Kontrak senjata antar Sekutu dan rakyat Surabaya sudah terjadi sejak
27 Oktober 1945. Karena terjadi kontak senjata yang dikhawatirkan meluas,
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta mengadakan perundingan.
Tanpa dikomando, rakyat dari segala penjuru datang dan menaiki hotel itu
untuk merobek warna biru pada bendera tersebut. Saat itu tanggal 19
September 1945 rakyat menyerbu Hotel ”Oranje” di Tunjungan.
Hotel itu merupakan markas marinir Belanda yang dipimpin Kolonel Hoyer.
Dari sinilah, ia mulai memberikan instruksi kepada Jenderal Iwabe, pada
Panglima Jepang di Jawa Timur.
Brigjen Mallaby datang dengan bendera putih bersama Kapten Smith, Kapten
Shaw, dan Letnan Laughland untuk menengahi pertempuran.
Dalam suasana yang sangat eksplosif itu, panglima tentara Inggris di Surabaya
Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945.
Isi ultimatum antara lain semua pimpinan dan orang-orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang
telah ditentukan, selanjutnya menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di
atas.
Batas waktu ultimatum itu adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Bagi
kita, ini tentu sebuah penghinaan, bangsa yang merdeka dan berdaulat
diperlakukan layaknya orang yang kalah perang.
Benar, mulai pukul 06.00 tanggal 10 November 1945, selama seharian tentara
Inggris membombardir Kota Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Pada hari itu juga, TKR mengirimkan komunike bahwa Surabaya hancur dan
malamnya Bung Tomo berpidato mengobarkan semangat rakyat.
Pertempuran tidak berimbang itu terjadi hingga awal Januari 1946. Meskipun
protes dan komunike dikeluarkan oleh berbagai pihak, tetapi tentara Inggris
terus bernafsu membumihanguskan Surabaya. Pertempuran yang
menghancurkan sebagian besar Kota Surabaya itu juga menyisakan teka-teki
tentang kematian Mallaby.