COVER
COVER
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Pembimbing:
dr. Rachmat Hadi Santoso ,Sp.A
Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nyalah maka tinjauan pustaka dan laporan kasus yang
berjudul “Glomerulonefritis” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan tinjauan pustaka dan laporan kasus ini adalah sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik madya di bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK-UMM/ RSUD KAB. JOMBANG.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas ini banyak
mendapat bantuan dari bergagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis bermaksud mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. dr. Soewarsih Retnowati Sp.A selaku kepala bagian di Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Kab. Jombang
2. dr. Debby C. Sumantri Sp. A; dr. Retno, Sp.A; dr. Ahmad Mahfur, Sp.A; dr.
Hakimah Maimunah, Sp.A, dan semua staf medis bagian ilmu kesehatan anak
RSUD Kab. Jombang
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan sehingga
dihasilkan tinjauan pustaka dan laporan kasus yang lebih baik di kemudian hari.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Definisi
Glomerulo Nefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai dengan
peradangan pada kapiler glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan tubuh
dan sisa-sisa pembuangan (Suriadi, dkk, 2001). Menurut Ngastiyah (2005) GNA
adalah suatu reaksi imunologis ginjal terhadap bakteri / virus tertentu. GNA
adalah istilah yang secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok
penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner & Suddarth,
2001).
2.3 Anatomi Fisiologi
Menurut Evelyn (2005) Ginjal adalah suatu organ yang terletak dibagian
belakang cavum abdominalis di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra
lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen.Bentuk ginjal
seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah yaitu kanan dan kiri. Ginjal kiri lebih
besar dari pada ginjal kanan dan umumnya ginjal laki–laki lebih panjang
ketimbang ginjal perempuan. Fungsi ginjal :
a. Memegang peranan paling penting dalam pengeluaran zat – zat toksik atau
racun.
b. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan.
c. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.
d. Mempertahankan keseimbangan garam–garam dan zat lain dalam tubuh.
e. Mengeluarkan sisa–sisa metabolisme hasil akhir dari proteinureum,
kreatinin, dan amoniak.
Uji fungsi ginjal terdiri dari :
a. Uji protein (albumin) Bila ada kerusakan pada glomerulus atau tubulus
maka protein dapat masuk dalam urine.
b. Uji konsentrasi ureum darah, bila ginjal tidak cukup mengeluarkan ureum
maka ureum darah naik diatas kadar normal 20 – 40 mg %.
c. Uji konsentrasi, pada uji ini dilarang makan minum selama 12, melihat
berat jenis urine.
2.4 Etiologi
Penyebab GNA adalah bakteri, virus, dan proses imunologis lainnya, tetapi
pada anak penyebab paling sering adalah pasca infeksi streptococcus β
haemolyticus; sehingga seringkali di dalam pembicaraan GNA pada anak yang
dimaksud adalah GNA pasca streptokokus (GNAPS) (Noer, 2002).
Glomerulonefritis akut paska streptokokus menyerang anak umur 5 – 15 tahun,
anak laki – laki berpeluang menderita 2 kali lebih sering dibanding anak
perempuan, timbul setelah 9 – 11 hari awitan infeksi streptokokus (Nelson, 2002).
Timbulnya GNA didahului oleh infeksi bakteri streptokokus ekstra renal, terutama
infeksi di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh bakteri streptokokus
golongan A tipe 4, 12, 25. Hubungan antara GNA dengan infeksi streptokokus
dikemukakan pertama kali oleh Lohleintahun 1907 dengan alasan;
a. Timbul GNA setelah infeksi skarlatina
b. Diisolasinya bakteri streptokokus βhemolitikus
c. Meningkatnya titer streptolisin pada serum darah
d. Faktor iklim, keadan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA, setelah terjadi infeksi kuman streptokokus.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
a. Bakteri: Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi, dll
b. Virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika
c. Parasit: Malaria dan toksoplasma
Streptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokokus pada
manusia disebabkan oleh Streptokokus hemolisis β grup A.3-5, 10 Grup ini diberi
nama spesies S. pyogenes. Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan
juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam
rematik dan glomerulonefritis.
S. pyogenes β-hemolitik grup A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
a. Streptolisin O
Streptolisin O merupakan suatu protein (BM 60.000) yang aktif
menghemolisis dalam keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi
cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Streptolisin O bergabung
dengan antistreptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada manusia setelah
infeksi oleh streptokokus yang menghasilkan streptolisin O. Antibodi ini
menghambat hemolisis oleh streptolisin O. Titer serum antistreptolisin O
(ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan
adanya infeksi streptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar
antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang
hipersensitifitas.
b. Streptolisin S
Streptolisin S merupakan suatu zat penyebab timbulnya zona hemolitik
disekitar koloni streptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar
darah. Streptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh
penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan
2.5 Patofisiologi
Prinsip utama pada patofisologi GNA adalah adanya reaksi radang pada
glomerulus dengan sebukan lekosit dan proliferasi sel, serta eksudasi eritrosit,
lekosit dan protein plasma dalam ruang Bowman. Gangguan pada glomerulus
ginjal tersebut dipertimbangkan sebagai suatu respon imunologi yang m e m i c u
terjadinya perlawanan antibodi dengan mikroorganisme yaitu streptokokus A.
Reaksi antigen dan antibodi tersebut membentuk imun kompleks yang
menimbulkan respon peradangan yang menyebabkan kerusakan dinding kapiler
dan menjadikan lumen pembuluh darah menjadi mengecil yang mana akan
menurunkan filtrasi glomerulus, insuffisiensi renal dan perubahan permeabilitas
kapiler sehingga molekul yang besar seperti protein dieskresikan dalam urine /
proteinuria (Silbernagel & Lang, 2006).
Bakteri streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada ginjal, terdapat
suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan
unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Pada GNA terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah yang bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis.
Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran
basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel
epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan
protein dan eritrosit dapat keluar ke dalam urin sehingga terjadi proteinuria dan
hematuria. Kompleks komplemen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai
nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan
berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan
cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang terdapat
pada streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat menyebabkan kerusakan
glomerulus. Selain itu penelitian-penelitian saat ini menemukan adanya dua fraksi
antigen, yaitu nephritis associated plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi
sebagal glyceraldehide 3-phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal
pyrogenic exotoxin B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan infeksi
nefritogenik. NAPlr dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan
menyebabkan terjadinya respon antibodi di glomerulus. Penelitian terbaru pada
pasien GNAPS memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi
daripada deposit NAPlr.
GNA terjadi karena reaksi hipersensivitas tipe III. Pada reaksi ini terjadi
kompleks imun terhadap antigen nefritogenik streptokokus yang mengendap di
membran basalis glomerulus dan proses ini melibatkan aktivasi komplemen.
Aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, tetapi ikatan protein
imunoglobulin pada permukaan streptokokus juga menyebabkan terjadinya
aktivasi jalur klasik. Aktivasi komplemen tersebut menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus.
Deposit kompleks imun terjadi di kapiler glomerulus karena tekanan darah
di daerah tersebut hampir 4 kali lebih tinggi daripada tekanan darah di kapiler
tempat lain. Selain itu deposit lebih banyak di daerah percabangan tempat
terjadinya turbulensi aliran darah. Sifat afinitas terhadap jaringan tertentu diduga
berhubungan dengan sifat antigen dalam kompleks imun dan sifat muatan dari
antigen terhadap antibodinya. Antigen kationik akan terikat pada daerah
membrana basalis yang anionik, biasanya di subepitelial. Ukuran kompleks imun
menentukan letak deposit, yaitu kompleks imun yang berukuran kecil akan
menembus membrana basalis dan melekat pada sel epitel, sedangkan kompleks
imun yang besar akan terkumpul antara endotel dan membrana basalis. Kompleks
imun yang mengandung kelas IgM dan IgG lebih sering mengendap di glomerulus
Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam
mesangium, terlokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan
endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik pada mesangium,
subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat
pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM
atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering
dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan
oleh imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.
Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNA.
Infiltrasi glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui berperan
dalam menyebabkan GNA. Intercellular leukocyte adhesion molecules seperti
ICAM-I dan LFA terdapat dalam jumlah yang banyak di glomerulus dan
tubulointersisial dan berhubungan dengan intensitas infiltrasi dan inflamasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah adanya neuraminidase yang
dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi autoantigenic sehingga
terbentuk autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Streptokinase yang merupakan
sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNA. Streptokinase
mempunyai kemampuan merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin ini
diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari
sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks
yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau
dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan
matrik yang dapat meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis, serta
menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak
subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan
kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi
kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur-angsur menebal dengan
masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk
pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus membran basalis kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler di bawah epitel,
sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium.
Hasil penyelidikan klinis-imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut:
a. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
b. Proses auto-imun kuman Streptokokus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
c. Streptokokus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.
2.9 Diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokokus perlu dicurigai pada
pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak,
sembab, dan hipertensi disertai gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus.
Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris (ASTO > 100 Todd) dan rendahnya kadar
komplemen C3 (<50 mg/dl) mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.1-4
Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut
pascastreptokokus pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis
kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata
mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokokus, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi
bersamaan pada saat faringitis(synpharyngetic hematuria), sementara pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitis.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus perjalanan penyakitnya
cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom
nefrotik dan proteinuria masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pemeriksaan
kadar komplemen C3 serum merupakan tanda penting untuk membedakan
glomerulonefritis akut pascastreptokokus dengan glomerulonefritis kronis yang
lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada
glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang
lain jauh lebih lama.
Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus tidak perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis. Indikasi biopsi ginjal pada anak
dengan kondisi berikut ini:
a. Riwayat keluarga dengan penyakit glomerulus
b. Usia < 4 thn atau > 15 tahun
c. Memiliki riwayat penyakit dengan gejala yang sama
d. Disertai gagal ginjal kronis
e. GFR < 50% dari usia normal
f. Hematuria makroskopis lebih dari 3 bulan
g. Hematuria mikroskopis lebih dari 1 tahun
h. Kadar C3 menurun lebih dari 3 bulan
i. Proteinuria yang bertahan > 6 bulan
j. Tidak mendapatkan informasi yang lengkap
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien GNAPS bersifat simtomatik dan lebih diarahkan
terhadap eradikasi organisme dan pencegahan terjadinya gagal ginjal akut. Rawat
inap direkomendasikan bila terdapat edem, hipertensi atau peningkatan kadar
kreatinin darah. 1. Istirahat selama 3-4 minggu, setelah itu mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat
buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
Pemberian penisilin pada fase akut (baik secara oral atau intramuskuler).
Pemberian antibiotik ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis,
melainkan mengurangi menyebarnya infeksi streptokokus yang mungkin masih
ada. Pemberian penisilin dianjurkan hanya untuk 10 hari. Pemberian profilaksis
yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan
karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis anak dapat terinfeksi lagi
dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil. Pemberian
penisilin dapat dikombinasi dengan amoksilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama
10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30
mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis (Nelson, 2000).
Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgbb/hari)
dan rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu
tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau
muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa
komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada
komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah
cairan yang diberikan harus dibatasi
Pengobatan terhadap hipertensi. Untuk hipertensi ringan biasanya belum
diberikan antihipertensi tetapi dilakukan pengawasan ketat. Pada keadaan
hipertensi sedang diberikan diuretika mulai dengan dosis minimal (0,5mg –
2mg/kg/dosis) atau dapat ditambahkan dengan ACE inhibitor dengan dosis
0,5mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Jika pengobatan tersebut belum ada perbaikan dapat
diberikan antihipertensi golongan vasodilator. Pada krisis hipertensi dapat
diberikan 0,002 mg/kg/8 jam atau dapat diberikan nifedipine sublingual 0,25-0,5
mg/kgbb.
Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan
pasien sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral
diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgBB secara intamuskuler. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian,
selanjutnya pemberian resepin peroral dengan dosis rumat 0,03 mg/kgBB/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari) maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah. Dapat dengan cara peritoneum dialisis, hemodialisis, transfusi
tukar dan sebagainya (Lumbanbatu, 2003)
Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-
akhir ini pemberian furosamid (lasix) secara intravena (1 mg/kgBB/hari) dalam 5-
10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus
(Noer, 2002).
2.11 Komplikasi
a. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Bila oligouria berlangsung lebih
dari 2-3 hari disertai gejala seperti gagal ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia dan asidosis dapat dipertimbangkan peritonial dialisis atau
hemodialisis
b. Hipertensi ensefalopati. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan,
pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah
lokal dengan anoksia dan edema otak.
c. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya crackles,
pembesaran jantung yang disebabkan bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipervolemia
yang menetap.
d. Anemia yang timbul karena adanya gangguan pembentukan eritropoietin.
2.12 Prognosis
Sebagian besar pasien akan sembuh, diuresis akan menjadi normal
kembali pada hari ke 7-10 disertai dengan menghilangnya edem dan tekanan
darah menjadi normal kembali secara bertahap. Fungsi ginjal membaik dalam 1
minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum
menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap
terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus
yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi
sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien
mengalami proteinuria ringan yang persisten
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : An. SO
Umur : 11 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jombatan – Kabupaten Jombang
MRS : 16 Juli 2018; 11.30 WIB
RM : 27 19 11
Summary of Data Base:
Keluhan utama:
- Bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Pasien mengeluh bengkak pada kedua kaki dan tangan serta wajah
dirasakan kurang lebih sudah 3 hari ini. Awalnya bengkak di tungkai
disadari saat pasien bangun tidur di pagi hari, kemudian tungkai terasa
kemeng saat dipakai berjalan dan diikuti bengkak pada tangan, pipi, dan
kelopak mata atas. Kemudian ibu membawa pasien periksa ke dr umum
dan dilakukan tes darah (tgl 14/7/18). Tgl 16/7/18 ibu membawa anak
periksa ke poli Anak RSUD jombang karena bengkak di tungkai belum
berkurang dengan membawa hasil lab
- 2 minggu sebelum bengkak pasien mengeluh gatal pada kaki dan tangan.
Gatal disertai bentol-bentol berisi cairan yang akhirnya ada yg menjadi
nanah dan ada yg pecah dengan sendirinya. 1 minggu setelah gatal2 pasien
demam menggigil selama beberapa hari.
- 1 minggu ini ibu mengatakan bahwa anak terlihat lemas, tidak aktif seperti
biasanya. Batuk pilek (-), BAB dbn, BAK kuning kecoklatan seperti teh
beberapa hari ini, sering atau tidaknya BAK anak dan ibu tidak terlalu
memperhatikan. mual muntah (-), nyeri kepala (-)
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga:
- R/ hipertensi (+) ayah
Riwayat Penyakit Sosial: -
Riwayat Makanan:
- Alergi makanan (-)
Riwayat Imunisasi:
- Lengkap
Riwayat Pengobatan:
Berobat ke dr umum 3 hari sebelum dibawa ke poli anak RSUD jombang dan
dilakukan tes darah
Status Gizi:
BB: 42 kg
TB: 155 cm
Status Gizi: Gizi Baik
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Lemah
Tanda – tanda vital
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 108 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 38 oC
Kepala/leher :
A/I/C/D -/-/-/-, edema periorbita
Meningeal sign (-), KGB (-)
Pulmo :
Inspeksi : gerak nafas simetris, retraksi (-)
Palpasi : krepitasi (-), massa (-), ekspansi dinding dada simetris
Perkusi : sonor/sonor, redup jantung
Auskultasi : P ves/ves, Rh -/-, Wh -/-
Cor :
Inspeksi : ictus cordis (-)
Palpasi : iktus teraba, tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung nomal
Auskultasi : S1 S2 normal, tunggal, mur mur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : flat, distended (-)
Palpasi : soefl, hepar/lien tidak teraba, turgor kembali cepat, nyeri
tekan (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Ekstremitas : Akral hangat kering merah, CRT <2s, edema ekstremitas inferior
Laboratorium :
Tanggal 14/07/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 8,4 g/dL
Leukosit 13.700 mg/dL
Trombosit 424.000 / mm3
Hematokrit 27,3 %
Laju endap darah 35-70/ jam II
Hitung Jenis
Limfosit 23
Monosit 6
Granula 71
Urin lengkap
Warna Kuning keruh
pH 6
Protein +2
Reduksi Negatif
Sedimen
Epitel Penuh/lpk
Eritrosit 12-14/lpb
Leukosit 18-20/lpb
Bakteri +
Amorph -
Kristal -
Ca oxalat -
Tanggal 16/07/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 10,0 g/dL
Leukosit 12.200 mg/dL
Trombosit 503.000 / mm3
Eritrosit 4,30
Hematokrit 31,2 %
Hitung Jenis
Limfosit 16
Monosit 9
Segmen 75
Kimia darah
Kreatinin serum 0,67 mg/dL
Urea 14,4 mg/dL
Albumin 4,92 g/dL
Urin lengkap
Berat jenis 1.010
pH 6
Protein -
Glukosa -
Bilirubin -
Urobilinogen -
Keton -
Nitrit -
Leukosit -
Eritrosit +3
Sedimen
Epitel 1-2
Eritrosit banyak
Leukosit 0-1
Bakteri +
Kristal -
Tanggal 21/07/2018
Urin lengkap
Berat jenis 1.005
pH 6,0
Protein -
Glukosa -
Bilirubin -
Urobilinogen -
Keton -
Nitrit -
Leukosit -
Eritrosit -
Sedimen
Epitel 1-2
Eritrosit 0-1
Leukosit 1-2
Silinder -
Kristal -
Planning edukasi :
Menjelaskan kepada keluarga tentang:
1. Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita oleh anak merupakan
Glomerulonefritis akut, yang merupakan suatu peradangan pada
glomerulus ginjal. Dimana glomerulus merupakan bagian ginjal yang
berfungsi sebagai filtrasi, sehingga bila ada suatu radang disana akan
menimbulkan akibat berupa penurunan fungsi filtrasi ginjal, sehingga
timbul keluhan bengkak pada anak.
2. Glomerulonefritis akut yang dialami kemungkinan akibat dari infeksi kulit
yang sebelumnya terjadi pada anak, namun hal ini memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menetapkan diagnosis yang pasti.
3. Pengobatan yang diberikan yaitu untuk membuang cairan di dalam tubuh
yang mengakibatkan anak terlihat bengkak. Selain itu diberikan antibiotik
untuk eradikasi kuman dan diberikan obat darah tinggi karena anak
menunjukkan gejala hipertensi dimana TD 130/80, hipertensi adalah salah
satu manifestasi klinis dari GNA yang bila dibiarkan dapat menjadikan
komplikasi yang serius sehingga harus diobati.
4. Diperlukan diet makanan rendah protein dan rendah garam pada anak
untuk mencegah retensi cairan. Selain itu ibu harus mengawasi dan
mencatat jumlah cairan yang diminum dan cairan setiap kali BAK.
Diperlukan kontrol cairan 1 liter /24 jam.
SOAP
Tgl S O A P
16/7 Bengkak pada KU lemah -GNA -Infus D51/2NS
2018 tungkai, tangan TD 130/80 -Hipertensi 500 cc/24 jam
dan wajah 3 hari HR 108 x/menit -inj Viccilin
ini. Bengkak S 38,0 sulbactam 3x1,5
pada tungkai RR 24 x/menit gr
dan kelopak BB 43 kg -inj Furosemide
mata atas TB 155 cm 1x40 mg iv
dirasakaan K/L a/i/c/d -/-/-/-, edema -Captopril 3x12,5
setelah bangun periorbita, KGB (-) p.o
tidur. Akhir2 ini Thor -minum maksimal
kaki kemeng I: Retraksi (-), gerak nafas 1 liter/24 jam
untuk berjalan. 2 simetris
minggu yll P: Fremitus Vokal (tidak
pasien gatal2 bisa dievaluasi) ekspansi
pada kaki, gatal dinding dada simetris
disertai bentolan P: Sonor/Sonor
berisi air yg A: ves/ves rh -/- Wh
kemudian -/-
menjadi nanah ves/ves -/-
dan pecah. 1 -/-
minggu yll ves/ves -/-
pasien demam -/-
selama beberapa Abd: Flat, BU + N
hari. Eks : HKM Crt <2 detik,
Mual muntah (-) edem +/+
BAB dbn
BAK warna
kuning
kecoklatan
seperti teh
17/7 Bengkak pada KU lemah -GNA -inf D51/2NS
/18 kaki belum TD 125/90 -Hipertensi 250 cc/24 jam
-inj vicsx 3x1,5 gr
berkurang HR 100x/m
-nyeri kepala (-) S 37.5 iv
-inj furosemide
RR 22 x/m
1x40 mg iv
BB 43 kg
-captopril 3x12,5
K/L a/i/c/d -/-/-/-, edema
mg p.o
periorbita (-) -minum max 1250
Thor ml/hr
-diet rendah
I: Retraksi (-), gerak nafas
garam tinggi
simetris
protein/ kalori
P: Fremitus Vokal (tidak
(nasi 3x/hari)
bisa dievaluasi) ekspansi
dinding dada simetris
P: Sonor/Sonor
A: ves/ves rh -/- Wh
-/-
ves/ves -/-
-/-
ves/ves -/-
-/-
Abd: Flat, Bu + N
Eks : HKM Crt <2 detik,
edem kaki kiri
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.1. Anamnesis
Pasien mengeluh bengkak pada kedua kaki dan tangan serta wajah
dirasakan kurang lebih sudah 3 hari . Awalnya bengkak di tungkai disadari
saat pasien bangun tidur di pagi hari, kemudian tungkai terasa kemeng saat
dipakai berjalan dan diikuti bengkak pada tangan, pipi, dan kelopak mata
atas. Hal ini sesuai dengan teori bahwa distribusi edema bergantung pada 2
faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu,
edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya
jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada
siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi
karena gaya gravitasi Kemudian ibu membawa pasien periksa ke dr umum
dan dilakukan tes darah (tgl 14/7/18). Tgl 16/7/18 ibu membawa anak
periksa ke poli Anak RSUD jombang karena bengkak di tungkai belum
berkurang dengan membawa hasil lab. 2 minggu sebelum bengkak pasien
mengeluh gatal pada kaki dan tangan. Gatal disertai bentol-bentol berisi
cairan yang akhirnya ada yg menjadi nanah dan ada yg pecah dengan
sendirinya. 1 minggu setelah gatal2 pasien demam menggigil selama
beberapa hari. Bedasarkan teori, GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia
6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului
oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau
infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3
minggu pada pioderma. 1 minggu ini ibu mengatakan bahwa anak terlihat
lemas, tidak aktif seperti biasanya. Batuk pilek (-), BAB dbn, BAK kuning
kecoklatan seperti teh beberapa hari ini. Suatu penelitian multisenter di
Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Urin tampak coklat
kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna
seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu., sering atau tidaknya BAK anak dan ibu tidak
terlalu memperhatikan. mual muntah (-), nyeri kepala (-)
4.2. Penatalaksanaan
3.2.1. Suportif
Pengobatan GNAPS bersifat suportif. Pasien disarankan untuk
melakukan tirah baring selama kurang lebih 3-4 minggu selama fase akut.
Selain itu, terapi GNAPS yang penting adalah dengan membatasi asupan air
dan natrium dalam diet (diet nefritis). Adapun tujuan diet ini adalah
meringankan kerja ginjal, menurunkan ureum dan kreatinin darah, dan
menurunkan retensi natrium dan air dalam tubuh dan agar pertumbuhan
secara optimal dengan prinsip Rendah Protein Rendah Garam (RPRG).
Bentuk makanan lunak diberikan bila suhu badan panas dan makanan biasa
bila suhu badan anak normal
3.2.2. Medikamentosa
Pengobatan GNAPS juga ditujukan untuk mengeradikasi kuman
sumber infeksi, yaitu dengan pemberian antibiotik Viccilin sulbactam 3 x
1,5 mg. Sementara itu pemberian Captopril dengan dosis 3 x 12,5 mg
bertujuan untuk mengurangi jumlah aldosteron yang sifatnya meretensi
natrium dan air. Dengan adanya captopril yang berperan sebagai ACE
inhibitor, pembentukan angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 akan dihambat
sehingga angiotensin 2 tidak akan mampu menginduksi pembentukan
aldosteron dari korteks adrenal. Pemberian furosemide berperan sebagai
diuretik untuk membuang kelebihan cairan dari tubuh akibat berkurangnya
fungsi filtrasi glomerulus.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta.