Anda di halaman 1dari 5

(F31.

2) Gangguan Afektif
Bipolar, Episode Kini
RSUD Arjawinangun
Jl. By Pass Palimanan Jakarta Km 2 No 1
Depresif dengan Gejala
Arjawinangun – Kabupaten Cirebon 45162
Tlp: 0231 358335 Fax: 0231 359090 Psikotik
Nomor No Revisi: Halaman:
Dokumen:

PANDUAN PRAKTEK Ditetapkan oleh:


Tanggal Terbit : Direktur RSUD Arjawinangun
KLINIK
(PPK)

1. PENGERTIAN
Gangguan bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada fungsi otak yang
menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir 1. Disebut bipolar
karena penyakit kejiwaan ini didominasi adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni kondisi manik
(bergairah tinggi yang tidak terkendali) dan depresi.
Depresi bipolar sama pada kelompok pria dan wanita dengan angka kejadian sekitar 5 per 1000 orang.
Penderita depresi bipolar dapat mengalami bunuh diri 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang
awam. Bunuh diri pertama-tama sering terjadi ketika tekanan pada pekerjaan, studi, tekanan emosional
dalam keluarga terjadi pada tingkat yang paling berat. Risiko bunuh diri dapat meningkat selama
menopause2.
Etiologi:
1. Faktor Biologi
a. Herediter
Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood) tipe bipolar (adanya episode manik dan
depresi) memiliki kecenderungan menurun kepada generasinya, berdasar etiologi biologik. 50%
pasien bipolar memiliki satu orangtua dengan gangguan alam perasaan/gangguan afektif, yang
tersering unipolar (depresi saja). Jika seorang orang tua mengidap gangguan bipolar maka 27%
anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Bila kedua orangtua mengidap
gangguan bipolar maka 75% anaknya memiliki resiko mengidap gangguan alam perasaan. Keturunan
pertama dari seseorang yang menderita gangguan bipolar berisiko menderita gangguan serupa
sebesar 7 kali. Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama pada kembar monozigot (40-
80%), sedangkan kembar dizigot lebih rendah, yakni 10-20%2.
b. Genetik
Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara gangguan bipolar dengan kromosom 18
dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana dari kromosom tersebut yang benar-benar
terlibat. Beberapa diantaranya yang telah diselidiki adalah 4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22,
18q22-q23, dan 21q22. Yang menarik dari studi kromosom ini, ternyata penderita sindrom Down
(trisomi 21) berisiko rendah menderita gangguan bipolar2.
Penelitian terbaru menemukan gen lain yang berhubungan dengan penyakit ini yaitu gen yang
mengekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF adalah neurotropin yang berperan
dalam regulasi plastisitas sinaps, neurogenesis dan perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut
terlibat dalam pengaturan mood. Gen yang mengatur BDNF terletak pada kromosom 11p13.
Terdapat 3 penelitian yang mencari tahu hubungan antara BDNF dengan gangguan bipolar dan
hasilnya positif2.

1
c. Neurotransmitter
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala bipolar, peneliti mulai
menduga adanya hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar. Neurotransmiter tersebut
adalah dopamine, serotonin, dan noradrenalin. Gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmiter
tersebut pun mulai diteliti seperti gen yang mengkode monoamine oksidase A (MAOA), tirosin
hidroksilase, catechol-Ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT)2.
d. Kelainan otak
Kelainan pada otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat perbedaan
gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui pencitraan magnetic
resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET), didapatkan jumlah substansia
nigra dan aliran darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg
dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdala dan
hipokampus. Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari otak yang
terlibat dalam respon emosi (mood dan afek)2.
Penelitian lain menunjukkan ekspresi oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita bipolar.
Seperti diketahui, oligodendrosit menghasilkan membran myelin yang membungkus akson sehingga
mampu mempercepat hantaran konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang, maka
dapat dipastikan komunikasi antar saraf tidak berjalan lancar 2.

2. Faktor Psikososial
a. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan
Satu pengamatan klinis yang telah lama yang telah direplikasi adalah bahwa peristiwa kehidupan
yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan suasana perasaan
daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien gangguan depresif
berat dan gangguan bipolar I5.
b. Faktor psikoanalitik dan psikodinamika
Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmund Freud mendalilkan suatu hubungan antara
kehilangan suatu objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien
depresi diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya
bahwa introjeksi mungkin merupakan satu-satunya cara bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Ia
membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan
penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri
sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian 5.
Melanie Klein selanjutnya menghubungkan depresi dengan posisi depresif. Ia mengerti siklus manik-
depresif sebagai pencerminan kegagalan pada masa anak-anak untuk mendapatkan introjeksi
mencintai. Di dalam pandangannya, pasien depresi menderita akibat permasalahan bahwa mereka
mungkin memilki objek cinta yang dihancurkan melalui destruktivitas dan ketamakan mereka
sendiri. Sebagai akibat dari destruksi yang dikhayalkan tersebut, mereka berguna yang karakteristik
untuk pasien depresi melebihi perasaan bahwa orang tua internal mereka yang baik telah
ditransformasikan menjadi penyiksa karena khayalan dan impuls destruktif pasien 5.
Klien memandang mania sebagai kumpulan operasi defensif yang disusun untuk mengidealisasikan
orang lain, menyangkal adanya agresi atau destruktivitas terhadap orang lain, dan mengembalikan
objek cinta yang hilang5.
Bibring memandang depresi sebagai suatu keadaan afektif primer yang tidak dapat melakukan apa-
apa terhadap agresi yang dihadapkan ke dalam. Selain itu, ia memandang depresi sebagai suatu afek
yang berasal dari ketegangan di dalam ego antara aspirasi seseorang dan kenyataan seseorang. Jika
pasien terdepresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan idealnya, sebagai akibatnya
mereka putus asa dan sebagai akibatnya mereka merasa putus asa dan tidak berdaya. Pada intinya,
depresi dapat disimpulkan sebagai keruntuhan parsial atau lengkap dari harga diri di dalam ego 5.
Heinz Kohut mendefinisikan kembali depresi di dalam istilah psikologi diri. Jika objek diri yang
diperlukan untuk bercermin, kekembaran, atau idealisasi tidak datang dari orang yang bermakna,
orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan dan putus asa karena tidak menerima
respon yang diinginkan. Di dalam pengertian tersebut, respon tertentu di dalam lingkungan adalah
diperlukan untuk mempertahankan harga diri dan perasaan kelengkapan5.

2
3. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)
Di dalam percobaan dimana binatang secara berulang dipaparkan dengan kejutan listrik yang tidak
dapat dihindarinya, binatang akhirnya menyerah dan tidak melakukan usaha sama sekali untuk
menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang
terdepresi, kita dapat menemukan keadaan ketidakberdayaan yang mirip. Menurut teori
ketidakberdayaan yang dipelajari, depresi dapat membaik jika klinisi mengisi pada pasien yang
terdepresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan. Klinisi menggunakan teknik perilaku
berupa dorongan yang menyenangkan dan positif di dalam usaha tersebut 5.

4. Teori kognitif
Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah
melibatkan distorsi negatif, pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme, dan
keputusasaan. Pandangan negatif yang dipelajari tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan
depresi. Seorang ahli terapi kognitif berusaha untuk mengidentifikasi hal yang negatif dengan
menggunakan tugas perilaku, seperti mencatat dan secara sadar memodifikasi pikiran pasien 5.
2. ANAMNESIS
Anamnesi medik dilakukan dengan teknik wawancara psikiatrik. Wawancara ini disesuaikan dengan
kondisi dan keadaan pasien dan lingkungan. Jika pasien kooperatif wawancara dilakukan dengan pasien
sendiri (autoanamnesis) atau dengan pengantar/keluarga pasien yang terpercaya
(allo/heteroanamnesis). Lama wawancara awal bervariasi antara 5 sampai 30 menit tergantung dengan
kondisi pasien dan pengantarnya. Wawancara dapat diulang sesuai kebutuhan dan perkembangan klinis
pasien.
Wawancara psikiatrik mencakup:
1.
3. PEMERIKSAAN MENTAL & FISIK

4. KRITERIA DIAGNOSIS

3
F31 Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang menunjukkan
suasana perasaan (mood) pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada
waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan (mood) serta peningkatan enersi dan
aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan suasana perasaan
(mood) serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi).
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik
biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, episode
depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi
1 tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu seringkali terjadi setelah
peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak esensial untuk
penegakkan diagnosis).

F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, episode kini Depresif Ringan atau Sedang
a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif ringan (F32.0)
ataupun sedang (F32.1), dan
b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau campuran di
masa lampau.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya gejala somatic dalam episode
depresif yang sedang berlangsung.

F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat dengan
gejala psikotik (F32.3), dan
b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik atau campuran di
masa lampau.
Jika dikehendaki, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan afeknya.

5. DIAGNOSIS BANDING

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang bukan sebagai penentu diagnosis pasti, tetapi bersifat menunjang
diagnosis dengan menilai ringan-beratnya derajat penyakit. Pemeriksaan mencakup
pemeriksaan status mental dengan skala-skala ukur yang diperlulkan sesuai kebutuhan dan
pemeriksaan laboratorium kimia darah untuk menilai derajat kesehatan pasien atau
indentifikasi penyakit penyerta (komorbiditas).

7. PENATALAKSANAAN TERAPI + Algoritme penatalaksanaan

8. EDUKASI
a. Penjelasan biologis tentang penyakit harus jelas dan benar. Hal ini mengurangi perasaan bersalah
dan mempromosikan pengobatan yang adekuat.
b. Memberi informasi tentang bagaimana cara memonitor penyakit terutama tanda awal, pemunculan
kembali, dan gejala. Pengenalan terhadap adanya perubahan memudahkan langkah-langkah
pencegahan yang baik.

4
c. Membantu penderita mengidentifikasi dan mengatasi stressor di dalam kehidupannya.
d. Informasi tentang kemungkinan kekambuhan penyakitnya.

9. PROGNOSIS
a. Functionam: dubia ad bonam
b. Vitam : ad bonam
c. Sanationam: dubia ad bonam

10. KEPUSTAKAAN

Anda mungkin juga menyukai