Anda di halaman 1dari 2

Corak Bahasa

Secara tipologis, bahasa-bahasa di dunia ini dapat dikelompokkan berdasarkan tipe atau corak
khusus yang sama/mirip. Bahasa Arab, Latin, dan Sanskerta, misalnya, oleh para linguis dimasukkan
ke dalam satu kelompok (sebagai bahasa fleksi) karena memilki tipe atau corak khusus yang
sama/mirip: struktur dan hubungan gramatikal kata-katanya ditentukan oleh perubahan bentuknya.
Lain halnya dengan bahasa Indonesia (dan bahasa-bahasaAustronesia yang pada umumnya
tergolong sebagai bahasa aglutinatif),struktur dan hubungan gramatikal kata-katanya ditentukan
oleh kombinasi unsur-unsur bahasanya secara bebas: pengurutan, pengimbuhan, penggabungan,
atau pengulangan. Sementara itu, bahasa Inggris (yang tergolong sebagai bahasa flekso-aglutinatif)
sebagian struktur morfologisnya mengikuti tipe atau corak bahasa fleksi dan sebagian lagi mengikuti
tipe atau corak bahasa aglutinatif.

Hal itu dapat terlihat, misalnya, dalam menyatakan makna jenis dan jamak.Dalam bahasa
Arab,karena struktur dan hubungan gramatikal kata-katanya ditentukan oleh perubahan
bentuknya,makna jenis dan jamak sudah dapatterlihat dengan jelas (hanya) pada satukata: seperti
thalib ‘murid laki-laki/tunggal’, thalibun ‘murid laki-laki/jamak’, thalibah ‘murid perempuan/tunggal’,
danthalibat ‘murid perempuan/jamak’. Dalam bahasa Inggris, makna itu baru tercakupi jika
dinyatakan dalam dua kata (sekalipun janggal): boy student ‘murid laki-laki/tunggal’,boy
students‘murid laki-laki/jamak’, girl student ‘murid perempuan/tunggal’, dan girl students ‘murid
perempuan/jamak’. Sementara itu, karena tidak memiliki penanda khusus, dalam bahasa Indonesia
makna itu harus tereksplisitkan dalam tiga kata (berupagabungan kataatau kata ulang), misalnyalima
murid laki-laki, tujuh murid perempuan, banyak murid laki-laki,ratusan murid perempuan, atau
murid-murid laki-laki dan murid-murid perempuan.

Mungkin, karena tipe dan coraknya seperti itu, bahasa Indonesia selalu dianggap sebagai bahasa
yang “boros kata”. Padahal, dalam hal jenis ini sesungguhnya bahasa Indonesia justru jauh lebih
simpel dan demokratis (daripada bahasa-bahasa fleksi) karena netral. Kata-kata netral, seperti
pemuda, siswa, mahasiswa, muslim, dan sastrawan, misalnya, sebenarnya sudah mencakupi (makna)
laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu lagi diciptakan bentuk pemudi, siswi, mahasiswi,
muslimin/muslimat, dan sastrawati.

Bagaimana dengan kata-kata yang menunjukkan jenis (kelamin), seperti dewa-dewi, seniman-
seniwati, dan wartawan-wartawati? Bukankah perubahan dari /a/ menjadi /i/ serta dari /man/ dan
/wan/ menjadi /wati/ merupakan penanda (perubahan) jenis?

Sesuai dengan tipologinya, bahasa Indonesia (dan bahasa-bahasa Austronesia yang pada umumnya
tergolong sebagai bahasa aglutinatif) sesungguhnya tidak mengenal penanda jenis (kelamin) seperti
itu. Dalam bahasa Indonesia, jenis kelamin diwujudkan dalam bentuk kata: laki-laki, perempuan, dan
banci (?); pria, wanita, dan waria (?); dsb.. Kata-kata yang disebutkan sebagai contah diatas, dengan
demikian, pantas diduga merupakan kata serapan (bentukan) dari bahasa asing (Sanskerta).

Dalam sejarah penyerapan kata-kata asing, bahasa Indonesia selalu menyerap dalam bentuk
utuhnya (yang mewakili sebuah makna atau konsep tertentu), tidak pernah menyerap perangkat
pembentuknya (imbuhan dan penanda lainnya). Kata modernisasi, standardisasi, dan legalisasi,
misalnya, di samping diserap kata dasarnya: modernmenjadi modern, standardmenjadi standar, dan
legalmenjadi legal, juga diserap secara utuh dari modernization, standardization, dan legalization.
Artinya, bahasa Indonesia tidak pernah menyerap –ization menjadi –isasi secara terpisah, sebagai
akhiran.

Anehnya, banyak orang yang menganggap bahwa akhiran-akhiran asing itu milik bahasa Indonesia
sehingga bermunculanlah bentukan-bentukan baru (dan lucu), seperti turinisasi, lelenisasi, neonisasi,
kuningisasi, dan semenisasi. Begitu pun akhiran-akhiran dari bahasa Sanskerta yang disebutkan di
atas. Mungkin karena sudah dianggap miliknya, akhiran-akhiran itu “diperkosanya” untuk
membentuk kata-kata lucu lainnya, seperti santriwan-santriwati, pirsawan-pirsawati, antariksawan-
antariksawati, dan budayawan-budayawati. Bahkan, konon ada orang yang tiba-tiba mau
menggunakan selebritas karena menganggap sebagai bentuk maskulin selebritis, teracuni bentuk
dewa-dewi, putera-puteri, pemuda-pemudi, dst..

Atas kenyataan seperti itu, apresiasi yang tinggi pantas diberikan pada orang-orang yang masih mau
mencari kebenaran, dengan kreatif menciptakanbentuk-bentuk alternatif(baru): seperti
pemodernan, penstandaran, dan pelegalan sebagai pilihan lain dari modernisasi,standardisasi,
danlegalisasiyang telah ada sebelumnya. Artinya, jika dianalogikan sebagai pakaian, pe-/-an adalah
pakaian sendiri, sedang –ization (–isasi) adalah pakaian orang lain. Dengan demikian, membentuk
kata-kata bahasa Indonesia dengan -isasi (seperti turi menjadi turinisasi, lele menjadi lelenisasi, neon
menjadi neonisasi, kuning menjadi kuningisasi, dan semen menjadi semenisasi) sama artinya dengan
berpakaian yang bukan miliknya.

Sumber: http://www.riaupos.co/1869-spesial-corak-bahasa.html#.VgYYsflTLtQ

Anda mungkin juga menyukai