Anda di halaman 1dari 99

Kajian Pencegahan

Korupsi Pada
Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah
Direktorat Penelitian dan
Pengembangan
Kajian ini dilakukan sebagai upaya solutif pencegahan untuk
menekan tingginya angka tindak pidana korupsi pada sektor
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kajian ini menelaah
pengadaan barang dan jasa sebagai sub sistem kecil dari
sistem belanja pemerintah melalui APBN/APBD. Ruang
lingkup kajian berfokus pada pengadaan barang dan jasa
pemerintah dari sisi regulasi, kelembagaan,
pelaksanaan/operasionalisasi, juga terkait integritas dan
transparansi. Selain itu kajian ini juga menelaah tentang
penganggaran APBN/APBD sebagai induk atau hulu dari
sistem belanja pemerintah melalui APBN/APBD yang sangat
mempengaruhi proses Pengadaan Barang dan Jasa
Komisi Pemberantasan Korupsi
Pemerintah.

12/16/2014

0
LAPORAN HASIL

KAJIAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

DIPA LITBANG : 093.01.1.626397/2014 tanggal 5 Desember 2013

Program : 093.01.06 Program Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kegiatan : 3848. Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan KPK, serta


Pengkajian Sistem Pengelolaan Administrasi di Semua Lembaga Negara
dan Pemerintah

Sub Kegiatan : 3848.001.001.013 Kajian

KEDEPUTIAN BIDANG PENCEGAHAN

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

TAHUN ANGGARAN 2015

1
DAFTAR DEFINISI DAN ISTILAH
Pengadaan Barang dan Jasa
PBJ

Rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh


APBN (Anggaran Pendapatan Dewan Perwakilan Rakyat
dan Belanja Negara)

Rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh


APBD (Anggaran Pendapatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Belanja Daerah)

Aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi,


APIP (Aparat Pengawas Intern pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan
Pemerintah) tugas dan fungsi organisasi

Kerangka analisis yang dirancang untuk mengidentifikasi dan


CIA (Corruptin Impact menghilangkan faktor penyebab korupsi pada peraturan perundang-
Assessment) undangan (OECD, 1990)3

Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan


E-Procurement (Pengadaan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan
secara elektronik) perundang-undangan.

Tata cara pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka


E-Tendering dan dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang terdaftar pada
sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan 1 (satu)
kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan
Sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis
E-Catalogue dan harga barang tertentu dari berbagai Penyedia Barang/Jasa
Pemerintah
Tata cara pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog elektronik
E-Purchasing

Suatu Proses pengumpulan Informasi suatu masalah tertentu yang sangat


FGD (Focus Group Discussion) spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 2007)4

Harga yang disusun berdasarkan harga pasar setempat, Informasi biaya


HPS (Harga Perkiraan Sendiri) satuan oleh BPS, asosiasi terkait atau informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan, pabrikan atau agen tunggal, yang disusun
sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan
pascakualifikasi 28 hari sebelum pengadaan.
Pintu gerbang sistem informasi elektronik yang terkait dengan informasi
INAPROC (Portal Pengadaan Pengadaan Barang/Jasa secara nasional yang dikelola oleh LKPP
Nasional)

Dokumen yang berisikan uraian pekerjaan yang akan dilaksanakan,


KAK (Kerangka Acuan Kinerja) Waktu pelaksanaan yang diperlukan untuk menyelesaikan
pekerjaan, Spesifikasi teknis Barang/Jasa yang akan diadakan, Besarnya

3
The Corruption Impact Assessment is an analytical framework designed to identify and remove factors causing corruption in laws and
regulations
4 Irwanto, 2007. Focus Group Discussion: Sebuah Pengantar Praktis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

2
total perkiraan biaya pekerjaan termasuk kewajiban pajak yang harus
dibebankan pada kegiatan tersebut
Instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja
K/L/D/I Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(Kementerian/Lembaga/Satuan (APBD)
Kerja Perangkat

Daerah/Institusi)

Pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau


KPA (Kuasa Pengguna ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD
Anggaran)

Lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan


LKPP (Lembaga Kebijakan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan Peraturan Presiden
Pengadaan Barang/Jasa Nomor 157 Tahun 2014
Pemerintah)

LPJK (lembaga Pengembangan Lembaga yang beranggotakan asosiasi perusahaan jasa konstruksi,
asosiasi profesi jasa konstruksi, pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan
Jasa Konstruksi)
dengan bidang jasa konstruksi; dan instansi Pemerintah yang terkait.
Lembaga ini memiliki tugas melakukan atau mendorong penelitian
dan pengembangan jasa konstruksi, menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan jasa konstruksi, melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi,
yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan
keahlian kerja; melakukan registrasi badan usaha jasa
konstruksi; mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi,
dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi.
Unit kerja K/L/D/I yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem
LPSE (Layanan Pengadaan pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik
Secara Elektronik)

Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
Persekongkolan lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
PA (Pengguna Anggaran kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang
disamakan pada Institusi Pengguna APBN/APBD
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan
PPK (Pejabat Pembuat barang/Jasa
Komitmen)

personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan


Pejabat Pengadaan Langsung,Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing.

panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa


PPHP (Panitia/Pejabat dan menerima hasil pekerjaan
Penerima Hasil Pekerjaan)

Rencana yang berisi kegiatan dan anggaran Pengadaan Barang/Jasa yang


RUP (Rencana Umum akan dibiayai oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I) sendiri dan/atau dibiayai berdasarkan

3
Pengadaan) kerja sama antar K/L/D/I secara pembiayaan bersama (co-financing)

Seluruh Kegiatan yang dilakukan oleh LKPP untuk menentukan bahwa


Sertifikasi Keahlian Pengadaan seseorang telah memenuhi persyaratan kompetensi yang ditetapkan
Barang dan Jasa Pemerintah mencakup permohonan, evaluasi, keputusan sertifikasi, surveilen, dan
sertifikasi ulang
Aplikasi yang memuat data atau informasi kinerja penyedia
SIKaP (Sistem Informasi Kinerja barang/jasa. Informasi kinerja penyedia barang jasa meliputi data
Penyedia) atau Vendor atau informasi mengenai identitas, kualifikasi, serta riwayat kinerja
Management System penyedia. Informasi ini antara lain mencakup Identitas Pokok, Ijin
Usaha, Pajak, Akta Pendirian, Pemilik, Tenga Ajli dan Pengalaman
Aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan berbasis Web (Web
SiRUP (Sistem Informasi based) yang fungsinya sebagai sarana atau alat untuk mengumumkan
Rencana Umum Pengadaan) RUP

Teknik analisis dalam pemetaan dan pengukuran hubungan relasi antara


Social Network Analysis orang-grup-organisasi-komputer atau atribut pemroses informasi dan
ilmu pengetahuan
unit organisasi Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah/Institusi yang
ULP (Unit Layanan Pengadaan) berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen,
dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
Sistem yang digunakan untuk mengakomodasi pelapor yang memiliki
Whistle blower system Informasi dan ingin melaporkan suatu perbuatan yang berindikasi
pelanggaran yang terjadi di K/L/D/I masing-masing

4
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................................. 6

1.1 Latar Belakang KAJIAN ................................................................................................................................. 6

1.2 Dasar Hukum KAJIAN ................................................................................................................................. 10

1.3 Tujuan KAJIAN ........................................................................................................................................... 11

1.4 Ruang Lingkup Kajian ................................................................................................................................. 11

1.5 Metode KAJIAN .......................................................................................................................................... 11

1.6 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan .................................................................................................................... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................................................................ 15

2.1 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ................................................................................................... 15

2.2 Perbandingan PBJ di Dunia ......................................................................................................................... 19

2.3 Kondisi PBJ di Indonesia ............................................................................................................................ 27

BAB III AKAR MASALAH KORUPSI PBJ .................................................................................................................. 40

3.1 KORUPSI DAN Tindak PIDANA KORUPSI TERKAIT PBJ................................................................................ 40

3.2 AKAR MASALAH KORUPSI PBJ DI INDONESIA .............................................................................................. 0

3.3 PEMILIHAN PRIORITAS ................................................................................................................................. 4

BAB IV Temuan ...................................................................................................................................................... 5

4.1 Regulasi........................................................................................................................................................ 6

4.2 PENGANGGARAN ....................................................................................................................................... 14

4.3 PeLAKSANAAN ........................................................................................................................................... 16

4.4 Pengawasan ............................................................................................................................................... 27

Daftar Pustaka ...................................................................................................................................................... 29

5
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG KAJIAN

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, pemerintah dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah
berkewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuk berupa barang, jasa, maupun
pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, pemerintah juga memerlukan barang dan jasa itu dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa merupakan bagian yang penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan.5

Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah merupakan mekanisme belanja pemerintah yang memegang
peranan penting dalam pemanfaatan anggaran negara. PBJ melibatkan jumlah uang yang sangat besar,
sehingga pemerintah disebut sebagai pembeli yang terbesar (the largest buyer) di suatu negara.6 Anggaran
PBJ setiap tahunnya menurut LKPP sekitar 40% dari APBN dan APBD7, sehingga pada tahun 2015 ini
diperkirakan anggaran PBJ adalah sebesar 815,8 Trilyun dari total belanja APBN sebesar 2,039 Trilyun 8.
Sementara anggaran PBJ dari APBD tahun 2015 diperkirakan sebesar 405,1 Trilyun dari total belanja APBD
Tahun 2015 sebesar 1,012 Trilyun9.

Pengaturan yang dilakukan pada proses pelaksanaan PBJ semata-mata bertujuan agar PBJ dapat berjalan
secara efisien, terbuka, kompetitif, dan terjangkau, sehingga tercapai output berupa barang atau jasa yang
berkualitas. Dengan adanya barang atau jasa yang berkualitas, maka akan berdampak pda peningkatan
pelayanan publik.10

Dalam rangka mencapai tujuan tersedianya output barang atau jasa yang berkualitas, pengaturan PBJ terus
menerus diperbaiki. Perbaikan menyeluruh dari aspek regulasi, pelaksanaan, dan kelembagaan. Satu,
perbaikan dari sisi regulasi, sejak tahun 2000 pemerintah telah mengeluarkan aturan khusus mengenai
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Aturan khusus tersebut adalah Keppres 18 tahun 2000 yang bertujuan
mengatur pengadaan barang dan jasa agar tercapai prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa yaitu
persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah
dan pelayanan masyarakat.11

Peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah ini terus mengalami penyempurnaan seiring
dengan kompleksnya pengadaan barang dan jasa. Hingga tahun 2012, aturan khusus mengenai pengadaan
barang dan jasa ini telah mengalami 13 kali penyempurnaan. Aturan yang digunakan saat ini adalah Perpres 4
tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

5 Simamora, Sogar. 2013. Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia. Wins & Partners Law Firm dan
LbJ. Surabaya. Hal: 1.
6 Ibid. Hal: 4
7
Sumber: http://www.bappenas.go.id/berita-dan-siaran-pers/pembenahan-sistem-pengadaan-barang-dan-jasa-tingkatkan-daya-saing-
nasional/ diakses pada 28 November 2014
8 Sumber: http://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/budget-brief-apbn-2015 diakses pada 20 November 2015
9 Sumber: http://keuda.kemendagri.go.id/asset/dataupload/data-informasi/datin_data/740.jpg diakses pada tanggal 20 November 2015
10
Sebagaimana tercantum dalam point a pertimbangan Perpres 54 tahun 2010.
11 Sebagaimana tercantum dalam bagian pertimbangan poin a Kepres 18 tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Instansi Pemerintah.

6
Pemerintah.12 Saat ini prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia mengedepankan 7 prinsip
yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. 13

Pertimbangan dari dilakukannya perubahan peraturan-peraturan adalah (1) untuk meningkatkan transparansi
dan kompetisi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dalam mewujudkan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan negara, (2) untuk memperoleh hasil yang lebih maksimal dalam pelaksanaan
sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan dalam rangka meningkatkan
kompetensi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, karenanya dipandang perlu untuk mengatur
kembali batas waktu kewajiban syarat sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat
pengadaan barang/jasa pemerintah, (3) agar pelaksaan pengadaan barang/jasa terlaksana dengan baik sesuai
dengan konteks dan kondisi kebutuhan pengadaan barang/jasa.

Semangat menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, salah satunya dengan adanya larangan melakukan
KKN, seperti yang tercantum pada beberapa pasal pada Perpres No.54 Tahun 2010:
 Pasal 1 ayat 13 tentang pakta integritas (surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan
tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengadaan barang/jasa)
 Pasal 6 tentang etika pengadaan:
c. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya
persaingan tidak sehat
f. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan Negara dalam
pengadaan barang/jasa
g. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan Negara, dan
h. Tidak menerima, menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima
hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui
atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
 Pasal 83 ayat 3 huruf b dan c tentang;
b. PA/KPA menyatakan pelelangan /seleksi/pemilihan langsung gagal apabila pengaduan
masyarakat adanya dugaan KKN yang melibatkan kelompok kerja ULP dan/atau PPK ternyata
benar
c. dugaan KKN dan /atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan
Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung dinyatakan benar oleh pihak berwenang
 Pasal 118 tentang perbuatan atau tindakan penyedia barang/jasa yang dikenakan sanksi

Dua, selain perbaikan dari sisi aturan atau regulasi, dari sisi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
pemerintah di Indonesia juga diperbaiki dengan yaitu dua cara; peningkatan kapasitas SDM dan pelaksanaan e-
procurement. Terkait pembangunan kapasitas SDM telah dilakukan standarisasi kompetensi personil
pengadaan melalui program sertifikasi profesi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah14 dan penetapan
jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 15.

Terkait dengan pembangunan sistem elektronik yaitu e-procurement, mulai tahun 2003 melalui Kepres
80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, setiap instansi mulai diperbolehkan
menggunakan teknologi informasi dalam pengadaan. Pengadaan secara elektronik (e-procurement) bertujuan

12 Simamora, Op.Cit. Hal: 100-102.


13
Sebagaimana tercantum dalam pasal 5 Perpres 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
14 Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya
15 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 77 Tahun 2012

7
untuk; (1) Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, (2) Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha
yang sehat, (3) Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, (4) Mendukung proses monitoring dan audit;
dan (5) Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time. 16 Dengan demikian proses pengadaan secara
elektronik ini diharapkan dapat menjamin terciptanya proses pengadaan barang dan jasa yang transparan,
akuntabel, dan kompetitif.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat (1) Perpres 54/2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
pemerintah bahwa K/L/D/I wajib melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik untuk
sebagian/seluruh paket-paket pekerjaan pada tahun anggaran 2011. Sehingga, seluruh K/L/D/I pada akhir 2013
telah menggunakan LPSE dalam proses pengadaan barang dan jasanya. Namun, tidak semua K/L/D/I memiliki
LPSE sendiri, sebagian K/L/D/I menumpang pada LPSE instansi lain untuk alasan efisiensi mengingat paket
pengadaan barang dan jasanya tidak banyak.

Tabel 1
Jumlah LPSE di Indonesia
Per Oktober 2015
Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
LPSE System Provider 11 30 98 273 501 547 597 620
LPSE Service Provider 0 3 39 42 42 55 19 15
Jumlah LPSE 11 33 137 315 543 602 616 635
Provinsi terlayani 9 18 28 31 33 33 34 34
Instansi terlayani 11 41 254 613 731 731 731 731
(Sumber: LKPP 2015)

Dari sisi transaksi, hingga Oktober 2015, telah terjadi transaksi lelang melalui LPSE senilai sekitar 766 triliun
dari sekitar 1.080 triliun nilai pagu lelang. Sedangkan dari e-purchasing (e-catalogue) telah terjadi transaksi
sebesar 60 triliun hingga Oktober 2015.

Selain itu, yang ketiga perbaikan dari sisi kelembagaan terkait Pengadaan Barang dana Jasa juga dilakukan oleh
pemerintah. Pada tahun 2005 pemerintah juga membentuk suatu lembaga pembuat kebijakan khusus untuk
pengadaan barang dan jasa yaitu Pusat Pengembangan Kebijakan Barang/Jasa Publik (PPKPBJ). Kemudian
lembaga ini diperkuat dengan dibentuknya Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)
melalui Perpres 106 tahun 2007.

Untuk melakukan pembenahan profesionalitas kerja operasional pengadaan, menghindari adanya konflik
kepentingan, dan menghindari kecurangan dalam pengadaan barang dan jasa di tingkat K/L/D/I, pemerintah
juga mengharuskan setiap K/L/D/I membentuk ULP (Unit Layanan Pengadaan). Pembentukan ULP ini
sebenarnya telah disinggung sejak Kepres 80 tahun 2003, namun bentuk dan kejelasannya belum secara tegas
diatur dalam Kepres 80 tahun 2003. Barulah pada Perpres 54/2010 pada pasal 14 ayat 1 dan ayat 2.

Dari upaya-upaya tersebut, menunjukkan bahwa Pengadaan Barang dan Jasa di Indonesia telah banyak
mengalami perbaikan dari beragam sisi; regulasi yang detail, sistem elektronik, dan kelembagaan yang fokus.
Namun, hingga tahun 2015, kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang ditangani KPK tetap menunjukkan
angka yang tertinggi (30.4% kasus dari 454 kasus yang ditangani KPK sejak tahun 2004). Angka tersebut dapat
bertambah dari kasus penyuapan yang ditangani KPK, yang sebagiannya merupakan penyuapan pada PBJ.

16 http://eproc.lkpp.go.id/goto/tentang-e-procurement

8
Jumlah pengaduan masyarakat terkait PBJ ke KPK pun menunjukkan angka yang tinggi (hingga 2015 sekitar
12.693 pengaduan).

Tabel 2
Jenis Perkara yang Ditangani oleh KPK 2009-2015
JENIS PERKARA 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015*) JUMLAH
Pengadaan 2 12 8 14 18 16 16 10 8 9 7 10 138
Barang/Jasa
Perijinan 0 0 5 1 3 1 0 0 0 3 3 1 19
Penyuapan 0 7 2 4 13 12 19 25 34 50 9 28 214
Pungutan 0 0 7 2 3 0 0 0 0 1 4 1 20
Penyalahgunaan 0 0 5 3 10 8 5 4 3 0 2 2 44
anggaran
TPPU 0 0 0 0 0 0 0 0 2 7 4 1 14
Merintangi 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 3 0 5
Proses KPK
JUMLAH 2 19 27 24 47 37 40 39 49 70 32 32 454
Sumber: KPK
*) Data hingga Oktober 2015

Dari data yang dimiliki KPK, jumlah kerugian keuangan negara dari kasus PBJ yang ditangani KPK; hampir 1
Triliun. Survey yang dilakukan IPW pun menunjukkan bahwa +/- 93% pengusaha menyuap agar menang
tender proyek PBJ (IPW, 2011). Hal yang senada diungkapkan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
yang merilis bahwa selama periode 2006 – 2012, dari 173 perkara yang sudah diputuskan, 56% atau 97 perkara
diantaranya adalah terkait persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa. Total nilai proyek dari 97
perkara tender ini adalah sebesar 12.35 triliun yang merupakan gabungan dari proyek swasta, BUMN, APBN,
dan APBD. Dari jumlah tersebut, telah terbukti terhadi pesekongkolan sebesar 8.6 Triliun. 17

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2014 terkait pengadaan barang
dan jasa adalah, terjadi kerugian negara sebesar Rp 43,62 miliar di 17 K/L akibat kekurangan volume
pekerjaan, dan terjadi potensi kerugian negara senilai Rp 4,11 miliar akibat kelebihan pembayaran dalam
pengadaan barang dan jasa pada 7 K/L. Selain itu, telah terjadi pemborosan keuangan negara sebesar 40,19
miliar pada 10 K/L dan ketidakefektifan senilai Rp69,17 miliar pada 11 K/L.18

Sehingga timbul pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu apa sebenarnya akar masalah Korupsi pada
Pengadaan Barang dan Jasa? Mengapa perbaikan yang sedemikian progresif pada Pengadaan Barang dan Jasa
belum juga berhasil menekan tingkat korupsi yang terjadi pada Pengadaan Barang dan Jasa? Beranjak dari
pemikiran-pemikiran di atas, KPK melaksanakan Kajian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kajian ini
dilakukan sebagai suatu upaya solutif untuk menekan tingginya angka tindak pidana korupsi pada Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah.

17 KPPU, 2012. Laporan Kinerja KPPU Tahun 2012: Periode Penguatan Perekonomian Melalui Persaingan Usaha. Halaman 11.
18 BPK RI, 2014. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014. Jakarta. Halaman 66-68.

9
1.2 DASAR HUKUM KAJIAN

Pelaksanaan kegiatan Kajian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dilakukan Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK dengan dasar hukum:
a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
- Pasal 6 huruf e: ”Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai tugas melakukan monitor
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara”
- Pasal 8 ayat (1): ”Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b,
KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik”
- Pasal 14 menyebutkan “Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
huruf e, KPK berwenang untuk :
i. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara
dan pemerintah;
ii. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan
perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
iii. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi
mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan
b. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara:
- Pasal 1 angka 1 menyebutkan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
- Pasal 2 menyebutkan : “Keuangan Negara sebagaimana pasal 1 angka 1 meliputi pasal 2 huruf (i) :
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah”.
c. Dalam UNCAC pasal 12 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Antikorupsi menyebutkan: “Setiap Negara Peserta wajib mengambil tindakan-tindakan, sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar sistem hukum nasionalnya, untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta,
meningkatkan standar akutansi dan audit di sektor swasta, dan dimana diperlukan, memberikan sanksi
perdata, administratif dan pidana yang efektif sebanding untuk kelalaian memenuhi tindakan-tindakan
tersebut”.
d. Dokumen Rencana Strategis KPK 2011-2015: Point 6. Indikator Keberhasilan (Impact, Outcomes) dan
Target; 6.1.Perspektif Pemangku Kepentingan (Stakeholder);
• Point 2. Fokus Area 2: Perbaikan Sektor Strategis terkait Kepentingan Nasional, meliputi:
a)Ketahanan Pangan Plus:pertanian, perikanan, peternakan, plus pendidikan dan kesehatan;
b)Ketahanan Energi dan Lingkungan: energi, migas, pertambangan, dan kehutanan; c)Penerimaan:
pajak, bea cukai dan PNBP; d)Infrastruktur.
• Point 7. Inisiatives Strategic (Program dan Kegiatan); 7.1.Perspektif Proses Internal (Internal
Process); Unit 2: Deputi Pencegahan, Sasaran Strategis: Pencegahan Terintegrasi, Indikator
Keberhasilan: % Implementasi atas Rekomendasi yang diusulkan pada Sektor Strategis, Inisiatif
Strategis: Kajian yang integral melibatkan mitra strategis, dan efisiensi birokrasi.

10
1.3 TUJUAN KAJIAN

Kajian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dilakukan selama 2 tahun dengan tujuan utama adalah untuk
mendorong menutup celah potensi korupsi yang terkait dengan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Tujuan khusus:

1. Memetakan akar masalah terkait Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

2. Memetakan titik-titik rawan pada regulasi , pelaksanaan, pengawasan, dan penganggaran terkait
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

3. Menyusun saran rekomendasi untuk menutup titik rawan pada pada pelaksanaan, pengawasan, dan
penganggaran terkait Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

4. Menyusun saran rekomendasi strategis terkait Pencegahan Korupsi pada Sistem Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah secara Nasional

1.4 RUANG LINGKUP KAJIAN

Ruang lingkup kajian meliputi:

1. Regulasi,
2. Operasionalisasi (pelaksanaan),
3. Penganggaran,
4. Pengawasan.

1.5 METODE KAJIAN


Kegiatan Kajian dilaksanakan sendiri oleh tim yang dibentuk oleh Direktur Litbang KPK, dengan melibatkan
Pakar di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Secara garis besar berikut metode yang dipakai dalam
kajian ini:

11
1.1 Studi Literatur

1.2 Wawancara
1. Mendalam
Pengumpulan
Data Awal 1.3 FGD Pakar: Akar Masalah Korupsi
Merumuskan Akar PBJ di Indonesia
Masalah Korupsi
PBJ
Saran dan
2.1 Penyusunan Rekomendasi
Instrumen Kajian Untuk Pencegahan
Korupsi PBJ
2.2 Corruption 2.3 Verifikasi Pemerintah
Impact 2.4 Konfirmasi
hasil CIA
2. Field Review Assesment (CIA) kepada Pakar/
dengan kondisi
Regulasi PBJ Lembaga
lapangan
2.5 Field Review instansi
yang menjadi sampling 2.6 Konfirmasi
(mengikuti business kepada
process) Pakar/Lembaga

3. Analisis 3.1.Analisis Hasil Temuan Potensi Masalah Pada Sistem


Kasus Inkracht Field Review dan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
KPK Kasus Inkracht KPK

Secara detail, berikut metode yang dipakai dalam kajian ini:


1. Pengumpulan Data Awal:
o Studi literatur dilakukan untuk melihat isu dan masalah dalam PBJ baik di dalam
maupun luar negeri.
o Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa pakar atau lembaga berikut:
No. Kegiatan Narasumber
1 Diskusi dengan ULP KPK M. Ide Ambardi, Budi Haryanta (Fungsional ULP KPK)
2 Diskusi dengan Indonesian Hayie Muhammad (Direktur IPW)
Procurement Watch (IPW)
3 Diskusi dengan Lembaga Kebijakan Setya Budi Arijanta (Direktur Pengembangan Strategi
PBJ Pemerintah (LKPP) dan Kebijakan Pengadaan Umum)
4 Diskusi dengan mantan Penyidik Robertus Dedeo (Penyidik Polri, Ahli kasus korupsi PBJ)
KPK
5 Diskusi dengan penyusun naskah Prof. Hikmahanto Juwono (Guru Besar Fak. Hukum UI)
akademis RUU PBJ
6 Diskusi dengan pakar hukum PBJ Prof. Sogar Simamora (Guru Besar Fak. Hukum Unair)
7 Diskusi dengan Bagian Bina Kabag dan Kasubag Bina Program dan Kasubag ULP
Program dan ULP Kota Surabaya
8 Observasi ULP Kota Surabaya Kartiningrum (Sekretaris ULP Kota Surabaya)
9 Diskusi dengan Pakar Kebijakan Prof. Wahyudi (FISIP Universitas Gadjah Mada)
Publik
10 Diskusi dengan Pakar Hukum DR. Mudzakkir (FH Universitas Islam Indonesia)
Pidana
11 Diskusi dengan Pakar Hukum Adnan Paslidja (Widyaiswara Kejaksaan RI)
Tipikor

12
2. FGD (Focus Group Discussion) pakar untuk merumuskan akar masalah korupsi pada
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. FGD ini melibatkan 8 orang pakar eksternal dan 15
orang internal KPK. 8 orang pakar yang terlibat adalah:
No Pakar Lembaga Kepakaran
1 Prof. Sogar FH Unair, Surabaya Hukum Perdata (Regulasi PBJ
Simamora di Indonesia)
2 Agus Rahardjo LKPP (Kepala LKPP) Kebijakan dan pelaksanaan
3 Setya Budi LKPP (Direktur Pengembangan Strategi PBJ di Indonesia
Arijanta dan Kebijakan Umum Pengadaan)
4 Robertus Dedeo Penyidik Polri (Mantan Penyidik KPK) Penyidikan pada kasus
korupsi PBJ
5 Dedi Irianto Kabag Bina Program Pemko Surabaya Bestpractise pelaksanaan e-
procurement di Kota Surabaya
6 Agus Imam Bappeda Pemko Surabaya
Sonhaji
7 Hayie Muhammad Indonesia Procurement Watch (IPW) Pelaksanaan PBJ di Indonesia
8 Siswo Sujanto Mantan Sesditjen Perbendaharaan Keuangan Negara

3. CIA (Corruption Impact Assesment) terhadap regulasi yang terkait dengan Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah. CIA melibatkan 7 orang pakar dari multidisiplin ilmu. Pakar yang terlibat
adalah:
No Pakar Lembaga Kepakaran
1 Prof. Sogar FH Unair, Surabaya Hukum Perdata (Regulasi PBJ di
Simamora Indonesia)
2 Ikak LKPP (Deputi Hukum) Kebijakan dan pelaksanaan PBJ
3 Setya LKPP (Direktur Kebijakan Strategis) di Indonesia
4 Prof. Wahyudi UGM, Yogyakarta Kebijakan public
5 Dr. Mudzakkir UII, Yogyakarta Hukum Pidana

6 Hari Setianto ASABRI (Direktur Investasi dan RIA (Regulatory Impact


Keuangan) Asessment)
7 Adnan Paslidja Widyaiswara Kejaksaan RI Hukum Pidana Tipikor

o Kajian Lapangan (field review dan document review) meliputi pengumpulan data
dan analisis melalui walkthrough test, observasi, dan wawancara narasumber
(penyelenggara PBJ dan obyek PBJ). Pada tahun 2013, kajian lapangan dilakukan
untuk mengkonfirmasi hasil CIA yang dilakukan oleh pakar. Kajian lapangan
dilakukan pada:
 Organ pengadaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen
Pendidikan Menengah dan LPSE Kemendikbud),
 Organ pengadaan di Kementerian Keuangan (Ditjen Bea dan Cukai dan
Pusat LPSE Kemenkeu),
 Organ pengadaan di Pemko Medan dan Pemko Palu, serta vendor yang
terkait dengan PBJ di Pemko Medan dan Pemko Palu
 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
 Kemendagri
 Kemenpan RB
 Direktorat Bina Program Pemerintah Kota Surabaya
Kajian Dokumen (document review) yang dilakukan meliputi pengumpulan data dan

13
analisis kajian terhadap kebijakan, prosedur, dan hasil-hasil studi pihak ketiga;
o Konfirmasi kepada Pakar atau Lembaga terkait pendalaman informasi hasil verifikasi
lapangan. Konfirmasi dilakukan kepada:
 Unit Layanan Pengadaan KPK
 Penyidik KPK yang menangani kasus Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
 Kemendagri
 Kemenpan RB

Kajian ini mengambil sampling Kementerian Pusat dengan kriteria:


1. Sektor strategis versi renstra KPK
2. Perhatian publik
3. Anggaran besar
4. Variasi jenis pengadaan

Berdasarkan data RUP dari LKPP (Data SIRUP per tanggal 3 Februari 2015),* Kementerian yang memenuhi
kriteria tersebut adalah:
1. Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen Bina Marga; Pengadaan Jalan Mamuju Arterial Road,
Pengadaan Jembatan Merah Putih – Ambon)
2. Kementerian Kesehatan (Ditjen Binfar Alkes; Pengadaan Obat dan Ditjen P2PL; Pengadaan
Alat Kesehatan)

Konfirmasi kepada Lembaga/Pakar:


1. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
2. Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan
3. LPJK
4. Prof. Rizal Tamin (Pakar Konstruksi, ITB)
5. DR. Rahma Fitriati (Pakar Soft System Methodology, Fakultas Administrasi Negara Universitas
Indonesia)
6. DR. Radhiatmoko (Pakar Social Network Analysis, FISIP Universitas Indonesia)

Hasil Puldawal, FGD Pakar, CIA, kajian lapangan, dan konfirmasi kepada pakar atau lembaga dianalisa secara
deskriptif.

1.6 JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN

Kegiatan Kajian Pencegahan Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dilaksanakan selama dua
tahun dimulai pada bulan Februari 2014 sampai dengan Desember 2015.

14
BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

DEFINISI, JENIS, DAN PRINSIP PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Pengadaan Barang Jasa merupakan keniscayaan proses yang terjadi baik di sektor swasta maupun sektor
pemerintah. Kebutuhan akan ketersediaan barang dan jasa di kalangan swasta dan pemerintah menjadikan
pengaturan pada proses pengadaan barang dan jasa diarahkan pada tujuan pencapaian output tersedianya
barang dan jasa yang berkualitas dengan harga yang terbaik. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan PBJ
adalah PBJ sektor public atau sektor pemerintah.

Terdapat beragam pandangan ahli tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah atau biasa disebut dengan
Public Procurement. Mengacu pada pengertian umum tentang pengadaan tersebut maka public procurement
dapat dipahami dari sudut pandang obyek pengadaan, pelaksana pengadaan, dan sumber dana untuk
mengadakan.

Menurut Sope William yang dikutip dari Arrowsmith 19, Public procurement is the purchasing by a government
of the goods and services it requires to function and maximize public welfare. In doing so, a government will
often adopt regulations and procedures to ensure that it obtains these goods, services or ‘works’ (construction
contrancts) in a transparent, competitive manner and at the best price or the most economically advantageous
price. It is believed that transparency in public procurement will assist in ensuring that public procurement
procedures foster competition and obtain value for money.20

Peraturan dan prosedur yang digunakan dalam PBJ pemerintah adalah merupakan upaya untuk memastikan
bahwa output barang atau jasa tersebut diperoleh dengan cara yang kompetitif dan transparan untuk
mendapatkan harga terbaik (menguntungkan secara ekonomi). Semuanya dilakukan semata-mata untuk
memaksimalkan kesejahteraan rakyat.

Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau
mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar
dicapai kesepakatn harga, waktu dan kesepakatan lainnya (Sutedi, A, 2012)

Pelelangan adalah serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang/jasa dengan cara menciptakan
persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode
dana tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak –pihak yang terkait secara taat asas
sehingga terpilih penyedia jasa terbaik (Marbun, R, 2010).

Menurut Edquist et al, Public Procurement adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi
publik untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan jasa (services) secara transparan, efektif
dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Dalam hal ini, pengguna bisa individu
(pejabat), unit organisasi (dinas, fakultas, dsb), atau kelompok masyarakat luas.21

19S Arrowsmith. 2005. The Law of Public and Utilities Procurement. 2nd edn. London, Sweet & Maxwell.
20Williams, Sope – Elegbe. 2012. Fighting Corruption in Public Procurement; A Comparative Analysis of Disqualification or Debarment
Measures. Oxford and Portland, Oregon. Hart Publishing. Hal: 2
21Edquist, C., Hommen, L., and Tsipouri, L. (Eds.). (2000). Public Technology Procurement and Innovation.Boston/Dordrecht/London:

Kluwer Academic Publishers.

15
Dari pengertian ini maka yang dimaksud dengan public procurement ditentukan oleh siapa yang melaksanakan
pengadaan bukan oleh obyek dari barang/jasanya. Bila dilakukan oleh pemerintah dan institusi publik maka
dikategorikan sebagai public procurement, namun jika dilakukan oleh institusi privat (swasta) maka
dikategorikan sebagai private procurement.

Berdasarkan atas penggunanya, Edquist et all (2000) membedakan public procurement atas direct procurement
dan catalic procurement:

Gambar 2.1
Jenis Pengadaan Barang dan Jasa Berdasarkan Penggunanya

Direct Catalic
Public Public
Procur Procur
ement ement

1. Direct public procurement, When the procuring organization is also the end-user of the product; using
its own demand or need to induce innovation (Problems inside).
Institusi Publik menjadi Pelaksana Pengadaan sekaligus merupakan pengguna dari barang/jasa yang
diadakan, oleh sebab itu secara intrinsik motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari
Pelaksana Pengadaan yang sekaligus juga penggunanya.
2. Catalic procurement, When the procuring organization serves as a catalyst, coordinator and technical
resource for the benefit of the end-users. The procurer is not the end-user. (Problem outside).
Pelaksana Pengadaan melakukan pengadaan atas nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun
motivasi kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari Pelaksana Pengadaan bukan dari
penggunanya.

Selain penggolongan diatas, ditinjau dari sumber dana yang digunakan untuk pengadaan barang/jasa,
maka yang dimaksud dengan public procurement adalah kegiatan pengadaan yang sumber dananya
berasal dari pemerintah atau institusi publik. Dalam hal ini Indonesia menggunakan pemahaman ini untuk
membedakan antara public procurement dan private procurement. Semua pengadaan yang sumber
dananya dari pemerintah baik melalui APBN, APBD, maupun perolehan dana masyarakat yang dikelola

16
oleh institusi pemerintah dikategorikan sebagai public procurement, oleh sebab itu seluruh kegiatan dan
proses pengadaannya harus mengacu dan mengikuti Perpers No. 54 tahun 2010.22

Berdasarkan karakter hasil:

1. Adaptive Procurement,

• Incremental innovation (diffusion oriented, absorption oriented)

 menambah, mengurangi dan menyempurnakan program-program yang telah ada


sebelumnya (berorientasi penyerapan)

2. Developmental Procurement,

• Radical innovation (creation oriented, new-to-the-world products)

 Penciptaan program baru, berorientasi inovasi.

Simatupang, T dan Kartika, F, 2013, mengatakan bahwa konsep pengadaan seharusnya memiliki konsep
berkelanjutan (sustainable procurement). Dalam mencapai konsep tersebut, arti pengadaan tidak hanya
terbatas pada mendapatkan barang, bangunan, dan jasa, melainkan juga untuk mencapai value for
money,yakni perbesaran nilai dari uang yang dikeluarkan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat
dan ekonomi dengan turut serta meminimalkan kerusakan lingkungan.

Filosofi pengadaan barang dan jasa adalah upaya mendapatkan barang dan jasa yang diinginkan yang
dilakukan atas dasar pemikiran yang logis dan sistematis (the system of thought), mengikuti norma dan etika
yang berlaku, berdasarkan metode dan proses pengadaan yang baku (IPW, 2006). Dalam prakteknya
pengadaan barang dan jasa, memiliki pengertian yang sama dengan tender. Pedoman tentang larangan
persekongkolan dalam tender berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (KPPU, 2004), menyebutkan bahwa yang dimaksud tender adalah
tawaran mengajukan harga terbaik untuk mebeli atau mendapatkan barang dan atau jasa, atau menyediakan
barang dan atau jasa, atau melaksanakan suatu pekerjaan. Pengertian tender meliputi;

a. Tawaran mengajukan harga terbaik untuk memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan
b. Tawaran mengajukan harga terbaik untuk mengadakan barang-barang atau jasa
c. Tawaran mengajukan harga terbaik untuk membeli suatu barang dan atau jasa
d. Tawaran mengajukan harga terbaik untuk menjual suatu barang dan atau jasa

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan memperoleh barang/jasa oleh


kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat dearah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa (Perpres No 54 Tahun
2010, serta perubahannya Perpres 70 tahun 2013).

22 Jurnal Pengadaan LKPP, 2011. Senarai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Volume 1 Number 1.

17
Dalam Perpres No. 54 Tahun 2010, disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa menerapkan prinsip-prinsip
sebagai berikut :

a. Efesien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya
yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau
menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang
maksimum
b. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah
ditetapkan serta member manfaat yang sebesar-besarnya.
c. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas
dan dapat diketahui secara luas oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat
pada umumnya.
d. Terbuka, berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang
memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan procedure yang jelas
e. Bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara
sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sehingga dapat
diperoleh barang/jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu
terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa
f. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakukan yang sama bagi semua calon pemyedia
barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak tertentu, dengan
tetap memperhatikan kepentingan nasional
g. Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan
barang/jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan

UNCTAD menyebutkan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah pada prinsipnya adalah keterbukaan dan
tidak ada nya diskriminasi, membiarkan kompetisi terjadi antara penyedia barang/jasa serta memastikan
bahwa pemerintah mendapatkan best value for money.

Berangkat dari definisi dan konsep-konsep diatas, terdapat beberapa kata kunci yang penting dalam
penyelenggaraan PBJ yaitu:

1. Transparansi,
2. Berbasis kebutuhan,
3. Kompetisi yang sehat,
4. Efisien (harga terbaik/economically advantageous price/value for money),
5. Efektif (sesuai tujuan),

Kajian ini membatasi definisi Pengadaan Barang dan Jasa sebagai:

“PBJ dalam penelitian ini didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan* yang dilakukan oleh pemerintah
dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang dan jasa dengan menggunakan dana rupiah murni dalam
APBN/APBD.”

*Serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan anggaran, pelaksanaan hingga evaluasi.

18
2.2 PERBANDINGAN PBJ DI DUNIA 23

2.2.1 PERANCIS

Penyelenggara pengadaan pemerintah adalah UGAP (Union des Groupements d'Achats Publics). Sejak tahun
1985, UGAP berperan mengatur metode dan tata cara pelelangan Pemerintah Perancis yang ditetapkan dalam
suatu aturan. Eprocurement sendiri dimulai pada tahun 2004 dalam dua tahap. Pada tahap pertama adalah
dengan dibentuknya Dinas Pengadaan Publik atau Agency for Public Procurement (ACA) pada Departemen
Keuangan. Pada tahap ini Pemerintah Perancis telah mengakomodir:

1. Aturan tentang electronic signature dalam kontrak maupun surat menyurat selama proses
pengadaan.
2. Standardisasi pengadaan, bentuk-bentuk kontrak,
3. Lelang secara elektronik, pemesanan secara elektronik (e-ordering), dan pembayaran secara
elektronik (e-payment).

Sedangkan pada tahap kedua dibentuk Lembaga Pengadaan Pemerintah Pusat (The State Government
Procurement Agency) atau SAE sejak tahun 2006 sampai sekarang. Salah satu tanggung jawab SAE adalah
menyusun kebijakan di bidang Pengadaan Barang/Jasa. Fungsi utama yang dicakup SAE dalam proses
pengadaan meliputi pengumuman lelang, dokumen pelelangan berbasis online, tanya jawab (question and
answer), e-tendering, kontrak dan keputusan-keputusan, serta pengarsipan pengadaan. Pada tahap kedua ini
mulai diperkenalkan interministrial audit untuk mengatasi permasalahan lemahnya profesionalisme dan
kemungkinan untuk mengkapitalisasi kemajuan saat ini pada area-area yang lebih spesifik seperti keuangan
dan pertahanan. Keberhasilan lain adalah terpusatnya pengadaan pada industri telepon seluler dan gas.

Ambisi Perancis dalam menerapkan e-procurement adalah untuk meningkatkan profesionalisme pengadaan
pemerintah dengan tujuan untuk menghemat biaya pengadaan hingga 10 persen dan mengurangi beban
administrasi. Disamping itu, secara makro proyek tersebut juga bertujuan menciptakan pengadaan yang
bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi serta meningkatkan manajemen sumber daya manusia untuk
berdedikasi di sektor pengadaan.

2.2.2 FILIPINA

Pemerintah Filipina telah mengeluarkan regulasi di bidang pengadaan yang dinamakan Government
Procurement Reform Act (Republic Act 9184) pada bulan Januari 2003. Pada era sebelumnya, Filipina memiliki
lebih dari 100 produk hukum terkait dengan pengadaan pemerintah. Produk-produk hukum yang sangat
terfragmentasi tersebut kemudian dikonsolidasikan dalam Government Procurement Reform Act yang menjadi
dasar bagi modernisasi, standardisasi, dan regulasi aktivitas pengadaan pemerintah. Act tersebut dirancang
untuk memadukan sistem pengadaan di Filipina, mengurangi peluang untuk terjadinya suap dan korupsi,
menyelaraskan sistem pengadaan dengan standar dan praktik internasional, serta mendorong transparansi,
kompetisi, efisiensi, akuntabilitas, dan pengawasan publik.

Adapun susunan organisasi pengadaan di Filipina terdiri dari:

23 Disarikan dari beragam sumber

19
I. Badan Pengadaan dan Unit Pengadaan/Kantor

1. Entitas Pengadaan

Sebuah Entitas Pengadaan adalah kantor pusat atau lembaga yang diberi kewenangan untuk melaksanakan
pengadaan secara independen, kantor regional atau lembaga tingkat desentralisasi, lokal atau lebih
rendah/Biro/Kantor dari NGA, GOCC, GFI, SUC atau LGU.

2. Unit Pengadaan/Kantor dan Sekretariat BAC

Kepala Entitas Pengadaan harus membuat Sekretariat BAC permanen dan untuk tujuan ini, ia memiliki
keleluasaan untuk membuat kantor baru atau untuk sekedar menunjuk kantor organik yang ada menjadi
Sekretariat BAC. Istilah "Unit Pengadaan" mengacu kepada kantor organik dari entitas pengadaan yang
melaksanakan fungsi pengadaan. Dalam Departemen yang besar sebagai Entitas Pengadaan, unit ini bisa
berupa Layanan (Services) atau Divisi, sedangkan di organisasi kecil mungkin berbentuk Cabang yang terdiri
dari beberapa personil. Ukuran Unit Pengadaan dan jumlah personil ditentukan oleh volume transaksi yang
dilakukan dan tingkat keahlian yang diperlukan oleh Pejabat Pengadaan. Kepala Entitas Pengadaan
membentuk Unit Pengadaan berdasarkan pedoman berikut ini:

i. Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan melebihi tiga miliar peso (P3B), baik pengadaan terpusat
maupun desentralisasi, harus memiliki "Direktorat Pengadaan dan Perlengkapan (Procurement and Supply
Chain Management Directorate)" yang dipimpin oleh seorang Direktur.

ii. Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan melebihi satu miliar peso (P1B) tetapi tidak lebih dari tiga
miliar peso (P3B) harus memiliki "Divisi Pengadaan dan Perlengkapan (Procurement and Supply Chain
Management Division)".

iii. Entitas Pengadaan dengan anggaran pengadaan di bawah satu miliar peso (P1B) harus memiliki "Seksi
Pengadaan dan Perlengkapan (Procurement and Supply Chain Management Section)".

2. Bids and Awards Committee (BAC)

Kepala Badan Pengadaan harus membuat BAC tunggal di Kantor Kepala Entitas Pengadaan. Namun, BAC
terpisah dapat dibuat di bawah salah satu kondisi berikut:

a. Barang yang akan dibeli adalah kompleks atau khusus, atau

b. Jika BAC tunggal tidak dapat mengelola transaksi pengadaan sampai batas waktu yang ditentukan.

3. Anggota BAC

a.Pada kantor Pusat Badan-badan Pemerintah, BUMN, Lembaga Keuangan dan Perguruan Tinggi Negeri, BAC
harus terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7(tujuh). Dari 5 (lima) anggota, 3 (tiga)
orang merupakan anggota biasa dan 2 (dua)orang merupakan anggota sementara.

b.Pada Biro/Kantor Wilayah/Unit Terdesentralisasi dari Badan-badan Pemerintah, BUMN, Lembaga Keuangan,
BAC harus terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh). Dari 5 (lima) anggota; 3 (tiga)
anggota biasa dan 2 (dua) anggota sementara.

20
c. Pada Provinsi, Kabupaten/Kota: The BAC terdiri dari setidaknya 5 (lima) anggota dan tidak melebihi 7 (tujuh).

• Kepala Daerah harus menunjuk para anggota BAC, yang harus menempati posisi unit pendukung dari
Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

• Semua anggota yang ditunjuk oleh Kepala Daerah adalah anggota biasa kecuali anggota pengguna akhir
yang dianggap sebagai anggota sementara.

d.Pada Barangay:

i. Kepala Barangay akan menunjuk setidaknya 5 (lima) tetapi tidak lebih dari 7 (tujuh) anggota BAC, yang
berasal dari anggota Barangay Sangguniang. BAC yang ditunjuk sebagai anggota harus menentukan
Ketua dan Wakil Ketua diantara mereka.

ii. Para anggota BAC diangkat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dihitung dari tanggal pengangkatan.

4. Kelompok Kerja Teknis (TWG)

BAC dapat membentukTWG yang berasal dari ahli teknis, keuangan dan/atau hukum untuk membantu proses
pengadaan.

5. Pengamat(Observer)

BAC mengundang pengamat hadir untuk mengamati seluruh tahapan pengadaan. Tujuan dari observasi
adalah untuk meningkatkan transparansi proses pengadaanpada seluruh tahapan.

Government Procurement Reform Act mengharuskan penggunaan Philippine Government Electronic


Procurement System (PhilGEPS) bagi seluruh lembaga pemerintah pusat, perusahaan yang dimiliki atau
dikendalikan oleh pemerintah,lembaga keuangan pemerintah, perguruan tinggi negeri, dan unit pemerintah
daerah. Penyedia barang/jasa yang ingin terlibat dalam pengadaan pemerintah harus mendaftarkan diri
terlebih dahulu ke sistem.

Penggunaan PhilGEPS akan meningkatkan transparansi pengadaan pemerintah karena peluang untuk berbisnis
dengan pemerintah dan aktivitas sesudahnya dilakukan secara online. Informasi tentang siapa yang menjadi
pemenang, alasan pemenangan, dan nilai kontrak dapat diakses melalui sistem. Dengan PhilGEPS, penyedia
barang/jasa tidak perlu lagi mengunjungi kantor lembaga pemerintah untuk melihat pengumuman pengadaan.

2.2.3 MALAYSIA

Pengadaan barang dan jasa negara Malaysia dilakukan oleh Divisi Pengadaan Pemerintah, Kementerian
Keuangan Malaysia (Government Procurement Division, Ministry of Finance). Adapun tugas dan
tanggungjawabnya adalah sebagai berikut:

1. perumusan kebijakan dan peraturan pengadaan


2. pengulasan terhadap pengadaan-pengadaan sebelumnya
3. pengawasan dan reviu pasca pengadaan
4. melakukan audit terhadap pengadaan
5. melakukan reviu terhadap complain pada pengadaan3

21
6. monitoring dan evaluasi di tingkat entitas negara, sektor dan pengadaan
7. Penasihat profesional dan bimbingan dalam pengadaan publik
8. pengembangan kapasitas pengadaan dan pelatihan

Pengadaan barang dan jasa dinaungi oleh peraturan dan hukum yaitu :

1. Financial Procedure Act 1957


2. Government Contracts Act 1949
3. Treasury Directives and Circular Letters
4. Federal Central Contract Circulars

Peraturan dan hukum pengadaan barang dan jasa:

1. tidak mencakup pengadaan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara
2. membolehkan frameworks contract (semacam multiyears)
3. menetapkan sistem desentralisasi dengan prosedur kajian dan persetujuan sebelumnya untuk
kontrak-kontrak yang besar
4. hukum memandatkan standardisasi praktik pengadaan yang mewajibkan penggunaan prosedur
umum, dan standar dan bentuk dokumen penawaran
5. menyediakan prinsip dan prosedur umum dalam membuat ketentuan untuk penggunaan / penerapan
e-procurement
6. mengamanatkan penggunaan registrasi dan klasifikasi sistem sebagai pra-kualifikasi kontraktor untuk
menawar
Proses Pengadaan Pemerintah di Malaysia diatur oleh Undang-Undang Prosedur Keuangan 1957 yang
memberdayakan Departemen Keuangan Malaysia (MOF) untuk bertindak sebagai Badan Pusat dan
merumuskan aturan dan peraturan yang berkaitan dengan semua Pengadaan Pemerintah. Melalui
Prosedur Keuangan Act, MOF telah mengeluarkan aturan dan pedoman Pengadaan Pemerintah
seperti Treasury Instruksi dan Surat Edaran Treasury yang dapat diakses melalui
www.treasury.gov.my.
7. The PPA reports to:
a. President/Parliament
c. Ministry of Finance

Tujuan Pengadaan barang dan jasa

1. Pasokan Berkelanjutan Barang dan Jasa (Sustainable Supply of Goods and Services)
2. Nilai yang tinggi untuk uang (High Value for Money)
3. Promosi Industri Lokal (Promotion of Local Industries)
4. Sebagai cara untuk mencapai Tujuan Pembangunan Nasional (As a way to achieve National
Development Goals)
5. Transfer Teknologi dan Keahlian (Transfer of Technology and Expertise)

Prinsip-Prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah : a) Akuntabilitas publik (Public accountability), b)
Transparansi (Transparency), c) Nilai untuk uang (Value for money), d) persaingan terbuka dan adil (Open and
fair competition), e) Transaksi yang adil (Fair dealing)

Pengadaan barang dan jasa menggunakan e-procurement system yaitu www.eperolehan.gov.my .

22
2.2.4 KOREA SELATAN

Pengadaan barang dan jasa di Korea Selatan diselenggarakan oleh Public Procurement Service (PPS). Yang
berada di bawah Kementerian Strategi dan Keuangan. Public Procurement Service (PPS) berperan dalam
pengadaan barang dan jasa sebagai berikut:

 Pengadaan dalam dan luar negeri untuk lembaga-lembaga publik


o Pembelian dan persediaan barang dengan volume tahunan sebesar USD 14 Miliar atau
sekitar 46% dari total pembelian public.
 Kontrak untuk proyek-proyek konstruksi utama pemerintah
o Volume kontrak sekitar USD 14 Miliar atau sekitar 39% dari seluruh pekerjaan umum. PPS
juga melakukan kajian desain proyek konstruksi dan memberikan jasa manajemen kosntruksi
untuk lembaga-lembaga public yang tidka memiliki insinyur profesional
 Stok persediaan dan pasokan bahan baku
o PPS mengadakan stok bahan baku utama seperti alumunium, tembaga, timbal, seng, timah,
dan bahan konstruksi. Dalam jangka pendek dan panjang dan permintaan barang, dan
stabilasi harga konsumen, sehingga mendukung perkembangan stabil ekonomi nasional.
 Koordinasi dan audit asset/barang milik negara/pemerintah
o PPS secara efisien mengelola sekitar 12 Juta unit property pemerintah, yang jumlahnya
mencapai USD 7.8 Miliar pada 2007. Bertanggungjawab atas hal-hal mengenai pengelolaan
milik pemerintah.
 Pengelolaan dan pengoperasian KONEPS E-Procurement
O KONEPS melakukan seluruh proses pengadaan dari undangan untuk tawaran, penawaran,
kontrak untuk pembayaran kontraktor online.

Undang-undang Pengadaan Barang dan Jasa Republik KoreaNomor 4697 tanggal 5 Januari 1994 oleh
Kementerian Perundang-undangan. (Government Procurement Act (Republic of Korea) January 5, 1994 as Act
No. 4697)

Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa

Transparansi dalam kesempatan yang pengadaan yang adil, transparansi dalam praktek kontrak, dan prinsip
non-diskriminasi diterapkan dalam tender internasional sesuai dengan WTO GPA.

Tujuan utama dari pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah untuk memperoleh barang dan jasa di
bawah kondisi yang paling menguntungkan. Ini bisa berarti harga rendah atau kualitas terbaik, atau kombinasi
diantaranya.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah mempunyai tujuan sekunder seperti promosi operator ekonomi
tertentu atau industri, perlindungan pasar domestik, penegakan kebijakan sosial, dll Pada saat yang sama, GP
juga bercita-cita untuk mencapai masyarakat Pareto-optimal, yang menempatkan lebih menekankan pada
politik -ekonomi aspek PBJ pemerintah.

Meskipun berfokus pada pengadaan dengan harga terendah dengan pandangan mempromosikan efisiensi
ekonomi, tren terbaru adalah untuk menekankan kualitas dan pencapaian nilai terbaik untuk uang. Ini berarti
bahwa paradigma pembelian dengan harga terendah sedang digantikan oleh paradigma pembelian pada nilai
tertinggi, dan bahwa kriteria selain harga pembelian, misalnya layanan disesuaikan, sempurna A / S, pasokan
cepat, dll, yang semakin penting.

23
E-Procurement

Korea ON-line E-Procurement System (KONEPS) terpusat pada satu sistem yang dikelola oleh PPS. Prosedur e-
procurement melalui KONEPS ini di bagi menjadi dua bagian, yaitu pengadaan untuk masyarakat lokal dan
pengadaan untuk masyarakat luar Korea Selatan.

2.2.5 SINGAPURA

Pengadaan pemerintah di Singapura senilai SGD7.5 miliar (sekitar USD4.5 miliar) per tahun tunduk pada
peraturan dari UU Pengadaan Pemerintah dan tiga keputusan: Peraturan Pemerintah Pengadaan, Pengadaan
Pemerintah (Challenge Proceedings) Peraturan, dan Pemerintah pengadaan (Application) Order.

Prinsip-prinsip dasar yang mendasari rezim pengadaan pemerintah di Singapura adalah


1. keterbukaan dan keadilan;
2. transparansi, dan
3. nilai uang (value for money)

Kementerian Keuangan berhak menetapkan peraturan mengenai cakupan luas dari aspek pengadaan, seperti
prakualifikasi dan pemberian prosedur atau spesifikasi teknis untuk pengadaan. Manual instruksi pemerintah
yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan memberikan bimbingan tambahan untuk pengadaan badan dan
penawar potensial. Kerangka pengadaan juga berlaku untuk perusahaan milik negara.

Solusi end-to-end e -procurement publik yang bertindak sebagai stimulus untuk pengembangan e -commerce di
Singapura. Di satu sisi , lembaga-lembaga publik menikmati manfaat dari membuat pembelian elektronik
barang yang biasa digunakan, di sisi lain, pemasok dan penawar lelang menikmati akses yang lebih luas untuk
tender pemerintah dan penawaran.

Sistem e -procurement umum untuk seluruh sektor publik di Singapura menghasilkan transaksi yang sesuai
dengan kebijakan pengadaan pemerintah (termasuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) - Perjanjian
Pengadaan Pemerintah).

Selain memiliki peraturan yang jelas dan komprehensif (kerangka hukum dan kelembagaan ) pada pelaksanaan
pengadaan publik, juga mencatat bahwa GeBIZ memungkinkan transparansi yang lebih besar karena semua
operasi pengadaan, dimulai dengan pengumuman tender untuk pemberian kontrak, yang dipublikasikan
secara online. dengan demikian, warga setempat dan pengusaha mendapatkan keuntungan dari portal e -
procurement one-stop pemerintah Singapura karena membantu tingkat kompetisi untuk memungkinkan
usaha kecil dan menengah untuk bersaing dengan vendor yang ditetapkan setiap kali sebuah lembaga
mengeluarkan undangan untuk melakukan penawaran.

2.2.6 DENMARK

Peraturan / Hukum

Peraturan pengadaann barang dan jasa di atur oleh Peraturan Pemerintah No. 600 af 30/06/1992
(Governmental order number 600 af 30/06/1992). Kementerian Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan dan
Kementerian Urusan Ekonomi dan Bisnis Denmark bewenang untuk mengatur dengan menerapkan undang-

24
undang yang merujuk pada EU Directive pada pengadaan publik. Prinsip PBJ adalah Perlakuan yang setara
untuk pemasok, transparansi, pencegahan diskriminasi berdasarkan negara (nationalities).

Perundang-undangan nasional yang diadopsi untuk merefleksikan hukum Uni Eropa pada pengadaan publik ke
dalam sistem hukum Denmark:

1. Direktif 2004/18/EC dari Parlemen Eropa dan Dewan 31 Maret 2004 (Directive 2004/18/EC of the
European Parliament and of the Council of 31 March 2004)
Melakukan koordinasi prosedur untuk penghargaan kontrak pekerjaan umum, masyarakat kontrak
pasokan dan kontrak pelayanan publik;
Diadopsi menjadi :
Governmental order number 937 of 16 September 2004
tentang tata cara pemberian kontrak pekerjaan umum, kontrak pasokan publik dan kontrak
pelayanan publik;

2. Direktif 2004/17/EC dari Parlemen Eropa dan Dewan 31 Maret 2004 (Directive 2004/17/EC of the
European Parliament and of the Council of 31 March 2004)
Melakukan koordinasikan prosedur pengadaan perusahaan yang beroperasi di sektor air, energi,
transportasi dan layanan pos.
Diadopsi menjadi :
Governmental order number 936 of 16 September 2004
tentang prosedur pengadaan perusahaan yang beroperasi di air, energi, transportasi dan sektor
telekomunikasi.

3. Undang-undang Nomor 338 dari 18 Mei 2005 (Act No. 338 of 18 May 2005)
Undang-undang pendukung yang dilengkapi dengan prosedur yang dijelaskan dalam UU Denmark
atas undangan untuk tender untuk kontrak publik dan subsidi publik tertentu.

SKI (Statens og Kommunernes indkøbsservice) adalah badan pengadaan sentral yang mengatur volume diskon
pada barang dan jasa umum kepada publik. SKI menetapkan perjanjian kerangka kerja atas nama negara
Denmark dan kota yang bertujuan untuk menguntungkan baik penyedia dan pembeli publik.

SKI adalah sebuah perusahaan terbatas yang dimiliki oleh negara (55 persen) dan Denmark Pemerintah Daerah
(45 persen). Pendapatan SKI didasarkan pada pemasok perjanjian kerangka membayar bagian dari omset yang
masuk melalui perjanjian. Model bisnis ini memberikan SKI insentif untuk membuat kesepakatan yang sering
digunakan sehingga eksistensi SKI berkelanjutan. SKI adalah perusahaan non-profit.

The Denmark Competition Authority merupakan lembaga di bawah Kementerian Denmark Urusan Ekonomi
dan Bisnis dan merupakan otoritas yang bertanggung jawab di bidang pengadaan sejak tahun 1993. Alasan
untuk menempatkan hal-hal mengenai pengadaan publik di bawah naungan The Denmark Competition
Authority adalah bahwa aturan-aturan pengadaan publik dianggap sebagai bagian penting dari aturan
kompetisi.

The Danish Competition Authority:


 bukan badan pengawas, dan hanya menyarankan pada pemahaman aturan pengadaan publik ketika
diminta
 berusaha untuk memastikan pengembangan persaingan yang efektif dan bebas di bidang kontrak
publik

25
Sebagai aturan pokok, jika nilai ambang batas terlampaui, pemberi kontrak harus memperoleh tender dengan
menggunakan prosedur yang terbuka atau terbatas. Bila menggunakan prosedur yang terbuka, semua pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan tender. Bila menggunakan prosedur terbatas, hanya partai yang pra -
kualifikasi oleh pemberi kontrak dapat mengajukan tender yang sebenarnya.

Kontrak sangat kompleks (misalnya kontrak jaringan komputer besar) dapat dimasukkan ke dalam atas dasar
dialog yang kompetitif, di mana ada dialog yang lebih erat antara pemberi kontrak dan tenderer tersebut.
Dalam keadaan tertentu, kontrak juga dapat dimasukkan ke dalam atas dasar prosedur negosiasi.

Pemberi kontrak adalah, sebagai aturan umum, wajib untuk mengecualikan tender karena otoritas publik
Danish jumlah tunggakan lebih dari DKK 100.000 ( sekitar EUR 14.000 ) . Oleh karena itu, tender biasanya
diminta untuk menyerahkan pernyataan khidmat tentang utang mereka kepada otoritas publik. Selanjutnya,
tender dihukum karena partisipasi dalam kejahatan terorganisir, pencucian uang, penipuan Uni Eropa atau
suap harus dikecualikan dari prosedur pengadaan.

Aturan pengadaan publik didasarkan pada prinsip-prinsip umum perlakuan yang sama dan transparansi , yang
secara eksplisit dinyatakan dalam EU Directive . Di antara prinsip-prinsip lain yang tersirat dalam aturan
pengadaan adalah prinsip-prinsip proporsionalitas dan persaingan.

Pemberi kontrak harus, khususnya, akan menghormati prinsip kesetaraan selama prosedur pengadaan.
Akibatnya, diskriminasi atas dasar kebangsaan dilarang. Tender harus dievaluasi hanya pada jasa-jasa mereka.

Prinsip pengadaan barang dan jasa:


 Perlakuan yang setara untuk pemasok
 Transparansi
 Pencegahan diskriminasi berdasarkan negara (nationalities)

Kontrak akan diberikan dengan menerapkan salah satu kriteria yaitu harga lelang terendah, atau tender yang
paling menguntungkan secara ekonomis. Jika kriteria pemberian adalah tender yang paling ekonomis
menguntungkan, pemberi kontrak harus menetapkan kriteria lanjut ( selain harga) atas dasar yang tender akan
dievaluasi, misalnya kualitas, jasa teknis, estetis dan karakteristik fungsional, biaya operasional, dll. Pemberi
kontrak dapat membatalkan prosedur pengadaan (dan memutuskan untuk tidak memberikan kontrak ke salah
satu peserta tender), jika mempunyai alasan yang tepat.

E-procurement di negara Denmark terdiri dari tiga sistem yaitu:


1. DOIP (Den Offentlige Indkøbsportal) The public procurement portal) www.doip.dk

Merupakan e-procurement utama pengadaan barang dan jasa


2. ETHICS (the Electronic Tender Handling, Information and Communications System)
Adalah sistem informasi yang menangani informasi, komunikasi dan registrasi penyedia untuk dapat
masuk sebagai penyedia barang dan jasa pemerintah
3. Electronic catalogues of goods www.netkatalog.dk

Merupakan sistem e-katalog barang yang sentralisasi untuk negara Denmark.

26
PELAJARAN PENTING DARI BENCHMARK SISTEM PBJ

No. Hal Benchmark Sistem PBJ


1 Regulasi Regulasi terkait PBJ bersifat sentralisasi, hanya ada 1 regulasi saja (setingkat UU
beserta turunan peraturan pelaksananya)
2 Prinsip PBJ o Value for money,
o Monitoring publik,
o Perlakuan yang sama untuk pemasok atau vendor
3 Kelembagaan o Kementerian Keuangan bertanggungjawab terhadap Lembaga Pengadaan
Barang dan Jasa sebagai pos pengeluaran belanja negara.
o Filipina memisahkan antara lembaga regulator dan implementator
4 Pelaksanaan o E- Procurement menjadi andalan utama dalam menciptakan PBJ yang
transparan, akuntabel, dan mengurangi fraud dan korupsi.
o Sentralisasi Pengadaan-pengadaan yang bersifat strategis.

2.3 KONDISI PBJ DI INDONESIA

REGULASI PBJ DI INDONESIA 24

Pengaturan tentang Pengadaan Barang dan Jasa memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan
negara. Setidaknya ada lima alasan;

1) Dibutuhkan untuk memastikan bahwa pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah mencapai tujuan
agar mendapatkan barang dan jasa dalam harga yang kompetitif dengan kualitas yang tinggi.
Pengaturan ini menjadi panduan bagi para penyelenggara yang memiliki tugas melakukan pengadaan
barang dan jasa.
2) Agar ada pengaturan yang relative seragam ketika berbagai instansi publik melakukan pengadaan
barang dan jasa. Keseragaman dibutuhkan untuk memudahkan melakukan proses PBJ dan
pemantauan.
3) Agar instansi public dan penyedia barang dan jasa dapat mengetahui secara akurat proses dan
prosedur serta berbagai persyaratan dalam PBJ oleh instansi publik.
4) Agar dapat dicegah tindakan yang bersifat kolutif dan koruptif, termasuk prosedur yang benar dan
salah.
5) Dapat menjadi panduan bagi auditor untuk memastikan bahwa syarat, proses, dan prosedur telah
diikuti.

Sejak tahun 1973, Indonesia telah memiliki aturan terkait pengadaan barang dan jasa namun masih disisipkan
dalam Keppres mengenai Pedoman Pelaksanaan APBN. Keppres pertama yang dikeluarkan terkait pengadaan
barang dan jasa adalah Keppres nomor 11 tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. Setelah Keppres
no.11 tahun 1973 lahir, hampir setiap tahun secara berturut-turut lahir keppres baru sebagai penyempurnaan
pengaturan pelaksanaan APBN. Barulah setelah tahun 2000 lahir keppres yang secara khusus mengatur
pengadaan barang dan jasa.

24 Disarikan dari Buku Prof. Sogar Simamora, Op Cit.Hal 100-154

27
Keputusan/peraturan presiden yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah:

1. Keppres No. 11 tahun 1973 tentang Pedoman pelaksanaan APBN


2. Keppres No. 17 tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1974/1975
(Keppres no. 17/1974)
3. Keppres No. 7 tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1975/1976 (Keppres
No. 7/1975)
4. Keppres No. 14 tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 176/1977 (Keppres
No. 14/1976)
5. Keppres No. 12 tahun 1977 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 12/1977)
6. Keppres No. 14 tahun 1979 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 14/1979)
7. Keppres No. 14 A tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 14A/1980)
8. Keppres No. 18 tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980
tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 18/1981)
9. Keppres No. 29 tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 19/1984)
10. Keppres No. 16 tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 16/1994)
11. Keppres No. 24 tahun 1995 tentang Perubahan Atas Keppres No. 16/1994 tentang Pelaksanaan APBN
(Keppres No. 24/1995)
12. Keppres No. 6 tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keppres No. 16/1994 sebagaimana telah diubah
dengan Keppres No. 24/1995 tentang APBN (Keppres No. 6/1999)
13. Keppres No. 17 tahun 2000 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 17/2000)
14. Keppres No. 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi
Pemerintah (Keppres No. 18/2000)
15. Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(Keppres No. 80/2003)
16. Keppres No. 61 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 61/2004)
17. Keppres No. 32 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 32/2005)
18. Keppres No. 70 tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 70/2005)
19. Perpres No. 8 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 8/2006)
20. Perpres No. 79 tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 79/2006)
21. Perpres No. 85 tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 85/2006)
22. Perpres No. 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 95/2007)
23. Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 54/2010)
24. Perpres No. 35 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (Perpres 35/2011)
25. Perpres No. 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres 54/2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 70/2012)
26. Perpres No. 172 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres 54/2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 172/2014)

28
27. Perpres No. 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres 54/2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 4/2015)

Dilihat dari sejarahnya, Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merupakan peraturan
pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang tentang APBN. Sebelum terbit UU no. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, keppres atau
perpres mengacu kepada UU no. 9 tahun 1968 dan undang-undang Dasar 1945 khususnya Pasal 23 ayat
(1) yang mengatur tentang keuangan.

Beberapa poin penting dalam regulasi pada periode 1973 – 2000:

• Prinsip pengeluaran adalah penghematan dan efisiensi, pengarahan dan pengendalian yang sesuai
dengan fungsi masing-masing departemen, koodinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi, tidak
bergaya mewah.

• Tahun 1975 ada keharusan mengutamakan produksi dalam negeri dalam PBJ. Pelaksanaan
pengeluaran anggaran sejauh mungkin diusahakan standarisasi.

• Tahun 1980 memuat partisipasi golongan ekonomi lemah dalam PBJ (sekurang-kurangnya 50% modal
perusahaan milik pribumi, lebih dari separo Dewan Komisaris dan Direksi adalah pribumi, dan jumlah
modal dan kekayaan bersih dibawah 25 juta untuk bidang usaha perdagangan jasa dan dibawah 100
juta untuk industri dan konstruksi.)  pemerataan kesejahteraan.

• S.d Tahun 1984 pelelangan berkembang menjadi 4 jenis; pelelangan umum, pelelangan terbatas,
penunjukan langsung, dan pengadaan langsung.

• Tahun 1984 melarang perumusan klausula sanksi ganti rugi bagi pemerintah dalam perjanjian, hanya
untuk rekanan.

Beberapa poin penting pada regulasi setelah tahun 2000:

• Adanya ratifikasi dari WTO (uu no. 7 tahun 1994), isu utama pada keppres: transparansi dan anti
diskriminasi. Keppres 18 tahun 2000 merupakan regulasi pertama di Indonesia yang khusus mengatur
PBJ. Prinsip pengadaan: efisien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan
bertanggungjawab.

• Keppres juga menetapkan etika pengadaan bagi pengguna dan penyedia barang dan jasa (kewajiban
dan larangan).

• Jenis metode pengadaan disesuaikan dengan jenis objek pengadaannya. Mengharuskan adanya
pendapat hukum dari ahli hukum kontrak (diatas 50M). Kontrak dibatalkan jika ada KKN. Sanksi bagi
kedua belah pihak. Aturan bersifat teknis diatur dalam lampiran kepres 80/2003.

• Mensyaratkan adanya sertifikat keahlian atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang
pengadaan barang dan jasa.

• Dibentuk organisasi pengadaan yang lengkap.

29
E-PROCUREMENT DI INDONESIA

III.1.1 Lembaga yang Melaksanakan E-Procurement di Indonesia

Hingga tahun ini e-procurement di Indonesia sudah terlaksana selama 8 tahun (2008-2011). E-Procurement di
Indonesia dimulai pada tahun 2008 dengan keluarnya Keppres nomor 80 tahun 2003 yang mengatur tentang
pengadaan barang/jasa pemerintah. Secara eksplisit keppres tersebut mengijinkan proses pengadaan melalui
e-procurement.

Untuk mengakomodasi e-procurement di Indonesia, pemerintah dengan berlandaskan beberapa hal


mendirikan lembaga yang mengakomodasi layanan pengadaan tersebut yang dinamakan LPSE (Lembaga
Pengadaan Secara Elektronik). LPSE sebenarnya merupakan unit kerja yang dibentuk oleh
Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN dan Pemerintah Daerah untuk melayani Unit Layanan
Pengadaan (ULP) yang akan melaksanakan pengadaan secara elektronik. Bagi ULP atau instansi yang tidak
membentuk LPSE maka dapat melaksanakan pengadaan secara elektronik dengan menjadi pengguna dari LPSE
terdekat.

Sumber: http://www.lkpp.go.id

Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan
Barang/jasa – Bappenas pada tahun 2006 sesuai dengan instruksi Presiden no 5 tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi. E-procurement menjadi salah satu dari 7 flagship Dewan Teknologi
Informasi Nasional (Detiknas) dan di bawah koordinasi Bappenas. Pada tahun 2007 telah dilakukan pelelangan
secara elektronik melalui LPSE oleh Bappenas dan Departemen Pendidikan Nasional. Pada waktu itu baru
terdapat satu server LPSE yang berada di Jakarta dengan alamat www.pengadaannasional-bappenas.go.id
yang dikelola oleh Bappenas.

Pada bulan Desember 2007, Presiden mengeluarkan Keppres nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Lembaga ini merupakan ‘pemekaran’ Pusat Pengadaan yang
sebelumnya berada di Bappenas. Dengan adanya Keppres ini, seluruh tugas menyangkut kebijakan pengadaan

30
barang dan jasa pemerintah menjadi tanggung jawab LKPP, termasuk di dalamya pengembangan dan
implementasi ELECTRONIC GOVERNMENT PROCUREMENT.

Peran LKPP adalah membantu pemerintah dalam menyusun dan merumuskan strategi, penentuan kebijakan
dan standar prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk pembinaan sumber daya manusia. LKPP
juga diberi tugas untuk mengembangkan sistem informasi serta melakukan pengawasan penyelenggaraan
pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik. Selain itu, LKPP juga diberi tugas untuk melakukan
bimbingan teknis, advokasi dan bantuan hukum.

Pada tahun 2008, instansi pemerintah pusat dan daerah mulai menerapkan e-procurement di pemerintahnya.
Pada kuartal 2 tahun 2008, Departemen Keuangan meluncurkan lelang e-proc perdana. Sementara itu,
Departemen Pendidikan Nasional juga meluncurkan lelang perdana melalui LPSE pada Desember 2008.

Sejak diberlakukannya Perpres 54 tahun 2012, LPSE berkembang jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Tabel 3
Transaksi melalui LPSE
Per Oktober 2015
No. Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Total
1. Jumlah Lelang 33 1.724 6.397 24.475 91.356 131.908 136.097 151.289 543.279
2. Nilai Pagu 52.500 3.372.032 13.424.756 53.286.540 151.286.703 249.394.629 310.050.601 316.205.646 1.097.073.407
(Juta Rp)
3. Jumlah Lelang 33 1.720 6.370 24.076 88.308 122.505 129.681 128.792 501.485
Selesai
4. Nilai Pagu 42.898 3.137.595 12.971.803 38.163.399 145.724.645 214.286.561 213.869.090 241.799.630 869.995.620
Selesai (Juta
Rp)
5. Nilai Hasil 36.286 2.618.650 11.585.138 33.688.791 128.966.245 192.490.242 195.884.370 218.548.017 783.817.738
Lelang (Juta
Rp)
6. Selisih Pagu 6.612 518.945 1.386.665 4.474.608 16.758.400 21.796.319 17.984.721 23.251.613 86.177.883
dan Hasil
Lelang (Juta
Rp)
7. Selisih Pagu 15,41 16,54 10,69 11,72 11,50 10,17 8,41 9,62 9,91
dan Hasil
Lelang (%)
8. Selisih HPS dan - - - - - 14.995.465 11.460.013 12.195.956 38.651.434
Hasil Lelang
(Juta Rp)
9. Selisih HPS dan - - - - - 7,00 5,36 5,04 4,44
Hasil Lelang
(%)

(Sumber: LKPP 2015)

31
Tabel 4
Jumlah LPSE di Indonesia
Per Oktober 2015
Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
LPSE System Provider 11 30 98 273 501 547 597 620
LPSE Service Provider 0 3 39 42 42 55 19 15
Jumlah LPSE 11 33 137 315 543 602 616 635
Provinsi terlayani 9 18 28 31 33 33 34 34
Instansi terlayani 11 41 254 613 731 731 731 731

(Sumber: LKPP 2015)

Pada tahun 2010, LKPP mengembangkan sistem Otoritas Sertifikat Digital (OSD) bekerja sama dengan Lembaga
Sandi Negara. Sistem ini merupakan perwujudan konsep PUBLIK KEY INFRASTRUKTUR/INFRASTRUKTUR
KUNCI PUBLIK/IKP. Pengembangan telah dimulai sejak 2009 dan diharapkan dapat diterapkan secara
bertahap pada tahun 2010. Melalui penerapan OSD ini, setiap penyedia barang/jasa akan memiliki satu
sertifikat digital yang dapat digunakan untuk melakukan pengamanan dokumen penawaran.

LKPP juga sedang merancang sistem e-purchasing seperti diamanatkan draf perpres pengadaan barang/jasa.
Sistem e-purchasing ini diharapkan dapat selesai segera setelah Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
ditetapkan oleh Presiden.

Implementasi LPSE yang tersebar membawa konsekuensi bahwa setiap LPSE INDEPENDEN satu dengan
lainnya. Penyedia harus mendaftar di setiap LPSE untuk mengikuti lelang di LPSE tersebut. Di Jakarta misalnya,
seorang penyedia akan mendaftar dan melakukan verifikasi di LPSE Kem. Keuangan, LPSE Kem. Pendidikan
Nasional, LPSE Kepolisian RI, dan LPSE Kem. Kesehatan. Pada tahun 2010 ini LKPP akan mengembangkan
sistem AGREGRASI MELALUI INAPROC yang memungkinkan penyedia cukup mendaftar & verifikasi hanya di
satu LPSE untuk dapat mengikuti lelang di seluruh LPSE. Implementasi sistem agregrasi ini akan dilakukan
secara bertahap dimulai dari LPSE Kota Yogyakarta dan LPSE Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta.

Struktur Organisasi LPSE

Lembaga Pengadaan Secara Elektronik memiliki struktur organisasi sebagai berikut:

Struktur Organisasi LPSE

Sumber: http://lkpp.go.id/eproc/app?service=page/PublicStrukturOrganisasi

32
ORGANISASI PENGADAAN DI INDONESIA

Dalam Peraturan Presiden RI nomor 54 tahun 2010 (perpres 54 tahun 2010) tentang Pengadaan Barang
Jasa Pemerintah, yaitu dalam BAB III PARA PIHAK DALAM PENGADAAN BARANG/JASA, Bagian Pertama
Organisasi Pengadaan, Pasal 7 disebutkan bahwa Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui
Penyedia Barang/Jasa terdiri atas:
a. PA/KPA;
b. PPK;
c. ULP/Pejabat Pengadaan; dan
d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.

PA yang merupakan singkatan dari Pengguna Anggaran adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang
disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD yang mempunyai tugas dan wewenang:
a. menetapkan Rencana Umum Pengadaan;
b. mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan Pengadaan Barang Jasa paling kurang di website
K/L/D/I;
c. menetapkan PPK;
d. menetapkan Pejabat Pengadaan Barang Jasa;
e. menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;
f. menetapkan hasil pemilihan penyedia untuk nilai paket diatas 100 milyar untuk non konsultansi dan 50
milyar untuk konsultansi

33
Pejabat Pembuat Komitmen atau sering disingkat dengan PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:
a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
1) spesifikasi teknis Barang/Jasa;
2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
3) rancangan Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c. menandatangani Kontrak;
d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan
kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

Jika dibandingkan dengan Kepres 80 Tahun 2003, berikut struktur pada kepres tahun 2003:

Kelemahan struktur organisasi pengadaan pada Kepres 80 tahun 2003:


1. Hirarkies dan berjenjang; petugas pertama memilih petugas kedua, petugas kedua memilih petugas
ketiga. Pola kontrol hanya dari atasan ke bawahan.
2. Petugas kedua sangat dominan; merencanakan pengadaan, menetapkan pemenang hingga 50 miliar,
menandatangani kontrak dengan penyedia terpilih, menyatakan bahwa barang/jasa telah diterima
dengan baik dari penyedia.
 Peluang penyimpangan tinggi.
Meskipun kedua kelemahan tersebut telah diperbaiki pada perpres 54 tahun 2010, namun masih terdapat
kelemahan:
1. PA/KPA masih memiliki kuasa yang tertinggi untuk mengintervensi proses pengadaan yang berjalan,
mengingat ULP, PPK, dan PPHP masih berada di bawah PA/KPA. Jika internal whistle blower tidak
dibangun.
2. Sanggah yang diajukan oleh penyedia dijawab oleh ULP sebagai penyelenggara lelang. Tidak ada
lembaga independen dalam menjawab sanggah dan menyelesaikan sengketa PBJ.

34
Sedangkan ULP atau Unit Layanan Pengadaan adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat
pada unit yang sudah ada.

PERMASALAHAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

Menurut Sutedi, permasalahan umum pengadaan barang dan jasa adalah karena inefisinesi (harga yang
diperoleh melalui proses pengadaan barang dan jasa cenderung lebih tiggi dibandingkan pembelian
langsung/harga pasar), lemahnya daya saing nasional dan pendekatan yang protektif. Penyebab atas
permasalahan tersebut karena;

1. Legal framework; ketentuan perundang-undangan yang ada sering kali tidak konsisten, tumpang
tindih, tidak mengatur secara sama sehingga saling bertabrakan. Selain itu, ketentuan dan pedoman
yang ada kurang memberi ruang untuk melaksanakan proses pengadaan barang dan jasa dengan
sederhana.
2. Kapasitas sumber daya manusia; pengelola pengadaan barang dan jasa yang ada umumnya tidak
memiliki kapasitas pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan. Pengelola pengadaan
barang dan jasa belum dipandangan sebagai profesi yang menuntut kualifikasi tertentu
3. Kelembagaan yang mengembangkan kebijakan pengadaan barang dan jasa; Diberbagai Negara,
pedoman pengadaan barang dan jasa merupakan produk yang selalu diperbaharui secara terus

35
menerus dievaluasi oleh suatu institusi yang lintas sektoral mengingat cakupannya yang luas. Di
Indonesia institusi ini belum dibentuk, sehingga pengembangan kebijakan pengadaan barang dan
jasa masih cenderung dilakukan secara ad-hoc. Dampak yang ditimbulkan dengan system pengadaan
barang dan jasa yang tidak sehat selama ini antara lain ;
1. Profesionalisme pengusaha pengadaan barang dan jasa (kontrak) tidak berkembang, pengusaha
tidak memaknai setiap pekerjaan yang dilaksanakan sebagai proses capacity building dalam
rangka peningkatan profesionalisme. Penyebabnya adalah karena rata-rata pekerjaan yang
didapatkan tidak lewat kompetisi yang murni, (hacking, praktik calon proyek, atau
penjatahan/bagi-bagi proyek)
2. Mutu pekerjaan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan rata-rata pekerjaan yang telah
selesai dilaksanakan tidak mempunyai umur yang panjang, terutama pada sector konstruksi.
3. Tingkat korupsi cukup tinggi pada sector pengadaan barang dan jasa

Menurut Marbun, R, 2010 mengatakan bahwa masalah utama pengadaan barang dan jasa di Indonesia ,
terletak pada harga yang dinaikkan (mark up), kuitansi ganda, tender bisa diatur, tidak transparan dan
akuntabel, etika pegawai rendah (banyak menerima suap), serta pemahaman tentang aturan PBJ belum
merata.

Purwanto, dkk mengatakan bahwa secara konvensional, persoalan- persoalan yang muncul dalam pengadaan
barang dan jasa disebabkan oleh 6 hal yaitu (1) Minimnya monitoring; (2) Penyalahgunaan wewenang; (3)
Penyimpangan Kontrak; (4) Kolusi antara Pejabat Publik dan Rekanan; (5) Manipulasi dan Tidak
Transparan; (6) Kelemahan SDM.

Menurut Hayie Muhammad, permasalahan PBJ di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
tema/isu, sebagaimana gambar dibawah ini:

Kelemahan Kerangka Hukum:


a) Tidak diatur dalam aturan yang lebih tinggi, setingkat UU (trend negara di dunia sudah UU)
b) Tumpang tindih dengan aturan lain yang statusnya lebih tinggi
c) Aturan PBJ hanya bersifat prosedur administrative
d) Peraturan yang tidak jelas dan multitafsir dan banyak menimbulkan celah
e) Tidak memiliki mekanisme sanksi yang ketat dan tegas jika terjadi pelanggaran
f) Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap penyelenggara pengadaan
g) Tidak ada mekanisme perlindungan terhadap penyedia barang dan jasa dari perlakuan diskriminatif
dan tidak adil dalam proses pengadaan

36
Kelemahan Pengawasan:
a) Kurang berperannya sistem pengawasan yang efektif, baik level internal maupun eksternal;
b) Tiadanya system pengawasan ketat dan terpadu dalam pelaksanaan kontrak hingga penyerahan
barang dan jasa
c) Tidak membuka ruang public untuk melakukan control dalam proses pengadaan dan pelaksanaan
pengadaan
d) Pengaturan sanggah dan sanggah banding yang belum transparan, jujur dan adil, serta
penyelesaiannya.
e) Harus membayar uang jaminan yang sangat besar (1%) untuk melakukan sanggah banding, yang
dapat dianggap sabagai upaya mencegah penyedia untuk melakukan sanggah banding/kontrol
f) Banyak celah dan peluang terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang

Kelemahan Birokrasi:
a) Mencari-cari celah kelemahan aturan atau mengakali aturan
b) Lalai menegakan aturan terhadap penyedia barang dan jasa yang melakukan pelanggaran (blacklist)
c) Bekerja Tertutup dan Tidak transparan
d) Tidak terbuka, cenderung tidak mau dipantau atau diawasi
e) Tidak efisien, cenderung boros
f) Tidak efektif, cenderung berlarut-larut (bisa >6 bulan)
g) Tidak menciptakan kompetitif, cenderung berpihak, Bersikap diskriminasi dan tidak adil

Kelemahan SDM Pengadaan:


a) Kurang memahami sistem, mekanisme dan prosedur pengadaan secara baik dan benar.
b) Kurang Mampu Menyusun Harga Perkiraan Sendiri (Owner Estimate)
c) Kurang mampu menyusun Spesifikasi Teknis,
d) Tidak merencanakan pengadaan secara baik dan benar, termasuk penganggarannya;
e) Tidak membuat dan mengumumkan Rencana Umum Pengadaan
f) Rendahnya kualitas kompetensi penyelenggara pengadaan di berbagai level pemerintahan
g) Sistem HPS terbuka membuka peluang berbagai penyimpangan
h) Terjadi obral atau banting harga oleh penyedia untuk mendapatkan atau memenangkan lelang (HPS
terbuka)

Pengaruh intervensi/kekuasaan:
1) Menunjuk Penyelenggara Lelang Yang Mudah Diatur dan Diarahkan
2) Mengatur, Mengarahkan Lelang Untuk memenangkan Perusahaan tertentu;
3) Mempengaruhi dan Mengintervensi Kerja Kelompok Kerja

Kelemahan Penegakan Hukum


1) Hampir Tidak Ada Resiko Sanksi Dari Lembaga
2) Sanksi Atau Hukuman Terlalu Ringan
3) Aparat Penegak Hukum Rawan Intervensi
4) Aparat Penegak Hukum Rawan Disuap

Kelemahan Perusahaan:
a) Banyak Perusahaan Tidak Punya Kemampuan (Profesional)
b) Banyak Perusahaan "PALUGADA"
c) Banyak Perusahaan "Siluman" "Virtual Company)

37
d) Banyak Perusahaan Hasil Sewaan.
e) Banyak Perusahaan Tidak Berani Berkompetisi Secara Adil
f) Banyak Kartel, Mafia, Broker
g) Persekongkolan antar vendor, Tender Arisan, Pengaturan Harga, Blokade Wilayah
h) Peran Asosiasi Mengatur Lelang Anggotanya

Menurut Agus Rahardjo, permasalahan PBJ yang terjadi hari ini tidak terlepas dari warisan masa lalu dan
lingkungan strategis yang tidak mendukung.

Warisan Masa Lalu:


 Di masa lalu hampir semua pengadaan diatur pemenangnya. Sampai hari ini sebagian besar pengelola
pengadaan masih mempunyai MIND SET, Proses Pengadaan hanya Formalitas (Sebelum Proses
Pemenang Sudah diTentukan);
 Sistem Birokrasi yg Korup (Under Paid, Recruitment yg tidak mencari keunggulan, dll);
 Tidak ada Regulasi dan tata-kelola yang baik;
 Tidak ada instansi yang menangani secara khusus (baru ada LKPP th 2008);
 Dunia usaha juga diarahkan untuk tidak mewujudkan persaingan yg sehat (zaman Orde Baru KADIN
hanya 1, 1 Asosiai Kontruksi utk menengah kecil (Gapensi), 1 Asosiasi untuk Konstruksi Besar (AKI), 1
Asosiasi Non Konstruksi (ARDIN);

Lingkungan Strategis Belum Mendukung:


 Menjadi Pejabat Publik memerlukan Biaya Mahal;
 Reformasi Birokrasi yg belum menunjukkan keberhasilannya;
 Issue Pengadaan belum menjadi perhatian yang penting, yg sering muncul adalah kenapa
menghambat penyerapan anggaran, bukan bagaimana mencegah terjadinya korupsi di pengadaan;
 Kurang transparannya bagian Siklus yg lain dari PFM (budget planning , budget allocation,
procurement planning, contract execution, auditing)
 Belum ada aturan yang kuat setingkat UU yang mengatur Pengadaan;

Menurut Prof. Sogar SImamora, permasalahan PBJ adalah:


• Akar korupsi dapat dikaji dari sisi politik, ekonomi, sosbud, hukum dan agama
• Politik: Korupsi oleh DPR saat penyusunan anggaran, Money Politic saat pemilu
• Ekonomi: Orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengusaha sementara belum ada instrumen
hukum yang mumpuni; seperti hukum distribusi, keagenan, dst
• Agama: Keserakahan manusia dan tidak takut akan dosa atau hukuman
• Hukum: Terdapat celah dalam sistem (hukum) pengadaan yang dimanfaatkan para pelaku. Aturan
hukum dalam pengadaan sangat kompleks, banyak terlibat dimensi hukum. Misalnya hukum kontrak,
hukum perseroan, hukum persaingan, hukum konstruksi, dst. Selin itu, prinsip kompetisi sebagai
pondasi aturan pengadaan banyak tergerus oleh praktik kolusi, baik vertikal maupun horizontal.

Karakteristik tindak pidana korupsi yang umumnya terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
selama ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi antara lain adalah :
1. Barang/jasa yang diadakan sesungguhnya tidak dibutuhkan atau tidak sesuai dengan kebutuhan,
namun merupakan pesanan dan titipan dari “atas” (pimpinan) serta pihak – pihak yang
berkepentingan, bukan direncanakan berdasarkan kebutuhan yang nyata.
2. Spesifikasi barang dan jasa serta Harga Perkiraan Sendiri yang seharusnya dibuat panitia pengadaan
sesungguhnya adalah spesifikasi yang diarahkan pada merk tertentu dengan harga yang diatur dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kondisi inilah muncul penggelembungan

38
harga (mark up) atau penyusutan harga (mark down) sebagai wujud scenario yang dilakukan untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu.
3. Lelang yang seharusnya fair, terbuka dan berdasarkan kompetensi, nyatanya hanya proforma, arisan
bahkan pesertanya diatur sesuai scenario untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
4. Penerimaan sejumlah uang atau barang sebagai imbalan (Kick Back), dari penyedia barang kepada
sponsor, makelar proyek (broker), maupun pejabat tertentu, yang menyebabkan harga barang/jasa
semakin membengkak
5. Pemberian sejumlah uang atau barang sebagai setoran atau upeti, dengan prosentase tertentu sesuai
nilai proyek pengadaan barang dan jasa yang harus disetor oleh panitia pengadaan dan PPK (Pimpro)
kepada atasan, dengan dalih sebagai dana taktis atau dana operasional untuk keperluan belanja
organisasi.
Dalam acara “Peningkatan Kapasitas Sistem Pengadaan di Pemprov DKI Jakarta”, Irjen Pemprov DKI
memaparkan hal – hal yang masih terjadi pada pengadaan barang dan jasa di Pemprov DKI Jakarta adalah ;
• Masih ditemukan nya Conflict of Interest (CoI) ; Selama ini daftar hitam perusahaan didaerah dan di
LKPP pun belum terintergrasi.
• Terdapat aturan– aturan yang tertulis pada Perpres yang sering kali menimbulkan multitafsir.
Sehingga Panitia sering kali melakukan diskriminatif. Adapun motif panitia pengadaan melakukan
multitafsir ini belum diketahui oleh pihak Inspektorat.
• Dalam proses pelelangan banyak dokumen prakualifikasi ataupun dokumen penawaran masih kosong,
namun diputuskan menjadi pemenang. Hal ini menjadi masalah juga di LKPP, permasalahan
ditemukan diakhir, sementara proses serah terima pekerjaan dan pembayaran sudah selesai.
• Pelanggaran terhadap Pemaketan
• Harga penawaran hampir seragam nominalnya, dan seringkali mendekati HPS
• Sanggahan sering kali terlambat ditanggapi atau bahkan tidak ditanggapi. Panitia pengadaan sering
kali berpendapat bahwa sanggahan tersebut berasal dari penyedia barang yang tidak
kredibel/brengsek, dan memang sering kali penyedia tersebut melakukan sanggahan.
• Volume barang dan jasa tidak sesuai dengan kontrak
• Pengadaan fiktif, hal ini terjadi pada pengadaan barang ataupun pengadaan jasa
• SKPD masih melakukan penyimpangan dengan bersekongkol dengan pemenang. Pekerjaan telah
dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengadaan.

39
BAB III AKAR MASALAH KORUPSI PBJ

3.1 KORUPSI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT PBJ

Mendefinisikan korupsi tidak cukup hanya dari satu perspektif saja. Butuh beragam perspektif untuk
mendefinisikan korupsi, berikut beberapa perspektif korupsi:

KORUPSI PERSPEKTIF UMUM

Korupsi secara istilah berasal dari bahasa latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok), kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral.

Bibit Samad Rianto, dalam Bukunya 'Koruptor Go To Hell' (2009), mendefinisikan korupsi sebagai Perbuatan
melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan publik yang merugikan negara atau masyarakat.
Perbuatan korupsi haruslah memenuhi 4 unsur :
1). Niat melakukan korupsi (desire to act),
2). Kemampuan untuk berbuat korupsi (ability to act),
3). Peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi (opportunity to do corruption),
4). Target atau adanya sasaran untuk dikorupsi (suitable target).

Menurut Transparency International Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

KORUPSI PERSPEKTIF EKONOMI 25

Beragam ekonom menjelaskan model-model untuk menjelaskan korupsi. Beberapa dari model tersebut
diantaranya:

Model 1: Korupsi, Diskresi, Monopoli dan Akuntabilitas

Klitgaard menggambarkan bahwa korupsi akan semakin besar pada suatu organisasi jika discretionary
meningkat, monopoli menguat, tanpa diikuti dengan adanya akuntabilitas. 26 Hubungan tersebut dapat
dijabarkan dengan formula sebagai berikut:

Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability

C=D+M-A

Korupsi meningkat jika diskresi, yaitu keleluasaan mengambil keputusan, semakin besar. Dalam konteks ini,
pemerintahan otoriter merupakan contoh pemerintahan dengan diskresi yang terlalu besar, sehingga korupsi

25 Disarikan dari konsep SIN (Sistem Integritas Nasional), KPK 2014


26 Robbert Klitgaard, Controling Corruption, UC Berkeley Press, 1990

40
pun cenderung meningkat. Pandangan Lord Acton bahwa power tend to corrupt, absolute power corrupt
absolutely merupakan frasa yang menjelaskan fenomena ini dengan tepat.27

Monopoli meningkatkan posisi tawar suatu kelompok, apakah itu kelompok yang berjuang untuk kepentingan
ekonomi, politik atau ideologi. Ketiadaan kompetisi membuat mereka lebih leluasa untuk memanipulasi
keadaan demi kepentingan kelompoknya. Instansi pemerintah, bahkan negara bisa digiring untuk bergerak
sesuai dengan keinginan mereka.

Akuntabilitas terkait dengan kemampuan suatu organisasi untuk menuntut tanggung jawab atas setiap
perbuatan pimpinan dan anggota organisasi bersangkutan. Tanpa adanya akuntabilitas, tidak bisa diketahui
siapa yang berbuat salah dan siapa yang berprestasi. Kondisi ini menimbulkan agency problem, dimana agen
akan memaksimalkan setiap keputusan dan aktifitas untuk kepentingan dirinya. 28

Corruption = [Discretionary + Monopoly – Accountability] / Values

C = [D + M - A] / V

Gabor Peteri (2008) memodifikasi formula Klitgaard dengan memasukkan unsur values atau nilai-nilai,
mengingat masing-masing negara mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perbedaan nilai ini menyebabkan
masing-masing bangsa mempunyai cara pandang dan sikap yang berbeda terkait dengan isu anti korupsi.
Misalnya, konsep monopoli, diskresi dan akuntabilitas di negara barat tidak bisa disamakan dengan konsep di
negara Asia seperti Indonesia.29 Data empirik menunjukkan bahwa unsur budaya memegang peran penting,
bahkan sekitar 75% dari variasi yang terdapat pada skor CPI sangat terkait erat dengan faktor budaya dan nilai-
nilai.30

Model 2: Cost and Benefit Analysis (Analisa Biaya dan Manfaat)

Dalam model ini koruptor melihat korupsi sebagai tindakan yang rasional dan terukur. Mereka melakukan
kalkulasi sebelum memutuskan langkah. Dalam konteks ini, konsep cost and benefit analysis relevan untuk
dipergunakan. Jika manfaat korupsi (benefit) dianggap menarik setelah memperhitungkan biaya dan risiko
(cost), maka koruptor akan melakukan korupsi31.

Untuk menekan tingkat korupsi, maka cost harus ditingkatkan, salah satunya dengan memperbaiki sistem
sehingga semakin tinggi kemungkinan koruptor tertangkap, dalam kata lain meningkatkan akuntabilitas
organisasi. Memperberat hukuman bagi koruptor yang tertangkap merupakan upaya yang dapat berfungsi
sebagai deterrent effect (mencegah) serta menimbulkan efek jera.

Upaya meningkatkan pendapatan staf dirasa berperan 32, paling tidak ini berperan untuk petty corruption
(korupsi kecil) atau corruption by needs (korupsi karena kebutuhan). Tetapi, untuk grand corruption (korupsi
besar) dan corruption by greed (korupsi karena keserakahan), upaya menaikkan gaji tidaklah relevan,
mengingat gaji tidak seberapa dibandingkan besarnya nilai korupsi yang akan didapat. Dalam konteks ini

27
http://www.acton.org/research/lord-acton-quote-archive
28 Nico Groenendijk, “A Principal-Agent Model of Corruption”, Crime, Law & Social Change, 27:207–229, 1997.
29 Gabor Peteri, Finding the Money, Open Society Institute, Center for Policy Studies, CEU, Hungary, 2008
30 Standholz W dan R. Tageepera, “Corruption, Culture & Communism”, International Review of Sociology, Vol 15 no 1, 2005, dalam

Korupsi Mengorupsi Indonesia


31 Wijayanto Samirin, “Fighting Corruption in Indonesia: The Need of New Approaches to Ensure that Progress Continue”, 2012
32 Susan Rose Ackerman, Corruption and Government, Cambridge, 1999

41
sebuah studi membuktikan tidak ada indikasi yang kuat bahwa menaikan gaji saja akan mampu menurunkan
tingkat korupsi.33 Diperlukan faktor lain.

Secara ringkas fenomena tersebut dapat digambarkan sebagaiberikut:

Gambar 1: Cost & Benefit Model

Sebagai makluk sosial, hukuman sosial oleh masyarakat dianggap berperan dalam menekan tingkat korupsi.
Sayangnya masyarakat kita masih cenderung permisif. Para koruptor tetap diterima dengan tangan terbuka
setelah keluar dari penjara. Membangun kesadaran masyarakat melalui berbagai pendekatan budaya dan
pendidikan sudah saatnya diupayakan dengan serius.

Model 3: Supply dan Demand (Produksi dan Konsumsi)

Dalam konteks supply dan demand, korupsi berperilaku seperti jasa yang dapat diperjual-belikan. Supplier
adalah pejabat pemerintah atau pengambil kebijakan dimana consumer adalah mereka yang hidupnya
tergantung dari kebijakan tersebut, bisa jadi ia adalah kelompok bisnis, investor atau masyarakat biasa.
Dinamika di masyarakat akan menyebabkan garis supply dan demand bertemu di titik keseimbangan E, dimana
terjadi Q korupsi dengan rata-rata harga P untuk tiap korupsi. Dalam kondisi ini, bangsa dirugikan sebesar segi
empat OQEP.

Jika upaya pemberantasan dilaksanakan dengan menekan supply, misalnya dengan mengetatkan proses bisnis
di instansi pemerintah, maka yang terjadi adalah penurunan supply korupsi tetapi pada saat yang bersamaan
harga jasa korupsi meningkat akibat risiko yang bertambah. Terjadi titik keseimbangan baru E2, dimana harga
korupsi naik menjadi P2 dan kuantitas turun menjadi Q2, tetapi kerugian bangsa tidak terlalu berubah, yaitu
menjadi segi empat OQ2E2P2.

Prinsip supply dan demand menunjukkan, bahwa kerugian bangsa akibat korupsi hanya akan turun signifikan
jika ada upaya menurunkan supply sekaligus demand pada saat yang bersamaan. Akibat upaya tersebut maka
kuantitas korupsi berada pada Q3, dengan harga P3. Kondisi ini akan memperkecil kerugian bangsa menjadi
OQ3E3P3; dan OQ3E3P3 < OQ2E2P2 < OQEP.

33
Danniel Treisman, “The Cause of Corruption: A Cross-National Stuy”, Journal of Public Economics 2000, 76:3, hlm 399-457; Dan Rauch,
Peter Evans, “Beurocratic Structureand Beurocratic Performance in Less Developed Country”, Journal of Public Economics, 75:1, hlm 49-
71, dalam Jacob Svenson “Eight Question about Corruption”, Journal of Economics Perspective, 19:3, 2005

42
Gambar 2: Diagram Supply & Demand

Selain ketiga model tersebut, ada beberapa model yang menarik untuk dipahami prinsip dasarnya, diantaranya
model willingness & opportunity (keinginan dan kesempatan) yang menggambarkan bahwa korupsi akan
terjadi jika ada keinginan dan kesempatan. Keinginan merupakan representasi dari integritas dan kualitas
moral individu, sedangkan kesempatan merupakan situasi yang terbangun oleh lingkungan dan sistem yang
ada di dalam dan di sekeliling instansi pemerintah. Kedua faktor tersebut harus dibangung secara paralel.
Mengandalkan kualitas moral saja kita tidak cukup karena manusia bisa berubah. Mengandalkan sistem saja
sering gagal, mengingat manusia bisa mengakalinya.

KORUPSI PERSPEKTIF POLITIK

Dalam konteks politik, korupsi dijelaskan oleh beberapa pakar berikut ini:

Menurut Joseph S. Nye, korupsi adalah “...behavior which deviates from the formal duties of a public role
because of private-regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or state gains; or violates rules
against the exercise of certain types of private-regarding influence”

Sedangkan Carl J. Friedrich mengatakan bahwa, “Corruption is a kind of behavior which deviates from the norm
actually prevalent or believed to prevail in a given context, such as the political. It is deviant behavior
associated with a particular motivation, namely that of private gain at public expense. But whether this was
the motivation or not, it is the fact that private gain was secured at public expense that matters. Such private
gain may be a monetary one, and in the minds of the general public it usually is, but it may take other forms”

Menurut Mark Philip, korupsi politik adalah “where people break the rules, and do so knowingly, while
subverting the public interest in the search for private gain and the benefit of a third party, in ways which runs
directly counter to the accepted standards of practices within the political culture”.

43
Public procurement is a business process embedded within a political system. Government are increasingly
judged on the quality of governance provided, in particular on how transparency, integrity and accountability
are ensured in the public procurement process.34

Kesimpulan tersebut diambil oleh Elodie Beth dari workshop OECD yang dihadiri oleh tiga unsur stakeholder
utama dalam PBJ yaitu elected official, public procurement officer, and contractors. Bahwa terdapat ‘grey area’
dalam PBJ pemerintah yang sangat dipengaruhi oleh sistem politik di negara tersebut.

Sehingga Korupsi politik adalah penyalahgunaan kewenangan atau jabatan publik untuk kepentingan atau
keuntungan diri sendiri.

KORUPSI PERSPEKTIF SOSIAL

Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Kepercayaan
yang disalahgunakan dalam korupsi diletakkan dalam konteks pemisahan barang public dan barang privat.
Terdapat tiga bentuk korupsi menurut Alatas yaitu pemerasan, nepotisme, dan penyogokan. Alatas
memandang persoalan korupsi sebagai persoalan relasi kekuasan dan hal ini harus dipahami menurut konteks
dimana terjadinya korupsi.35

Selain Alatas, tidak ada lagi sosiolog yang membahas tentang konsep sosiologi korupsi. Tulisan sosiolog yang
ada hanya menganalisa kasus tertentu, dan bukan dalam rangka mempermasalahkan konsep. Namun terdapat
beberapa teori dan konsep sosiologis yang sudah ada yang dapat digunakan dalam menganalisa korupsi yaitu:
Hukum dan struktur sosial. Dalam sosiologi hukum, hukum merupakan satu jenis dari berbagai jenis norma
yang ada dalam masyarakat. Hukum , sebagai bentuk dari control sosial dilihat dari hubungannya dengan
norma lain. Menilai suatu aturan hukum, bukan dari rumusannya itu sendiri melainkan dari konteks norma-
norma lain. Hukum seringkali tidak imbang menguntungkan kelompok atau beberapa kelompok tertentu.
Menurut Cribb, hukum tidak mungkin mengakomodasi semua kepentingan secara sama rata. Karena itu
penting melihat kemampuan negara dan masyarakat mendorong perbaikan sistem hukum secara terus
menerus. 36

Norma merupakan konsep dasar sosiologi. Studi sosiologis terhadap korupsi melihat sebagai penyimpangan
norma tertentu. Bagi sosiolog, norma lebih banyak dilihat sebagai kekuatan eksternal dimana individu atau
kelompok menyikapinya, apakah mematuhi atau mengabaikan. Keterbatasan dari penggunaan konsep ini
adalah korupsi sering tidak sekedar melanggar norma, melainkan diikuti dengan strategi untuk mengakali
norma itu sendiri. Analisis lain adalah tentang jaringan, yaitu terhubungnya sejumlah orang atau oganisasi
dalam mencapai tujuan tertentu dimana masing-masing mempunyai kedudukan dan peran. Jaringan
berkembang karena keputusan untuk mengembangkan hubungan diluar yang telah ditetapkan dalam suatu
organisasi. Banyak kasus korupsi yang dilakukan karena adanya kerjasama semacam ini, baik melalui
pendefinisian kembali hubungan yang sudah ada secara resmi/diakui atau membangun hubungan baru. 37

34 Beth, Elodie. 2005. Main Finding of The Forum Workshop on ‘Improving Transparency in Public Procurement’. OECD Publishing (Fighting
Corruption and Promoting Integrity in Public Procurement). Hal: 46
35
Rochman, Mutia Gani dan Achwan. 2015. Sosiologi Korupsi. UI Press. Jakarta. Hal. 30
36 Ibid. Hal. 31
37 Ibid. Hal. 31-32.

44
TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi dalam kajian menggunakan perspektif lebih luas, tidak hanya berdasarkan perspektif Hukum normatif
yang berlaku di Indonesia, juga dikaitkan dengan korupsi pada perspektif ekonomi, politik, dan sosial. Hal ini
mengingat, korupsi tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif. Namun, untuk menelaah akar masalah korupsi
pada PBJ, kajian ini diawali dengan pengambilan data empirik kasus tindak pidana korupsi PBJ yang ditangani
KPK dan telah berstatus inkracht (ketetapan hukum).

Perspektif
Politik

Korupsi
perspektif
Hukum
Perspektif Perspektif
ekonomi Sosial

Dalam UU no. 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun 2001, tindak pidana korupsi dibagi menjadi 7 delik yaitu:

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PBJ

OECD dalam bukunya Fighting corruption and promoting integrity in public procurement menyebutkan bahwa
Korupsi pada PBJ biasanya melibatkan pejabat publik yang bertanggungjawab mengambil keputusan
pengadaan dan perusahaan swasta yang menjadi vendor dalam pengadaan tersebut. Beberapa bentuk korupsi
yang biasanya terjadi adalah:

1. Suap atau janji yang diberikan pihak swasta kepada pejabat publik untuk mempengaruhi
kebijakannya. Pejabat publik melakukan pelanggaran dengan cara: membatasi perusahaan yang
diundang untuk mengikuti tender dengan cara mengeluarkan aturan yang membatasi, memecah

45
paket menjadi sehingga tidak perlu lelang terbuka (menghindari publikasi tender) agar dapat memilih
vendor tertentu.
2. Auto-corruption; pejabat publik melakukan korupsi untuk keuntungan dirinya sendiri atau asosiasi
tempatnya bernaung. Pejabat publik menggunakan perusahaan boneka untuk menjalankan tindakan
korupsinya atau menggunakan perusahaan tertentu yang dapat diajak bekerjasama.

Selain itu, terdapat juga korupsi yang bukan terkait dengan persekongkolan, tetapi murni dilakukan oleh pihak
swasta. Misalnya; kolusi antar peserta tender, penetapan harga, kartel atau praktik yang tidak kompetitif
lainnya yang dilakukan oleh peserta tender. Hal ini mengakibatkan pemerintah tidak mendapatkan
keuntungan maksimal dari pengadaan yang dilakukan38.

Kemudian, buku ini juga mengulas mengapa tindak pidana korupsi lebih banyak terjadi pada PBJ Pemerintah
dibandingkan dengan PBJ di pihak swasta. Berikut beberapa alasannya:

1. Pengadaan publik cenderung melibatkan pekerjaan yang lebih besar dan lebih terlihat (rumah sakit
misalnya, kereta api, pesawat, jembatan, pembangkit listrik) ddibandingkan dengan pengadaan di
swasta. Jadi, bahkan jika frekuensi korupsi di PBJ pemerintah dan PBJ swasta adalah sama namun
secara keuangan pada PBJ pemerintah besaran nilainya.
2. Pemerintah memiliki 'fungsi tujuan' yang lebih kompleks dibanding pihak swasta saat pemberian
kontrak melalui proses tender. Pemerintah daerah, misalnya, mungkin sangat sensitif terhadap isu-isu
politis seperti tenaga kerja lokal, promosi perusahaan daerah, mendistribusikan pekerjaan secara
merata di antara pemasok lokal, dst yang pemilihannya seringkali tidak didasarkan pada
pertimbangan teknis atau efisiensi pada saat proses lelang. Akibatnya, pengadaan pemerintah sering
terlihat kurang transparan dibandingkan dengan pengadaan swasta.
3. Ada kecurigaan, di beberapa negara, bahwa rendahnya pendapatan PNS dapat mendorong mereka
untuk lebih sering terlibat dalam praktek korupsi untuk mencapai tingkat pendapatan yang sama
dengan sektor swasta.
4. Di banyak negara ada perhatian khusus tentang kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh
pemegang jabatan publik. Di negara-negara ini, pasar pengadaan publik diawasi dengan lebih
seksama dibandingkan pasar pengadaan swasta. Akibatnya, dengan tingkat korupsi yang sama di
kedua jenis pasar, pada pengadaan public akan lebih banyak ditemukan kasus korupsi.
5. Di banyak negara kemampuan partai politik (dan pejabat terpilih) untuk mengumpulkan dana politik
sangat terbatas meskipun ada indikasi jelas bahwa kemampuan untuk bertahan hidup tantangan
politik krusial tergantung pada sumber dari partai politik. Dengan demikian, ada bentuk khusus dari
tekanan pada pemegang jabatan untuk menggunakan pemberian kontrak pemerintah untuk
mengamankan sumber-sumber ekonomi (misalnya transportasi, iklan, donasi moneter, pembangunan
fasilitas seperti kolam renang, tempat parkir, dll) untuk mempertahankan posisi pejabat tersebut.
6. Terakhir, pemerintah memiliki tanggung jawab khusus untuk membasmi praktek-praktek di pasar
pengadaan publik. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya melalui kebijakan publik
berarti seperti diberlakukannya aturan dan prosedur tertentu untuk desain pasar pengadaan publik
sedangkan sedikit sekali pengaturan untuk pengadaan swasta.

Mantan penyidik KPK, Roberthus Yohanes De Deo dalam tulisan nya yang dibuat berdasarkan pengalaman
bersama Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani perkara tindak pidana korupsi pengadaan barang
dan jasa pemerintah, dapat diidentifikasi bahwa permasalahan pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan
pemerintah, antara lain karena banyaknya penyimpangan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun
pengawasan/pertanggungjawaban pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Karakteristik tindak pidana korupsi yang umumnya terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
selama ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi antara lain adalah :

38 Ibid. Hal. 26

46
1. Barang/jasa yang diadakan sesungguhnya tidak dibutuhkan atau tidak sesuai dengan kebutuhan,
namun merupakan pesanan dan titipan dari “atas” (pimpinan) serta pihak – pihak yang
berkepentingan, bukan direncanakan berdasarkan kebutuhan yang nyata.
2. Spesifikasi barang dan jasa serta Harga Perkiraan Sendiri yang seharusnya dibuat panitia
pengadaan sesungguhnya adalah spesifikasi yang diarahkan pada merk tertentu dengan harga
yang diatur dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kondisi inilah muncul
penggelembungan harga (mark up) atau penyusutan harga (mark down) sebagai wujud scenario
yang dilakukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
3. Lelang yang seharusnya fair, terbuka dan berdasarkan kompetensi, nyatanya hanya proforma,
arisan bahkan pesertanya diatur sesuai scenario untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
4. Penerimaan sejumlah uang atau barang sebagai imbalan (Kick Back), dari penyedia barang
kepada sponsor, makelar proyek (broker), maupun pejabat tertentu, yang menyebabkan harga
barang/jasa semakin membengkak
5. Pemberian sejumlah uang atau barang sebagai setoran atau upeti, dengan prosentase tertentu
sesuai nilai proyek pengadaan barang dan jasa yang harus disetor oleh panitia pengadaan dan
PPK (Pimpro) kepada atasan, dengan dalih sebagai dana taktis atau dana operasional untuk
keperluan belanja organisasi.

Menurut Sutedi, korupsi pada pengadaan barang dan jasa diawali dengan adanya keterbatasan atau
pelarangan akses mendapatkan informasi, penyalahgunaan system penunjukkan langsung atau tender
tertutup, keterbatasan atau tidak efisiennya pengawasan dan pemantauan selama proses tender dilakukan,
bahkan dalam tahap pelaksanaan dilapangan serta kurang nya transparansi dalam tahap penghitungan
anggaran.

Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006:

Penyuapan vs Uang Pelicin. Biasanya, kasus penyuapan dalam jumlah yang besar diberikan kapada pejabat
senior pemerintah (pembuat keputusan) untuk menghasilkan keputusan menguntungkan si penyuap.
Sedangkan Uang Pelicin, biasanya berupa pemberian uang dalam jumlah yang lebih kecil, yang pada umumnya
diberikan kepada pegawai rendahan dengan maksud untuk mempercepat atau mempermudah masalah
terutama yang terkait persoalan hukum (tau uang pelicin untuk memperlancar pembayaran akibat
keterlambatan pembayaran, misalnya pembayaran pajak.

Supply vs Demand. Biasanya, praktik penyuapan dapat dilakukan apabila ada pertemuan antara si pemberi
suap dengan si penerima suap; kasus terakhir (juga disebut sebagai pemerasan) seringkali diartikan sebagai
“korupsi pasif”, akan tetapi arti istilah ini menjadi salah pengertian karena pelaku pemerasan akan mampu
melakukan apa saja kecuali bersikap “pasif.

Kartel atau Kolusi. Kartel biasanya sering terbentuk oleh para peserta tender dengan tujuan untuk
memanipulasi pemenang tender, yang menguntungkan salah satu anggota kartel tersebut. Praktik yang juga
digolongkan sebagai korupsi ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya keterlibatan pejabat negara
didalamnya. Sementara, kolusi biasanya merupakan bentuk kesepakatan dari peserta tender untuk
menetapkan giliran pemenang tender atau kesepakatan pembayaran kompensasi kepada pihak yang kalah
dalam tender karena memasukan penawaran yang lebih tinggi.

Struktur vs Situasional. Korupsi dalam konteks bisnis sering berbentuk “struktural”, yang berarti telah
direncanakan dan dipersiapkan secara matang serta dijalankan secara sistematik. Seringkalinya untuk korupsi
“situasional” adalah tanpa direncanakan, misalnya ketika

47
seseorang mengemudi kendaraan dibawah pengaruh minuman keras dan kemudian tertangkap oleh petugas
polisi, orang tersebut akan menawarkan uang suap kepada petugas tersebut dengan tujuan membujuknya
agar tidak memberikan surat tilang.

1. Belanja mendesak di akhir tahun anggaran;

o Di banyak lembaga publik, banyak dana yang tidak terbelanjakan hingga akhir tahun
anggaran sehingga mendorong pejabat di lembaga tersebut untuk segera menghabiskannya
untuk sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Biasanya mekanismenya melalui
penunjukan langsung.

2. Masa tanggap darurat saat bencana alam atau bencana lainnya;

o Pada masa bencana, ada dana yang sangat besar dan harus dibelanjakan secara cepat untuk
menanggulangi masalah kemanusiaan. Ditambah lagi sulitnya melakukan proses pengadaan
barang dan jasa.

3. Kurangnya akses informasi;

o Korupsi secara diam-diam telah berkembang dengan pesat. Meski pemerintah secara pro
aktif telah mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan atas informasi, namun penerapan
yang lemah telah menyebabkan peluang untuk memanipulasi informasi tetap terjadi.

4. Standarisasi dokumen tender;

o Tidak adanya standarisasi dokumen menimbulkan adanya upaya manipulasi yang


menyebabkan kerancuan dalam pengambilan keputusan.

5. Penetapan peserta tender;

o Kecenderungan untuk menentukan peserta tender tertentu (tidak mengikuti aturan


penetapan peserta tender).

6. Keikutsertaan Perusahaan Milik Pejabat Publik;

o Kecenderungan untuk memberikan perlakuan isteimewa kepada perusahaan milik pejabat


publik

7. Keikutsertaan “Perusahaan Boneka”

o Perusahaan boneka biasanya berbadan hukum resmi, namun tidak beroperasi secara aktif
dan hanya dibuat untuk membantu menyembunyikan identitas pemiliknya.

OECD, 2005:

OECD dibantu lembaga Bassel, mengidentifikasi tahapan penting dalam proses pengadaan berikut:

1. Pemilihan konsultan. Seringnya harga kontrak konsultasi jauh di bawah penawaran yang kompetitif,
sehingga konsultan yang dapat ‘dinegosiasi’ yang dapat dipilih.
2. Desain dan persiapan dokumen tender. Perhitungan dapat dimanipulasi sehingga dapat
mengakibatkan ledakan biaya tertentu selama pelaksanaan kontrak.

48
3. Prosedur penawaran. Pembatasan penawaran yang kompetitif, pengaturan jangka waktu yang sangat
singkat, dst.
4. Fase keputusan
5. Diluar prosedur misalnya risiko perintah perubahan.

Selain hal tersebut, hal-hal berikut juga mempengaruhi korupsi PBJ menurut OECD:

1. Informasi asimetri
2. Kontrak, jaringan informal dan kolusi
3. Konflik kepentingan pada bagian dari pejabat publik
4. Kurangnya akuntabilitas
5. Pembiayaan Politik

Menurut OECD, berikut beberapa dampak Korupsi yang ditimbulkan:

• Dampak Finansial
• Dampak Ekonomi
• Dampak Lingkungan
• Dampak Kesehatan dan Keselamatan Manusia
• Dampak pada Inovasi
• Erosi Budaya
• Menurunnya Tingkat kepercayaan Kepada Pemerintah
• Kerugian Bagi Perusahaan Yang Jujur
• Ancaman Serius Bagi Perkembangan Ekonomi

ANALISIS KASUS INKRACHT PBJ YANG DITANGANI KPK

Perkara korupsi Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh PBJ sampai dengan Desember 2015 terdapat
sebanyak 142 perkara. Jika dikelompokkan dalam 3 kategori terdapat tindak pidana korupsi pada saat
penganggaran (perencanaan program dan anggaran), tindak pidana korupsi pada saat pelaksanaan PBJ, dan
tindak pidana korupsi yang terjadi saat audit dan penegakan hukum (pengawasan). Dari data yang ada, paling
banyak tindak pidana korupsi terjadi pada tahap penganggaran. Berikut detailnya:

49
Tabel Kasus TPK PBJ Inkracht Yang DItangani KPK

Tahun 2005 - 2014

Tahap Penganggaran (perencanaan program dan anggaran)

No Kasus Tersangka Modus Korupsi Kejadian Inkracht Jumlah Kerugian Jumlah Kerugian
Perkara (Tahun) Negara Negara (Inkracht –
(Tahun) (BPK/BPKP) Uang pengganti)

1 Kasus Pengadaan Helikopter jenis 1. Abdullah Puteh o Penyelewengan peruntukan dana 2001- 2005 Rp. Rp 10,251,500,000
Mi-2 merk PLC Rostov Rusia di (Gubernur Aceh) untuk pembelian helicopter (dana 2003 10,087,500,000
Pemda NAD 2. Bram H.D. Manoppo bantuan perlakuan khusus; yang
(Presiden Direktur mestinya hanya untuk belanja
PT.Putra Pobiagan pegawai dan non pegawai),
Mandiri (PT.PPM) o Memilih vendor sebelum
anggaran disetujui/ditetapkan,
o Vendor menerima uang sebelum
terpilih sebagai pemenang,
o Mark up harga,
o Tidak dilakukan pengecheckan
fisik saat helicopter datang

2 Kasus pengadaan tanah untuk 1. Capt. Tarcisius Walla o Jual beli tanah membangun 2001 2005 Rp Rp 10,262,500,000
pembangunan pelabuhan umum (PNS/Mantan Sekretaris pelabuhan tanpa dilengkapi KAK, 10,262,500,000
di desa UF kecamatan Kei Kecil Ditjen Perhubungan Laut o Manipulasi dokumen,
Kab. Maluku Tenggara Provinsi Dep. Perhubungan) o Mark up harga
Maluku Tahun 2001 2. Moch. Harun Let-Let
(PNS/Mantan Kabag.
Keuangan Ditjen
Perhubungan Laut Dep.
Perhubungan)
3 Kasus pengadaan Ban OB Van, 1. Suratno (Direktur o Persekongkolan dengan vendor 2003 2006 Rp 1,698,989,500 Rp. 9,640,568,857
Studio Transmiter Link (STL), Administrasi dan dan panitia pengadaan, (Suratno) (Fahrani saja)
Down Link, Digital Recorder, Keuangan Perjan RRI), o HPS dibuat oleh vendor dan di Rp.
Telepon Satelit dan Pemancar & 2. H. Fahrani Suhaimi markup (jauh diatas pasar), 2007 16,371,047,009
peralatannya dan STL serta server (Swasta/Direktur CV. o Membayar lunas pekerjaan yang (Fahrani)

0
jaringan audio dan teks spare Budi Jaya) belum selesai kepada 3 Total
part pemancar dan computerized perusahaan fiktif yang dipinjam
pemancar yang menggunakan namanya, Rp
dana ABT Tahun 2003 o Suap kepada panitia pengadaan, 18,070,036,509
o Suap kepada perusahaan yang
dipinjam namanya

4 Kasus Pengadaan Jasa Asuransi 1. Hamdani Amin o Persekongkolan dengan vendor, 2004 2006 Rp Rp 2,136,185,804
oleh KPU Tahun 2004. (PNS/Kepala Biro memilih vendor sebelum 14,193,000,000
Keuangan KPU), anggaran disahkan/disetujui,
2. Nazaruddin Sjamsuddin o Manipulasi dokumen
(Ketua KPU) (persyaratan administrasi fiktif),
o Pemerasan kepada vendor,
o Membentuk panitia pengadaan,
o Belum diadakan prakualifikasi,
o Belum dibuat penentuan HPS,
o Belum melakukan negosiasi harga
dan aanwijizing yang kesemuanya
bertentangan dengan
persyaratan yang berlaku

5 Kasus perbuatan turut serta atau 1. M Dentjik (Wakil Kepala o Memberikan suap kepada 2004 2006 - -
menyuruh/membantu melakukan Biro Keuangan KPU), kementerian keuangan untuk
TPK dengan cara PNS memberi 2. R. Soedji Darmono pembahasan usulan revisi
atau menjanjikan sesuatu (Kepala Kanwil Ditjen anggaran KPU
kepada PNS/PN dengan maksud Perbendaharaan XI
supaya PNS/PN tersebut berbuat Jakarta),
atau tidak berbuat sesuatu dalam 3. Ishak Harahap
jabatannya, yang bertentangan (PNS/Kepala Sub.
dengan kewajibannya atau Direktorat Anggaran II E
hadiah atau janji tersebut ada Ditjen Anggaran dan
hubungannya dengan Perimbangan Keuangan)

1
jabatannya.

6 Kasus pengadaan jasa Konsultasi 1. Vonnie Aneke o Persekongkolan dengan bupati, 2003- 2008 Rp Rp
pembuatan Studi Kelayakan Panambunan (Direktur o Memilih vendor sebelum 2004 124,298,000,000 53,374,123,426.95
(Feasibility Study) Pembangunan PT. Mahakam Diastar anggaran disetujui/ditetapkan,
Bandara Samarinda - Kutai Internasional/Bupati o Dokumen dimanipulasi
Kartanegara yang terjadi di Minahasa Utara) (backdate)
Pemerintahan Daerah Kab. Kutai 2. Syaukani Hassan Rais
Kartanegara Provinsi Kalimantan (Bupati Kutai
Timur tahun 2003 - 2004 Kartanegara)

7 Kasus pengadaan 20 unit mobil1. Saleh Djasit (Anggota o Persekongkolan dengan vendor, 2003 2008 Rp 4,719,000,000 -
Pemadam Kebakaran type V 80 DPR RI/Mantan o Memilih vendor sebelum
ASM di Provinsi Riau pada tahun Gubernur Propinsi Riau anggaran disetujui/ditetapkan, 97,030,000,000
2002 – 2003 periode 1998 s/d 2003), o Melaksanakan tender sebelum (Hengky Samuel
2. Hengky Samuel Daud (PT anggaran disetujui/ditetapkan, Daud)
Istana Sarana Raya, o Memarkup harga Total
swasta-meninggal saat 101,749,000,000
ditangkap)
8 Kasus pengadaan mobil 1. Ramli (Wakil Walikota o Menyetujui pengadaan mobil 2005 2008 Rp 3,698,000,000 Rp 19,113,825,706
pemadam kebakaran, Ladder Medan), damkar padahal pemkot tidak (Ramli) (Pengadaan
Truck merk Morita oleh 2. Abdillah (Walikota butuh karena sudah mendapat Damkar)
Pemerintah Kota Medan T.A. Medan) bantuan dari pemprov, 2009
2005; o HPS disusun tidak berdasar (pura- (Abdillah Rp
pura mengadakan penilaian harga ) 50,580,000,000
Kasus Tindak Pidana Korupsi melalui PT Sucoffindo Apprasial (Penyalahgunaan
Penyalahgunaan APBD Utama) APBD)
Pemerintah Kota Medan T.A. o Tidak ada proses lelang,
2002 - 2006. Total Rp
manipulasi dokumen, mark up 54,278,000,000
harga.

9 Kasus Pembangunan Kantor Abdul Chalik saleh (Sekda o Persekongkolan dengan vendor 2004 2008 Rp 7,340,000,000 Rp 950,000,000
Penghubung Pemerintah Provinsi o HPS dibuat oleh vendor

2
(Pemprov.) Jambi di Jakarta Provinsi Jambi) o Markup harga

10 Kasus Pengadaan Mobil Baso Amiruddin Maula o Persekongkolan dengan vendor, 2003 2008 Rp 4,311,000,000 Rp 600,000,000
Pemadam Kebakaran yang (Walikota Makassar) o HPS dibuat oleh vendor,
menggunakan pompa merk o Markup harga, memilih vendor
Tohatsu type V 80 ASM yang sebelum anggaran
dananya bersumber dari APBD disetujui/ditetapkan,
tahun 2003 dan 2004 o Melaksanakan tender sebelum
anggaran disetujui/ditetapkan

11 Kasus pengadaan tanah pada 1. Sugiyo Prasojo (Pimpro o Persekongkolan dengan vendor 2004 2008 Rp 9,420,000,000 Rp 4,650,000,000
Proyek Peningkatan PKS Bapeten) o Persekongkolan dengan panitia
Kelembagaan dan Sarana (PKS) 2. Hieronimus Abdul Salam dan atasan,
BAPETEN tahun 2004 (Sekretaris Utama o Memilih vendor sebelum
Bapeten (Mantan Kepala anggaran disetujui/ditetapkan,
Biro Umum Bapeten) o Mark up harga,
o Memanipulasi dokumen

12 Kasus Rehabilitasi dan 1. Margareth Elisabeth o Persekongkolan dengan vendor, 2006 2009 Rp 7,200,000,000 Rp 2,825,850,000
Rekonstruksi Sektor Perikanan Tutuarima (Pejabat o Memilih vendor sebelum
Tangkap Pasca Gempa dan Pembuat Komitmen/Kasi anggaran disetujui/ditetapkan
Gelombang Tsunami Tengah Produksi Penangkapan
pada Satuan Kerja Dinas Ikan Dinas Kelautan dan
Perikanan dan Kelautan Prov. Perikanan Prov. Jawa
Jawa Tengah yang menggunakan Tengah)
Anggaran APBN - P Tahun 2006 2. Hari Purnomo (Kuasa
Pengguna
Anggaran/Kapala Dinas
Perikanan dan Kelautan
Prov. Jawa Tengah)
13 Kasus Pengadaan Kapal Patroli 1. Dedy Suwarsono o Persekongkolan dengan anggota 2008 2009 - Rp. 2,000,000,000
Kelas III Type FRP di Direktorat (Direktur PT. Bina Mina DPR, (Dedy (Bulyan Royan)
Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Karya Perkasa), o Persekongkolan dengan dan

3
(KPLP) Ditjen Perhubungan Laut 2. Bulyan Royan (Anggota instansi/panitia pengadaan, Bulyan)
Dep. Perhubungan DPR), o Kick back,
3. Tansean Parlindungan o Markup harga 2010
Malau (PNS / Kasi Sarana (Tansean
dan Prasarana dan
Operasional Ditjen Djoni)
Perhubungan Laut, Dep.
Perhubungan RI)
4. Djoni Anwir Algamar
(PNS / Direktur KPLP
Ditjen Perhubungan
Laut, Dep. Perhubungan
R)
14 Kasus pengadaan Mobil 1. Danny Setiawan o Persekongkolan dengan vendor, 2002 2009 Rp Rp 4,695,000,000
Pemadam Kebakaran V 80 ASM, (Gubernur Jawa o Persekongkolan dengan 72,500,000,000
Ambulance, Mobil Tangga, Dump Barat/Mantan Sekretaris gubernur,
Truck, Stoom Walls, dan Backhoe Daerah Provinsi Jawa o Persekongkolan dengan panitia
Loader yang dilaksanakan oleh Barat) anggaran,
pemerintah Prov. Jawa Barat 2. Ijuddin Budhyana o Mengajukan pembelian mobil
untuk keperluan Kabupaten/Kota (PNS/Kepala Dinas dump truck, ambulance, damkar
se Provinsi Jawa Barat Tahun Kebudayaan dan tanpa indentifikasi kebutuhan
Anggaran 2003 dan 2004 Pariwisata Prov. Jawa (KAK),
Barat / Mantan Kepala o Mark up harga,
Biro Pengendalian o Kick back
Program Sekretariat
Daerah Provinsi Jawa
Barat),
3. Wahyu Kurnia (Mantan
Kepala Biro
Perlengkapan Sekretariat
Daerah provinsi Jawa
Barat)

4
15 Kasus Penyuapan Persetujuan 1. Darmawati Dareho o Persekongkolan dengan vendor, 2009 2009 - -
anggaran Program Stimulus Fiskal (PNS/Kabag. TU Distrik o Persekongkolan dengan DPR
Dep. Perhubungan RI. Tahun Navigasi Tanjung Priok, (Penyuapan)
2009 Dep. Perhubugan),
2. Hontjo Kurniawan
(Wiraswasta/Komisaris
PT. Kurnia Jaya Wira
Bhakti),
3. Abdul Hadi Jamal
(Anggota DPR RI)
16 Kasus Penyelenggara Negara Washington Mampe o Persekongkolan dengan anggota 2002- 2010 - -
menerima atau memberi sesuatu, Parulian Simanjuntak DPR terkait suap menggolkan 2003
hadiah atau janji, dikarenakan (Direksi PT. Perusahaan Gas anggaran,
atau dengan menyalahgunakan Negara (Persero) periode o Memeras kontraktor/vendor
atau dengan mengingat 2001 – 2006)
kekuasaan atau wewenang yang
berhubungan atau melekat
dengan jabatannya selaku Direksi
PT. Perusahaan Gas Negara
(Persero) periode 2001 – 2006
(Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara untuk
pembangunan Jaringan Distribusi
Gas (PEMJADIG) Tahun 2003)

17 Kasus pengadaan outsourcing 1. Arthur Pelupessy o Pengadaan CMS tidak sesuai 2003- 2010 Rp 6,500,000,000 Rp
pengelolaan sistem manajemen (Direktur Utama PT Arti kebutuhan (tidak ada TOR, tim 2004 (Hariadi) 68,654,117,059.05
pelanggan (Customer Duta Aneka Usaha), evaluasi, hasil negosiasi harga),
Management System) berbasis 2. R. Saleh Abdul Maik (PT o HPS dibuat oleh vendor, Rp
teknologi informasi pada PT. PLN Artelindo Karyamandiri), o HPS tidak dilakukan analisa dan 175,000,000,000
(persero) distribusi Jawa Timur 3. Achmad Fathony Zakaria kelayakan oleh panitia, (swasta)
tahun 2004 - 2008 (PT. Intercity Kerlipan o Persekongkolan dengan vendor Total Rp

5
(Mantan Direktur dan GM PT PLN, 181,500,000,000
Operasional PT. o Markup harga,
Altelindo Karyamandiri), o Memilih vendor dan
4. Hariadi Sadono (Direktur melaksanakan tender sebelum
PLN Luar Jawa (Non anggaran tersedia
aktif) / Mantan General
Manager PT. PLN
Distribusi Jawa Timur)
18 Kasus pembangunan renovasi 1. Suryadi Sentosa o Persekongkolan dengan vendor, 2006- 2010 Rp Rp 30,553,000,000
pasar sentral Supiori, terminal (Komisaris Utama PT o Kick back, 2008 36,589,000,000
induk, rumah dinas pejabat Multi Makmur Jaya o Manipulasi dokumen hasil
eselon, dan renovasi pasar Abadi), pekerjaan agar seolah sesuai
sentral Supiori untuk Kantor 2. Jules Fitzgerald Warikar prosedur
Cabang Bank Papua yang (Bupati Supiori)
menggunakan dana APBD Kab.
Supiori Prov. Papua TA. 2006 -
2008

19 Kasus pengadaan tanah untuk Indra Kusuma (Bupati o Pengadaan tanah tidak sesuai 2003 2010 Rp 7,800,000,000 -
pasar pada Pemerintah Brebes) kebutuhan,
Kabupaten Brebes Provinsi Jawa o Mark up harga
Tengah Tahun Anggaran 2003

20 Kasus Pengadaan 1 Unit Kapal Yusak Yaluyo (Bupati Boven o Melakukan pengadaan tanpa ada 2005- 2011 Rp Rp 37,000,000,000
Tanker LCT 180 (Kapal Wambon) Digoel) di penganggaran (pinjam uang ke 2006 66,770,000,000
dan Menggunakan APBD Bank BRI),
Kabupaten Boven Digoel Tahun o Mark up harga
Anggaran 2006-2007 untuk
kepentingan pribadi

21 Kasus Pengadaan Mesin Jahit 1. Bachtiar Chamsyah o Persekongkolan dengan vendor, 2004- 2011 Rp -
yang Bersumber dari APBN Tahun (Menteri Sosial RI 2001- o HPS disusun oleh vendor, 2008 (Bachtiar 33,700,000,000
Anggaran 2004 dan APB Tahun 2009), o Pengajuan perencanaan Chamsya

6
Anggaran 2006, Pengadaan Sapi 2. Amrun Daulay (Mantan dilakukan bukan berdasarkan h, Cep
Potong yang Bersumber dari Direktur Jenderal kebutuhan, Ruhyat)
APBN Tahun Anggaran 2004, Bantuan dan Jaminan o Memutihkan denda
serta Pengadaan Sarung Tahun Sosial pada Departemen keterlambatan, 2012
2006 Hingga 2008 yang dananya Sosial RI tahun 2003- o Markup harga, (Amrun
Bersumber Dari Usaha 2006), o Mengarahkan pada satu merk, Daulay)
Kesejahteraan Sosial (UKS). 3. Cep Ruhyat (Anggota o Memanipulasi pengadaan
DPR - RI) (rekayasa 6 perusahaan
pendamping)

22 Kasus penyuapan terkait 1. Dadong Irbarelawan o Suap, 2011 2013 - -


pembangunan Kawasan KTM (PNS Kementerian o Persekongkolan dengan vendor,
melalui APBN-P Tahun Anggaran Tenaga Kerja dan o Daerah penerima manfaat
2011 Transmigrasi), disusun oleh vendor
2. Dharnawati (Direksi PT
Alam Jaya Papua)
3. I Nyoman Suisnaya
(PNS/Sekretaris Ditjen
Pembinaan
Pembangunan Kawasan
Transmigrasi (P2KT)
Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi
RI)
23 Kasus Penyuapan Kepada 30 1. Murman Effendi (Bupati o Suap kepada DPRD 2010 2012 - -
orang Anggota DPRD Seluma Seluma Periode 2010- o Melaksanakan multiyears tidak
sebagai tand aucapan terima 2015), sesuai prosedur (belum diizinkan
kasih setelah meloloskan Perda 2. Ali Amra (Direktur PT oleh Kementerian PU)
No. 12/2010 tentang Pengikatan Puguk Sakti Permai), o Memenangkan vendor yang tidak
Dana Anggaran Pembangunan 3. Erwin Paman (Kepala sesuai kualifikasi (KD tidak sesuai
Infrastruktur Peningkatan Jalan Dinas Umum Kabupaten nilai proyek)
Dengan Konstruksi Hotmix dan Seluma Provinsi

7
Jembatan Melalui Pelaksanaan Bengkulu)
Pekerjaan Untuk Tahun Jamak
Lima Tahun Anggaran.

24 Kasus Penyuapan untuk Sofyan Usman (Anggota o Pemerasan, 2004 2012 - -


pembelian alat Crane Container DPR-RI periode 1992-1997, o Pemotongan anggaran (Rp 200
dengan alasan karena Pelabuhan 1999-2004 dan 2004-2009) juta dari Rp 10 Milyar)
Batu Amlar di Otorita Batam
sudah mulai banyak kontainer
sehingga diperlukan dana untuk
membeli alat Crane Container
sebagaimana yang termuat
dalam usulan APBN Tahun 2005
untuk Otorita Batam

25 Kasus Pengadaan Jasa Eddie Widiono Suwondho o HPS disusun oleh vendor, 2000 2012 Rp -
Outsourcing Customer (Direktur Pemasaran dan o Tidak melakukan negosiasi harga 46,100,000,000
Information System Rencana Distribusi (Dirsar) PT PLN) penawaran,
Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) o Memilih vendor tanpa melihat
di PLN Distribusi Jakarta Raya kualifikasi,
(Disjaya) Tangerang 2004-2006. o Memanipulasi dokumen untuk
mendapatkan HAKI,
o Pembayaran dilakukan melebihi
nilai kontrak,

26 Kasus Penyuapan Dana 1. Fahd El Fouz (Swasta – o Suap, 2010 2012 - -


Percepatan Pembangunan Pengusaha) o Dokumen perencanaan fiktif, (Fahd)
Infrastruktur Daerah (DPID) Kab. 2. Haris Andi Surahman o Persekongkolan dengan anggota
Aceh Besar, Kab. Pidie Jaya dan (Staf Ahli DPR Partai dewan serta vendor 2013 (wa
Kab. Bener Meriah sebagai Golkar) ode dan
daerah penerima alokasi DPID TA 3. Wa Ode Nurhayati Haris)
2011 (Anggota DPR RI)

8
27 Kasus pengadaan mobil 1. Hari Sabarno (Menteri o Menyusun perencanaan bukan 2002 2012 Rp -
pemadam kebakaran pada 22 Dalam Negeri Periode karena kebutuhan (karena ada (Hari 76,200,000,000
daerah di Indonesia Tahun 2003 - 2001-2004), permintaan vendor), Sabarno)
2005 2. Hengky S Daud (PT o Persekongkolan dengan vendor
Istana Sarana Raya dan o Menerbitkan Radiogram dalam 2010
PT Satal Nusantara), pengadaan mobil pemadam (Oentart
3. Oentarto Sindung kebakaran o)
Mawardi (Dirjen Otda o Membebaskan Bea Masuk/pajak
Kemendagi) mobil pemadam kebakaran merk
Morita di beberapa Pemprov /
Pemkab / Pemkot dengan
pembayaran bersumber dari
APBD tahun 2000 s/d 2005

28 Kasus Pengadaan Optimalisasi 1. Djoko Susilo (Perwira o Manipulasi SPK, 2010- 2013 Rp Rp 49,136,912,198
Driving Simulator Uji Klinik Tinggi Mabes POLRI), o Persekongkolan dengan vendor, 2011 (Djoko 123,446,926,695
Pengemudi Roda Dua (R-2) 2. Budi Susanto (Direktur o Melakukan pengadaan sebelum Susilo)
sebanyak 1000 unit dan Driving PT Citra Mandiri anggaran disahkan,
Simulator Uji Klinik Pengemudi Metalindo Abadi) o Memilih vendor yang tidak 2014
Roda Empat (R-4) sebanyak 1000 memenuhi kualifikasi (Budi
TAhun Anggaran 2011 (keterbatasan tempat, pegawai, Susanto)
dan dana yang terbatas),
o HPS disusun oleh vendor,
o HPS dimarkup,
o Manipulasi pengadaan

29 Kasus Pengaaan Solar Home 1. Kosasih Abbas (PNS o HPS berdasarkan nilai rata-rata 2007- 2012 (M. Rp Rp. 23,939,474,700
System (SHS) pada Kementerian Direktorat Jenderal dari 3 vendor yang menyusun, 2008 Ridwan 144,821,161,382
ESDM Tahun Anggaran 2007 – Listrik dan merencanakan pengadaan yang Sanjaya)
2008. Pemanfaataan Energi tidak ada di DIPA,
Kementerian ESDM), o Pengumuman lelang tidak disertai 2013
2. Jacob Purwono (PNS TOR, (Kosasih
Direktorat Jenderal o Rencana anggaran biaya (RAB), Abbas,

9
Listrik dan maupun Petunjuk Operasional Jacob
Pemanfaataan Energi Kegiatan (POK), Purwono
Kementerian ESDM/KPA o Membayar penuh pekerjaan yang )
Lisdes), belum selesai,
3. M. Ridwan Sanjaya (P2K o HPS disusun oleh vendor,
Energi Baru Terbarukan o Panitia pengadaan di intervensi,
Kementerian ESDM) o Memanipulasi administrasi yang
tidak sesuai kualifikasi,
o Mensubkontrakkan pekerjaan,
o Suap.

30 Kasus Pengadaan dan 1. Neneng Sri Wahyuni o Pinjam bendera, 2008 2013 Rp 2,720,000,000 Rp 2,604,973,128
Pemasangan PLTS di (Direktur PT Anugerah o Memanipulasi penilaian untuk
Depnakertrans RI yang Nusantara) memenangkan salah satu vendor,
bersumber dari RAPBN-P tahun 2. Muhammad Nazaruddin o Suap,
2008 (anggota Dewan
Perwakilan Rakyat RI)
Rp Rp
1,153,356,124,58 332,388,030,879
6

10
Tahap Pelaksanaan

No Kasus Tersangka Modus Korupsi Kejadian Inkracht Jumlah Kerugian Jumlah Kerugian
Perkara (Tahun) Negara Negara (Inkracht –
(Tahun) (BPK/BPKP) Uang pengganti)

1 Kasus pengadaan tinta sidik Jari 1. Rusadi Kantaprawira o Persekongkolan dengan vendor, 2004 2006 Rp. 1,382,367,515 -
yang digunakan dalam Pemilu (PNS KPU), o Meloloskan vendor yang tidak (Rusadi)
Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi 2. Achmad Rojadi (PNS memenuhi kualifikasi,
dan DPRD Kabupaten / Kota Komisi Pemilihan o Menentukan HPS tanpa dasar, 2007 (A.
Tahun 2004 Umum) o Menerima suap dari vendor, Rojadi)
o Manipulasi dokumen

2 Kasus Pengadaan Barang dan Jasa 1. Dasirwan (PNS Dep. o Persekongkolan dengan vendor, Rp. 2,715,222,890 Rp 2,426,722,890
Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Kelautan & o Mempengaruhi panitia
Daya Dukung Sumber Daya Perikanan/Mantan pengadaan
Kelautan dan Perikanan Dep. Pimpro BRKP) dan o Meminta vendor menyediakan
Kelautan dan Perikanan , berupa 2. Jules Fulop Pattiasina perusahaan pendamping untuk
Pengadaan peralatan (PNS Dep. Kelautan & tender agar menang (rekayasa
laboratorium Pusat Riset Perikanan/ Mantan kompetisi lelang),
Pengolahan Produk Sosial Sekretaris Proyek o HPS dibuatkan vendor,
Ekonomi Kelautan dan Perikanan BRKP), o Membayar lunas pekerjaan
(PRPPSE - KP) T.A. 2003 3. Andjar Suparman (PNS sebelum pekerjaan selesai
BPPT/Mantan
Sekretaris BRKP Dep.
Kelautan dan
Perikanan)
4. Tirta Winata
(Swasta/Direktur PT.
Tirta Kencana Wahana)
3 Kasus Pengadaan Kotak Suara 1. Mulyana Wira Kusumah o Persekongkolan dengan vendor, 2004 2006 Rp -
untuk Pemilu tahun 2004 pada (Anggota Komisi o Merekayasa tender agar terpilih 15,749,000,000
Pemilihan Umum vendor yang telah ditentukan (Mulyana

11
Komisi Pemilihan Umum (KPU) (KPU)/Ketua Panitia padahal vendor tidak memenuhi dan
Pengadaan Kotak Suara kualifikasi (tidak memiliki Richard)
Pemilu 2004), kemampuan sumber daya
2. Richard Manusun Purba manusia, keuangan, peralatan 2007
(PNS/Kepala Biro dan fasilitas lainnya untuk (Sihol)
Logistik dan Distribusi pengadaan kotak suara),
KPU/Sekretaris Panitia o HPS disusun tidak berdasar,
Pengadaan Kotak Suara o Manipulasi dokumen (fiktif)
Pemlilu 2004),
3. Sihol P. Manullang
(Dirut PT. Survindo
Indah Prestasi (SIP))
4 Kasus pengadaan bus proyek 1. Sylvira Ananda (Ketua o Membuat HPS tanpa melakukan 2003 2007 Rp Rp 2,124,717,264
busway di Dinas Perhubungan Panitia Pengadaan survey, (Rustam 10,621,101,594.3
Prov. DKI Jakarta yang Barang Jasa Dinas o Persekongkolan dengan vendor, Effendi 2
menggunakan APBD tahun 2003 Perhubungan Propinsi o Merekayasa tender agar terpilih dan
dan 2004 DKI Jakarta TA 2003), vendor yang telah ditentukan, Sylvira Rincian: kerugian
2. Budhi Susanto (Direktur o Markup harga Ananda) pengadaan
PT. Armada Usaha busway 2003 Rp
Bersama), 2008 6,3M, 2004 Rp
3. Rustam Effendi (Kepala (Budhi 3,5M. Kerugian
Dinas Perhubungan DKI Susanto) bea balik nama
Jakarta) 794juta.

5 Kasus Pengadaan Automatic 1. Eman Rachman (Dirut o Persekongkolan dengan vendor, 2004 2007 Rp. 6,426,275,017 Rp 3,736,275,017
Finger System/AFIS di Ditjen PT. Sentral Filindo), o Kick back, (Eman
AHU Dep. Hukum dan Ham RI 2. Apendi (Kep.Bagian o Memanipulasi dokumen Rachman
Perlengkapan & Rumah ),
Tangga Ditjen AHU
Departemen 2008
Kehakiman dan HAM (Apendi,
RI), Zulkarnai

12
3. Zulkarnain Yunus n)
(sekjen Dep. Hukum
dan HAM RI)
6 Kasus Pengadaan Mobil Ismed Rusdany (PNS, Kepala o Persekongkolan dengan vendor, 2003 2008 Rp Rp 214,400,000
Pemadam Kebakaran type V 80 Sub Bagian Analisa mengatur pengadaan untuk 14,600,000,000
ASM sebanyak 29 unit pada Kebijakan dan Keuangan memenangkan salah satu vendor,
tahun 2003 dan Mobil Pemadam Daerah Propinsi Kalimantan o Mengarahkan pada merk
Kebakaran Hydrolic Tangga Timur) tertentu,
Ladder Truck Morita sebanyak 2 o Suap,
(dua) unit pada tahun 2005 yang o Kick back
terjadi pada Prov. Kalimantan
Timur

7 Kasus pengadaan sarana 1. Asep Hartiyomah (PNS o Menyusun HPS tanpa dasar, 2006 2008 Rp 8,370,000,000 Rp 570,000,000
perikanan tangkap pada kegiatan Dinas Perikanan o Markup harga,
rehabilitasi dan rekonstruksi Provinsi Jawa o Persekongkolan dengan vendor,
sektor perikanan tangkap pasca Barat/Kuasa Pengguna o Mengatur kemenangan vendor
gempa dan gelombang tsunami Anggaran dan Pejabat (lelang arisan),
pada satuan kerja Dinas Pembuat Komitmen), o Back date,
Perikanan Prov. Jawa Barat 2. Ade Kusmana (PNS o Menerima pekerjaan yang tidak
dengan menggunakan Dana Kasubid Sumber Daya sesuai spesifikasi di kontrak
APBN-P tahun 2006, yang terjadi Alam Balit Bangda
pada tahun 2006 s/d 2007 Provinsi Jawa Barat)

8 Kasus pelaksanaan proyek 1. KGS. Taswin Zein o Membayar penuh pada pekerjaan 2004 2008 Rp Rp 3,367,367,452
Pengembangan Sistem (Pemimpin Proyek yang tidak selesai dan tidak (Taswin) 13,600,000,000
Pelatiahan dan Pemagangan yang Pengembangan Sistem sesuai dengan standar di kontrak,
sumber dananya berasal dari ABT Pelatihan dan o HPS dibuat tanpa dasar, 2009
DIP APBN tahun 2004 dan Pemagangan pada o Back date, (Selain
Pengadaan Peningkatan Fasilitas Ditjen Binapendagri di o Manipulasi dokumen, Taswin)
Mesin dan Peralatan Latihan di Depnakertans RI), o Suap,
UPT/BLK yang sumber dananya 2. Bachrun Effendi o Melakukan addendum diluar
berasal dari ABT DIK tahun 2004 (Sesditjen Binapendagri

13
pada Direktorat Jenderal Depnakertrans RI), peruntukan
Pembinaan Pelatihan dan 3. Vaylana Dharmawan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam (Direktur PT. Suryantara
Negeri (Ditjen PPTKDA) Dep. Purna Wibawa ),
Nakertrans RI 4. Karnawi (Dirut PT.
Panton Pauh Putra),
5. Ines Wulanari Setyawati
(Direkteris PT Gita
Vidya Hutama)
9 Kasus pengadaan alat roentgen 1. Madiono (PNS Kabiro o Persekongkolan dengan vendor, 2007 2010 Rp 9,480,000,000 Rp 2,105,900,000
portable untuk pelayanan Perencanaan dan o Markup HPS, (Selain
Puskesmas di daerah tertinggal, Anggaran Sekjen o HPS dan Spesifikasi dibuat vendor Sjafii
terpencil, perbatasan, dan pulau- Depkes RI), (mengarah pada satu merek), Ahmad)
pulau kecil di Biro Perencanaan 2. Budiarto Maliang o Perusahaan pinjam bendera,
dan Anggaran Sekretariat (Komisaris PT.Kimia o Meloloskan perusahaan yang 2011
Jenderal Dep. Kesehatan RI tahun Farma TD), tidak memenuhi kualifikasi, (Sjafii
anggaran 2007 3. Edi Suranto (Sekretaris o Suap, Ahmad)
Ditjen Bina Kesehatan o Vendor pendamping fiktif,
Masyarakat Dep. o Merekayasa pengadaan
Kesehatan),
4. Sjafii Ahmad (Sekjen
Depkes 2004-
2009/Ketua Dewan
Jaminan Sosial
Nasional)
10 Kasus pengadaan alat kesehatan 1. Achmad Sujudi (Mantan o Penunjukan langsung 2003 2010 Rp Rp 59,583,812,802
untuk Rumah Sakit Kawasan Menteri Kesehatan RI), o Markup HPS (Achmad 71,300,000,000
Timur Indonesia (KTI) dan Palang 2. Gunawan Pranoto o Persekongkolan dengan vendor Sujudi)
Merah Indonesia (PMI) oleh (Pensiunan PNS /
Direktorat Jenderal Pelayanan Mantan Direktur Utama 2011
Medik Dep. Kesehatan RI PT. Kimia Farma, Tbk), (Gunawa
menggunakan dana Anggaran 3. Rinaldi Yusuf (Direktur n dan

14
Belanja Tambahan Daftar Isian Utama PT. Rifa Jaya Rinaldi)
Proyek (ABT-DIP) pada Tahun Mulia)
Anggaran 2003

11 Kasus pengadaan mobil o Penunjukan langsung 2004 2010 Rp 5,400,000,000 -


pemadam kebakaran merk Ismeth Abdullah (Gubernur o Persekongkolan dengan vendor,
Morita pada tahun anggaran Kepulauan Riau/Mantan o Suap,
2004 - 2005 di Otorita Ketua Otorita Batam) o Markup HPS,
Pengembangan Daerah Industri o HPS disusun oleh vendor,
Pulau Batam o Menyetujui pengadaan padahal
belum ada anggaran

12 Kasus Pengadaan Pekerjaan 1. Suseno Tjipto Mantoro o Penunjukan langsung Kantor 2004 2009 Rp 6,199,000,000 Rp 980,906,250
Pemeriksaan Penggunaan Tenaga (Mantan Atasan Akuntan Publik (KAP) Johan Barus
Asing/Audit Investigasi pada 40 Langsung Bendaharawan untuk melakukan audit investigasi
Kabupaten / Kota T.A. 2004 di DPKKTKI Ditjen PPK Dep. o Membuat dokumen fiktif untuk
Direktorat Jenderal Pembinaan Nakertrans T.A. 2004), pencairan pekerjaan dan
Pengawasan Ketenagakerjaan 2. Marudin Saur Marulitua dokumen fiktif seolah pekerjaan
(Ditjen PPK) Dep. Tenaga Kerja Simanihuruk (Mantan telah dilakukan
dan Transmigrasi RI Dirjen PPK Dep. Tenaga o Membayar pekerjaan yang belum
Kerja & Transmigrasi) dilakukan

Rp Rp 75,110,101,675
165,842,967,016.
32

15
Tahap Pengawasan (Audit dan Penegakan Hukum)

No Kasus Tersangka Modus Korupsi Kejadian Inkracht Jumlah Kerugian Jumlah Kerugian
Perkara (Tahun) Negara Negara (Inkracht –
(Tahun) (BPK/BPKP) Uang pengganti)

1 Kasus Penyuapan terhadap Pegawai 1. Teuku Syaifuddin (kuasa o Penyuapan pada 2001- 2005 - -
Pengadilan Tinggi Jakarta untuk hukum Abdullah Puteh ), pegawai pengadilan 2003
Mengamankan Perkara Korupsi 2. Ramadhan Rizal (Pegawai tinggi Jakarta
Abdullah Puteh Negeri pada Pengadilan Tinggi
Jakarta),
3. Mochammad Soleh (Pegawai
Negeri pada Pengadilan Tinggi
Jakarta)
2 Kasus Penyuapan tim investigasi BPK 1. Mulyana Wirakusumah o Menyuap Tim 2005 2005 - -
untuk menghilangkan temuan tentang (Anggota KPU/ Ketua Panitia Pemeriksa/Investigasi
indikasi penyimpangan dalam Pengadaan Kotak Suara BPK untuk
pengadaan kotak suara pada Komisi Pemilu 2004), menghilangkan
Pemilihan Umum 2. Susongko Suhardjo (Wakil temuan indikasi
Sekretaris Jenderal KPU Pusat) penyimpangan

3 Kasus penerimaan uang oleh Auditor 1. Bagindo Quirinno (PNS / o Persekongkolan 2005 2010 - -
BPK RI, terkait pemeriksaan terhadap Kepala Seksi Dep. Naker, dengan pegawai BPK,
penggunaan Dana Pengembangan Auditorat 1 - C, BPK RI), o Memanipulasi
Keahlian dan Ketrampilan Tenaga Kerja 2. KGS. Taswin Zein (Pemimpin dokumen list harga,
Indonesia dan Dana Pembinaan Proyek Pengembangan Sistem o Memanipulasi laporan
Penempatan Penyelenggaraan TKI Pelatihan dan Pemagangan pemeriksaan,
2004 periode Juli-Agustus 2005, serta pada Ditjen Binapendagri di o Suap
pemeriksaan pada Proyek Depnakertans RI),
Pengembangan Sistem Pelatihan dan 3. Bachrun Effendi (Sesditjen
Pemagangan 2004 pada Dep. Binapendagri Depnakertrans
Nakertrans periode Okt-Nov 2005 RI)

16
Kesimpulan modus korupsi dari analisis kasus PBJ inkrach KPK:

o 30 perkara, o 3 perkara
o 66 terpidana, o 12 perkara, o 8 terpidana
o Kerugian negara (BPK/BPKP) 1,15 T o 33 terpidana, o Unsur: PPK, Pimpro/
o Uang pengganti (inkracht) 332,4 M o Kerugian negara (BPK/BPKP 165,8 M POKJA ULP, BPK/BPKP ,
o Unsur: DPR/DPRD, Kepala K/L/Pemda o Uang pengganti (inkracht) 75,1 M Penegak hokum
(KPA/satker), Kemenkeu, PPK, Pimpro/Pokja o Unsur: PPK, PIMPRO/POKJA ULP, LPSE, Panitia o Modus:
ULP, Pengusaha/vendor Penerima Barang, Pengusaha/vendor  Suap kepada auditor (BPK
o Modus: o Modus: atau BPKP) untuk
 Proyek/Paket sudah dijual terlebih  Pengumuman terbatas menghilangkan temuan
dahulu (diijon) kepada vendor
 Manipulasi pemilihan pemenang audit
sebelum anggaran disetujui atau
disahkan. Pengadaan tidak sesuai  Manipulasi dokumen lelang.  Suap kepada penegak
dengan kebutuhan (rekayasa  HPS dan spek teknis dibuat oleh vendor hukum untuk meringankan
 Mark up harga hukuman
dokumen).
 Persekongkolan antara DPR, pihak K/L  Suap kepada pihak-pihak terkait
(KPA), dan Vendor. Proaktif bisa  Persekongkolan KPA, PPK, Pokja ULP/Pimpro,
dilakukan oleh DPR, K/L, atau vendor. PPHP, Bendahara.
 HPS dan spek teknis dibuat oleh
 Manipulasi dokumen serah terima
vendor
 Mark up harga
 Suap kepada pihak-pihak terkait
 Manipulasi pemilihan pemenang

17
3.2 AKAR MASALAH KORUPSI PBJ DI INDONESIA

Banyak istilah yang digunakan untuk pengertian analisis pohon masalah. Miller (2004) dalam Scarvada (2004)
menggunakan istilah issues trees. Lebih lanjut, Miller menyatakan issues trees merupakan pendekatan yang
membantu merinci suatu masalah ke dalam komponen-komponen penyebab utama dalam rangka
menciptakan rencana kerja proyek. Silverman dan Silverman (1994) menggunakan istilah tree diagram dan
menyatakan diagram sistematik atau diagram pohon dirancang untuk mengurutkan hubungan sebab-akibat.
Modul Pola Kerja Terpadu (2008) menggunakan istilah pohon masalah yang merupakan bagian dari analisis
pohon. Analisis pohon adalah suatu langkah pemecahan masalah dengan mencari sebab dari suatu akibat.
Lebih lanjut, Modul Pola kerja Terpadu menguraikan pohon masalah sebagai suatu teknik untuk
mengidentifikasi semua masalah dalam suatu situasi tertentu dan memperagakan informasi ini sebagai
rangkaian hubungan sebab akibat.40

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, terdapat beberapa poin penting mengenai pengertian analisis
pohon masalah:

1. Analisis pohon masalah merupakan suatu alat atau teknik atau pendekatan untuk mengidentifikasi dan
menganalis masalah.

2. Analisis pohon masalah menggambarkan rangkaian hubungan sebab akibat dari beberapa faktor yang saling
terkait.

3. Alat atau teknik analisis pohon masalah umumnya digunakan pada tahap perencanaan

Diagram pohon masalah:

AKIBAT
AKIBAT

SEBAB
Masalah Utama

Masalah Pokok /
Penyebab

Masalah Spesifik/
Penyebab

Dalam mendefinisikan akar masalah korupsi pada PBJ, peneliti menarik kesimpulan dari kajian pustaka
pada bab sebelumnya dan hasil FGD telah dilakukan. FGD yang dilakukan pada bulan April 2014,
mengundang beberapa pakar PBJ yaitu:

40Silverman, Steven N. dan Lori L. Silverman.1994. Using Total Quality Tools for Marketing Research: A Qualitative Approach for Collecting,
Organizing, and Analyzing Verbal Response Data.

0
No Pakar Lembaga Kepakaran

1 Prof. Sogar FH Unair, Surabaya Hukum Perdata (Regulasi PBJ


Simamora di Indonesia)

2 Agus Rahardjo LKPP (Kepala LKPP) Kebijakan dan pelaksanaan PBJ


di Indonesia
3 Setya Budi Arijanta LKPP (Direktur Pengembangan Strategi
dan Kebijakan Umum Pengadaan)

4 Robertus Dedeo Penyidik Polri (Mantan Penyidik KPK) Penyidikan pada kasus korupsi
PBJ
5 Dedi Irianto Kabag Bina Program Pemko Surabaya Bestpractise pelaksanaan e-
procurement di Kota Surabaya
6 Agus Imam Sonhaji Bappeda Pemko Surabaya

7 Hayie Muhammad Indonesia Procurement Watch (IPW) Pelaksanaan PBJ di Indonesia

8 Siswo Sujanto Mantan Sesditjen Perbendaharaan Keuangan Negara

Dari FGD akar masalah korupsi PBJ tersebut, para pakar menyampaikan pandangannya masing-masing
dan berikut kesimpulan dari FGD yang dilakukan:

 PBJ merupakan kejahatan yang kompleks dan sulit dibuktikan karena tersamarnya para pelaku dan
juga korban. Selain itu karena sering kali penyimpangan ini ditutup – tutupi.
 Perbaikan Sistem Pengadaan Barang dan Jasa tidak dapat berdiri sendiri, karena sistem PBJ
merupakan bagian dari sistem lainnya (Sistem penganggaran, sistem birokrasi, sistem penggajian,
dst).

A. Permasalahan Pokok pada Pengadaan Barang dan Jasa


I. Permasalahan (Kelemahan) dari sisi regulasi:
1. Aturan PBJ yang ada status hukumnya tidak kuat, hanya setingkat perpres sehingga:
a. Tidak dapat memberikan mekanisme sanksi yang tegas (baik sanksi pidana, sanksi
administrasi, maupun sanksi perdata).
b. Berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi pada sektor lain, sehingga tidak dapat
mengatur PBJ pada sektor lain tersebut.
2. Aturan yang ada belum dapat mendeteksi adanya afiliasi yang terjadi dalam proses pengadaan Barang
dan Jasa (misalnya: afiliasi antara penyedia dengan panitia, afiliasi antar penyedia, afiliasi antara
pemegang kewenangan dengan penyedia dan penitia, dst)  prinsip kompetisi tidak terjadi.
3. Aturan blacklist tidak diatur dengan tegas, kapan harus diblacklist dan siapa yang berhak
memblacklist.

II. Permasalahan (Kelemahan) dari sisi pelaksanaan (operasional) PBJ:


1. Proses pengawasan yang lemah sehingga terjadi korupsi.
2. Belum ada lembaga independen terkait sanggah dan banding yang terjadi dalam proses pelaksanaan
PBJ.
3. Sistem e-procurement yang ada juga masih bisa di’akali’, masih banyak peran manusia di sana
sehingga bisa menjadi celah.
4. Perusahaan-perusahaan yang ada banyak yang tidak capable, broker, virtual.

1
III. Kelemahan dari sisi kelembagaan:
1. LKPP kewenangannya masih terbatas
2. Belum ada lembaga independen yang menyelesaikan sengketa PBJ
3. Perlu ada lembaga yang memberikan penilaian terhadap suatu barang.

IV. Permasalahan dilihat dari sudut pandang pengangaran (APBN)


1. Terjadi kongkalingkong sejak dari awal proses perencanaan anggaran (sudah menunjuk penyedia
jasanya).
2. Permasalahan PBJ paling banyak frekuensi kejadiannya ditengarai di proses APBN-P
3. Proses penganggaran APBBN-P perlu diatur lebih ketat karena ini yang biasanya terjadi korupsi.

V. Permasalahan dari sisi integritas dan transparansi


1. Menyangkut sistem antikorupsi dan sarana IT seperti eproc dll
2. Minimnya iIntegritas panitia pengadaan dan kalangan berwenang dalam proses pelaksanaan PBJ.

B. Solusi dan Harapan


I. Solusi Jangka Pendek
- Perubahan ketentuan dalam APBN –P, dimana dalam pelaksanaanya tidak merubah UU
APBN (tidak menambah jumlah proyek, hanya merevisi anggaran).
- KPK mendorong adanya system yang e-proc dijalankan oleh seluruh K/L/O/P,
penggunaan selama ini belum 100% (saat ini baru berjalan Pusat 31%, Provinsi 41% dan
Kab/Kota 32%)
- Penguatan panitia pengadaan (ULP berkualitas, PPTK berkualitas, pemilihan vendor yang
tepat) yang sangat berperan dalam eksekusi pengadaan.

II. Solusi Jangka Panjang


- Pembentukan UU PBJ, yang dapat dengan tegas mengatur sanksi (Pidana, Perdata dan
Aministrasi). Selain itu agar tidak terjadi benturan dengan peraturan – peraturan lainnya.
- KPK mendorong agar system yang berlaku di Surabaya (mulai ebudgeting –
ePerformance) di copy-kan ke Pusat
- Pengoptimalkan e-katalog (saat ini hanya 500 item), diharapkan dorongan kepada
semua produsen untuk mau membuka harga yang sebenarnya. Selain itu diharapkan
perlu ada lembaga yang memberikan penilaian terhadap suatu barang.
- Kewenangan sanksi dalam menerapkan Blacklist harus diperjelas.
- Harus ada ketentuan satu lembaga yang memiliki kewenangan menilai suatu barang,
menguji dan menerbitkan kualitas barang yang memang dapat dibandingkan apple to
apple.

III. Harapan pada Penegak Hukum


- Penyidik dan TPU dapat mengangkat koorporasi sebagai tersangka, sehingga
menimbulkan efek jera.

2
Dari studi pustaka pada bab sebelumnya dan hasil FGD tersebut, maka berikut matriks benang merah
yang dapat diambil dari beragam pakar tersebut:

No Permasalahan Kajian Pustaka FGD


Regulasi
1. Sistem perundangan yang 1. Sutedi, 1. Agus Rahardjo (Kepala
berbenturan, multitafsir, 2. Irjen Pemprov LKPP),
tumpang tindih, tidak kuat, DKI Jakarta 2. Agus Sonhaji (Bappeda
tidak aplikatif. Pemko Surabaya),
3. Hayie Muhammad
(IPW),
4. Siswo Sujanto (Mantan
Sesditjen Anggaran),
Penganggaran
1.
Prof Sogar (Guru
Besar hukum Perdata),
Tidak berintegritas (ada 2. Roberthus Dedeo
mens rea) para oknum (Mantan Penyidik
1.
stakeholder perencana KPK),
anggaran (DPR, K/L) 3. Hayie Muhammad
(IPW),
4. Edi (JPU KPK ):
Proses perencanaan tidak 1. Marbun;
2.
transparan 2. Sutedi;
Pelaksanaan
1. Tidak berintegritas (ada Marbun 1. Kadek (JPU KPK),
mens rea) organisasi 2. Edi (JPU KPK):
pelaksana PBJ
2. Ada intervensi dari pihak 1. Roberthus
eksternal untuk mengadakan Dedeo (Mantan
barang/jasa yang sebenarnya Penyidik KPK)
tidak direncanakan oleh
organisasi
3. Individu yang tidak Purwanto 1. Prof. Sogar (Guru
berintegritas (koruptif dan Besar Perdata),Siswo
tidak independen Sujanto (Mantan
Sesditjen Anggaran),
2. Setya (LKPP)
4. Kelemahan sistem SDM 1. Sutedi 4. Roberthus Dedeo
pelaksana pengadaan 2. Marbun (Mantan Penyidik
3. Purwanto KPK),
5. Hayie Muhammad
(IPW)
5. Keterbatasan informasi harga Marbun 1. Siswo Sujanto (Mantan
pasar yang menjadi rujukan Sesditjen Anggaran),
standar pemerintah dalam 2. Kadek (JPU KPK),
penyusunan HPS. 3. Agus Sonhaji
(Bappeda Pemko
Surabaya),
4. Roberthus Dedeo
(Mantan Penyidik KPK)
6. Terdapat kolusi diantara 1. Marbun; 1. Prof. Sogar (Guru
penyedia yang membatasi 2. Purwanto Besar Perdata),
kompetisi: 3. OECD; 2. Hayie Muhammad
(IPW)
7. Sistem screening di K/L tidak OECD
menyaring vendor yang
berintegritas untuk
mengerjakan PBJ
8. Intervensi pengusaha atau 1. Hayie Muhammad
politisi (anggota dewan, (IPW),
menteri, kepala daerah) pada 2. A.Damanik (Penyidik

3
proses pemilihan penyedia KPK),
3. Larto (Kepala Bagian
ULP KPK)
Pengawasan
Pengawasan tidak dilakukan 1. Purwanto; 1. Hayie Muhammad
1. secara proaktif, sifatnya 2. Sutedi; (IPW)
reaktif

Sehingga, jika digambarkan dalam pohon masalah, berikut adalah gambarannya:

Akar Masalah Korupsi Rendahnya Kualitas


Barang/Jasa

Pada PBJ Pemerintah

Kerugian Rendahnya nilai


Keuangan Manfaat yang
EFFECTS Negara didapatkan

CENTRAL TINGGINYA KORUPSI


PROBLEM PADA PBJ PEMERINTAH

Pelaksanaan Pengawasan
CAUSES Penganggaran 1. Tidak 3. Individu yang 6. Kolusi diantara
berintegritas tidak penyedia Pengawasan
1. Tidak (ada mens rea) berintegritas 7. Sistem tidak dilakukan
Regulasi berintegritas organisasi (koruptif dan screening di K/L secara proaktif,
(ada mens rea) tidak independen tidak menyaring sifatnya reaktif
pelaksana PBJ
4. Kelemahan vendor yang
Sistem para oknum 2. Ada intervensi
sistem SDM berintegritas
perundangan yang stakeholder dari pihak 5. Keterbatasan 8. Intervensi
berbenturan, perencana eksternal untuk informasi harga pengusaha/ politisi
multitafsir, tumpang anggaran (DPR, mengadakan pasar (standar (anggota dewan,
tindih, tidak kuat, K/L) barang/jasa yang pemerintah menteri, kepala
tidak aplikatif. 2. Proses sebenarnya tidak dalam daerah) pada
perencanaan direncanakan penyusunan proses
48 pemilihan
tidak transparan oleh organisasi HPS. penyedia

3.3 PEMILIHAN PRIORITAS

Berdasarkan akar masalah tersebut, berikut pemilihan prioritas yang dilakukan:

1. Regulasi 2. Penganggaran 3. Pelaksanaan 4. Pengawasan

Pertimbangan Prioritas*
Pengaruh
Landasan Penyebab terhadap
No. Kriteria Kajian Nilai Prioritas Target Waktu
pelaksanaan terjadinya proses dan
PBJ TPK output
pelaksanaan
1 Regulasi 3 3 3 9 Prioritas 1 TW 4 - 2014
2 Pelaksanaan/operasional 1 3 3 7 Prioritas 2 TW 4 - 2015
3 Pengawasan 1 3 2 6 Prioritas 3 TW 4 - 2015

4 Penganggaran 3 3 3 9 Prioritas 1 TW 4 - 2015

4
BAB IV TEMUAN

Berdasarkan hasil analisis atas regulasi dan verifikasi lapangan pada saat observasi, terdapat beberapa potensi
masalah dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Potensi masalah dalam kajian ini terbagi ke
dalam 4 (empat) bagian yakni potensi masalah dalam regulasi, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Keseluruhan temuan dalam kajian ini menghasilkan rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai
pihak terkait dengan menyusun rencana tindak dan menindaklanjuti penerapan dari rencana tindak tersebut.
Target pelaksanaan rekomendasi yang disusun dalam kajian ini bervariasi yaitu berjangka waktu antara 6
(enam) bulan hingga 1 (satu) tahun, dengan harapan dapat segera diimplementasikan sebagai upaya
pencegahan korupsi pada Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Dalam kajian ini terdapat total 17 temuan, dengan rincian:

o 8 (delapan) temuan pada regulasi


o 1 (satu) temuan pada penganggaran
o 7 (tujuh) temuan pada pelaksanaan
o 1 (satu) temuan pada pengawasan

5
4.1 REGULASI
Isu yang paling krusial dan mendasar dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa adalah Regulasi. Regulasi
merupakan dasar hukum yang menjadi acuan dalam melaksanakan proses Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah. JIka regulasinya bemasalah, maka proses pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
pun akan bermasalah pula. Berangkat dari hal tersebut, kajian ini berusaha memahami titik permasalahan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dikaitkan dengan kerentanannya terhadap korupsi (prone to corrupt).
Dalam memahami regulasi ini, peneliti memilih untuk menggunakan metode Corruption Impact Asessment
(CIA).
CIA merupakan sistem analisis dalam mengidentifikasi faktor penyebab korupsi tidak hanya dalam lingkup
suatu peraturan perundang-undangan tertentu tetapi juga secara luas termasuk kerangka hukum dalam suatu
kebijakan. CIA merupakan metode analisis regulasi yang dilakukan oleh Lembaga Anti Korupsi di Korea (The
Anti-Corruption & Civil Rights Commission/ACRC)41.
CIA yang digunakan oleh ACRC menggunakan 3 form yaitu:
1. Basic Report Form (Form 1): adalah laporan umum terhadap seluruh pasal-pasal yang ada di Perpres 54
2010 beserta perubahannya.
2. Detail Report Form (Form 2): Adalah laporan detail terkait pasal-pasal yang dianggap bermasalah beserta
usulan/rekomendasi isi pasal tersebut (redaksi dan substansi)
3. Result Notification Form (Form 3): Adalah laporan yang berisi rekomendasi terhadap temuan yang
berpotensi korupsi pada regulasi PBJ

Pada kajian ini, form yang akan digunakan adalah kompilasi antara form 2 dan form 3 yaitu: berisi pasal yang
bermasalah beserta rekomendasi terhadap temuan yang berpotensi korupsi pada regulasi PBJ. Hal ini
dikarenakan ACRC biasanya menggunakan 3 form tersebut untuk regulasi yang belum disahkan atau masih
dalam tataran pembahasan. Sementara, pada kajian ini menggunakan form tersebut untuk menganalisis
peraturan PBJ yang sudah berlaku. Sehingga, form yang akan digunakan hanya form 2 dan form 3 saja, agar
efektif menjawab tujuan analisis regulasi yang berpotensi korupsi.

Kajian CIA ini difokuskan pada regulasi yang terkait dengan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yaitu:
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 beserta 4 Perpres perubahannya (Perpres 35
Tahun 2011, Perpres 70 Tahun 2012, Perpres 172 Tahun 2014, dan Perpres 4 Tahun 2015) Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.

Selain itu, kajian ini mereview juga peraturan terkait PBJ lainnya, diantaranya:
1. Perpres 106 Tahun 2007 dan Perubahannya (Perpres 157 Tahun 2014) Tentang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. UU no. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
3. UU no. 1 Tahun 2014 Tentang Perbendaharaan Negara
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
5. Permendagri no. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
6. PP nomor 45 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
7. Perka LKPP nomor 2 tahun 2010 Tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik
8. Perka LKPP No 8 Tahun 2010 Tentang Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

41
Dasar hukum CIA di Korea Selatan adala pasal 28.I dari Act on Anti-Corruption and Establishment and Operation of the ACRC, yang
kurang lebih berbunyi: “The ACRC assesses all forms of legislation ranging from acts, presidential decrees, ordinances, directives,
regulations, public notification & administrative rules.”

6
9. Perka LKPP No.23 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Operasional Sertifikasi Keahlian Tingkat Dasar
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
10. Perka LKPP No 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dari hasil input CIA oleh pakar, peneliti kemudian melakukan verifikasi lapangan dan analisis hasilnya. Sehingga
terdapat 8 temuan pada regulasi PBJ, yang terbagi menjadi 4 bagian:

o 1 (satu) temuan terkait level/tingkat regulasi


o 1 (satu) temuan terkait lembaga yang bertanggungjawab untuk PBJ di Indonesia
o 1 (satu) temuan terkait prinsip PBJ
o 4 (empat) temuan terkait isi regulasi

Berikut penjabarannya:

4.1.1 Temuan terkait level/tingkat regulasi


4.1.2 Tidak tersedianya dasar hukum PBJ yang memuat mekanisme sanksi serta masih dijumpainya
tumpang tindih dengan PBJ yang diatur oleh UU lain
Kondisi

Pengadaan barang dan Jasa merupakan bisnis proses yang panjang dan multi sektor, sementara
aturan tentang pelaksanaan PBJ hanya setingkat Perpres. Dari sisi regulasi, aturan yang setingkat
perpres memiliki kelemahan:

1. Tidak dapat mengatur sanksi

2. Jika berbenturan dengan PBJ pada sektor lain yang diatur dalam UU sektor tersebut, maka
Perpres tersebut dapat tidak berlaku karena tingkatnya lebih rendah dibandingkan UU.
(contohnya adalah ; di dalam Perpres tidak pernah mewajibkan SBU (Sertifikat Badan Usaha),
sementara UU Konstruksi mewajibkan adanya SBU (Sertifikat Badan Usaha) dan izin usaha
konstruksi, sehingga yang dapat mengikuti pelelangan kontruksi adalah perusahaan yang
memiliki SBU saja, ini menghambat perusahaan konstruksi menengah dan kecil, karena SBU
hanya dimiliki perusahaan besar dan BUMN).

3. Selain itu, Perpres juga dapat menjadi alat diskresi pihak tertentu untuk mengubah secara
cepat dan ‘menguntungkan’. (contoh Perpres 172/2014 yang menguntungkan pengusaha
benih dan pupuk).

LKPP pernah mengajukan RUU PBJ hingga diajukan pada tingkat Menko Perekonomian, namun usulan
tersebut ditolak. Terhadap RUU PBJ yang diajukan LKPP tersebut, KPK melakukan review dalam
konteks pencegahan korupsi. Berikut beberapa hasil telaahnya:

1. RUU PBJ tersebut mengatur terlalu teknis, tak ubahnya seperti perpres yang diangkat
menjadi undang-undang.

2. Muatan sanksi pada RUU PBJ tersebut lebih rendah dibandingkan sanksi pada UU Tindak
Pidana Korupsi.

7
Potensi Masalah

1. Peraturan PBJ berbenturan dengan peraturan pada sektor lain, dapat dijadikan celah oleh
pihak terkait untuk mengambil peraturan yang paling ‘menguntungkan’.

2. Terdapat celah diskresi pihak tertentu yang dapat mengubah perpres dengan cepat dan
‘menguntungkan’.

Rekomendasi

LKPP dan Bappenas perlu melakukan telaah lebih lanjut terkait urgensi penyusunan UU PBJ beserta
isinya, dengan beberapa catatan:

1. UU PBJ memuat ketentuan pokok saja, aturan teknis diatur pada aturan turunannya.
2. UU PBJ menjadi payung hukum PBJ di Indonesia.
3. UU PBJ harus disinkronkan dengan UU lain yang beririsan.
4. Ketentuan terkait sanksi, cukup mengacu kepada UU atau aturan lain yang berlaku.

Jangka waktu: 1 tahun

4.1.3 Temuan terkait lembaga yang bertanggungjawab untuk PBJ di Indonesia


1. Tidak sinkronnya lembaga yang melaksanakan kinerja pengeluaran negara dengan lembaga
penanggungjawab keuangan negara
Kondisi

Pasal yang bermasalah:

Pada pasal 4 Perpres 106 tahun 2007 tentang LKPP beserta perubahannya, “Dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, LKPP dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional.”

Berdasarkan studi benchmark banyak negara terkait pengelolaan PBJ, lembaga yang melaksanakan
PBJ bertanggungjawab langsung kepada Kementerian yang memiliki tanggungjawab/kewenangan
keuangan negara.

Potensi Masalah

Tidak sinkronnya lembaga yang melaksanakan kinerja pengeluaran negara dengan lembaga
penanggungjawab keuangan negara akan berpotensi:

1. Tidak termonitornya besaran dan realisasi jumlah anggaran pengadaan barang dan jasa di

8
Indonesia. (LKPP tidak mengetahui besaran jumlah nilai pengadaan barang/jasa di Indonesia
karena belum semua K/L/D/I memasukkan data ke SIRUP, data yang dimasukkan ke SIUP pun
sebagian besar hanya untuk pengadaan yang bernilai diatas 200 juta saja. Kemenkeu juga
tidak dapat menarik data anggaran pengadaan barang/jasa sendiri, karena adata anggaran
PBJ bergabung dengan seluruh pos pengeluaran di masing-masing K/L/D/I.

2. Tidak selarasnya rencana keuangan negara dengan realisasi belanja negara melalui PBJ.

Rekomendasi

Bappenas perlu melakukan penelaahan terkait tanggungjawab pelaksanaan PBJ dari Kementerian
yang memiliki kewenangan keuangan negara.

Jangka waktu: 1 Tahun.

4.1.4 Temuan terkait prinsip PBJ


1. Definisi prinsip efisien pada Perpres adalah harga murah bukan harga terbaik (value for money)
Kondisi

Pasal yang bermasalah:

Penjelasan pasal 5 Perpres 54 Tahun 2010; Prinsip efisien adalah Pengadaan barang/jasa harus
diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran
dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil
dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. Hal ini diperkuat oleh Pasal 66 ayat 5 huruf c terkait
penawaran yang lebih rendah 80% dari HPS masih diterima. “HPS digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan besaran jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% nilai
total HPS”. Padahal, HPS adalah nilai wajar dari pasaran, jika ada yang lebih rendah dibawah 80% dari
harga wajar di pasaran, semestinya hal ini dicurigai terkait kualitas output yang akan dihasilkan.

Berdasarkan studi benchmark negara lain, prinsip yang digunakan adalah value for money bukan
harga murah. Namun berdasarkan verifikasi lapangan, pelaksana pengadaan mengalami kekhawatiran
jika memilih penyedia yang tidka menawarkan harga termurah, karena ini akan menjadi obyek
pemeriksaan audit (Itjen atau BPK maupun BPKP).

Potensi Masalah

Jika K/L/D/I menekankan hanya harga murah, maka kualitas barang akan diabaikan. Hal ini berpotensi
menyebabkan kerugian negara akibat usia barang/jasa yang terbatas, sehingga K/L/D/I harus
mengadakan kembali barang/jasa yang sama.

9
Rekomendasi

LKPP perlu melakukan:

1. Pengubahan penjelasan efisien pada pasal 5 dengan mengacu kepada konsep value for
money.

2. Pasal 66 ayat 5 huruf c sebaiknya dihapus. Penambahan pasal terkait tidak diperkenankannya
mengajukan penawaran lebih rendah 80% dari HPS. Dengan catatan, HPS yang disusun sudah
sangat sesuai dengan harga pasaran dan harga wajar.

Jangka waktu: 1 tahun.

4.1.5 Temuan terkait intervensi pada perubahan Perpres


Kondisi

Perubahan Perpres 172 tahun 2014 merupakan perubahan ketiga Perpres 54 Tahun 2010. Hal yang
menjadi pertimbangan dalam perubahan Perpres ini adalah bahwa dalam rangka mencapai
swasembada pangan serta mengantisipasi perubahan iklim yang berdampak pada perubahan musim
tanam, perlu dilakukan percepatan penyediaan benih dan pupuk kepada petani melalui upaya khusus
bantuan langsung benih unggul dan pupuk yang perlu dilakukan serentak kepada petani secara tepat
jumlah, tepat mutu, tepat varietas/jenis, tepat waktu tanam, dan tepat lokasi.

Perubahan yang dilakukan adalah diantara huruf d dan e ayat (5) pasal 38 disisipkan 1 (satu) huruf
yaitu huruf d.1 sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38 ayat 5: Kriteria Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusu/Jasa Lainnya yang bersifat khusus
yang memungkinkan dilakukan Penunjukan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:

d.1. Pekerjaan Pengadaan dan penyaluran benih unggul yang meliputi benih padi, jagung, dan kedelai,
serta pupuk yang meliputi Urea, NPK, dan ZA kepada petani dalam rangka menjamin ketersediaan
benih dan pupuk secara tepat dan cepat untuk pelaksanaan peningkatan ketahanan pangan;

Potensi Masalah

Diubahnya Perpres PBJ menjadi Perpres no. 172 Tahun 2014 hanya untuk kepentingan penunjukan
langsung pengadaan benih dan pupuk.

Penunjukan langsung untuk benih dan pupuk ini dianggap tidak sesuai dengan kriteria penunjukan
langsung pada pasal 38 point 4; (a) penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan
waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak ditunda;…., (c.1) …. Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa Lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) penyedia
Barang/Jasa Lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah
mendapatkan izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang pelelangan untuk

10
mendapatkan izin dari pemerintah.

Dari data yang ada, jumlah penyedia produsen benih sebanyak 176 perusahaan, jumlah distributor
lebih banyak lagi. Sementara jumlah penyedia produsen pupuk urea, NPK, dan ZA adalah sebanyak 5
perusahaan, jumlah distributor juga lebih banyak lagi. Selain itu, pengadaan benih dan pupuk
bukanlah merupakan penanganan darurat yang pekerjaannya harus segera/tidak ditunda. Kebutuhan
pengadaan benih dan pupuk dapat diprediksi dan direncanakan sebelumnya.

Rekomendasi

LKPP perlu melakukan peninjauan kembali pengubahan penunjukan langsung untuk benih dan pupuk
pada Perpres no. 172 tahun 2014.

Jangka waktu: 1 tahun

4.1.6 Temuan terkait isi regulasi


1. Tidak independennya Lembaga Penjawab Sanggah
Kondisi

Pasal bermasalah:

Pasal 81 Perpres 54 Tahun 2010:

(1) Peserta pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila
menemukan: (a) penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Perpres
ini dan yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa, (b) adanya rekayasa
yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau, (c) adanya
penyalahgunaan wewenang oleh ULP dan/atau pejabat yang berwenang lainnya.

(2) Surat sanggahan disampaikan kepada ULP dan ditembuskan kepada PPK, PA/KPA, dan
APIP K/L/D/I yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman
pemenang.

(3) ULP wajib memberikan jawaban tertulis atas semua sanggahan paling lambat 5 (lima) hari
kerja setelah surat sanggaran diterima.

Potensi Masalah

Potensi Conflict of Interest (COI) akan terjadi pada lembaga ULP sebagai lembaga yang melakukan
proses pemilihan penyedia. ULP dapat menutup penyimpangan yang dilakukannya dengan jawaban
sanggah yang diberikan.

11
Rekomendasi

LKPP perlu melakukan:

1. Pengubahan pasal 81 dengan menekankan pada perlunya independensi penjawab sanggah


atau dilekatkan fungsinya kepada APIP sebagai pengawas internal. Sanggahan juga
ditembuskan kepada BPK/BPKP wilayah setempat.

2. Perlu dibentuk whistle blower system yang terpublikasi dengan baik kepada stakeholder
terkait. Sistem ini dikelola oleh LKPP dan bisa diakses oleh APIP K/L/D/I dan lembaga audit
pemerintah (BPKP atau BPK).

Jangka waktu: 1 Tahun

2. Tidak sinkronnya definisi PPK pada Perpres dengan PP 45 Tahun 2013


Kondisi

Pasal yang bermasalah:

Terdapat perbedaan definisi PPK pada perpres 54 Tahun 2010 dan PP nomor 45 tahun 2013 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pada pasal 1 ayat 23 PP nomor 45 Tahun 2013: Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya
disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan
dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara),
sementara pada Perpres 54 tahun 2010 pasal 1 ayat 7; Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya
disebut PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

Potensi Masalah

PPK dalam definisi perpres membuka peluang dijabat oleh non-struktural, sebagai pihak yang rentan
diintervensi oleh pejabat struktural. Padahal PPK merupakan pihak yang memiliki peran krusial dan
penting karena PPK memiliki resiko hukum terkait penandatanganan kontrak, sehingga ini harus juga
sejalan dengan resiko jabatan (struktural). Beberapa kasus korupsi yang berkaitan dengan PPK saja:

1. Kasus korupsi pengadaan posyandu di kabupaten karawang Tahun 2014 (tersangka PPK dan
Bendahara) - Kejaksaan

2. Kasus Korupsi Proyek Pelatihan Otomotif di Disnake Surabaya Tahun 2013 (tersangka PPK) -
Kejaksaan

3. Kasus korupsi proyek pengadaan peralatan pembangunan fasilitas produksi, riset, dan alih
teknologi vaksin flu burung di Kemenkes Tahun 2008-2010 (tersangka PPK dan Ketua Panitia
Pengadaan) - Kepolisian

12
Rekomendasi

LKPP perlu melakukan Pengubahan pasal 1 ayat 7 pada Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya
mengacu kepada PP nomor 45 Tahun 2013 pasal 1 ayat 23 tentang PPK. Sehingga penunjukan PPK
melekat kepada resiko jabatan (struktural).

Jangka waktu: 1 Tahun.

1. Adanya celah yang beresiko penyedia yang tidak berkualitas dapat mendaftar di LPSE
Kondisi

Pasal yang bermasalah:

1. Perpes 54 Tahun 2010 (pasal 111 ayat 4 point b): Fungsi pelayanan LPSE paling kurang
meliputi: (a) administrator sistem elektronik, (b) unit registrasi dan verifikasi pengguna, (c)
unit layanan pengguna

2. Perka LKPP nomor 2 tahun 2010 Tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (pasal 22
ayat 4): LPSE tidak perlu melakukan pemeriksaan lapangan

Potensi Masalah

Penyedia Barang/Jasa merupakan pelaksana utama pengerjaan penyediaan barang/jasa yang


dibutuhkan pemerintah. Salah satu permasalahan pengadaan barang/jasa adalah banyaknya penyedia
yang fiktif, ‘palugada’, pinjam bendera, dst. Sehingga menyebabkan buruknya kualitas dari
barang/jasa yang dihasilkan, dan mengakibatkan potensi kerugian negara. Tidak dilakukannya
pemeriksaan lapangan, merupakan salah satu celah yang harus ditutup untuk menghindari penyedia
barang/jasa yang tidak berintegritas dan tidak berkualitas.

Rekomendasi

LKPP perlu melakukan pengubahan Perka LKPP nomor 2 Tahun 2010 pasal 22 ayat 4; LPSE wajib
melakukan pemeriksaan lapangan terhadap penyedia barang/jasa yang mendaftar.

Jangka waktu: 6 Bulan

2. Terbatasnya akses untuk mengumumkan sanksi daftar hitam di Portal Pengadaan Nasional (INAPROC)
Kondisi

Pasal yang bermasalah:

Perpes 54 Tahun 2010 Pasal 124 ayat 3 dan 4:

13
(3) K/L/D/I menyerahkan Daftar Hitam kepada LKPP untuk dimasukkan dalam Daftar Hitam Nasional.

(4) Daftar Hitam Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dimuktahirkan setiap saat dan dimuat
dalam Portal Pengadaan Nasional.

Potensi Masalah

1. Penyedia yang sudah diblacklist oleh K/L/D/I masih tetap dapat mengikuti pengadaan di
instansi lain selama masa tunggu penayangan oleh LKPP. (Contoh: Pemko Medan sudah
mengirimkan daftar perusahaan blacklist kepada LKPP, hingga 2 tahun belum juga
diumumkan).

2. Tidak adanya check and balances dalam proses memasukkan penyedia yang terkena blacklist
karena hanya LKPP yang dapat memasukkan ke dalam INAPROC.

Rekomendasi

LKPP perlu melakukan:

1. Pengubahan pasal 124 ayat 3 dan 4 dengan memuat K/L/D/I diberikan akses untuk dapat
memasukkan langsung daftar hitam ke INAPROC . Akses diserahkan kepada APIP yang
memang sudah ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan PBJ.

2. Membuat aturan terkait prosedur pemeriksaan atau verifikasi yang dilakukan APIP terhadap
sanksi daftar hitam perlu diatur lebih detail.

Jangka waktu: 1 Tahun.

4.2 PENGANGGARAN
Penganggaran merupakan bagian penting yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Hal ini
dikarenakan pengadaan barang dan jasa merupakan bagian dari pos pengeluaran atau belanja negara.
Penganggaran yang dimaksud dalam kajian ini dimulai sejak proses perencanaan program dan anggaran hingga
disetujuinya anggaran. Dalam kajian ini, terdapat 3 temuan terkait penganggaran:

4.2.1 Lemahnya proses perencanaan program dan anggaran


Kondisi

1. Perencanaan program dan anggaran pada K/L/D/I cenderung bersifat incremental (menambah,
mengurangi dan menyempurnakan program-program yang telah ada pada tahun sebelumnya),
orientasinya lebih kepada penyerapan anggaran bukan kepada inovasi.

2. Dokumen perencanaan seringkali tidak tersedia atau hanya formalitas untuk memenuhi
ketentuan. (lihat pada bukti surat permintaan Pemda Provinsi Maluku untuk pembangunan
Jembatan Merah Putih Ambon pada lampiran)

14
3. Belum maksimalnya lembaga atau unit di dalam K/L/D/I yang melakukan penelaahan terhadap
dokumen perencanaan yang diusulkan di K/L/D/I.

4. Dokumen perencanaan dapat berubah dengan cepat dan bisa dilakukan berkali-kali dalam satu
tahun anggaran, termasuk kesempatan penambahan kegiatan di APBNP.

Potensi masalah

1. Intervensi politik terkait penganggaran:

Dalam proses perencanaan anggaran K/L/D/I seringkali terdapat intervensi yang dilakukan oleh pihak
eksternal K/L/D/I terutama pihak legislatif yang memperjuangkan daerah pemilihannya (konstituen).
Intervensi ini dilakukan diluar proses resmi perencanaan anggaran yang berlaku.

Contoh intervensi yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Sumut terhadap Dinas PU Pemerintah Kota
Medan dan Mamuju, bahwa usulan dilakukan diluar musrenbang. Padahal Dinas PU maupun Balai
Jalan Nasional telah memiliki prioritas pembangunan yang tertulis dalam dokumen resmi. (Lihat pada
dokumen surat dari DPRD Provinsi Sumatera Utara dan Dokumen Konreg BPJN VI pada lampiran).

2. Terjadinya persekongkolan secara vertikal dan horizontal saat penyusunan anggaran (modus pada
kasus korupsi)

Telah terjadi kasus korupsi:

1. Kasus pengadaan di Kemenpora untuk Pembangunan Wisma Atlet Palembang Sumsel.


Kejadian perkara tahun 2010. Tersangka : Mindo Rosalina Manulang (Marketing PT. Anak
Negeri), Wafid Muharam (Sesmenpora), Neneng Sri Wahyuni (Direktur PT Anugerah
Nusantara), Mohamad El Idris (Manager Marketing PT. DGI), Angelina Sondakh (Anggota
DPR-RI Periode 2009-2014), Muhammad Nazaruddin (Anggota DPR-RI Periode 2009-2014).

2. Kasus proyek pembangunan Kawasan KTM melalui APBN-P Tahun Anggaran 2011. Kejadian
perkara tahun 2011. Tersangka: Dadong Irbarelawan (PNS Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi), Dharnawati (Direksi PT Alam Jaya Papua), I Nyoman Suisnaya (PNS/Sekretaris
Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI)

3. Kasus RAPERDA Multi Years, RAPERDA tersebut menjadi PERDA Nomor 12 Tahun 2010
tentang Peningkatan Dana Anggaran Pembangunan Infrastruktur Peningkatan Jalan Dengan
Konstruksi Hotmix dan Jembatan Melalui Pelaksanaan Pekerjaan Tahun Jamak Untuk Masa 5
(lima) Tahun Anggaran, selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Daerah kabupaten Seluma
Tahun 2010. Kejadian perkara: Tahun 2010. Tersangka: Murman Effendi (Bupati Seluma
Periode 2010-2015), Ali Amra (Direktur PT Puguk Sakti Permai), Erwin Paman (Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu)

Rekomendasi

Bappenas dan Kemenkeu melakukan telaah sistem perencanaan anggaran secara terintegrasi,

15
transparan dan terpadu antara perencanaan program, perencanaan anggaran, realisasi program,
realisasi anggaran, dan evaluasi program dan anggaran untuk tahun-tahun berikutnya.

Bappenas dan Kemendagri perlu mendorong setiap K/L/D/I memiliki roadmap atau bluerpint untuk
jangka waktu 5 tahun dengan asistensi dan pengawasan dari APIP untuk meminimalisir adanya
intervensi dan inefisiensi.

Khusus untuk sektor-sektor strategis (misalnya infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan) perlu
didorong keterlibatan Bappenas dan Kemendagri dalam melakukan asisitensi pembuatan roadmap
dan pengawasannya.

Jangka waktu: 1 Tahun

4.3 PELAKSANAAN
Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa didefinisikan sebagai keseluruhan proses dalam rangka pemilihan
penyedia dan pelaksanaan pekerjaan dari pengadaan barang dan jasa. Terdapat beberapa potensi masalah
dalam tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ini. Dalam tahapan pelaksanaan ini, terdapat 7
temuan yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu temuan pada kelembagaan, pengelolaan SDM, dan tata laksana:
o 1 (satu) temuan terkait kelembagaan
o 2 (dua) temuan terkait pengelolaan SDM
o 4 (empat) temuan terkait tata laksana

Berikut penjelasan detailnya:


1.3.1 Temuan terkait kelembagaan
1. Belum Permanennya Organisasi ULP di Indonesia
Kondisi

Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pada pasal 1 ayat 8
menyebutkan bahwa “Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daeerah/Institusi yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.”

Selanjutnya, pada pasal 130 ayat 1 menyebutkan bahwa “ULP wajib dibentuk
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi paling lambat Tahun Anggaran 2014.”.

Namun, berdasarkan data LKPP pada bulan Oktober 2015, baru terbentuk sekitar 50.3% (83 ULP) di
165 Kementerian/Lembaga/Institusi pusat dan ada sekitar 91.9% (498 ULP) di 542 Pemerintahan
Daerah. Namun, dari total 581 ULP di seluruh Indonesia tersebut, hanya ada sekitar 73 ULP (10.3%)
yang sudah bersifat permanen sebagaimana syarat dari Perpres, baik sifatnya berdiri sendiri ataupun
melekat kepada unit yang sudah ada.

16
ULP di Indonesia
(Per Oktober 2015)
Hal Jumlah %
707 100
Jumlah Seluruh K/L/D/I
581 82.2
Jumlah ULP yg Sudah Terbentuk
508 87.4
ULP Adhoc (ex-Officio)
45 7.7
ULP Permanen (melekat)
28 4.8
ULP Permanen (berdiri sendiri)

(Sumber: LKPP, 2015)

ULP di Pusat dan di Daerah


(Per Oktober 2015)
Daerah Pusat
Hal % Jumlah %
Jumlah
Jumlah Instansi 542 100 165 100
ULP Terbentuk 498 91.9 83 50.3
ULP Adhoc (ex-Officio) 437 87.8 71 85.5
ULP Permanen (melekat) 33 6.6 12 14.5
ULP Permanen (berdiri sendiri) 28 5.6 0 0

(Sumber: LKPP, 2015)

Verifikasi lapangan menunjukkan bahwa K/L/D/I membentuk ULP untuk memenuhi instruksi pada
Perpres bahwa harus terbentuk ULP pada tahun anggaran 2014. Namun, sebagian besar ULP tersebut
belum memenuhi syarat bahwa ULP harus permanen baik melekat pada unit yang sudah ada atau
berdiri sendiri. Kelemahannya juga tidak ada sanksi jika K/L/D/I tersebut belum membentuk ULP yang
permanen.

Berdasarkan hasil verifikasi lapangan K/L/D/I menjadikan ULP melekat ke bagian yang sudah ada,
namun tidak permanen, hanya berdasarkan Tahun Anggaran (lihat contoh SK dari Pemko Medan dan
Pemko Palu pada lampiran). Selain itu, pegawai yang ditempatkan di ULP masih belum independen
dari sisi tugas, mereka masih mengerjakan pekerjaan pada unit kerja asalnya. Bahkan di Ditjen
Pendidikan Menengah, Pokja ULP dibentuk pada setiap unit eselon 2 seiring dengan ditetapkan setiap
eselon 2 sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) (lihat contoh SK Pokja ULP dari Kemendikbud pada
lampiran). Hal ini tidak berbeda dengan sistem sebelum adanya Perpres 54 Tahun 2010.

Potensi masalah

ULP dan Pokja tidak dapat profesional dan independen. Tidak profesional karena tidak ada kepastian
karir, sifatnya hanya temporary (tiap tahun berganti). Tidak independen karena Pokja ULP masih

17
menjadi bawahan dari PPK, rentan diintervensi.

Rekomendasi

LKPP, Kemendagri dan Kemenpan RB:

Membuat himbauan dan sanksi terhadap K/L/D/I yang belum membentuk ULP secara permanen dan
mendorong independensi pelaksana pengadaan (melepaskan diri dari unit kerja asal).

Jangka waktu: 6 bulan

1.3.2 Temuan terkait pengelolaan SDM


1. Belum memadainya pengelolaan SDM pelaksana pengadaan
Kondisi

Dalam Pasal 7 perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya, yang dimaksud dengan organisasi
pengadaan terdiri dari PA/KPA, PPK, ULP/Pejabat Pengadaan, dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan. Kecuali PA dan KPA, setiap bagian dari organisasi pengadaan memiliki prasyarat untuk
dapat menduduki jabatan tersebut. Syarat yang mutlak ada pada setiap organisasi pengadaan adalah
integritas, disiplin, tanggungjawab, memahami pekerjaan/memiliki kualifikasi teknis, menandatangani
pakta integritas, dan memiliki sertifikat keahlian barang/jasa (kecuali PPHP).

Namun, dari hasil verifikasi lapangan, tidak ada metode seleksi perekrutan yang dilakukan oleh
instansi. Pelaksana pengadaan adalah pihak yang ditunjuk bukan diseleksi dengan prasyarat yang
ditetapkan perpres. Prasyarat yang biasanya dipenuhi hanyalah memiliki sertifikat keahlian
barang/jasa saja.

Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa pelaksana pengadaan adalah pihak yang sama selama
bertahun-tahun mengurusi pengadaan. Keluhan yang dilontarkan adalah terkait minimnya
kompensasi dan tingginya resiko hukum, sementara pegawai tersebut masih tetap harus melakukan
pekerjaan utamanya di unit kerja asal. Sebagai contoh, kompensasi yang diterima oleh Ketua ULP
pada Kemendikbud adalah hanya sebesar Rp 1.000.000,-/bulan, sedangkan Pokja adalah sebesar Rp
750.000,-/bulan (lihat bukti penerimaan kompensasi pelaksana pengadaan di Kemendikbud pada
lampiran).

Hal tersebut menjadikan jarang sekali pegawai yang berkeinginan menjadi pelaksana pengadaan,
akhirnya pelaksana pengadaan diisi oleh pegawai yang itu-itu saja. Sementara dari sisi kompetensi,
pegawai pelaksana pengadaan juga tidak diberikan pelatihan peningkatan kompetensi sehingga
mereka belum dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal. Panduan melakukan rekrutmen atau
seleksi juga tidak tersedia, sehingga K/L/D/I tidak memiliki acuan dalam melakukan rekruitmen atau
seleksi.

Saat ini, LKPP telah melakukan inpassing untuk fungsional pengadaan, hingga Januari 2015 telah
dilakukan inpassing fungsional sebanyak 1.063 orang seluruh K/L/D/I di Indonesia; 626 orang di K/L/I
pusat dan 437 orang di Pemerintah Daerah. Berikut rincian lengkapnya:

18
Jumlah Pegawai Inpassing Fungsional Pengadaan di K/L/I Pusat
Per Januari 2015
No Kementerian/Lembaga Total
1 KEMENKES 55
2 PERPUSNAS 4
3 KEMENHUB 74
4 BPOM 14
5 ANRI 1
6 KEMENDIKBUD 31
7 KEMENHUT 68
8 BMKG 4
9 BKN 9
10 KKP 4
11 ESDM 28
12 KEMENAG 223
13 KEMENTAN 23
14 LAPAN 7
15 Badan Informasi Geospasial 5
16 LIPI 50
17 BATAN 17
18 KEMENKOMINFO 9
TOTAL 626

(Sumber: LKPP, 2015)

Jumlah Pegawai Inpassing Fungsional Pengadaan di K/L/I Pusat


Per Januari 2015
NO PROV/KAB/KOTA TOTAL
1 KABUPATEN BADUNG 39
2 KABUPATEN BANJAR 3
3 KABUPATEN BANYUASIN 6
4 KABUPATEN BEKASI 19
5 KABUPATEN BANJARNEGARA 1
6 KABUPATEN BOGOR 1
7 KABUPATEN CIREBON 9
8 KABUPATEN GORONTALO 9
9 KABUPATEN KENDAL 24
10 KABUPATEN KARAWANG 4
11 KABUPATEN MAMUJU 1
12 KABUPATEN MUARO JAMBI 3
13 KABUPATEN OKU SELATAN 2
14 KABUPATEN MAGETAN 17
15 KABUPATEN MAJALENGKA 1
16 KABUPATEN NGAWI 10
17 KABUPATEN SOPPENG 1
18 KABUPATEN SUMBAWA BARAT 1
19 KABUPATEN SUKABUMI 20
20 KABUPATEN WONOSOBO 1
21 KOTA BUKITTINGGI 7
22 KABUPATEN SOLOK 6

19
23 KABUPATEN SLEMAN 7
24 KABUPATEN TANAH LAUT 11
25 KABUPATEN PEMALANG 12
26 KOTA BALIKPAPAN 10
27 KOTA DEPOK 6
28 KOTA MEDAN 14
29 KOTA CILEGON 17
30 KOTA CIREBON 17
31 KOTA METRO 2
32 KOTA YOGYAKARTA 13
33 PROVINSI BALI 11
34 PROVINSI JAWA TENGAH 14
35 PROVINSI JAWA TIMUR 25
36 PROVINSI KALIMANTAN TENGAH 1
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA 4
37
BELITUNG
38 PROVINSI SULAWESI TENGGARA 18
39 PROVINSI SUMATERA SELATAN 1
40 PROVINSI BENGKULU 1
41 PROVINSI KEPULAUAN RIAU 3
42 PROVINSI KALIMANTAN BARAT 7
43 PROVINSI LAMPUNG 1
44 PROVINSI PAPUA 5
45 KOTA SAMARINDA 18
46 PROVINSI NTB 34
TOTAL 437

(Sumber: LKPP, 2015)

Belum semua K/L/D/I memiliki pegawai fungsional pengadaan dari proses inpassing tersebut. Akan
tetapi jenjang karir dan ‘rumah’ fungsional pengadaan belum ada. Sehingga, pegawai fungional
pengadaan tersebut masih melekat di unit kerja asal; dari sisi penggajian, penilaian kinerja, dst.

Masalah lainnya adalah terkait sertifikasi yang dikeluarkan LKPP hanyalah sertifikasi kelulusan ujian
penguasaan perpres barang dan jasa (perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya). Sementara
sertifikasi keahlian belum dilakukan pelatihan dan ujiannya. Padahal dalam pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa, keahlian dalam hal merencanakan PBJ, memilih penyedia, manajemen kontrak dan
logistik, dan pengetahuan manajemen aset yang dibutuhkan untuk pengadaan barang/jasa yang
kompleks dan atau pekerjaan dengan volume besar dengan frekuensi berulang, merupakan keahlian
wajib yang dibutuhkan pelaksana PBJ.

Perpres 54 tahun 2010 dan perubahannya pada Pasal 125 menyatakan bahwa :

(1) Untuk pemenuhan dan peningkatan Sumber Daya Manusia dibidang Pengadaan Barang/Jasa
dilakukan pelatihan Pengadaan Barang/Jasa.
(2) Program pelatihan Sumber Daya Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun
berdasarkan standar kompetensi dan dapat dilakukan secara berjenjang.

Pasal 126 ayat 1 menyebutkan bahwa LKPP melakukan Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Kewenangan LKPP untuk melakukan sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa

20
pemerintah dijelaskan lebih detail dalam Perka LKPP No 8 Tahun 2010. Sertifikat keahlian pengadaan
barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut sertifikasi keahlian adalah seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh LKPP untuk menentukan bahwa seseorang telah memenuhi persyaratan kompetensi
yang ditetapkan mencakup permohonan, evaluasi, keputusan sertifikasi, surveilen, dan sertifikasi
ulang.

Potensi masalah

Rekruitmen yang tidak berbasis seleksi integritas dan kompetensi, kompensasi yang rendah, tidak
adanya peningkatan kompetensi, serta adanya rangkap pekerjaan membuat pelaksana pengadaan
rentan melakukan fraud.

Rekomendasi

LKPP:

1. Membuat panduan mekanisme perekrutan sesuai dengan persyaratan yang terdapat pada
perpres.

2. Menyusun kurikulum peningkatan kompetensi untuk pelaksana pengadaan

3. Membuat kurikulum sertifikasi keahlian barang dan jasa dan menerapkannya untuk seluruh
pelaksana pengadaan barang dan jasa

Kementerian Keuangan dan Kemenpan RB:

1. Menyusun standar kompensasi terkait pelaksana pengadaan

2. Menyusun konsep peningkatan jenjang karir bagi pelaksana pengadaan

Jangka waktu: 1 Tahun

1.3.3 Temuan terkait tata laksana


1. Belum efektifnya keberadaan Whistleblower System yang dibangun oleh LKPP
Kondisi

Whistleblower system adalah sistem pengungkapan dugaan pelanggaran. Dari definisi, whistle blower
adalah seseorang yang membeberkan dugaan pelanggaran, ketidakjujuran, atau aktivitas melawan
hukum yang terjadi dalam suatu organisasi. Dugaan pelanggaran mungkin masuk dalam kategori
pelanggaran hukum, pelanggaran aturan, pelanggaran regulasi dan/atau ancaman terhadap
kepentingan umum seperti penipuan, pelanggaran ketentuan tentang kesehatan dan keamanan, dan
korupsi. Pengungkapan dugaan pelanggaran bisa bersifat internal (melaporkan seseorang lain dalam
organisasi yang sama) atau eksternal (melapor kepada regulator, lembaga penegak hukum, media
massa, atau kelompok yang berkepentingan dengan masalah tertentu).

21
Terkait hal ini, LKPP telah menerbitkan Peraturan Kepala LKPP no. 7 Tahun 2012 tentang
Whistleblowing System dalam PBJP. Selain itu, LKPP juga telah memiliki aplikasi Whistleblowing
System dengan alamat di: www.wbs.lkpp.go.id.

Aplikasi tersebut disediakan oleh LKPP untuk dapat dimanfaatkan oleh daerah. Namun, berdasarkan
hasil wawancara whistleblower system belum terpublikasi dengan baik kepada stakeholder yang
terkait. Sehingga, whistleblower system tidak termanfaatkan dengan baik. Minimnya pengaduan yang
masuk melalui whistleblower system juga ditambah dengan tidak memadainya pengetahuan pengadu
tentang substansi pengaduan yang dapat masuk dalam whistleblower LKPP. Hal ini menyebabkan,
data pengaduan yang masuk adalah data yang tidak sesuai dengan konteks PBJ

Potensi Masalah

Tidak optimalnya pengungkapan dugaan pelanggaran pada proses PBJ karena tidak termanfaatkannya
whistleblower system yang dimiliki LKPP

Rekomendasi

LKPP perlu membentuk whistle blower system yang terpublikasi dengan baik kepada stakeholder
terkait. Sistem ini Dikelola oleh LKPP dan bisa diakses oleh APIP K/L/D/I dan lembaga audit (BPKP dan
BPK).

Jangka waktu: 6 bulan

2. Terdapat kelemahan proses seleksi vendor oleh Pejabat Pengadaan


Kondisi

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan cara Pengadaan Langsung dilakukan oleh Pejabat
Pengadaan dengan cara membeli barang atau membayar jasa secara langsung kepada penyedia
barang/jasa, tanpa melalui proses lelang atau seleksi. Pengadaan langsung pada hakikatnya
merupakan jual beli biasa dimana antara penyedia yang memiliki barang/jasa untuk dijual dan Pejabat
Pengadaan yang membutuhkan barang/jasa terdapat kesepakatan untuk melakukan transaksi jual-
beli barang/jasa dengan harga yang tertentu.

Berdasarkan verifikasi lapangan dan wawancara, pejabat pengadaan belum melakukan seleksi
penyedia barang dan jasa sesuai dengan perpres. Sebagian besar pejabat pengadaan cenderung
memilih penyedia yang itu-itu saja (lihat bukti dokumen pengadaan langsung pada Balai Besar
Pelaksanaan Jalan Nasional VI Makassar pada lampiran).

Selain itu, jika ditotal, jumlah paket pengadaan langsung di satu instansi bisa sangat besar sekali.
Kementerian keuangan menghitung pada tahun 2014 jumlah pengadaan langsung di instansinya
adalah sebesar 1,14 triliun jumlah tersebut adalah sebesar 32.4% dari seluruh pengadaan barang dan

22
jasa di Kementerian Keuangan.

Hal inilah yang kemudian mendorong Kementerian Keuangan meluncurkan aplikasi SIMPeL (Sistem
Informasi Manajemen Pengadaan Langsung) sebagai solusi untuk menutup celah potensi korupsi yang
terjadi pada saat proses pengadaan langsung.

Potensi Masalah

Pemilihan penyedia yang tidak berdasarkan prinsip terbuka dan bersaing, akan mengakibatkan
potensi Conflict of Interest (COI) dan potensi tidak didapatkannya penyedia yang terbaik dari sisi harga
dan kualitas. Sehingga mengakibatkan pemborosan keuangan negara dan potensi pengambilan
keuntungan Pejabat Pengadaan dari vendor..

Rekomendasi

Bappenas perlu melakukan penelaahan terkait tanggungjawab pelaksanaan PBJ dari Kementerian
yang memiliki kewenangan keuangan negara.

Jangka waktu: 1 Tahun.

3. Minimnya sumber data dan acuan dalam penyusunan standarisasi kualitas dan harga barang/jasa
Kondisi

Dalam Perpres pasal 11, tugas pokok dan kewenangan PPK sebagai berikut: menetapkan rencana
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, yang meliputi: spesifikasi teknis Barang/Jasa, Harga Perkiraan
Sendiri (HPS); dan rancangan Kontrak.

Spesifikasi teknis dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah komponen yang sangat penting pada
proses pengadaan barang jasa. Spesifikasi teknis dan HPS yang tidak disusun dengan baik akan
berakibat pada kerugian pengadaan barang jasa. Ketentuan dalam membuat spesifikasi teknis adalah
tidak boleh mengarah kepada merek tertentu. Sementara HPS yang disusun juga harus berdasarkan
harga pasar yang wajar. Penyusunan HPS yang terlalu rendah akan menyebabkan para penyedia tidak
berani melakukan penawaran sehingga pelelangan terancam ulang bahkan gagal. Sebaliknya, HPS
disusun dengan nilai yang terlalu tinggi dari harga pasar yang wajar, akan mengakibatkan pemborosan
dan kerugian keuangan negara.

Dalam banyak kasus korupsi PBJ yang ditangani KPK, sebagian besar modus yang dilakukan adalah
penyusunan spesifikasi teknis dan HPS dilakukan oleh calon vendor yang akan ‘dimenangkan’. Jadi
sudah ada modus mark up harga melalui HPS.

Dari hasil wawancara dengan PPK, PPK mengalami kesulitan dalam menyusun spesifikasi teknis dan

23
HPS karena minimnya sumber data dan acuan dalam membuat spesifikasi teknis. Dengan adanya
sumber data dan acuan terkait standarisasi barang/jasa dan harga diharapkan tidak lagi dapat
dilakukan mark up harga.

Potensi Masalah

1. Tidak standarnya perumusan HPS dan Spek teknis untuk satu komoditas yang sama di setiap
K/L/I

2. Terbukanya celah potensi korupsi persekongkolan dengan ‘calon vendor’ untuk membuat
spek teknis dan HPS yang sesuai dengan ‘kepentingan’

Telah terjadi kasus korupsi:

1. Kasus pengadaan di Kemenpora untuk Pembangunan Wisma Atlet Palembang Sumsel, dan
meminta supaya PT. DGI yang mengerjakan pembangunan proyek tersebut. Kejadian perkara
tahun 2010. Tersangka : Mindo Rosalina Manulang (Marketing PT. Anak Negeri), Wafid
Muharam (Sesmenpora), Neneng Sri Wahyuni (Direktur PT Anugerah Nusantara), Mohamad
El Idris (Manager Marketing PT. DGI), Angelina Sondakh (Anggota DPR-RI Periode 2009-
2014), Muhammad Nazaruddin (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI).

2. Kasus proyek pembangunan Kawasan KTM melalui APBN-P Tahun Anggaran 2011. Kejadian
perkara tahun 2011. Tersangka: Dadong Irbarelawan (PNS Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi), Dharnawati (Direksi PT Alam Jaya Papua), I Nyoman Suisnaya (PNS/Sekretaris
Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI)

3. Kasus RAPERDA Multi Years , RAPERDA tersebut menjadi PERDA Nomor 12 Tahun 2010
tentang Peningkatan Dana Anggaran Pembangunan Infrastruktur Peningkatan Jalan Dengan
Konstruksi Hotmix dan Jembatan Melalui Pelaksanaan Pekerjaan Tahun Jamak Untuk Masa 5
(lima) Tahun Anggaran, selanjutnya diundangkan dalam Lembaran Daerah kabupaten Seluma
Tahun 2010. Kejadian perkara: Tahun 2010. Tersangka: Murman Effendi (Bupati Seluma
Periode 2010-2015), Ali Amra (Direktur PT Puguk Sakti Permai), Erwin Paman (Kepala Dinas
Umum Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu)

Rekomendasi

LKPP bekerjasama dengan kementerian/lembaga yang membidangi urusan terkait standarisasi


barang/jasa dan harga untuk menyusun standarisasi kualitas dan harga barang/jasa yang dapat
dijadikan acuan nasional dan daerah dalam menyusun spesifikasi teknis dan HPS.

Jangka waktu: 1 Tahun

24
4. Terdapat keterbatasan aplikasi vendor manajemen system dalam aplikasi SIKAP
Kondisi

Pasal 109A yang salah satu ayatnya bertuliskan “Percepatan pelaksanaan E-Tendering dilakukan
dengan memanfaatkan Informasi Kinerja Penyedia Barang/Jasa.” Untuk mewujudkan hal tersebut,
tanggal 19 Januari 2015 LKPP meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Kinerja (SIKaP) versi 1.0 atau
dalam dunia pengadaan dikenal dengan nama vendor management system (https://sikap.lkpp.go.id/)

LKPP mendefinisikan panduan sistem informasi kinerja penyedia (SIKaP) atau Vendor Management
System sebagai aplikasi yang memuat data atau informasi kinerja penyedia barang/jasa 47. Informasi
kinerja didefinisikan hanya meliputi data atau informasi mengenai identitas, kualifikasi, serta riwayat
kinerja penyedia barang dan jasa. Informasi saat ini baru pada tataran sistem informasi penyedia yang
mencakup identitas penyedia, ijin usaha, akta penyedia, pemilik perusahaan, pengurus perusahaan,
tenaga ahli, peralatan, pengalaman, pajak.

VMS diciptakan untuk mengurangi proses pra kualifikasi dan mempercepat proses lelang. Fungsi
SIKap adalah :
o memusatkan data penyedia seluruh indonesia, untuk mendapatkan penyedia yang
benar kualified berdasarkan jenis atau kompetensi usaha yang dimilikinya
 memudahkan segala proses penghitungan jumlah penyedia
 memudahkan proses pengolahan data penyedia

Pada prinsipnya informasi kinerja penyedia di dalam SIKaP sama dengan data penyedia di SPSE,
namun ada beberapa bagian informasi yang perlu ditambahkan. Dengan adanya aplikasi SIKaP ini
maka penyedia hanya mengisikan data penyedia sekali saja, yang nantinya web server akan terpusat.

Penyedia harus mendaftarkan diri dan melakukan aktibasi agregasi data penyedia (ADP). Proses
verifikasi dan validasi dilakukan oleh LKPP dan PT Pefindo Biro Kredit (PBK) dalam menyaring
kredibilitas data penyedia barang/jasa pemerintah.

47 https://sikap.lkpp.go.id/public/file/Panduan%20SIKaP%20%28VMS%29%20Ref.19.01.2015.pdf

25
Namun sebagai aplikasi Vendor Management System, terdapat beberapa keterbatasan aplikasi SIKAP:

1. Aplikasi SIKAP hanya berisikan database penyedia yang diisi oleh penyedia sendiri.

2. Tidak ada proses verifikasi yang dapat dilakukan oleh pengguna/user di K/L/D/I.

3. Selain itu, sebagai aplikasi penilaian kinerja penyedia, aplikasi SIKAP justru belum
menyediakan menu penilaian kinerja penyedia oleh pengguna barang/jasa di K/L/D/I.

4. Sehingga aplikasi SIKAP belum dapat dijadikan sebagai vendor management system bagi
K/L/D/I.

Potensi Masalah

Keterbatasan aplikasi tersebut, tetap membuka celah:

1. Keikutsertaan kembali vendor yang wanprestasi, blacklist, tersangkut KKN, dst.

2. Persekongkolan vertical dan horizontal.

Rekomendasi

LKPP melakukan penyempurnaan aplikasi SIKAP sebagai vendor manajemen system yang dapat
mencegah keikutsertaan kembali vendor yang wanprestasi, blacklist, tersangkut KKN, dan mencegah
terjadinya persekongkolan vertikal dan horizontal.

Jangka waktu: 6 bulan

5. E-procurement masih memiliki kelemahan


Kondisi

E-procurement merupakan langkah maju dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia. E-
procurement merupakan salah satu upaya menutup celah potensi korupsi dalam PBJ karena menutup
kesempatan persekongkolan yang terjadi.

Namun dalam perjalanannya, terdapat beberapa kelemahan dari pelaksanaan e-procurement di


Indonesia, diantaranya:

1. Tidak transparannya informasi mengenai skoring atau penilaian setiap tahapan PBJ yang
dilalui oleh vendor. Publik tidak dapat melihat informasi tentang penilaian dari tim ULP
terhadap seleksi yang dilakukannya terhadap calon vendor.

2. Tidak dipisahkannya computer server pada LPSE. Computer server yang tidak dipisahkan
mengakibatkan mudahnya admin LPSE mendapatkan intervensi dari pihak lain yang ingin

26
mengambil keuntungan (misalnya mengurangi bandwith, mematikan server, dst)

Tidak adanya aturan mengenai kewajiban audit server LPSE. Dari hasil wawancara dengan LKPP, tidak
ada audit reguler yang dilakukan terhadap server LPSE. Hanya saat ada masalah saja, kegiatan audit
dilakukan.

Potensi Masalah

Telah terjadi kasus korupsi terkait kelemahan e-procurement (belum inkracht):

Kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) kedokteran umum di pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas) Kota Tangerang Selatan tahun anggaran (TA) 2012.

Tersangka: Tubagus Chaeri Wardana (PT Buana Wardana Utama), Dadang Prihatna (PT Mikindo
Adiguna Pratama) dan Mamak Jamaksari selaku pejabat pembuat komitmen, yaitu Kepala Bidang
Sumber Daya Kesehatan dan Promosi Kesehatan (SDK dan Promkes) Tangerang Selatan (Tangsel).

Rekomendasi

LKPP perlu melakukan pencegahan terhadap potensi fraud yang terjadi pada e-procurement.
Misalnya melalui:

1. Membuat aturan mengenai kewajiban transparasi hasil penilaian oleh ULP (upload di LPSE)

2. Membuat aturan mengenai dipisahkannya computer server setiap LPSE K/L/D/I

3. Melakukan audit berkala terhadap server LPSE K/L/D/I dan melakukan tindakan untuk
menutup celah fraud yang dilakukan melalui LPSE

4. Membuat himbauan tentang potensi dugaan pelanggaran server sebagaimana hasil audit
yang telah dilakukan.

Jangka waktu: 1 tahun

4.4 PENGAWASAN
Pengawasan memiliki peran penting dalam proses pengadaan barang dan jasa, karena proses pengadaan
barang dan jasa ini cenderung transaksional, sehingga rentan melakukan fraud atau korupsi. Terdapat 2
temuan dalam pengawasan ini:

4.4.1 Lemahnya pengawasan PBJ


Kondisi

Pasal 116 ayat 1 “K/L/D/I wajib melakukan pengawasan terhadap PPK dan ULP/Pejabat pengadaan di
Lingkungan K/L/D/I masing-masing, dan menugaskan aparat pengawasan intern yang bersangkutan
untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan.

27
Berdasarkan verifikasi lapangan, pengawasan yang dilakukan oleh lembaga audit (BPK dan BPKP)
adalah post-audit keuangan pada setiap tahun. Sementara APIP juga cenderung melakukan post-audit
dan saat ada kasus (represif).

Studi benchmark terhadap negara-negara yang bersih dari korupsi (IPK > 6.00), melakukan
pengawasan PBJ dengan 3 cara:

1. Probity Audit (di Australia dan negara-negara persemakmuran)

2. Pre-award audit dan contract audit (Amerika Serikat dan negara-negara yang
memperngaruhinya)

3. Audit dilakukan oleh internal audit (Di banyak negara)

Potensi Masalah

1. Penyimpangan baru dapat diketahui setelah terjadi, tidak ada tindakan preventif.

2. Kasus tindak pidana diketahui setelah ada audit eksternal atau proses penegakan hukum.

Rekomendasi

Kemenpan RB dan Kemendagri mewajibkan APIP K/L/D/I melakukan audit pra, proses, dan pasca PBJ.
(audit khusus kemanfaatan pengadaan barang/jasa)

Untuk pengadaan yang sifatnya strategis, rentan, dan besar, perlu dikonsultasikan kepada pembina
APIP masing-masing wilayah.

Jangka waktu: 6 bulan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Beth, Elodie. 2005. Main Finding of The Forum Workshop on ‘Improving Transparency in Public Procurement’.
OECD Publishing (Fighting Corruption and Promoting Integrity in Public Procurement). Hal: 46

BPK RI, 2014. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014. Jakarta.

Daly, M. Elizabeth and Haahr, Mads. 2009. Social Network Analysis for Routing in Disconnected Delay-Tolerant,
ACM: 978-1-59593-684-4.

Danniel Treisman, “The Cause of Corruption: A Cross-National Stuy”, Journal of Public Economics 2000, 76:3,
hlm 399-457; Dan Rauch, Peter Evans, “Beurocratic Structureand Beurocratic Performance in Less
Developed Country”, Journal of Public Economics, 75:1, hlm 49-71, dalam Jacob Svenson “Eight
Question about Corruption”, Journal of Economics Perspective, 19:3, 2005

Edquist, C., Hommen, L., and Tsipouri, L. (Eds.). (2000). Public Technology Procurement and
Innovation.Boston/Dordrecht/London: Kluwer Academic Publishers.

Gabor Peteri, Finding the Money, Open Society Institute, Center for Policy Studies, CEU, Hungary, 2008

Hanneman, Robert, A. and Mark Riddle. 2005. Introduction to social network methods.

http://www.bappenas.go.id/berita-dan-siaran-pers/pembenahan-sistem-pengadaan-barang-dan-jasa-
tingkatkan-daya-saing-nasional/ diakses pada 28 November 2014

http://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/budget-brief-apbn-2015 diakses pada 20 November 2015

http://keuda.kemendagri.go.id/asset/dataupload/data-informasi/datin_data/740.jpg diakses pada tanggal 20


November 2015

http://eproc.lkpp.go.id/goto/tentang-e-procurement

http://www.acton.org/research/lord-acton-quote-archive

https://sikap.lkpp.go.id/public/file/Panduan%20SIKaP%20%28VMS%29%20Ref.19.01.2015.pdf

Jurnal Pengadaan LKPP, 2011. Senarai Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Volume 1 Number 1.

KPPU, 2012. Laporan Kinerja KPPU Tahun 2012: Periode Penguatan Perekonomian Melalui Persaingan Usaha.

Nico Groenendijk, “A Principal-Agent Model of Corruption”, Crime, Law & Social Change, 27:207–229, 1997.

Rochman, Mutia Gani dan Achwan. 2015. Sosiologi Korupsi. UI Press. Jakarta. Hal. 30

Robbert Klitgaard, 1990. Controling Corruption. UC Berkeley Press.

Standholz W dan R. Tageepera, “Corruption, Culture & Communism”, International Review of Sociology, Vol 15
no 1, 2005, dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia

S Arrowsmith. 2005. The Law of Public and Utilities Procurement. 2nd edn. London, Sweet & Maxwell

29
Silverman, Steven N. dan Lori L. Silverman.1994. Using Total Quality Tools for Marketing Research: A
Qualitative Approach for Collecting, Organizing, and Analyzing Verbal Response Data.

Simamora, Sogar. 2013. Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia. Wins &
Partners Law Firm dan LbJ. Surabaya.

Susan Rose Ackerman, Corruption and Government, Cambridge, 1999

Ulrike Gretzel, Social Network Analysis: Introduction and Resources.2001. http://lrs.ed.uiuc.edu/tse-


portal/analysis/social-network-analysis/ diakses pada tanggal 12-05-2014

Valdis Krebs, Social Network Analysis, A Brief Introduction. http://www.orgnet.com/sna.html. Diakases pada
tanggal :12-05-2014.

Wijayanto Samirin,2012. “Fighting Corruption in Indonesia: The Need of New Approaches to Ensure that
Progress Continue”

Williams, Sope – Elegbe. 2012. Fighting Corruption in Public Procurement; A Comparative Analysis of
Disqualification or Debarment Measures. Oxford and Portland, Oregon. Hart Publishing.

30

Anda mungkin juga menyukai