PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan elektrolit
yang menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). Penyakit gagal ginjal kronik dan mengarah pada hal
yang mengancam kehidupan atau kematian (Rahayu, Ramlis, &
Fernando, 2018). Prosedur pengobatan yang digunakan untuk
memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal, tetapi karena mahalnya
biaya operasi dan susahnya pencarian donor ginjal, maka cara
terbanyak yang digunakan yaitu hemodialisis.
WHO 2016 menyebutkan bahwa kasus penyakit gagal ginjal
kronik di dunia secara global lebih dari 500 juta orang dan yang harus
menjalani hidup dengan bergantung pada terapi hemodialisis
sebanyak 1,5 juta orang. Indonesia Renal Registry (IRR) 2016
menyatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik di Indonesia
sebanyak 499.800 orang dan yang menjalani hemodialisis sebanyak
100.000 orang.
Terapi hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik
stadium V umumnya seumur hidup, 2 sampai 3 kali setiap minggu,
penderita juga harus menjalani hemodialisis 4 sampai 5 jam satu kali
dalam menjalani hemodialisis. Meski demikian tidak sepenuhnya
dapat menggantikan fungsi ginjal walaupun penderita menjalani
hemodialisis rutin mereka masih mengalami berbagai masalah,
hingga hemodialisis hanya sebatas upaya mengendalikan gejala
uremia dan mempertahankan kelangsungan hidup penderita tetapi
tidak menyembuhkan penyakit gagal ginjal kronik. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita
diantaranya perubahan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Ketidakberdayaan serta kurangnya penerimaan diri penderita
menjadi faktor psikologis yang mampu mengarahkan penderita pada
kecemasan, tingkat stres bahkan depresi.
Stres merupakan respon tubuh terhadap ketidakmampuan
mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan
spiritual manusia hingga mengganggu ketentraman yang dimaknai
sebagai tuntutan yang harus diselesaikan. Keadaan stres
menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis, fisik dan perilaku.
Salah satu upaya mengelola stres yaitu menggunakan strategi
koping.
Strategi koping digunakan seorang individu dikatakan efektif
jika menghasilkan adaptasi yang baik, suatu pola baru dalam
kehidupan sedangkan strategi koping tidak efektif mengakibatkan
gangguan kesehatan fisik maupun psikologis. Perilaku koping yang
dilakukan pada penderita yang menjalani hemodialisis tidak muncul
begitu saja namun koping terbentuk melalui proses panjang.
Menurut Folkman dan Lazarus (1985) dalam Ratna (2017)
mengklasifikasikan strategi koping menjadi dua bentuk, yaitu
problem focused coping (EFC) yaitu cara-cara penyelesaian
masalah secara langsung disertai dengan tindakan yang ditujukan
untuk menghilangkan atau mengubah stres dan emotion focused
coping (EFC) yaitu strategi koping yang berorientasi pada emosi dan
hanya bersifat sementara, selama seseorang memandang
permasalahan sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah.
Berdasarkan Penelitian Sari, Elita, & Novayelinda, (2015)
menjelaskan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres
dan strategi koping pada penderita yang menjalani terapi
hemodialisis. Dari hasil yang didapatkan semakin adaptif koping
seseorang maka semakin ringan tingkat stres yang dimilikinya, dan
begitu pula sebaliknya. Penelitian lain yang relevan yang dilakukan
oleh Mistik, Ünalan, Kaya, Kadaruman, & Tokgoz, (2016)
mengatakan sikap koping yang berorientasi pada emosional adalah
sikap koping yang paling sering digunakan pada penderita
hemodialisis. Diketahui ada pengaruh antara sikap koping dan stres
pada penderita, dimana stres penderita berkurang jika penderita
menggunakan koping agama dalam menurunkan tingkat
kecemasannya. Penelitian serupa juga di dalam penelitian Kara
(2018) mengatakan bahwa stres penderita selalu berhubungan
dengan terapi hemodialisis yang akan dilakukan. Rata-rata penderita
menunjukan stres ringan hingga stres sedang, hasil penelitian juga
menunjukan bahwa penderita dengan terapi hemodialisis
menggunakan keyakinan agama, spiritual, dan dukungan keluarga
sebagai strategi untuk mengatasi stres mereka.
Fenomena yang peneliti amati saat mengikuti praktek klinik di
Rumah Sakit Stella Maris Makassar yaitu banyak menemukan
penderita dengan gagal ginjal kronik pada saat akan melakukan
terapi hemodilisis terapinya ditunda disebabkan karena kondisi
penderita tidak memungkinkan menjalani terapi. Hal ini disebabkan
penderita merasa stres, takut dan cemas terhadap terapi yang akan
dilakukan, ditandai dengan tekanan darah meningkat serta penderita
mengatakan takut dengan komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin melakukan
penelitian tentang bagaimana hubungan tingkat stres dengan
strategi koping pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisis di rumah sakit stella maris makassar.
B. Rumusan Masalah
Pada penderita gagal ginjal kronik dibutuhkan cara untuk
mengatasi stres berupa strategi koping pada waktu menjalani terapi
hemodialisis. Berdasarkan uraian dalam masalah tersebut, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: apakah ada
hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada penderita gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RS. Stella Maris
Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahui hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada
penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis
di RS. Stella Maris Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasi tingkat stres pada penderita yang menjalani
terapi hemodialisis.
b. Teridentifikasi strategi koping pada penderita yang menjalani
terapi hemodialisis.
c. Menganalisis hubungan tingkat stres dengan strategi koping
pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RS. Stella Maris Makassar.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi perawat
Sebagai bahan pengetahuan bagi tenaga kesehatan terutama
perawat dalam upaya mengurangi stres pada penderita yang
menjalani terapi hemodialisis.
2. Bagi instansi pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk menambah ilmu pengetahuan
serta wawasan bagi mahasiswa ilmu kesehatan yang tertarik
mengetahui lebih dalam lagi tentang stres dan strategi koping
pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis.
3. Bagi penderita
Sebagai penambah informasi dan pengetahuan dalam
pemeliharaan kesehatan bagi dirinya sendiri serta keluarganya
terutama dalam menjalani terapi hemodialisis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Jenis Stres
Dalam (Azizah , Zainuri, & Akbar, 2016), berdasarkan efeknya,
stress dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Eustress
Eustress adalah hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal
tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi
yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, feleksibilitas,
kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
b. Distress
Distress adalah hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal
tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi
seperti penyakit kardiovaskuler dan tingkat ketidakhadiran
yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit,
penurunan dan kematian.
3. Tingkat Stres
Hans Selye (1936), dalam (Amir, 2015) memperkenalkan
suatu konsep tentang stress yang dikenal dengan General
Adaption Syndrom. Ia menyatakan bahwa ada tiga fase yang
dapat diidentifikasi bila seseorang terpapar stres, yaitu:
a. Reaksi tanda waspada, dalam keadaan bahaya timbul
ketegangan atau ketakutan tubuh memobilisasi sumber-
sumber yang ada untuk meningkatkan aktivitas mekanisme
pertahanan. Terjadi peningkatan aktivitas sistem simpatis
yang mengakibatkan peninggian sekresi ketolamin. Tubuh
dipersiapkan secara psikofisiologi untuk bereaksi dengan
stres tersebut. Muncul reaksi emergensi yang dikenal dengan
“melarikan diri atau menyerang”
b. Fase resistensi, terjadi terhadap stress. Tubuh dengan stress.
Mekanisme defenisi bekerja secara maksimum untuk
beradaptasi dengan stres. Pada fase ini juga biasanya
individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta
mengatur strategi untuk mengatasi stresor ini . Tubuh
berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang telah
dipengaruhi selama reaksi waspada untuk sedapat mungkin
kembali ke keadaaan normal dan pada waktu yang sama pula
tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres.
Apabila proses fisiologis telah teratasi maka gejala-gejala
stres akan menurun, tubuh akan secepat mungkin berusaha
normal kembali karena ketahanan tubuh ada batasnya dalam
beradaptasi. Jika stresor berjalan terus dan tidak dapat
diatasi/dikontrol maka ketahanan tubuh untuk beradaptasi
akan habis dan timbul berbagai keluhan individu.
c. Fase kelelahan/ kepayahan, terjadi bila fungsi fisik dan
psikologi seseorang telah terganggu sebagai akibat selama
fase resistensi. Bila reaksi ini berlanjut tanpa adanya
pemulihan akan memacu terjadinya penyakit atau
kemunduran dan orang tidak dapat mengatasi tuntutan
lingkungan yang dirasakan. Fase ini terjadi akibat reaksi
tanda waspada datang terlalu kiat atau sering dan
berlangsung dalam waktu lama, kebutuhan energi untuk
beradaptasi menjadi habis sehingga timbul kelelahan. Akibat
yang ditimbulkan pada fase ini adalah ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan,
gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan
cemas, bingung, dan panik.
4. Penyebab stres
Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu
mempunyai ketahanan tubuh yang baik. Stres terjadi karena tidak
adekuatnya kebutuhan dasar manusia yang akan bermanifestasi
pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi, dan perilaku
(Gunawan 2007 dalam Haryono, Permana, Chayati 2016).
Menurut Brannon & Feist (2007) dan Myers (1996) dalam
Haryono, Permana, Chayati (2016), stres dapat berasal dari tiga
sumber, yaitu:
a. Katastrofi, adalah kejadian besar yang terjadi secara tiba-tia
dan tidak dapat diprediksi. Contoh dari katastrofi adalah
bencana alam dan perang
b. Perubahan kehidupan seseorang dapat memicu terjadinya
stres. Contoh dari kejadian yang dapat mengubah hidup
seseorang adalah perceraian, kematian orang yang dicintai,
dan kehilangan pekerjaan
c. Kejadian sehari-hari yang dapat menimbulkan stres misalnya
jadwal kerja yang padat, lalu lintas yang macet, dan antrian
yang panjang di kasir, loket, atau bank.
Stresor adalah variabel yang dapat diidentifikasi
sebagai penyebab timbulnya stres. Sumber stres dapat
berasal dari dalam dan luar tubuh. Stres terjadi apabila stresor
tersebut dirasakan dan dipersepsikan sebagai ancaman
sehingga menimbulkan kecemasan yang merupakan awal
dari gangguan kesehatan fisik dan psikologis. Beberapa jenis
stresor adalah sebagai berikut:
a. Stresor biologik
Stresor biologik dapat berupa bakteri, virus, hewan,
binatang, tumbuhan, dan berbagai macam makhluk hidup
yang dapat mempengaruhi. Tumbuhnya jerawat, demam,
dan digigit binatang dipersepsikan dapat menjadi stresor
dan mengancam konsep diri individu.
b. Stresor fisik
Stresor fisik dapat berupa perubahan iklim, suhu,
cuaca, geografi, dan alam. Letak tempat tinggal,
demografi, jumlah anggota dalam keluarga, nutrisi, radiasi,
kepadatan penduduk, imigrasi, dan kebisingan juga dapat
menjadi stresor
c. Stresor kimia
Stresor kimia dapat berasal dari dalam tubuh dan luar
tubuh. Contoh stresor yang berasal dari dalam tubuh
adalah serum darah dan glukosa sedangkan stresor yang
berasal dari luar tubuh misalnya obat, alkohol, nikotin,
kafein, polusi udara, gas beracun, bahan-bahan
kosmetika, bahan pengawet dan lain-lain.
d. Stresor sosial dan psikologik
Stresor sosial dan psikologik misalnya tidak rasa puas
terhadap diri sendiri, kekejaman, rendah diri, emosi yang
negatif, dan kehamilan.
e. Stresor spiritual
Stresor spiritual yaitu adanya persepsi negatif terhadap
nilai ke-Tuhanan
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh penyakit seperti
glomerulonefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik,
obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksik, dan penyakit
sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, lupus eritematous,
poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Sasmita,
Bayhakki, & Hassanah, 2015)
Cahyaningsih (2011) dalam Rahayu, Ramlis, & Fernando,
(2018) menambahkan bahwa gagal ginjal terjadi ketika ginjal
tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya
dieliminasikan di urine menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta
asam basa. Gagal ginjal merupakan jalur akhir yang umumnya
dari berbagai traktus urinarius dan ginjal.
3. Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation Classification of
Chronic Kidney Disease, CKD dibagi dalam lima stadium:
Stadium Deskripsi Istilah Lain GFR
(ml/mnt/3m2)
I Kerusakan Beresiko
ginjal dengan >90
GFR normal
II Kerusakan Insufisiensi
ginjal dengan ginjal kronik
(IGK) 60-89
GFR turun
ringan
III GFR turun IGK, gagal 30-59
sedang ginjal kronik
IV GFR turun Gagal ginjal 15-29
berat kronik
V Gagal ginjal Gagal ginjal
tahap akhir <15
(end Stage
Renal
Disease)
4. Patofisiologi
Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan
kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang
progresif. Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens
menurun. BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih
tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah
cairan yang lebih banyak. Akibatnya ginjal kehilangan
kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan
ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan
klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap
kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine
yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi
poliuri (Sasmita, Bayhakki, & Hassanah, 2015)
5. Manifestasi Klinis
Menurut perjalanan klinisnya Nanda (2015) :
a. Menurunnya cadangan ginjal penderita asimtomatik, namun
GFR dapat menurun hingga 25% dari normal.
b. Insufisisen ginjal selama keadaan ini penderita mengalami
poliuria dan nokturia, GFR 10% hingga 25% dari normal,
kadar kreatinin serum dan BUN sedikit meningkat diatas
normal.
c. Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik
(lemah, letargik, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus,
uremic frosh, perikarditis, kejang-kejang sampai koma), yang
ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum
kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadinya
perubahan biokimia dan gejala yang kompleks.
6. Pemeriksaan penunjang
Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosa gagal ginjak kronik (Prabowo, 2014
dalam Hutagaol, 2017)
a. Biokimiawi
b. Urinalis
c. Ultrasonografi ginjal, dan
d. Imaging (gambaran) dari ultrasonografi
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal
kronik adalah (Prabowo, 2014 dalam Hutagaol, 2017) :
a. Penyakit tulang
b. Penyakit kardiovaskuler
c. Anemia, dan
d. Disfungsi seksual.
8. Dampak Penyakit Gagal Ginjal Kronik
a. Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan
atau mengencerkan urin secara normal hal ini terjadi karena
adanya penahanan cairan dan natrium sehingga
meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung
kongestif dan penyakit hipertensi.
b. Terjadinya anemia, hal ini sebagai akibat dari produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk terjadi
perdarahan akibat status uremik penderita, terutama dari
saluran gastrointestinal (Padila, 2012 dalam Rahayu, Ramlis,
Fernando 2018)
3. Prinsip Hemodialisis
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemidialisis yaitu
difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
b. Proses difusi
Toksin dan zat limbah dalam darah dikeluarkan melalui difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi
tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih
rendah. Cairan dialisat terususun dari semua elektronik yang
penting dengan konsentrasi ekstrasel ideal. Kecepatan aliran
darah, kecepatan cairan dialisat, koefisien difusi membrane
(permeabilitas).
c. Proses osmosis
Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Perpindahan air karena tenaga kimia yaitu
perbedaan osmolaritas darah dan dialisat. Pengeluaran air
dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan,
dimana air beregerak dari daerah tekanan rendah (cairan
dialisat).
d. Ultrafiltrasi
Proses perpindahan zat atau air yang terjadi karena adanya
perbedaan tekanan hidrostatik di dalam darah dan dialisat.
Perpindahan ini ditentukan oleh besarnya tekanan koefisien
ultrafiltrasi membrane, dan luas permukaan membrane.
4. Indikasi Hemodialisis
Hemodialisis diindikasikan pada penderita dalam keadaan
akut yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa
hari hingga beberapa minggu) atau penderita dengan gagal ginjal
tahap akhir yang memerlukan terapi jangka panjang/permanen.
Secara umum indikasi dilakukan hemodialisis pada penderita
gagal ginjal kronik adalah:
a. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit
b. Hiperkalemia
c. Kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl
e. Kreatinin lebih dari 65 mEq/L
f. Kelebihan cairan, dan
g. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali (Smeltzer et al. 2008
dalam Mardyaningsih, 2014).
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat diakibatkan oleh pelaksanaan terapi
hemodialisis (Hirmawary, 2014) adalah:
a. Hipotensi dapat terjadi selama dialisis ketika cairan
dikeluarkan.
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat
saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler penderita.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis selama produk
akhir metabolisme meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan
cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.
Komplikasi ini kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat
gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan hal yang sering terjadi.
BAB III
METODE PENELITIAN