TYPHOID FEVER
Pembimbing:
Oleh :
Yulanda Fitriana
201710401011031
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
1
I. IDENTITAS
A. PENDERITA
2
C. GENOGRAM (minimal 3 generasi)
Ny. S
69th
Sdr. L An. F
20 th 10 th
3
D. INTERAKSI DALAM KELUARGA
Keterangan
Status
Nama Usia Pekerjaan Hubungan Keluarga Domisili
No Sex Perkawinan
(Inisial) (Bln/Th) (deskripsi lengkap) (S, I, AK, AA) Serumah
(TK, K, J, D)
Ya Tdk
1 Tn. W L 45 Th Guru S K V -
2 Ny. A P 40 Th IRT I K V -
3 Sdr. L L 20 Th Mahasiswa AK TK V -
4 Sdr. F L 10 Th Pelajar AK TK V -
4
II. DATA DASAR KESEHATAN
KU : Demam
Anamnesis : Panas sejak 6 hari yg lalu, panas pertama kali muncul terasa sumer-
menerus, panas tidak turun walupun minum obat paracetamol. Hari ini
Panas dirasakan terutama saat malam hari. Nyeri kepala 3 hari SMRS,
nyeri cekot-cekot, hilang timbul, di daerah dahi disertai nyeri perut dan
rasa tidak nyaman sejak 3 hari ini. Mual (+) 3 hari yang lalu kadang
normal, belum BAB sejak 2 hari, badan terasa lemas. Nyeri otot sendi
(-), sesak (-), batuk (-), nyeri telan (-), perdarahan gusi (-), mimisan (-).
Pem. Fisik :
Status Present :
o GCS : 456
Vital sign :
o Pernapasan : 20 kali/menit
o Suhu : 37,5 oC
5
o SpO2 : 98 %
Status Generalis :
o Kepala /leher : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Cyanosis (-), Dispnea (-)
- Rhinorea : (-)
Pulmo :
- P : sonor/sonor
Cor :
- P : batas kanan jantung ICS IV parasternal line dextra, batas kiri jantung
o Abdomen :
- P : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar, lien, ren tidak teraba
6
- P : Timpani, meteorismus (-), shifting dulness (-)
o Extremitas :
- Sianosis (-)
o Genitourinaria : dbn
o Pemeriksaan Penunjang :
Darah Lengkap
Widal
Rw Imunisasi : Lengkap
7
Rw KB :-
RPK :-
8
Riwayat Sosial, Budaya, Ekonomi, Lingkungan dll
9
STATUS SOSIAL
- TB= 170 cm
- BB= 62 kg
2 Status Gizi - IMT= 21,45 (normal)
- Makan 2-3 kali/hari
- Makan berupa nasi dengan lauk dan pauk bervariasi setiap harinya
3 Pekerjaan Pasien merupakan Mahasiswa
10
FAKTOR RESIKO LINGKUNGAN
KOMPONEN
NO KETERANGAN
LINGKUNGAN
Rumah di kawasan padat penduduk. Rumah milik pribadi ukuran 13 x 20 m2, berdinding tembok,
lantai berkeramik, ventilasi cukup, ada atap rumah
Sumber penerangan listrik, pencahayaan cukup
1 Fisik
MCK 1 buah, milik pribadi, Septic tank ditanam dibawah bangunan rumah jarak 3 meter dari sumur
bor yang juga ditanam dibawah bangunan
Dapur memasak satu di dalam rumah
Penanaman tanaman di area depan rumah
2 Biologi
Memelihara 1 kucing di dalam rumah
Alat pembersih rumah biasa menggunakan cairan pel lantai yang dijual di toko
3 Kimia
Sumber air minum berasal dari air PDAM/Bor yang dimasak dan minuman galon dispenser
Hubungan antara pasien dengan keluarga baik dan harmonis
4 Sosial Hubungan dengan tetangga juga baik
Hubungan dengan teman-teman di sekitar rumah maupun di kampus baik
Pasien selalu membudayakan pola hidup sehat seperti mencuci tangan sebelum makan
Pasien rutin makan 2-3x/hr tetapi jarang sarapan di rumah, sarapan jam 09.00-12.00 di warung-
5 Budaya
warung atau di kantin kampus
Pasien rutin olahraga futsal 1x seminggu (seringkali hari sabtu)
Pasien tidak mempunyai masalah dengan teman maupun keluarga
6 Psikologi Akhir-akhir ini pasien sedikit lebih sibuk dengan tugas-tugas kampusnya ( mengerjakan tugas
laporan)
Pendapatan keluarga di dapatkan dari bapak dan ibu yang masih aktif bekerja
7 Ekonomi Pendapatan perbulan rata-rata sekita Rp 5.000.000,- sampai Rp 6.000.000,-
Aset barang di rumah semua milik sendiri
Hampir disepanjang hari pasien menghabiskan waktunya untuk duduk, karena aktifitasnya sebagai
8 Ergonomi
seorang pelajar/mahasiswa
11
12
III. DIAGNOSIS HOLISTIK (Lima ASPEK)
Aspek 1:
Chief complain : Panas Badan, Nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah,
nafsu makan turun dan badan terasa lemas.
Fear : Takut jika MRS terlalu lama di Rumah Sakit.
Wishes/Hope : Ingin sembuh dan segera kembali ke aktifitas kuliah di
kampus karena ada beberapa tugas yang belum selesai
Aspek 2:
Clinical Diagnosis : Thypoid Fever (A.01)
Differential Diagnosis :
Aspek 3:
o Pasien sering makan di warung-warung dekat kampus
Aspek 4:
o Jika tidak sempat pulang ke rumah, pasien membeli makan atau jajanan-
jajanan di luar
o Aktifitas akhir-akhir ini cukup padat karena banyak tugas menyelesaikan
laporan
o Air minum yang digunakan salah satunya adalah air masakan dari sumur
rumah
Aspek 5:
o Fungsi sosial pasien tingkat 2 bila penderita hanya tergantung kepada orang
lain untuk melakukan kegiatan yang memang memerlukan bantuan orang lain,
misalnya : membersihkan rumah, memasak
13
IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF:
14
kemarin. Panas biasanya disertai menggigil namun tidak
Kuratif:
keringat dingin, kejang (-). Panas dirasakan terutama
N-medikamentosa :
saat malam hari. Nyeri kepala 3 hari SMRS, nyeri Tirah baring
epigastrium,
15
3 Internal: Pasien seorang laki-laki usia 20 tahun, pernah
mengalami tifus (demam typhoid saat usia 8 tahun
4 Eksternal:
- Jika tidak sempat pulang ke rumah, pasien membeli
makan atau jajanan-jajanan di luar
- Aktifitas akhir-akhir ini cukup padat karena banyak
tugas menyelesaikan laporan
- Air minum yang digunakan salah satunya adalah air
masakan dari sumur rumah
5 Fungsi Sosial:
Fungsi sosial pasien tingkat 2 bila penderita hanya
tergantung kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang
memang memerlukan bantuan orang lain, misalnya :
membersihkan rumah, mencuci mobil, memasak
16
V. RESUME KASUS
I. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya
adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
II. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
17
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
18
makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi
yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.24
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan
standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum
dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan
hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control ,
mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene
perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform
beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang
kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4)
IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
19
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada
anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
20
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4
21
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid
V. Penatalaksanaan
a. Non-Medikamentosa
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah
sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.3 Penderita yang dirawat
harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan
dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik,
maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
22
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus
mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.3
b. Medikamentosa
23
VI. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus (Intra-Intestinal)
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
24
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus (Ekstra-Intestinal)
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
25
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik
karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.
VII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.1
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Penatalaksanaan Demam Tiphoid pada Anak, Surakarta :Bina Cakrawala.
2012
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2004:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2008.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 20012. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2012. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo. 2012.
8. Parry CM, Beeching NJ. "Treatment of enteric fever". Br Med J. 338: b1159–
b1159. doi:10.1136/bmj.b1159. 2013
9. Eng, SK; Pusparajah, P; Mutalib, NS; Ser, HL; Chan, KG; Lee, LH. "Salmonella:A
review on pathogenesis, epidemiology and antibiotic resistance". Taylor & Francis
Online. 8 (3): 284–293. doi:10.1080/21553769.2015.1051243.2015
10. Anwar, E; Goldberg, E; Fraser, A; Acosta, CJ; Paul, M; Leibovici, L. "Vaccines for
preventing typhoid fever". Cochrane Database Syst Rev (1):
CD001261. doi:10.1002/14651858.CD001261.pub3. 2014
11. Marathe, Sandhya A.; Lahiri, Amit; Negi, Vidya Devi; Chakravortty,
Dipshikha. "Typhoid fever & vaccine development: a partially answered
question". Indian J Med Res. 135 (2): 161–169. ISSN 0971-5916. 2013
12. Date, Kashmira A.; Bentsi-Enchill, Adwoa; Marks, Florian; Fox, Kimberley. "Typhoid
fever vaccination strategies". Vaccine. 33: C55–
C61. doi:10.1016/j.vaccine.2015.04.028.2015
27
13. Yap, Kien-Pong; et al.. "Insights from the genome sequence of a Salmonella enterica
serovar Typhi strain associated with a sporadic case of typhoid fever in Malaysia". J
Bacteriol. 194 (18): 5124–5125. doi:10.1128/jb.01062-12. 2013
14. G Gonzalez-Escobedo; JM Marshall; JS Gunn. "Chronic and acute infection of the gall
bladder by Salmonella Typhi: understanding the carrier state". Nat Rev Microbiol. 9(1):
9–14. doi:10.1038/nrmicro2490.2010
15. Khan, M. Imran; Pach 3rd, Khan; Khan, Ghulam Mustafa; Bajracharya, Deepak;
Sahastrabuddhe, Sushant; Bhutta, Waqaas; Tahir, Rehman; Soofi, Sajid; Thapa, Chandra
B. (2015-06-19). "Typhoid vaccine introduction: An evidence-based pilot
implementation project in Nepal and Pakistan". Vaccine. 33: C62–
C67. doi:10.1016/j.vaccine.2015.03.087. 2015
16. Muyembe-Tamfum JJ, Veyi J, Kaswa M, Lunguya O, Verhaegen J, Boelaert M. "An
outbreak of peritonitis caused by multidrug-resistant Salmonella Typhi in Kinshasa,
Democratic Republic of Congo". Travel Med Infect Dis. 7 (40):
3. doi:10.1016/j.tmaid.2008.12.006.2013
17. Crump JA, Mintz ED. "Global trends in typhoid and paratyphoid fever". Clin Infect
Dis. 50 (2): 241–246. doi:10.1086/649541.2014
18. Cooke FJ, Wain J, Threlfall EJ. "Fluoroquinolone resistance in Salmonella Typhi
(letter)". Br Med J. 333 (7563): 353–354. doi:10.1136/bmj.333.7563.353-b. 2010
19. Wallace MR, Yousif AA, Mahroos GA, Mapes T, Threlfall EJ, Rowe B, Hyams KC.
"Ciprofloxacin versus ceftriaxone in the treatment of multiresistant typhoid fever". Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 12 (12): 907–910. doi:10.1007/BF01992163.2014
20. Soe GB, Overturf GD. "Treatment of typhoid fever and other systemic salmonelloses
with cefotaxime, ceftriaxone, cefoperazone, and other newer cephalosporins". Rev Infect
Dis. The University of Chicago Press. 9 (4): 719–36. doi:10.1093/clinids/9.4.719.2014
28
Lampiran:
29