Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit
yang menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). Penyakit gagal ginjal kronik dan mengarah pada hal
yang mengancam kehidupan atau kematian (Rahayu, Ramlis, &
Fernando, 2018). Prosedur pengobatan yang digunakan untuk
memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya
biaya operasi dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara
terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis.
WHO 2016 menyebutkan bahwa kasus penyakit gagal ginjal
kronik di dunia secara global lebih dari 500 juta orang dan yang harus
menjalani hidup dengan bergantung pada terapi hemodialisis
sebanyak 1,5 juta orang. Indonesia Renal Registry (IRR) 2016
menyatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik di Indonesia
sebanyak 499.800 orang dan yang menjalani hemodialisis sebanyak
100.000 orang.
Terapi hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik
stadium V umumnya seumur hidup, 2 sampai 3 kali setiap minggu,
penderita juga harus menjalani hemodialisis 4 sampai 5 jam satu kali
dalam menjalani hemodialisis. Meski demikian tidak sepenuhnya
dapat menggantikan fungsi ginjal walaupun penderita menjalani
hemodialisis rutin mereka masih mengalami berbagai masalah,
hingga hemodialisis hanya sebatas upaya mengendalikan gejala
uremia dan mempertahankan kelangsungan hidup penderita tetapi
tidak menyembuhkan penyakit gagal ginjal kronik. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita
diantaranya perubahan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Ketidakberdayaan serta kurangnya penerimaan diri penderita
menjadi faktor psikologis yang mampu mengarahkan penderita pada
kecemasan, tingkat stres bahkan depresi.
Stres merupakan respon tubuh terhadap ketidakmampuan
mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan
spiritual manusia hingga mengganggu ketentraman yang dimaknai
sebagai tuntutan yang harus diselesaikan. Keadaan stres
menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis, fisik dan perilaku.
Salah satu upaya mengelola stres yaitu menggunakan strategi
koping.
Strategi koping digunakan seorang individu dikatakan efektif
jika menghasilkan adaptasi yang baik, suatu pola baru dalam
kehidupan sedangkan strategi koping tidak efektif mengakibatkan
gangguan kesehatan fisik maupun psikologis. Perilaku koping yang
dilakukan pada penderita yang menjalani hemodialisis tidak muncul
begitu saja namun koping terbentuk melalui proses panjang.
Menurut Folkman dan Lazarus (1985) dalam Ratna (2017)
mengklasifikasikan strategi koping menjadi dua bentuk, yaitu
problem focused coping (EFC) yaitu cara-cara penyelesaian
masalah secara langsung disertai dengan tindakan yang ditujukan
untuk menghilangkan atau mengubah stres dan emotion focused
coping (EFC) yaitu strategi koping yang berorientasi pada emosi dan
hanya bersifat sementara, selama seseorang memandang
permasalahan sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah.
Berdasarkan Penelitian Sari, Elita, & Novayelinda, (2015)
menjelaskan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres
dan strategi koping pada penderita yang menjalani terapi
hemodialisis. Dari hasil yang didapatkan semakin adaptif koping
seseorang maka semakin ringan tingkat stres yang dimilikinya, dan
begitu pula sebaliknya. Penelitian lain yang relevan yang dilakukan
oleh Mistik, Ünalan, Kaya, Kadaruman, & Tokgoz, (2016)
mengatakan sikap koping yang berorientasi pada emosional adalah
sikap koping yang paling sering digunakan pada penderita
hemodialisis. Diketahui ada pengaruh antara sikap koping dan stres
pada penderita, dimana stres penderita berkurang jika penderita
menggunakan koping agama dalam menurunkan tingkat
kecemasannya. Penelitian serupa juga di dalam penelitian Kara
(2018) mengatakan bahwa stres penderita selalu berhubungan
dengan terapi hemodialisis yang akan dilakukan. Rata-rata penderita
menunjukan stres ringan hingga stres sedang, hasil penelitian juga
menunjukan bahwa penderita dengan terapi hemodialisis
menggunakan keyakinan agama, spiritual, dan dukungan keluarga
sebagai strategi untuk mengatasi stres mereka.
Fenomena yang peneliti amati saat mengikuti praktek klinik di
Rumah Sakit Stella Maris Makassar yaitu banyak menemukan
penderita dengan gagal ginjal kronik pada saat akan melakukan
terapi hemodilisis terapinya ditunda disebabkan karena kondisi
penderita tidak memungkinkan menjalani terapi. Hal ini disebabkan
penderita merasa stres, takut dan cemas terhadap terapi yang akan
dilakukan, ditandai dengan tekanan darah meningkat serta penderita
mengatakan takut dengan komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin melakukan
penelitian tentang bagaimana hubungan tingkat stres dengan
strategi koping pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis di rumah sakit stella maris makassar.
B. Rumusan Masalah
Pada penderita gagal ginjal kronik dibutuhkan cara untuk
mengatasi stres berupa strategi koping pada waktu menjalani terapi
hemodialisis. Berdasarkan uraian dalam masalah tersebut, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: apakah ada
hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada penderita gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RS. Stella Maris
Makassar ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Diketahui hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada
penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
di RS. Stella Maris Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasi tingkat stres pada penderita yang menjalani
terapi hemodialisis.
b. Teridentifikasi strategi koping pada penderita yang menjalani
terapi hemodialisis.
c. Menganalisis hubungan tingkat stres dengan strategi koping
pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RS. Stella Maris Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi perawat
Sebagai bahan pengetahuan bagi tenaga kesehatan terutama
perawat dalam upaya mengurangi stres pada penderita yang
menjalani terapi hemodialisis.
2. Bagi instansi pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk menambah ilmu pengetahuan
serta wawasan bagi mahasiswa ilmu kesehatan yang tertarik
mengetahui lebih dalam lagi tentang stres dan strategi koping
pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis.
3. Bagi penderita
Sebagai penambah informasi dan pengetahuan dalam
pemeliharaan kesehatan bagi dirinya sendiri serta keluarganya
terutama dalam menjalani terapi hemodialisis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tingkat Stres


1. Pengertian Tingkat Stres
Lazarus dan Folkman (1985) dalam (Haryono, Permana, &
Chayati, 2016) menyatakan bahwa stres adalah sebuah bagian
hubungan antara individu dan lingkungan yang dinilai oleh
individu tersebut sebagai hal yang membebani atau sangat
melampaui kemampuan seseorang dan membahayakan
kesejahteraannya.
Stres adalah reaksi individu terhadap situasi yang
menimbulkan tekanan/ ancaman, reaksi non spesifik dari tubuh
terhadap tuntutan kebutuhan, dan adanya stresor yang
mengganggu keseimbangan dan mengganggu kehidupan sehari-
hari. Ketegangan/stres diperlukan sebagai alarm tubuh .
ketegangan tidak perlu dihindari, bahkan ada orang yang
ketagihan ketegangan karena jika berhasil akan merasa puas
(Sari, Elita, & Novayelinda, 2015)
Stres diakibatkan adanya perubahan nilai budaya, pekerjaan,
sistem kemasyarakatan, serta ketegangan antara realita dan
idealisme. Menurut Hans Selye dalam dalam (Amir, 2015) reaksi
tubuh yang tidak khas terhadap tuntutan kebutuhan tubuh. Stres
merupakan realita kehidupan setiap hari yang yang tidak perlu
dihindari yang disebabkan perubahan yang memerlukan
penyesuaian.
Dari beberapa pengertian stres diatas, dapat disimpulkan
bahwa stres adalah respon tubuh yang tidak menyenangkan
terhadap ketidakmampuan mengatasi ancaman atau tantangan
yang memerlukan penyelesaian agar individu dapat
menyesuaikan dengan tuntutan tersebut.

2. Jenis Stres
Dalam (Azizah , Zainuri, & Akbar, 2016), berdasarkan efeknya,
stress dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Eustress
Eustress adalah hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal
tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi
yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, feleksibilitas,
kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
b. Distress
Distress adalah hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal
tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi
seperti penyakit kardiovaskuler dan tingkat ketidakhadiran
yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit,
penurunan dan kematian.

3. Tingkat Stres
Hans Selye (1936), dalam (Amir, 2015) memperkenalkan
suatu konsep tentang stress yang dikenal dengan General
Adaption Syndrom. Ia menyatakan bahwa ada tiga fase yang
dapat diidentifikasi bila seseorang terpapar stres, yaitu:
a. Reaksi tanda waspada, dalam keadaan bahaya timbul
ketegangan atau ketakutan tubuh memobilisasi sumber-
sumber yang ada untuk meningkatkan aktivitas mekanisme
pertahanan. Terjadi peningkatan aktivitas sistem simpatis
yang mengakibatkan peninggian sekresi ketolamin. Tubuh
dipersiapkan secara psikofisiologi untuk bereaksi dengan
stres tersebut. Muncul reaksi emergensi yang dikenal dengan
“melarikan diri atau menyerang”
b. Fase resistensi, terjadi terhadap stress. Tubuh dengan stress.
Mekanisme defenisi bekerja secara maksimum untuk
beradaptasi dengan stres. Pada fase ini juga biasanya
individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta
mengatur strategi untuk mengatasi stresor ini . Tubuh
berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang telah
dipengaruhi selama reaksi waspada untuk sedapat mungkin
kembali ke keadaaan normal dan pada waktu yang sama pula
tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres.
Apabila proses fisiologis telah teratasi maka gejala-gejala
stres akan menurun, tubuh akan secepat mungkin berusaha
normal kembali karena ketahanan tubuh ada batasnya dalam
beradaptasi. Jika stresor berjalan terus dan tidak dapat
diatasi/dikontrol maka ketahanan tubuh untuk beradaptasi
akan habis dan timbul berbagai keluhan individu.
c. Fase kelelahan/ kepayahan, terjadi bila fungsi fisik dan
psikologi seseorang telah terganggu sebagai akibat selama
fase resistensi. Bila reaksi ini berlanjut tanpa adanya
pemulihan akan memacu terjadinya penyakit atau
kemunduran dan orang tidak dapat mengatasi tuntutan
lingkungan yang dirasakan. Fase ini terjadi akibat reaksi
tanda waspada datang terlalu kiat atau sering dan
berlangsung dalam waktu lama, kebutuhan energi untuk
beradaptasi menjadi habis sehingga timbul kelelahan. Akibat
yang ditimbulkan pada fase ini adalah ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan,
gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan
cemas, bingung, dan panik.
4. Penyebab stres
Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu
mempunyai ketahanan tubuh yang baik. Stres terjadi karena tidak
adekuatnya kebutuhan dasar manusia yang akan bermanifestasi
pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi, dan perilaku
(Gunawan 2007 dalam Haryono, Permana, Chayati 2016).
Menurut Brannon & Feist (2007) dan Myers (1996) dalam
Haryono, Permana, Chayati (2016), stres dapat berasal dari tiga
sumber, yaitu:
a. Katastrofi, adalah kejadian besar yang terjadi secara tiba-tia
dan tidak dapat diprediksi. Contoh dari katastrofi adalah
bencana alam dan perang
b. Perubahan kehidupan seseorang dapat memicu terjadinya
stres. Contoh dari kejadian yang dapat mengubah hidup
seseorang adalah perceraian, kematian orang yang dicintai,
dan kehilangan pekerjaan
c. Kejadian sehari-hari yang dapat menimbulkan stres misalnya
jadwal kerja yang padat, lalu lintas yang macet, dan antrian
yang panjang di kasir, loket, atau bank.
Stresor adalah variabel yang dapat diidentifikasi
sebagai penyebab timbulnya stres. Sumber stres dapat
berasal dari dalam dan luar tubuh. Stres terjadi apabila stresor
tersebut dirasakan dan dipersepsikan sebagai ancaman
sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan awal
dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis. Beberapa jenis
stresor adalah sebagai berikut:
a. Stresor biologik
Stresor biologik dapat berupa bakteri, virus, hewan,
binatang, tumbuhan, dan berbagai macam makhluk hidup
yang dapat mempengaruhi. Tumbuhnya jerawat, demam,
dan digigit binatang dipersepsikan dapat menjadi stresor
dan mengancam konsep diri individu.
b. Stresor fisik
Stresor fisik dapat berupa perubahan iklim, suhu,
cuaca, geografi, dan alam. Letak tempat tinggal,
demografi, jumlah anggota dalam keluarga, nutrisi, radiasi,
kepadatan penduduk, imigrasi, dan kebisingan juga dapat
menjadi stresor
c. Stresor kimia
Stresor kimia dapat berasal dari dalam tubuh dan luar
tubuh. Contoh stresor yang berasal dari dalam tubuh
adalah serum darah dan glukosa sedangkan stresor yang
berasal dari luar tubuh misalnya obat, alkohol, nikotin,
kafein, polusi udara, gas beracun, bahan-bahan
kosmetika, bahan pengawet dan lain-lain.
d. Stresor sosial dan psikologik
Stresor sosial dan psikologik misalnya tidak rasa puas
terhadap diri sendiri, kekejaman, rendah diri, emosi yang
negatif, dan kehamilan.
e. Stresor spiritual
Stresor spiritual yaitu adanya persepsi negatif terhadap
nilai ke-Tuhanan

B. Tinjauan Umum Tentang Strategi Koping


1. Pengertian Strategi Koping
Strategi koping adalah upaya individu berupa pikiran dan
tindakan dalam mengatasi situasi yang dirasakan menekan,
menantang, atau mengancam. Koping merupakan strategi
penyesuaian diri dalam mengatasi ancaman untuk
keseimbangan diri yang merupakan suatu proses. Koping adalah
aktifitas kognisi dalam bentuk penilaian kognisi terhadap kejadian
dan reaksi, kemudian menetapkan respon-respon yang
didasarkan pada proses penilaian tersebut (Kozier, 2004 dalam
Rustandi, Tranado, Darnalia 2018)
Folkman dan Lazarus (1985) dalam Dewi (2017)
mendefinisikan strategi koping sebagai usaha kognitif dan
perilaku secara konstan dalam upaya mengatasi tuntutan internal
dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi
sumber individu. Koping berorientasi pada proses, yang berarti
bahwa koping berfokus pada apa yang sebenarnya dipikirkan
dan dilakukan seseorang dalam situasi stres, dan berubah seiring
berkembangnya situasi stres. Koping juga dapat digambarkan
sebagai perubahan kognitif dan perilaku secara konsisten dalam
upaya mengatasi tuntutan internal dan eksternal berhubungan
dengan masalah dan situasi, atau menghadapinya.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
startegi koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam
menyelesaikan situasi yang mengancam dirinya baik fisik
maupun psikologik. Respon koping sangat berbeda antar individu
dan sering berhubungan dengan persepsi individu dari kejadian
yang penuh stres. Usaha koping sangat bervariasi dan pada
dasarnya tidak selalu mengarah pada solusi suatu masalah.

2. Klasifikasi Strategi Koping


Menurut Lazarus dan Folkman dalam Dewi (2017), dalam
melakukan koping, ada dua klasifikasi strategi yang bisa
dilakukan yaitu:
a. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk koping
yang mengatur respon emosional terhadap situasi tekanan
dengan pendekatan behavorial dan kognitif. Contoh dari
pendekatan behavorial adalah pengunaan narkoba, alkohol,
dan mengikuti kegiatan seperti berolahraga dan menonton
televisi yang dapat mengalihkan perhatia individu dari
masalah. Jika pendekatan kognitif terkait bagaimana individu
berpikir tentang situasi tekanan. Dalam hal ini, individu
melakukan redefine terhadap situasi tekanan, seperti
membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami
situasi lebih buruk dan melihat sesuatu yang baik diuar dari
masalah. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika
mereka percaya hanya sedikit atau tidak dapat melakukan
perubahan untuk mengubah situasi tekanan. Strategi yang
digunakan dalam emotion focused coping antara lain:
1) Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur
tindakan dan perasaan diri sendiri
2) Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan
dirinya, perhatian lebih kepada hal yang dapat
menciptakan suatu pandangan positif
3) Positive repprasial yaitu menggunakan usaha untuk
menciptakan hal-hal positif dengan berfokus pada
pengembangan diri dan juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religius
4) Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk
melepas atau menghindar dari masalah.
b. Problem Focused Coping (PFC) merupakan bentuk koping
yang ditujukan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari
suatu tekanan, dengan kata lain koping yang muncul terfokus
pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan
mempelajari cara-cara yang baru. Individu cenderung
menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa
tuntutan dari situasi dapat diubah. Strategi yang digunaka
dalam problem focused coping antara lain:
1) Confrontative coping yaitu menggunakan usaha agresif
untuk mengubah situasi, mencari penyebabnya dan
mengambil resiko.
2) Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk
mencari sumber dukungan informasi dan dukungan sosial
untuk mendapatkan kenyamanan emosional.
3) Planful probelm solving yaitu menggunakan usaha untuk
mengubah situasi dengan cara yang hati-hati, bertahap,
dan analisis dalam memcahkan masalah.
4) Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri
sendiri dalam masalah.

3. Aspek-aspek strategi koping


Menurut Carver dan Videbeck dalam Dewi (2017),
menyatakan bahwa yang termasuk aspek-aspek strategi koping
antara lain:
a. Keaktifan diri merupakan suatu tindakan untuk mencoba
menghilangkan penyebab stres atau memperbaiki akibatnya
dengan cara langsung.
b. Perencanaan merupakan pemikiran tentang bagaimana
mengatasi penyebab stres antara lain dengan membuat
strategi untuk bertindak atau memikirkan tentang langkah
upaya yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.
c. Kontrol diri merupakan pembatasan keterlibatannya dalam
aktivitas kompetisi atau persaingan dan tidak bertindak
terburu-buru.
d. Mencai dukungan sosial yang bersifat emosional merupakan
dukungan moral, simpati, dan pengertian.
e. Mencari dukungan sosial yang bersifat instrumental
merupakan dukungan perlatan lengkap dan memadai,
penyediaan obat dan lain-lain.
f. Penerimaan merupakan sesuatu yang penuh dengan stress
dan keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah
tersebut
g. Religius merupakan sikap individu menenangkan dan
menyelesaikan masalah tersebut

4. Hasil dari Koping


Menurut Lazarus dan Folkman dalam Dewi (2017),
menyatakan koping yang efektif adalah koping yang membantu
seseorang untuk menoleransi dan menerima situasi yang
menekan psikologis serta tidak merisaukan tekanan yang dapat
dikuasainya. Sejalan dengan pernyataan tersebut Cohen
mengemukakan agar koping yang dilakukan dengan efektif,
maka strategi koping perlu mangacu pada lima fungsi tugas
koping:
a. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan
meningkatkan prospek untuk memperbaikinya.
b. Menoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang
negatif.
c. Memepertahankan gambaran diri yang positif
d. Mempertahankan keseimbangan emosinal.
e. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungan dengan orang
lain.
Coping outcome adalah kriteria hasil koping untuk
menentukan keberhasilan koping. Beberapa kriteria coping
outcome antara lain:
1) Ukuran fungsi fisiologis yaitu koping dinyatakan
berhasil bila koping yang dilakukan dapat mengurangi
indikator stres, seperti menurunnya tekanan darah,
detak jantung, detak nadi, dan pernafasan.
2) Koping dinyatakan berhasil bila koping yang dilakukan
dapat membawa individu kembali pada keadaan
seperti sebelum individu mengalami stres.
3) Efektifitas dalam mengurangi psychological distress.
Koping dinyatakan berhasil jika koping tersebut dapat
mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.

C. Tinjauan umum tentang gagal ginjal kronik


1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Menurut Sudoyo dalam Archentari, Gasela,
Nuriyyatiningrum, & Iskandarsyah, 2017 gagal ginjal kronik
merupakan penurunan fungsi ginjal yang menahun dan
irreversble serta cukup lanjut. Gagal ginjal kronik adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan
irreversible dalam berbagai periode waktu, dari beberapa bulan
sampai beberapa dekade. Gagal ginjal kronis salah satu contoh
penyakit tidak menular, tapi berkaitan dengan kerusakan fungsi
ginjal yang dapat berakibat fatal.
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi renal
yang progesif dan irreversible, di mana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
elektrolit. Dan hal tersebut dapat menyebabkan uremia atau
retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Ariyanti &
Sudiyanto, 2017). Gagal ginjal kronik adalah keadaan penurunan
fungsi ginjal secara progresif serta permanen yang dapat
diakibatkan oleh berbagai macam penyakit (Rustandi, Tranado,
& Darnalia, 2018)
Jadi dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik adalah
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia.

2. Etiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh penyakit seperti
glomerulonefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik,
obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksik, dan penyakit
sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, lupus eritematous,
poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Sasmita,
Bayhakki, & Hassanah, 2015)
Cahyaningsih (2011) dalam Rahayu, Ramlis, & Fernando,
(2018) menambahkan bahwa gagal ginjal terjadi ketika ginjal
tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya
dieliminasikan di urine menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta
asam basa. Gagal ginjal merupakan jalur akhir yang umumnya
dari berbagai traktus urinarius dan ginjal.

3. Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation Classification of
Chronic Kidney Disease, CKD dibagi dalam lima stadium:
Stadium Deskripsi Istilah Lain GFR
(ml/mnt/3m2)
I Kerusakan Beresiko
ginjal dengan >90
GFR normal
II Kerusakan Insufisiensi
ginjal dengan ginjal kronik
(IGK) 60-89
GFR turun
ringan
III GFR turun IGK, gagal 30-59
sedang ginjal kronik
IV GFR turun Gagal ginjal 15-29
berat kronik
V Gagal ginjal Gagal ginjal
tahap akhir <15
(end Stage
Renal
Disease)

4. Patofisiologi
Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan
kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang
progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens
menurun. BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih
tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah
cairan yang lebih banyak. Akibatnya ginjal kehilangan
kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan
ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan
klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap
kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine
yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi
poliuri (Sasmita, Bayhakki, & Hassanah, 2015)

5. Manifestasi Klinis
Menurut perjalanan klinisnya Nanda (2015) :
a. Menurunnya cadangan ginjal penderita asimtomatik, namun
GFR dapat menurun hingga 25% dari normal.
b. Insufisisen ginjal selama keadaan ini penderita mengalami
poliuria dan nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal,
kadar kreatinin serum dan BUN sedikit meningkat diatas
normal.
c. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik
(lemah, letargik, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus,
uremic frosh, perikarditis, kejang-kejang sampai koma), yang
ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum
kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadinya
perubahan biokimia dan gejala yang kompleks.

6. Pemeriksaan penunjang
Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosa gagal ginjak kronik (Prabowo, 2014
dalam Hutagaol, 2017)
a. Biokimiawi
b. Urinalis
c. Ultrasonografi ginjal, dan
d. Imaging (gambaran) dari ultrasonografi

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal
kronik adalah (Prabowo, 2014 dalam Hutagaol, 2017) :
a. Penyakit tulang
b. Penyakit kardiovaskuler
c. Anemia, dan
d. Disfungsi seksual.
8. Dampak Penyakit Gagal Ginjal Kronik
a. Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan
atau mengencerkan urin secara normal hal ini terjadi karena
adanya penahanan cairan dan natrium sehingga
meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung
kongestif dan penyakit hipertensi.
b. Terjadinya anemia, hal ini sebagai akibat dari produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk terjadi
perdarahan akibat status uremik penderita, terutama dari
saluran gastrointestinal (Padila, 2012 dalam Rahayu, Ramlis,
Fernando 2018)

D. Tinjauan Umum Tentang Hemodialisis


1. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada
penderita dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi
dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu)
atau penderita dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD;
end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka
panjang atau terapi permanen (Rahayu, Ramlis, & Fernando
2018)
Hemodialisis adalah suatu proses terapi pengganti ginjal
dengan menggunakan selaput membran semi permeabel
(dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat
mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada penderita
gagal ginjal (Ignatavicius, 2006 dalam Hayani, 2014).
Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal yang dilakukan 2-
3 kali seminggu dengan lama waktu 4-5 jam, yang bertujuan
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Proses terapi hemodialisis yang membutuhkan waktu selama 5
jam, umumnya akan menimbulkan stres fisik pada penderita
setelah hemodialisis. Penderita akan merasakan kelelahan,sakit
kepala, dan keluar keringat dingin akibat tekanan darah yang
menurun, sehubungan dengan efek hemodialisis.
Ketergantungan penderita terhadap mesin hemodialisis seumur
hidup, perubahan peran, kehilangan pekerjaan, dan pendapatan
merupakan stressor yang dapat menimbulkan depresi pada
penderita hemodialisis dengan prevalensi 15%-69% (Septiwi,
2013 dalam Silaen Harsudianto, 2018).
Hemodialisis adalah terapi yang paling sering digunakan
pada penderita gagal ginjal kronik. Terapi hemodialisis sering
disebut juga sebagai terapi pengganti ginjal karena berfungsi
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu
dari peredaran darah manusia, seperti urea, kreatinin, asam urat,
dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana
terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltasi (Arif & Kumala,2011
dalam Lukmanulhakim & Lismawati, 2017)
Menurut Sudoyo (2006) dalam Rahmadany (2015)
hemodialisis adalah mengeluarkan zat terlarut yang tidak
diinginkan melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air
yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa hemodialisis adalah terapi yang diberikan
kepada penderita gagal ginjal kronik dimana terapi hemodialisis
ini diberikan 2- 3 kali seminggu dengan lama waktu 4-5 jam yang
bertujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
terapi ini bertujuan untuk memperpanjang umur dari penderita.
2. Tujuan Hemodialisis
Tujuan dilaksanakannya terapi hemodialisis adalah untuk
mengambil zat-zat nitrogen yang bersifat toksik dari dalam tubuh
penderita ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan ketubuh penderita (Cahyaningsih dalam
Rahmadany 2015)

3. Prinsip Hemodialisis
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemidialisis yaitu
difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
b. Proses difusi
Toksin dan zat limbah dalam darah dikeluarkan melalui difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi
tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih
rendah. Cairan dialisat terususun dari semua elektronik yang
penting dengan konsentrasi ekstrasel ideal. Kecepatan aliran
darah, kecepatan cairan dialisat, koefisien difusi membrane
(permeabilitas).
c. Proses osmosis
Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Perpindahan air karena tenaga kimia yaitu
perbedaan osmolaritas darah dan dialisat. Pengeluaran air
dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan,
dimana air beregerak dari daerah tekanan rendah (cairan
dialisat).
d. Ultrafiltrasi
Proses perpindahan zat atau air yang terjadi karena adanya
perbedaan tekanan hidrostatik di dalam darah dan dialisat.
Perpindahan ini ditentukan oleh besarnya tekanan koefisien
ultrafiltrasi membrane, dan luas permukaan membrane.
4. Indikasi Hemodialisis
Hemodialisis diindikasikan pada penderita dalam keadaan
akut yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau penderita dengan gagal ginjal
tahap akhir yang memerlukan terapi jangka panjang/permanen.
Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita
gagal ginjal kronik adalah:
a. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit
b. Hiperkalemia
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl
e. Kreatinin lebih dari 65 mEq/L
f. Kelebihan cairan, dan
g. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali (Smeltzer et al. 2008
dalam Mardyaningsih, 2014).

5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat diakibatkan oleh pelaksanaan terapi
hemodialisis (Hirmawary, 2014) adalah:
a. Hipotensi dapat terjadi selama dialisis ketika cairan
dikeluarkan.
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat
saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler penderita.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis selama produk
akhir metabolisme meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan
cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat
gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan hal yang sering terjadi.
BAB III

METODE PENELITIAN

Anda mungkin juga menyukai