Anda di halaman 1dari 14

PENGENDALIAN BAHAYA DI TEMPAT KERJA

Makalah
Untuk memenuhi tugas matakuliah Keselamatan Pasien dan Keselamatan Kesehatan
Kerja dalam Keperawatan
Yang dibina oleh ibu Dr. Sri Mugiati, SKp, M.Kep

Oleh :
Ni Putu Ardiyani P17211186005
Rosyada Nirmala P17211186011
Luluk Mamluatul U P17211186016
Martoyo Ichwan P17211186026
Bryna Zara Vania P17211186037

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahaya (hazard) adalah semua sumber, kondisi maupun kesibukan yang


mempunyai potensi menyebabkan cedera (kecelakaan kerja) dan penyakit akibat
kerja (OHSAS 18001 : 2007).
Pengendalian adalah salah satu diantara bagian dari manajemen. Sedangkan
pengendalian bahaya ditempat kerja adalah system yang dikerjakan oleh lembaga
atau perusahaan dalam meraih maksud supaya beberapa pekerja di lembaga atau
perusahaan bisa dihindari kemungkinan kesibukan yang bisa punya potensi
menyebabkan cedera dan penyakit akibat kerja, sebagai maksud awal dari satu
perusahaan (Minal,2014).
Potensi bahaya (hazard) menjadi problematika bagi perusahaan sebab
merupakan sumber resiko yang potensial mengakibatkan kerugian material,
lingkungan, dan manusia. Salah satu bentuk resiko bahaya yang dapat muncul
adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat timbul baik dari lingkungan fisik
kerja, perilaku para pekerja, maupun mesen dan peralatan industry yang
digunakan. Factor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait
dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin
terjadinya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.
HIRARC (Hazard Identification, Risk Assessment, and Risk Control)
merupakan elemen pokok dalam system manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang berkaitan langsung dengan upaya pencegahan dan pengendalian
bahaya (Ramli, 2009). Aktivitas dalam HIRARC mencakup aktivitas identifikasi
bahaya, penilaian risiko, dan pengendalian risiko. Dengan dilakukannya
identifikasi bahaya dan pencegahannya diharapkan dapat meminimalkan
kecelakaan yang terjadi sehingga dapat dicapai tingkat kecelakaan dengan
mendekati 0 (zero accident).
Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun ada lebih dari
250 juta kecelakaan di tempat kerja dan lebih dari 160 juta pekerja menjadi sakit
karena bahaya di tempat kerja. Terlebih lagi, 1,2 juta pekerja meninggal akibat
kecelakaan dan sakit di tempat
kerja. Angka menunjukkan, biaya manusia dan sosial dari produksi terlalu tinggi
(ILO, 2013).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat
angka kecelakaan kerja di Indonesia cenderung terus meningkat. Sebanyak 123
ribu kasus kecelakaan kerja tercatat sepanjang 2017. Total kecelakaan kerja pada
2017 sebanyak 123 ribu kasus dengan nilai klaim Rp 971 miliar lebih. Angka ini
meningkat dari tahun 2016 dengan nilai klaim hanya Rp 792 miliar lebih. Salah
satunya kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Pasuruan yang menyebabkan
kematian pada pekerja Tol Pandaan – Malang.
Maka dari itu kami ingin megetahui tentang “Pengendalian Bahaya di Tempat
Kerja” ?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui tentang pengendalian bahaya di tempat kerja

1.3 Manfaat
1. Mampu memahami pengertian pengendalian bahaya di tempat kerja
2. Mampu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bahaya
ditempat kerja
3. Mampu memahami cara-cara pengendalian bahaya ditempat kerja
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1.Definisi

Bahaya (hazard) merupakan keadaan atau situasi yang berpotensial


mengakibatkan kerugian seperti luka, sakit, kerusakan harta benda, kerusakan
lingkungan kerja, atau gabungan seluruhnya (Ramli, 2010 dalam Wulandari,
2011).

Potensi bahaya merupakan sesuatu yang berpotensi untuk terjadinya


insiden yang berakibat pada kerugian (ILO, 2013).

Sementara itu, definisi pengendalian menurut KBBI (Kamus Besar


Bahasa Indonesia) adalah pengawasan atau kemajuan (tugas) dengan
membandingkan hasil atau sasaran secara teratur serta menyesuaikan usaha
(kegiatan) dengan hasil pengawasan.

Dapat disimpulkan bahwa pengendalian bahaya di tempat kerja yaitu


pengawasan atau tugas yang dikerjakan oleh lembaga atau perusahaan untuk
meminimalisir/mengurangi sesuatu yang berpotensi megakibatkan kerugian.

2.2. Tujuan
Pengendalian bahaya di tempat kerja bertujuan untuk
meminimalisir/mengurangi tingkat risiko yang ada sampai tingkat terendah
atau tingkatan yang dapat ditolelir (Soputan dkk, 2014).

2.3. Klasifikasi bahaya


a) Bahaya yang bersifat fisik seperti ruangan yang terlalu panas, terlalu
dingin, bising, kurang penerangan, getaran yang berlebihan, dan radiasi.
Keadaan tempat kerja yang terlalu panas mengakibatkan tenaga kerja
cepat lelah, karena kehilangan cairan dan garam. Keadaan ruangan yang
terlalu dingin juga akan menyebabkan tenaga kerja sering sakit sehingga
akan menurunkan daya tahan tubuhnya.
b) Bahaya yang bersifat kimia berasal dari bahan-bahan yang digunakan
maupun bahan yang dihasilkan selama proses produksi. Bahan ini
terhambur ke lingkungan karena cara kerja yang salah, kerusakan dari
peralatan atau instalasi digunakan dalam proses kerja. Bahan kimia dapat
menimbulkan gangguan baik lokal maupun sistemik. Gangguan lokal
adalah kelainan yang timbul di tempat bahan kimia kontak dengan tubuh,
yaitu kulit dan selaput lendir yang menimbulkan gejala sistemik
c) Bahaya biologik disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari serangga
maupun dari binatang lain yang ada di tempat kerja. Berbagai macam
penyakit dapat timbul seperti infeksi, alergi, dan sengatan serangga
maupun gigitan binatang berbisa yang menimbulkan berbagai penyakit
serta bisa menyebabkan kematian.
d) Bahaya psikologik seperti gangguan jiwa yang dapat terjadi karena
keadaan lingkungan sosial tempat kerja yang tidak sesuai dan
menimbulkan ketegangan jiwa pada tenaga kerja, seperti keharusan
mencapai target produksi yang terlalu tinggi diluar kemampuan,
hubungan atasan dan bawahan yang tidak serasi. Stres di tempat kerja
bisa memperlihatkan gejala massal yang dikenal dengan histeria massal.
e) Gangguan yang bersifat faal karena beban kerja yang terlalu berat,
peralatan yang digunakan tidak serasi dengan tenaga kerja. Pengaturan
kecepatan ban berjalan misalnya yang perlu diatur sesuai dengan
kecepatan operator melayaninya agar tidak stres.

2.4. Metode
2.4.1. Upaya-Upaya Pengendalian Bahaya di Tempat Kerja
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam pengendalian bahaya
menurut (Santoso, 2004) diantaranya :
1. Subtitusi bahan-bahan kimia yang berbahaya
2. Proses isolasi
3. Pemasangan lokal exhauster
4. Ventilasi umum
5. Pemakaian alat pelindung diri
6. Ketatarumahtanggaan perusahaan
7. Pengadaan fasilitas saniter
8. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja dan berkala
9. Penyelenggaraan latihan/penyuluhan kepada semua karyawan dan
pengusaha
10. Kontrol administrasi

2.4.2. Hirarki Pengendalian

Menurut (Santoso, 2004) terdapat 5 metode yang digunakan sebagai


pengendalian bahaya atau peninjauan proses/operasi pada sebuah sistem
secara sistematis, antara lain :
1. Eliminasi
Eliminasi adalah suatu pengendalian resiko yang bersifat permanen
dan harus dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan utama. Eliminasi
merupakan pengendalian yang dilakukan dengan cara menghilangkan
sumber bahaya (hazard). Metode ini dapat dicapai dengan
memindahkan objek kerja atau sistem kerja yang berhubungan dengan
tempat kerja kehadirannya melebihi batas ketentuan, peraturan dan
standar baku K3 atau kadarnya melampaui Nilai Ambang Batas
(NAB) yang ditentukan. Eliminasi merupakan cara pengendalian yang
paling baik, karena resiko terjadinya kecelakaan dan penyakit kerja
ditiadakan (Soputan dkk, 2014; Wulandari, 2011).
2. Subtitusi
Subtitusi merupakan pengendalian bahaya dengan cara mengganti
bahan-bahan dan peralatan yang berbahaya dengan yang kurang
berbahaya atau yang lebih aman, sehingga pemaparannya selalu dalam
batas yang masih diterima.
3. Pengendalian Rekayasa
Rekayasa teknik adalah merubah struktur objek kerja untuk mencegah
tenaga kerja terpapar potensi bahaya dengan cara rekaya teknik pada
alat, mesin, infrastruktur, lingkungan dan atau bangunan. Contohnya
yaitu pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan, pembuatan
struktur pondasi mesin dengan cor beton, pemberian alat bantu
mekanik, pemberian absorben suara pada dinsing ruang mesin yang
menghasilkan kebisingan tinggi.
4. Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif merupakan pengendalian bahaya dengan
cara melakukan pembuatan prosedur, aturan, pemasangan rambu
(safety sign), tanda penringatan, training dan seleksi terhadap
kontraktor, material serta mesin, cara pengatasan, penyimpanan dan
pelabelan. Metode pengendalian ini sangat tergantung dari perilaku
pekerjanya dan memerlukan pengawasan yang teratur untuk
dipatuhinya pengendalian administrasi ini. Metode ini meliputi
rekruitmen tenaga kerja sesuai jenis pekerjaan yang akan ditangani,
pengaturan waktu kerja dan istirahat, rotasi kerja untuk mengurangi
kebosanan dan kerjenuhan, penerapan prosedur kerja, pengaturan
kembali jadwal kerja, training kerahlian dan training K3.
5. Alat Pelindung Diri
Alat pengendalian diri (APD) merupakan saranan pengendalian yang
digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara jika sistem
pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan.
APD merupakan pilihan terakhir dari suatu sistem pengendalian risiko
di tempat kerja. selain itu, APD juga mempunyai beberapa kelemahan
antara lain :
a) APD tidak menghilangkan resiko bahaya yang ada, tetapi hanya
membatasi antara terpaparnya tubuh dengan potensi bahaya yang
diterima. Bila penggunaan APD gagal, maka secara otomatis bahaya
yang ada akan mengenai tubuh pekerja.
b) Penggunaan APD dirasakan tidak nyaman, karena kekurangleluasaan
gerak pada saat bekerja dan dirasakan adanya beban tambahan karena
harus dipakai selama bekerja.
Dalam penggunaa APD tetap dibutuhkan pelatihan atau training bagi
tenaga kerja yang menggunakannya, termasuk pemeliharaannya.
Tenaga juga harus mngerti bahwa penggunaan APD tidak
menghilangkan bahaya yang akan terjadi. Sehingga bahaya akan tetap
terjadi jika ada kecelakaan.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

Pasuruan - Kecelakaan kerja berujung maut dialami pekerja proyek Tol


Pandaan-Malang, Wahyudi (37). Ia tewas setelah tertimpa tumpukan pipa scaffolding
yang ambruk. Nahas yang dialami pria asal Dusun Kebun Duren, Desa Tejowangi,
Purwosari Kabupaten Pasuruan ini terjadi di areal proyek tol Tol km 10.300, di
Dusun Purwo Desa Sengonagung Kecamatan Purwosari.
"Kecelakaan kerja ini terjadi pukul 13.30 WIB, saat korban bekerja membongkar
sejenis scaffolding pipa diameter 8 sentimeter yang fungsinya sebagai penyangga
beton. Saat korban hendak melakukan pelepasan rangkaian tiga susunan scaffolding,
korban terpeleset sehingga susunan susunan pipa ambruk dan menimpa kepala
korban," kata Kapolsek Purwosari AKP Made Swardana kepada detikcom, Rabu
(1/8/2018).
Akibatnya korban mengalami luka sobek di dahi dan mengeluarkan darah dari dalam
telingga.
"Mengetahui kejadian itu teman-teman korban lalu menolong korban dan
membawanya ke Puskesmas Purwosari. Korban meninggal dalam perjalanan ke
puskesmas," terang Made.
Polisi kemudian membawa jenazah korban dari puskesmas ke RSUD Bangil untuk
divisum luar. Visum luar diikan karena keluarga tak mengizinkan dilakukan visum
dalam atau autopsi.
"Hasil pemeriksaan mayat tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban.
Jadi murni karena kecelakaan kerja yang mengalami luka pada dahi kepala dan
perdarahan dari telinga," terangnya.
Meski demikian polisi akan melakukan penyelidikan terkait penyebab kecelakaan
kerja tersebut. "TKP di-police line. Penanganannya kami serahkan ke Reskrim,"
pungkas Made. (iwd/iwd)
BAB 4
PEMBAHASAN

Dari kasus diatas disimpulkan bahwa korban yang tertimpa pipa scafolldifing
mengalami ketidaksengajaan terpeleset saat ingin melepas pipa scafollding. APD
yang digunakan hanya helm, rompi proyek dan sepatu proyek. Dan permasalahan
yang diambil dari kasus diatas korban tidak mendapatkan pertolongan pertama saat
korban mengalami kecelakaan kerja di tol pandaan-malang. Korban meninggal saat
dalam perjalanan ke puskesmas untuk pengobatan lebih lanjut. Setelah sampai di
puskesmas dalam keadaan korban sudah meninggal, korban langsung dilarikan ke
RSUD Bangil untuk dilakukan visum luar. Akan tetapi keluarga korban tidk
mengizinkan untuk dilakukan visum/autopsi.
Menurut kelompok kami kesalahan yang terjadi pada korban kecelakaan kerja
tol pandaan-malang adalah korban kurang berhati hati dalam membongkar pipa
scafollding dan kurangnya penanganan pertama saat korban mengalami pendarahan
di dahi. Menurut kelompok kami semestinya pendarahan korban dihentikan sebagai
pertolongan pertama.
Alat pengendalian diri (APD) merupakan saranan pengendalian yang
digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara jika sistem pengendalian yang
lebih permanen belum dapat diimplementasikan. APD merupakan pilihan terakhir
dari suatu sistem pengendalian risiko di tempat kerja.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Resiko kecelakaan kerja antara lain sebagai berikut:
 Kejatuhan /tertimpa benda dari ketinggian
 Jatuhnya tenaga kerja (terpeleset)
2. Faktor resiko yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja:
 Kurang disiplinnya para tenaga kerja dalam mematuhi ketentuan
mengenai K3 yang antara lain pemakaian alat pelindung diri
kecelakaan kerja.
 Kurangnya pengalaman dan keahlian dalam bekerja.
 Kurangnya pengetahuan tenaga kerja terhadap pekerjaan yang akan
dilakukan.
 Kurangnya pengetahuan tenaga kerja dalam melakukan pertolongan
pertama pada kecelakaan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka saran-saran yang dapt diberikan
adalah:
1. Untuk mengantisipasi terjadiya faktor resiko penyebab kecelakaan kerja
yang dominan yang berpengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja maka
perlu untuk lebih banyak dilakukan sosialisasi dan pengarahan melalui safety
meeting atau pertemua-pertemuan di lapangan yang diikuti oleh semua pihak
mulai dari pekerja, mandor, dan sub-kontraktor, agar pekerja memiliki budaya
kerja yang aman, disiplin, dan lebih memperhatikan keselamatan kerja.
2. Melakukan pembinaan K3 pada proses awal perekrutan tenaga kerja baru
ntuk memperhatikan tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Serta dilakukan pelatihan terhadap K3 dan ditingkatkan agar pekerja yang
direkrut sadar terhdap K3 dalam melaksanakan pekerjaannya, serta dapat
mencegah terjadinya kecelakaan.
3. Pemeriksaan dan inspeksi terhadap material dan peralatan yang akan
digunakan perlu dilaksanakan dengan seksama dan teliti agar tidak
menimbulkan potensi terjadinya kecelakaan kerja pada saat di gunakan.
4. Untuk mewujudkan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari potensi
bahaya kecelakaan kerja, maka perlu dilakukan upaya budaya kerja yang
tertib oleh para pekerja, serta pengawasan yang tinggi terhdap potensi bahaya
kecelakaan kerja, khususnya pada daerah pelaksanaan pekerjaan yang telah
diidentifikasi memiliki potensi bahaya dengan tingkat resiko yang tinggi.
Lingkungan kerja yang diciptakan sedemikian rupa sehingga mengikuti
standar K3 akan mendukung produktivitas tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin M.2018.Pekerja Proyek Tol Pandaan – Malang Tewas Tertimpa Scaffolding.


(Online) https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4145326/pekerja-proyek-
tol-pandaan-malang-tewas-tertimpa-scaffolding, diakses pada 24 Agustus 2018
ILO (International Labour Organization). 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Tempat Kerja. Jakarta: SCORE

Santoso, Gempur. 2004. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:


Prestasi Pustaka Publisher

Sitorus, A.T.2009. Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko Keselamatan dan


Kesehatan Kerja. Semarang : Universitas Negeri Semarang
Soputan, dkk. 2014. Manajemen Risio Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) (Study
Kasus Pada Pembangunan Gedung SMA Eben Haezar. Jurnal Ilmiah Media
Engineering. Vol. 4, No. 4

Wulandari, Septia. 2011. Identifikasi, Bahaya Penilaian, dan Pengendalian Risiko


Area Produksi LINE 3 Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja di PT.
Coca Cola Matil Indonesia Central Java

Anda mungkin juga menyukai