Anda di halaman 1dari 15

TUGAS RESUME GENDER

Oleh :

Ilma Amalia

17420027

Dosen Pembimbing :

DR. Anita Bustami, M.Kep., Sp.Mat

PROGRAM PENDIDIKAN PASCA SARJANA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2018
A. Pengertian Hal-Hal Terkait Gender

1. Sex (Jenis Kelamin Biologis)


Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara
perempuan dan laki-laki, pada perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Moore dan Sinclair “Sex reffers to biological
deferencer between man and woman, the result of differences in the chromosomes
of the embryo”. Definisi konsep seks tersebut menekankan pada perbedaan yang
disebabkan perbedaan kromosom pada janin.
Sebagaimana dikemukakan oleh Keshtan 1995, jenis kelamin bersifat
biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat di ubah. Sebagai contoh:
hanya perempuan yang dapat hamil dan hanya laki-laki yang menjadikan
perempuan hamil.Seks adalah karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak
lahir dan tidak bisa diubah kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi
dasar seseorang dikenali jenis kelaminnya sebagain perempuan atau laki-laki.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa
seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun,
kumis, janggut, dan memproduksi sperma. Sementara seseorang disebut berjenis
kelamin perempuan jika mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi,
memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses
melahirkan. Ciri-ciri secara biologis inisamadi semua tempat, di semua budaya
dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.

2. Gender (Jenis Kelamin Sosial)


Menurut Giddens konsep gender menyangkut tentang “Psycological,
social and cultural differences between males and females“, yaitu perbedaan
psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan.
Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender
berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian
dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara
etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’.
Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dalam hal nilai dan perilaku.
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Definisi lain tentang gender
dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Gender bisa juga
dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan
sesuatu. Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu
sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku,
mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda
dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis
kelamin.
Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek nonbiologis lainnya.
Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan
komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka
studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan
femininitas seseorang. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan
seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh
beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi
kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering
dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat
biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal
terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan
dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat
menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor
publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan
kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas,
hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak
secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan
menjadi apa nantinya.

B. Gender dan Sosialisasi


1. Pengertian Sosialisasi

Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak


masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah
melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat,
disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui
ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga
perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-
laki dan perempuan secara biologis dan psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan
kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan”
menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat
dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan
“beradab”.
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota
masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan
pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi
melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang.
Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan proses yang
membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di tengah-tengah orang
lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani setiap orang tidak selalu
sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu sendiri hampir sama di berbagai
tempat dan budaya, yaitu antara lain:

 Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan


bagi kehidupan kelak di masyarakat.
 Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan
mengembangkan kemampuannya.
 Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-
latihan mawas diri yang tepat.
 Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan
pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat
umumnya.

2. Sosialisasi Peran Gender

Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah


proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana
bertindak dan berpikir agar dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat.
Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki
keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia
kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri,
memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku
sesuai dengan gendernya.
Seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar,
berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat
tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk
untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang
melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang
karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian
dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku
dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya
bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah
menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun,
irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai
cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan,
perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan
memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau
seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat.
Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada jauh sebelum
seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya lingkungan yang
menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender.Akibatnya jika terjadi
penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan
kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun menilai hal tersebut
sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya
yang selama ini sudah mapan. Sampai sejauh ini yang sering menjadi korban
adalah kaum perempuan.
Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan
sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu
dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus
suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki,
disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena
kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-
urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti
mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan.
Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-
buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa
tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah
yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”
3. Agen Sosialisasi Gender
a) Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender

Sosialisasi gender berawal dari keluarga, keluargalah yang mula-mula


mengajarkan kepada anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin dan
seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui pembelajaran
gender (Gender learning) yaitu proses pembelajaran femininitas dan
maskulinitas yang berlangsung sejak dini. Seseorang mempelajari peran
gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis
kelaminnya.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat
identitas gender ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan yang
berbeda untuk tiap jenis kelamin (sex differentiated toys atau gender-typed
toys). Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa
boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung
berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Kalo bayi
perempuan diberikan boneka yang menggambarkan wanita yang cantik, atau
hewan yang halus seperti kelinci, tapi kalau bayi laki-laki diberi boneka yang
menggambarkan seorang pria yang gagah seperti seekor hewan buas: macan
atau beruang.

b) Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender

Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi gender yang telah sejak


dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak di bidang sosial gender.
Kelompok bermain menjalankan peran yang cukup besar, dijumpai segregasi
menurut jenis kelamin, yaitu: anak perempuan bermain dengan anak
perempuan sedangkan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki
merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender.
Sebagai agen sosial, kelompok bermainpun menetapkan kontrol sosial
bagi anggota yang tidak mentaati peraturannya. Seorang anak laki-laki yang
mamilih untuk bermain dengan kelompok perempuan cenderung dicap “sissy”
atau “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa juga dihadapi oleh
anak perempuan yang cenderung bermain dengan anak laki-laki dicap sebagai
’tomboy’.

c) Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender

Sebagai agen sosialisasi gender sekolah menerapkan pembelajaran


gender malalui media utamanya yaitu kurikulum formal. Dalam pelajaran
prakarya, misalnya ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar
masing-masing dapat diberi pelajaran yang berbeda. Siswi misalnya dapat
diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah
tangga sedangkan siswa mwmpelajari hal yang berhubungan dengan tehnik
pertukangan.
Pembelajaran lain berlangsung melalui apayang Moore and Sinclair
(1995) dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum), para guru
sering memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Perilaku yang
ditolerir bila dilakukan siswa tetapi tidak dapat ditolerir bila dilakukan siswi.

d) Media masa sebagai agen sosialisasi gender

Sebagimana halnya seperti buku kriteria untuk kanak-kanak dan


remaja serta buku pelajaran di sekolah, maka media masa pun sangat berperan
dalam sosialisasi gender. Baik melalui pemberitaannya, kisah fiksi yang
dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang di dalamnya. Media masa
baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan menunjang sterotip
gender (Gender Sterotyped Advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai
produk keperluan rumah tangga seperti: sabun cuci, bumbu masak, minyak
goreng, pembersih lantai, dsb cenderung menampilkan perempuan sebagi
peran ibu rumah tangga, sedangkan iklan yang mempromosikan produk
mewah yang merupakan simbol status kesuksesan dalam pekerjaan cenderung
menampilkan laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di
ranah publik banyak namun iklan yang diperankan perempuan cenderung
posisi pekerjaan rendah dalam organisasi, seperti misalnya peran sebagai
receptionist, pramugari, sekretaris atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus
tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbangan.

C. Gender dan Stratifikasi

Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan


mendatangkan masalah jika pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan.
Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga
bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender.
Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan
perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah
menyebabkan kaum perempuan mengalami marginalisasi dan subordinasi.

1. Pengertian Stratifikasi

Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari


kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah
stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat selalu
terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai
yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya
“sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian
uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda
elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama
atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan
pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki
“sesuatu” yang dihargai tersebut.
2. Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender

Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak
mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali
pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan sedemikian rupa, ke dalam
benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa
karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk
mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan.
Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang
laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang
perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada
masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun
disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki
diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu
lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan.
Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di
berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara
perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-
pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan.
Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu”
yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam
masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala
keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa
menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.
Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang
tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan
gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:

a) Marginalisasi
Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap
perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi
atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan.
Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.
Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak
kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya
mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan,
berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan
perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.Seorang
perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap
“bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya,
dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang
perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya
hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai
penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun
perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum
laki-laki.

b) Subordinasi

Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan


subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional
atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada
posisi yang tidak penting.
Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah
perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang
melahirkan bayi laki-laki lebih dihargai daripada seorang perempuan yang
hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang
baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki disambut dengan
kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi
perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum
perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam
berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim
perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.

D. Gender dan Pendidikan

Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam


masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang
tidak mendukung bahkan melarang keikutsertaan wanita dalam pendidikan
formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa “wanita tidak perlu sekolah tinggi-
tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga”. Ada yang mengatakan bahwa
wanita harus menempuh pendidikan yang dianggap oleh orang tuanya sesuai
dengan kodrat wanita dan ada juga yang berpandangan bahwa “seorang gadis
sebaiknya menikah pada usia muda agar tidak menjadi perawan tua”. Atas dasar
nilai dan aturan demikian yang ada masyarakat yang mengizinkan wanita
bersekolah tapi hanya sampai pada jenjang tertentu atau dalam jenis pendidikan
tertentu saja. Ada pula masyarakat yangsamasekali tidak membenarkan anak
gadisnya untuk bersekolah. Sebagai akibat ketidaksamaaan kesempatan demikian
maka dalam banyak masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi
dalam pendidikan formal. Prestasi akademik maupun motivasi belajar sering
bukan merupakan penghambat partisipasi wanita, karena siswi yang berprestasi
pun sering tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

E. Gender dan Pekerjaan

Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan wanita maka yang


dibayangkan mungkin hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik:
pekerjaan di tempat kerja formal seperti pabrik dan kantor. Pada umumnya orang
melupakan bahwa di rumahpun wanita sering melakukan berbagai kegiatan yang
menghasilkan dana. Ada yang menawarkan berbagai jenis jasa, ada yang
melakukan perdagangan eceran, memproduksi hasil pertanian, kehutanan,
perkebunan, peternakan maupun produk lain yang dipasarkan.
Moore and Sinclair (1995) mendefinisikan dua macam segregasi jenis
kelamin dalam angkatan kerja yaitu segregasi vertikal dan segregasi horizontal.
Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerjaan wanita pada jenjang
rendah pada organisasi, seperti misalnya jabatan pramuniaga, sales promotion girl,
pramusaji, tenaga kebersihan pramugari, pengasuh anak, sekretaris, kasir, dan
sebagainya. Sedangkan segregasi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa
pekerjaan wanita sering terkonsentrasi pada jenis pekerjaan yang berbeda dengan
jenis pekerjaan laki-laki, memberi kesan seakan-akan jenis pekerjaan tertentu
relatif tertutup bagi kaum wanita seperti misalnya di bidang ilmu pengatahuan
alam dan technologi.

F. Gender dalam Kesehatan

Kesehatan reproduksi mencakup proses reproduksi, fungsi-fungsi dan sistem


reproduksi dan semua tahap kahidupan. Kesehatan reproduksi berimplikasi bahwa
seseorang mendapat kehidupan seksual yang bertanggung jawab, memuaskan,
serta aman: dan mereka mendapat kemampuan untuk reproduksi dan kebebasan
untuk menentukan kapan dan bagaimana bereproduksi. Secara implisit berarti
laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk diberitahu dan mendapatkan akses
untuk metode fertilitas yang aman, efektif, dapat dijangkau dan dapat diterima
sesuai dengan pilihan mereka. Mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan
memungkinkan wanita mendapatkan keamanan ketika hamil dan melahirkan dan
menyediakan layanan agar pasangan mendapatkan kesempatan yang baik untuk
melahirkan bayi yang sehat.
Akses untuk kesehatan reproduksi dan pelayanan kesehatan seksual termasuk
keluarga berencana antara lain: konseling KB, pelayanan pre-natal, kelahiran yang
aman, pelayanan post-natal, pencegahan dan penanganan yang layak untuk
infertilitas, pencegahan aborsi dan manajemen konsekuensi aborsi,
pengobatan ”reproductive tract infection” penyakit menular seksual (PMS), atau
kondisi kesehatan reproduksi yang lain. Pelayanan untuk HIV/AIDS, cancer,
infertilitas, kelahiran dan aborsi harus tersedia dalam pelayanan kesehatan
reproduksi.

1. Perspektif Gender

Di indonesia terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI)


karena lemahnya posisi wanita dalam kesehatan reproduksi, mencakup: hak untuk
mendapatkan berbagai informasi tentang kesehatan reproduksi, termasuk hak
dalam menentukan kapan ingin memiliki anak dan jarak antar kehamilan/
kelahiran yang aman, hak menentukan jumlah anak yang diinginkan, hak
pelayanan keluraga berencana, dst.
Selain kurangnya pengetahuan juga disebabkan faktor dominasi suami
dalam rumah tangga, sehingga akses untuk mendapatkan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi yang komprehensif jadi terhambat. Contoh: dalam keluarga
sudah memiliki 3 anak perempuan namun suami tetap menginginkan istrinya
hamil lagi untuk mendapatkan anak laki-laki, di sisi lain tidak menghiraukan
resiko yang mungkin timbul dan tanpa memandang hak istri dalam kesehatan
reproduksi.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah budaya atau adat yang berlaku di
wilayah tersebut. Masih adanya kepercayaan melahirkan ke dukun, juga masih
adanya kebiasaan adat yang merugikan seperti: tidak boleh periksa hamil sebelum
3 bulan, tidak boleh keluar rumah sebelum nifas 40 hari, larangan mengkonsumsi
daging, ikan dll. Apabila perempuan melanggar aturan yang berlaku di
masyarakat umumnya menjadi bahan gunjingan dan bahkan bisa di acuhkan
masyarakat lain.
Hal-hal tersebut merupakan perspektif gender yang merugikan kaum
wanita, serta menyumbang masih tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia.

2. Ketimpangan Gender

Pada awal munculnya HIV/AIDS di Indonesia dianggap sebagai penyakit


impor. Media masa serta pejabat pemerintahan terkesan menutupi dan tidak
mengakui hal tersebut. Padahal penyebabnya adalah masalah seksual (adanya
homoseksual dan perilaku seks bebas), namun stigma terhadap pegawai seks
komersial tetap tidak melihat pada seringnya berganti pasangan, poligami dan
kawin cerai. Upaya pencegahannya dengan kampanye seks yang aman karena
takut diselewengkan menjadi seks bebas.
Sedangkan penanganan HIV/AIDS melalui pendekatan moral yang tidak
konvensional dengan melihat pada pola perilaku nyata. Sosialisasi penggunaan
kondom untuk menghindari bahaya penularan penyakit seksual. Hal ini adalah
upaya yang paling minim diantara keburukan yang lain.

Anda mungkin juga menyukai