantikan protein di tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium.
• Kemoterapi:
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek
samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg
diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat
dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping
dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters
mellitus, konvulsi dan hipertensi.
Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan
berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ).
Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini
termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
• Tirah baring: Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama beberapa
harimungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema.
Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan
7
menyebabkan sesak nafas. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit
(bantal diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih
rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
• Terapi cairan: Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur
secara cermat da dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat
badan harian.
• Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus
dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,
menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga
tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak
menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
• Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
• Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan
mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
• Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami
infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang
menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
• Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,
penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
• Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu
dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting.
Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi,
eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada
orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan
depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa
perawatan di rumahn sakit.
• Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk
mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum
akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
8
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian.
Intake dan output : status nutrisi, lingkar perut, oliguri, proteinnuria, anorexia, mual.
1. Perubahan perfusi jaringan renal b.d perubahan sel glomerulus yang menyebabkan
proteinuria yang ditandai dengan :
9
DS : -
2. Kelebihan volume cairan tubuh b.d menurunnya tekanan osmotic yang disebabkan
oleh proteinuria, dan inadekuatnya pergantian protein dalam hati yang ditandai dengan :
DS : dyspnea
DO : peningkatan berat badan, intake lebih dari output, tekanan darah dan nadi normal
atau sedikit meningkat, distensi vena jugularis.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan b.d proteiuria, anorexia, mual dan muantah
yang ditandai dengan :
4. Protensial infeksi b.d perubahan proses imun akibat penurunan serum protein atau obat
imunosupresi yang ditandai dengan :
DS : –
DO : udem
6. Potensial kurang perawatan diri b.d kelemahan fisik yang ditandai dengan :
DO : pasien bedrest
10
Potensial gangguan body image b.d udem yang ditandai dengan :
DO : adanya udem.
3.3 Perencanaan.
Diagnosa 1.
Goal : Pasien akan mempertahankan perfusi ke jaringan ginjal yangnormal selama dalam
perwatan
Objektif : Dalam waktu 2x 24 jam, busa di urine berkurang, serum protein,albumin dan
kalsium meningkat.
Diagnosa 2.
Goal : Klien akan mempertahankan keseimbangan cairan yang normal selama dalam
perawatan
Objektif :
Dalam waktu 24 jam, klien tidak mengalami peningkatan BB, intake tidak berlebihan, TD
dan N normal, tidak terjadi peningkatan JVP.
Diagnosa 3.
Goal : Klien akan meningkatkan nutrisi yang adekuat selama dalam perawatan
Objektif :
11
Dalam waktu 24 jam klien tidak mengeluh mual/muntah
Diagnosa 4.
Diagnosa 5.
Goal : Klien akan mempertahankan integritas kulit yang normal selama dalam perawatan.
Diagnosa 6.
Objektif : Dalam waktu 48 jam klien dapat membersihkan diri dengan dibantu oleh
perawat atau keluarga.
Diagnosa 7.
3.4 Intervensi.
Diagnosa 1.
Kaji tekanan darah, nadi dan RR tiap 6 – 8 jam, kaji punggung, abdomen serta
ekstremitas terhadap asites, udem anasarka dan periorbital.
R/ Mengidentifikasi hipervolume.
Monitor urine.
R/ Mengidentifikasi proteinuria.
R/ Menurunkan ekresi protein dan monitor respon obat untuk menentukan evektivitas
agen dan dosis.
Diagnosa 2.
Monitor berat badan tiap hari, intake dan output tiap 24 jam, kaji tekanan darah, nadi, RR
tiap 6 – 8 jam, monitor udem, distensi vena jugularis (kalau perlu CVP), tekanan arteri
paru, monitor data lab, urine, protein, serum albumin, kalsium dan hematokrit.
R/ Untuk mengoreksi imbalance cairan, monitor efek samping obat seperti hipokalemia.
13
Batasi intake cairan.
R/ Penting untuk hiponatremia, udem massif, asites, distress respiratory dan ufesi pleura.
Diagnosa 3.
Diagnosa 4.
Kaji kulit pada area udem, beri perawatan yang cermat (pada lipatan paha, persediaan
yang menonjol, punggung dan daerah genitalia).
R/ Mencegah infeksi.
14
Diagnosa 5.
Diagnosa 6.
R/ Efek samping obat yang temporer dan udem yang kambuh dapat menyebabkan
perubahan penampilan.
3.5 Evaluasi.
1. Funsi glamerulus normal : serum albumin, lipid dan komponen urine normal.
4. Pasien bebas dari infeksi, tidak ada tanda dan gejala infeksi.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein,
penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang
tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).
Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik
sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis,
dan Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui penyebabnya). Tanda paling umum
adalah peningkatan cairan di dalam tubuh. Tanda lainnya seperti hipertensi (jarang
terjadi), oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), malaise, mual, anoreksia,
irritabilitas, dan keletihan.
Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah kelebihan volume cairan
berhubungan, resiko tinggi infeksi, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko tinggi
16
kerusakan integritas kulit, resiko kehilangan volume cairan intravaskuler, gangguan
perfusi jaringan perifer, gangguan citra tubuh, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelelahan, dan defisit pengetahuan.
4.2 SARAN
Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah yang
kami buat ini dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan pembaca terutama
mahasiswa keperawatan.
17