Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN DISKUSI TOKSIKOLOGI

(MEKANISME TOKSISITAS DAN PENATALAKSANAAN KERACUNAN: OBAT NSAID & PARACETAMOL)

Nike Intan N. (1408010133), Rosyana Eka R. (1408010136), Elmalana (1408010137), Sifa Rismawati
(1408010138), Wahyu Wahidatun (1408010165), Lisa Vijriyanti (1408010167), Iffa Felasyifa (14080173),
Ayu Listia (1408010174), Laxmita Permata (1408010176)

MEKANISME TOKSISITAS DAN PENATALAKSANAAN KERACUNAN OBAT NSAID

A. Mekanisme toksisitas NSAID


 Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1)
dan COX-2 (cyclooxygenase-2).Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu
pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan
molekul pembawa pesan pada proses inflamasi (radang).
 Efek samping/toksisitas NSAID:
 Induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder
akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing
obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah:
1. Iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke
mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan;
2. Iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan
biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa
lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang
sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi
pada pemberian parenteral.
 Gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat
perpanjangan waktu perdarahan.
 Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, berperan dalam
gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal.
 Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini bukan suatu
reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam arakhidonat ke arah jalur
lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan leukotrien inilah yang mendasari
terjadinya gejala tersebut.
 Penatalaksanaan keracunan NSAID:
Carbon aktif dapat diberikan untuk mengatasi keracunan NSAID dalam jumlah besar selama
masih diselang waktu 1 jam. Kejang harus diatasi dengan benzodiazepin. Meskipun tidak ada
indikasi rutinnya, pasien yang mengalami iritasi gastrointestinal dapat diterapi dengan proton
pump inhibitor oral. Asidosis metabolik harus diterapi dengan natrium bikarbonat. Penanganan
suportif dan pemeriksaan yang tepat dibutuhkan untuk pasien gangguan ginjal.
B. Contoh obat golongan NSAID (mekanisme toksisitas dan penatalaksanaannaya)
1. Ibuprofen
Toksisitas: Pemakaian ibuprofen diatas 100 mg/kg memerlukan pengaturan. Dosis
ibuprofen 400 mg/kg atau lebih kemungkinan berpotensi menyebabkan intoksikasi serius.
 Anak yang menelan ibuprofen dengan dosis 114 mg/kg tidak menimbulkan gejala,
sedangkan pada anak yang menelan ibuprofen dengan dosis 440 mg/kg
menimbulkan gejala.
o Anak usia 6 tahun yang mengonsumsi 300 mg/kg ibuprofen mengalami
asidosis metabolik, koma dan syok.
o Anak usia 21 bulan yang mengonsumsi 500 mg/kg mengalami metabolik
asidosis dan gagal ginjal akut.
o Anak usia 15 tahun mengonsumsi 14 g ibuprofen dengan 5.5 g paracetamol
mengalami ganggungan fungsi ginjal akut.
 Dosis minimal untuk mengakibatkan depresi sistem saraf adalah 3 gram.
o Perempuan usia 19 tahun yang mengonsumsi 6-8 g ibuprofen mengalami
gagal ginjal akut reversibel dan dapat pulih.
o Laki-laki usia 64 tahun yang mengonsumsi 24 g ibuprofen mengalami gagal
ginjal dan sepsis.
o Orang dewasa usia 23 tahun yang mengonsumsi 30 g ibuprofen dan
sejumlah tidak diketahui nitrogliserin mengalami mual, muntah, kram perut,
asidosis metabolik, sindrom stress pernapasan, dan gagal ginjal.
o aki-laki usia 44 tahun yang mengonsumsi 72 g ibuprofen mengalami
kecemasan, gagal fungsi ginjal, hiperkalemia, asidosis metabolik dan
kelemahan otot sedang.
o Laki-laki usia 17 tahun yang mengonsumsi 98 g ibuprofen dan tablet
difenhidramin mengalami lesu dan toksisitas minimal.
o Perempuan usia 15 tahun yang mengonsumsi 100 g ibuprofen mengalami
koma, asidosis metabolik, dan trombositopenia sedang.
o Perempuan usia 26 tahun yang mengonsumsi 105 g ibuprofen mengalami
penurunan tingkat kesadaran, asidosis metabolik sedang dan hemodinamik.
 Data kronik
o Anak-anak yang diberi dosis oral ibuprofen 480 mg/kg selama 17 hari
intermittent mengalami penyebaran nekrosis hepatoselular dan peningkatan
suhu tubuh.
o Laki-laki yang diberi dosis oral ibuprofen 120 mg/kg selama 1 minggu
intermittent mengalami efek pada mata, dermatitits, dan peningkatan suhu
tubuh.
o Perempuan yang diberi dosis oral ibuprofen 132 mg/kg selama 6 hari
intermittent mengalami trombositopenia.
Penatalaksanaan Keracunan Ibuprofen:
 Terapi untuk over dosis dalam kasus awal adalah dekontaminasi lambung menggunakan
arang aktif, arang menyerap obat sebelum bisa masuk kesirkulasi sistemik.
 Lavage lambung sekarang jarang digunakan, namun dapat dipertimbangkan jika jumlah
yang dikomsumsi secara potensial mengancam kehidupan dan dapat dilakukan dalam
waktu 60 menit setelah menelan.
 Emesis tidak dianjurkan. mayoritas komsumsi ibuprofen hanya menghasilkan efek ringan
dan pengelolaan overdosis sangatlah mudah.
 Standar langkah-langkah untuk mempertahankan output urine normal harus dilakukan
dan fungsi ginjal harus dipantau. Ibuprofen memiliki sifat asam dan juga diekskresikan
dalam urine, diuresis paksa alkali secara teori menguntungkan. Namun, karena ibuprofen
sangat terikat protein dalam darah, sehingga eksresi dari ginjal minimal. Diuresis paksa
alkalin mempunyai manfaat yang terbatas.
 Terapi simtomatis untuk hipotensi, perdarahan GI, asidosis dan toksisitas ginjal dapat
diindikasikan. Kadang-kadang, pemantauan ketat diunit perawatan intensif selama
beberapa hari diperlukan. Jika seorang pasien bertahan pada keracunan akut, mereka
biasanya tidak akan mengalami gejala ulang.
 Tidak ada antidotum yang spesifik untuk mengobati keracunan akibat zat ini. Pengobatan
yang dilakukan adalah sesuai gejala serta pengobatan penunjang.
2. Asam Mefenamat
 Mekanisme kerja asam mefenamat: menghalangi efek enzim yang disebut siklooksigenase
(COX). Enzim ini membantu tubuh untuk memproduksi bahan kimia yang disebut
prostaglandin. Prostaglandin ini yang menyebabkan rasa sakit dan peradangan. Dengan
menghalangi efek enzim COX, maka prostaglandin yang diproduksi akan lebih sedikit
sehingga rasa sakit dan peradangan akan mereda akan membaik.
 Efek toksik asam mefenamat: koma, depresi nafas, kejang, kolaps kardiovaskular.
 Penatalaksanaan :
1. Karbon aktif dosis berulang.
2. Pada gagal hati atau ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.

3. Aspirin
 Mekanisme kerja aspirin: menghambat biosintesis prostaglandin dari asam arakhidonat melalui
penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Kerusakan yang terjadi pada sel dan jaringan
karena adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator substansi radang. Asam
arakhidonat mulanya merupakan komponene normal yang disimpan pada sel dalam bentuk
fosfolipid dan dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrosilase sebagai respon adanya
noksi. Asam arakhidonat kemudian mengalami metabolisme menjadi 2 alur. Alur
siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan. Alur
lipooksigenase yang membebaskan leukotrien dan berbagai substansi seperti HPETE
(Hydroperoxieicosatetraenoic).
 Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis > 150 mg/kgBB)
1. Muntah, berkeringat, takikardia, hiperpnea, dehidrasi dan menurunnya fungsi ginjal
2. Demam, tinitus, letargi, konfusi
3. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi ekskresi bikarbonat melalui
urin
4. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan ketosis
5. Alkalemi dan asiduria paradoksal
6. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah trombosit
7. Hipernatremia, hiperkelemia, hipoglikemia
8. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps kardiovaskular,
serta edema otak dan paru
 Keracunan salisilat diindentifikasi dari tes urin fecl3 (+) berwarna ungu
 Terapi penatalaksanaan keracunan aspirin:
Meskipun pemberian karon aktif dengan beberapa dosis tidak dianjurkan oleh sejumlah pakar
mayoritas toksikolog medis tetap merekomendasikannya jika terjadi konsumsi aspirin dalam
jumlah besar karena salisilat dapat mengeras dalam lambung yang mengakibatkan perlambatan
penyerapan. Alkalinisasi urindapat menurunkan jumlah obat yang tidak terionisasi sehingga
obat tidak banyak yang memasuki jaringan. Teknik ekstrakorporeal sangat efektif dalam
menyingkirkan salisilat dan mengoreksi gangguan asam basa.

1. Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah terjadi dalam 12-24
jam
2. Pada penderita yang menelan > 500 mg/kgBB, sebaiknya dilakukan lavase lambung dan
irigasi seluruh usus
3. Endoskopi berguna tuntuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar lambung
4. Pada penderita dengan perubahan status mental sebaiknya kadar glukosa terus dipantau
5. Diberikan saline secara intra vena sampai beberapa liter
6. Diberikan suplemen glukosa
7. Koreksi gangguan elektrolit dan metabolik
8. Pada koagulopati diberikan vitamin K melaui intra vena
9. Alkalinisasi urin ( sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontra indikasi diuresis : edema otak atau
paru, gagal ginjal.
 50-150 mmol bikarbonat + kalsium yang ditambahkan pada 1 L cairan infus saline-
dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
MEKANISME TOKSISITAS DAN PENATALAKSANAAN KERACUNAN PARACETAMOL

A. Mekanisme toksisitas
 Sulfat dan glukuronida pada liver tersaturasi
 Paracetamol lebih banyak ke CYP -> NAPQI bertambah -> suplai glutation tidak
mencukupi.
 NAPQI bereaksi dengan membran sel
 Hepatosit rusak -> nekrosis

 Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme

utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang
dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan
enzim sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab
terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-
kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit
toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera
dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme
cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan
sulfidril.
 Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi

metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis
normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh
ginjal.

B. Penatalaksanaan keracunan paracetamol


 Jika korban ditemukan mengonsumsi parasetamol secepatnya, sekitar 1 jam / kurang,
maka beri norit. Norit akan mencegah parasetamol terabsorpsi ke dalam aliran darah.
Parasetamol akan diikat oleh norit.
 Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan
cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin)
sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi
 Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC). Antidotum ini
efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah besar. NAC
juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini.
 Mekanisme NAC sebagai antidotum overdosis parasetamol
 Glutathione (GSH) sendiri membutuhkan sistein sebagai salah satu prekursornya.
Dengan pemberian NAC maka sistein dalam tubuh akan meningkat dan demikian
pula pembentukan Glutathione (GSH). Jika GSH ada banyak dan jumlahnya mampu
mengimbangi atau melebihi jumlah NAPQI maka tidak ada lagi NAPQI bebas yang
akan mengikat protein hati.
 NAC memiliki atom S dalam gugus tiolnya (S-H), nah menurut beberapa sumber NAC
dapat menyumbangkan S nya ini untuk digunakan dalam proses metabolisme
parasetamo lsulfatasi. Dengan adanya sulfat dari NAC maka sulfatasi akan dapat
berjalan lagi sehingga metabolisme di CYP dan pembentukan NAPQI akan menurun
 NAC dapat menggandeng NAPQI karena dia juga punya nukleofil, hal ini dapat
mencegah pembentukan ikatan NAPQI dengan protein hati.

Anda mungkin juga menyukai