Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT

Carsinoma Colon

PENDAMPING
dr. Tania Apriyani
dr. Ade Mirza

Disusun Oleh
dr. Robby Pardiansyah

INTERNSHIP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DEMANG SEPULAU RAYA
PERIODE JUNI 2017
BAB I
PENDAHULUAN

Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomi dan industri berkembang, angka
kejadian keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan
penyebab ketiga kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada
kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal
menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang
pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data
dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.

Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat
dan Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan.
Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan
wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari
kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi
kanker kolorektal yang ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak
terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya
sekitar 50% yang berada pada kolon rektosigmoid.

Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan
dari lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal,
symptomatic anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada
kolon kiri dapat berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai

2
obstruksi. Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu
sebanyak 98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma
(1,3%) dan sarkoma (0,3%).

3
BAB II
IDENTITAS PASIEN

A. Identitas pasien
Nama : Ny. SA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 49 tahun
Agama : Islam

B. Anamnesa
Keluhan Utama : Buang air besar (BAB) berwarna kehitaman

Keluhan Tambahan :
Pasien BAB 4-5 x/hari, BAB cair dan perut kiri bawah terasa nyeri, serta pasien
mengeluh pusing.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke UGD dengan keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 6 hari
yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri saat BAB, BAB 4-5 x/hari, dan BAB cair.
Selain itu pasien merasakan adanya nyeri perut kiri bawah yang hilang timbul
sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengalami pusing dan penurunan nafsu
makan. Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa saat 1 tahun yang
lalu, pasien mengalami sulit BAB, BAB disertai lendir dan darah segar.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah berobat kemanapun terkait dengan keluhannya saat ini.

4
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit
jantung.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang pernah memiliki penyakit seperti pasien.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Vital Sign
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,1oC
Respiratory Rate : 16 x/menit
Status gizi : Cukup

2. Keadaan Umum
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis

3. Pemeriksaan generalis
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, pendek, tidak mudah dicabut.
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil (isokor),
refleks cahaya (+/+), Oedem palpebra (-/-), lensa mata
(jernih/jernih).
Hidung : deviasi septum (-), rinorhea (-) polip (-), gangguan indera
pencium (-), atau secret (-).
Telinga : normotia, otorhea (-)
Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-)
Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar.
Thoraks

5
Jantung :I : iktus kordis tidak tampak
Pa : iktus kordis teraba
Pe : redup (+)
A : BJI-II reguler, tidak ada bising jantung
Pulmo :I : simetris, tidak ada gerakan dada yang
tertinggal
Pa : Vokal fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
A : Suara dasar : vesikuler (+/+)
Suara tambahan : ronki (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen
Hepar : I : Tidak ada pembesaran
Pa : Tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
Pe : Pekak

Lien : I : Tidak ada pembesaran


Pa : Tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
Pe : Timpani

Ginjal : I : Tidak ada pembesaran


Pa : nyeri ketok tidak ada

Ekstremitas
Superior : oedem (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : oedem (-/-), sianosis (-/-)

Perianal
Status lokalis

6
D. Status Lokalis
Regio abdomen iliaka sinistra
Inspeksi : datar, sikatrik (-), benjolan (-)
Auskultasi : bising usus normal 13 kali permenit.
Palpasi : nyeri tekan (+)
Perkusi : bunyi pekak

Regio perianal
Inspeksi : Tidak ada tanda peradangan dan kemerahan
Palpasi : Teraba massa, keras, permukaan halus, tidak nyeri.
Pada handscoon terdapat darah dan tidak ada feses.

E. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Parameter
Hemoglobin 9,6 L= 13,5-18 g/dL
P= 12-16, g/dL
Hematokrit 33% L= 40-54%
P= 38-47%
Leukosit 6.190 4500-10.700/ul
Trombosit 300.000 150-440 x103/µl
LED 32 0-20 mm/jam

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rontgen thoraks
Keterangan:
Cor dan pulmo dalam batas normal

7
RESUME

Anamnesa
Ny. SA berumur 49 tahun, datang ke UGD dengan keluhan BAB berwarna
kehitaman sejak 6 hari yang lalu. Pasien mengeluh nyeri saat BAB, BAB 4-5
x/hari, dan BAB cair. Pasien juga merasakan adanya nyeri perut kiri bawah yang
hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu, nyeri tidak menjalar dan nyeri dirasakan
seperti tertusuk-tusuk. Pasien mengaku pusing dan nafsu makan menurun sejak 1
tahun yang lalu. Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa saat 1
tahun yang lalu, pasien mengalami sulit BAB, BAB disertai lendir dan darah
segar.

Pada periksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital; tekanan darah: 130/80 mmHg,
nadi: 84 x/menit, suhu: 36,1oC, pernapasan: 16 x/menit, status gizi: cukup. Pasien
tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis.

Pada pemeriksaan status lokalis pasien, pada region abdomen iliaka sisnistra
tampak datar, tidak ada sikatriks maupun benjolan, pada auskultasi bising usus
normal 13 kali permenit. Tidak ada nyeri tekan pada palpasi, dan pada perkusi
terdengar bunyi pekak. Pada regio perianal, tidak terdapat tanda-tanda
peradangan, pada pada palpasi teraba massa, keras, permukaan halus dan tidak
nyeri. Pada handscoon terdapat darah dan tidak ada feses.

Pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan Hb


rendah, dan pada pemeriksaan rontgen, didapatkan cord an pulmo dalam batas
normal.

8
F. Diagnosis banding
a. Ca Colorektal
b. Ca Colon

G. Diagnosis kerja
Carcinoma Colon

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. IVFD RL 15 tetes/menit
b. O2 2-3 l/menit
c. Ceftriaxon 2 x 1gr
d. Ketorolac 3 x 1amp
e. Ranitidin 2 x 1amp
f. Rujuk ke RS yang mempunyai fasilitas lebih lengkap

I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad bonam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Karsinoma rektum adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di
anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction
terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir
seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum
keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari cabang
arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis
superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena
mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti
dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum
diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut ke
kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi
karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa ini. Dinding
rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner,
mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa.

B. Epidemiologi
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling sering terjadi
dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun 2005,
diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi
di kolon dan 40,340 kasus di rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan
dengan kematian, 47.700 kasus Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal
merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua jenis kanker.

10
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian pada
hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003). Menurut
data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan
keenam dari 10 jenis kanker dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat
sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun,
perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk
disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah. Dari selutruh pasien kanker
rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40
tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki insidensi terbanyak mengidap kanker
rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.
Insiden karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi demikian juga
angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak
pada orang muda. Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid.

C. Etiologi
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :
 Sindroma kanker familial
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan kolorektal.
Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh faktor ini.

Tabel Sindroma kanker familial


TABLE 2-1 Hereditary Colorectal Cancer (CRC) Syndromes
Syndrome % of Genetic basis Phenotype Extracolonic Treatment Notes
total manifestations
CRC
burden
Familial <1% Mutasi pada <100 CHRPE, TPC with Variants include
adenomatous gen adenomatous osteomas, end- Turcot (CNS
polyposis suppressor polyp; near epidermal cysts, ileostomy or tumors) and
(FAP) tumor APC 100% with periampullary IPAA or Gardener
(5q21) CRC by age 40 neoplasms TAC with (desmoids)
yr IRA and syndromes
lifelong
surveillance

Hereditary 5%–7% Defective Polyps sedikit, At risk for Genetic High


nonpolyposis mismatch predominantly uterine, ovarian, counseling; microsatellite

11
colorectal repair: MSH2 right-sided small intestinal, consider instability (MSI-
cancer and MLH1 CRC, 80% pancreatic prophylactic H) tumors,
(HNPCC) (90%), MSH6 lifetime risk of malignancies resections, better prognosis
(10%) CRC including than sporadic
TAH/BSO CRC

Peutz-Jeghers <1% Kehilangan Hamartomas Mucocutaneous Surveillance Majority present


(PJS) tumor throughout GI pigmentation, EGD and with SBO due to
suppressor tract risk for colonoscopy intussuscepting
gene pancreatic q3 yr; resect polyp
LKB1/STK11 cancer polyps >1.5
(19p13) cm

Familial <1% Mutasi Hamartomas Gastric, Genetic Presents with


juvenile SMAD4/DPC throughout GI duodenal and counseling; rectal bleeding
polyposis (18q21) tract; >3 pancreatic consider or diarrhea
(FJP) juvenile polyps; neoplasms; prophylactic
15% with CRC pulmonary TAC with
by age 35 yr AVMs IRA for
diffuse
disease
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented
epithelium; CNS, central nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI, gastrointestinal;
IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC, total abdominal colectomy;
TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy; TPC, total
proctocolectomy.

 Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh
keganasan kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat
diidentifikasi, namun kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker
kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-9 x untuk dapat terkena kanker.
 Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi
lemak jenuh meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan
resiko ini untuk individu dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga
memperlihatkan bahwa orang dari negara bukan industri lebih sedikit terkena
resiko ini.

12
D. Faktor Resiko
1. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses
dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan
dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker . Aktifasi
onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion
memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel
yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan
gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan
dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi
apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai
anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan
sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan
berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan
integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan
memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka
peluang terbentuknya kanker.

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-
onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi

13
dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses
terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan
waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan
waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan
masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus
proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan
kelainan siklus sel akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering
terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi
pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis
dimulai.

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik.


Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non
neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma
(juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.

Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna;


dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma,
tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip
berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25%
tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.

Gambar Adenomatous Polip

14
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak
berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari
kanker meningkat dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7
kali lipat pada pasien yang mempunyai multipel polip. Waktu yang
dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia.

Gambar Polip Neoplastik


Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous adenoma,
(D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul
dari sebuah villous adenoma.

15
2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar
1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko
perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena
kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif
kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18%
pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan
risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan
kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan
berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya
invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada
pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli
patologi anatomi.

2.2 Penyakit Crohn’s


Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan
ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit
crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang
tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma
meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding
intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan
juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula
kronik pasien dengan crohn’s disease.

16
3 Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat
kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang
mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak
memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

3.2 Herediter Kanker Kolorektal


Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju
mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih
kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker
kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan
adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama
dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua
sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
 FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat
menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur
40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama,
didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya kolonoskopi

17
polipektomi yang aman dan adekuat. Ketika hal ini terjadi, direkomendasikan
untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi
pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda
kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman.
Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika
memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda.
Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama
enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid,
sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas
otak. Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.
 HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.
Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada
umur yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon
kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair
yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences
dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability).
Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator,
yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+
phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki
multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga
memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel
keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung
kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan
sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly
differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip
crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer
inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini

18
adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3
tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang
membutuhkan waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk
menentukan proporsi dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC,
estimasi keakurasiannya sekitar 1-6 %.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker


kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada
umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang
pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC.
Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker
kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang
menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien
HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon.
Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat
manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil
daripada pasien tanpa kelainan ini.

4 Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan
mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama
adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin
dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet
yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus
proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka

19
panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal.
Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan
menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut
dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin
yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat
dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya
mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat
meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat
dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon;
(b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut,
misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan
fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet
dan resiko kanker kolorektal.8

5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali
untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah
kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga
menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas


dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi
antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan
aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.

20
6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali
(2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali
(1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia
lebih muda (30-64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai
dengan usia.

Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :


1. Berusia > 50 tahun
2.Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis dan Peutz
jagers sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal

E. Patofisiologi
Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC,
DCC deleted in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan
perkembangan dari polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini.

21
Gambar 2.6 Perkembangan menuju karsinoma

Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien
dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen
APC dapat diidentifikasi. Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik
kanker kolorektal. Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap alel
diperlukan untuk pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah prematur stop
kodon yang menghasilkan truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri tidak
menghasilkan karsinoma. Akan tetapi, mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan
genetik yang menghasilkan keganasan. Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi
onkogen K-ras dan hilangnya gen supresi tumor DCC dan p53.

K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel. Gen K-
ras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi signal
intraceluler. Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang
dihidrolisis menjadi guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G
protein. Mutasi K-ras menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang
menyebabkan G protein aktiv secara permanen. Hal ini yang menyebabkan
pemecahan sel yang tidak terkontrol.

22
DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk
degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma
kolorektal dan memiliki prognosis negatif. Gen supresi tumor p-53 sudah banyak
dikarakteristikan dalam banyak keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi
apoptosis dalam sel pada kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki. Mutasi p53
diperlihatkan dalam 75% kasus.

Gambar Perubahan genetik dan gambaran klinis

Terdapat 2 jalur utama dalam inisasi dan progesi dari tumor yaitu jalur LOH dan jalur
replication error (RER). Jalur LOH dikarakteristikan dengan delesi pada kromosom
dan tumor aneuploidi. 80% dari karsinoma kolorektal merupakan mutasi dari jalur

23
LOH, sisanya merupakan mutasi jalur RER yang dikarakteristikan dengan kesalahan
pasangan sewaktu replikasi DNA. Beberapa gen sudah diidentifikasi sebagai sesuatu
yang penting dalam mengenali dan memperbaiki kesalahan replikasi. Kesalahan
pencocokan gen yaitu include hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP.
Mutasi satu dari beberapa gen ini merupakan predisposisi dalam mutasi sel yang
dapat terjadi pada proto onkogen ataupun gen supresi tumor.
Jalur RER berhubungan dengan instabilitasi mikrosatelit. Tumor dengan instabilitas
mikrosateliti memiliki karakteristik yang berbeda dari jalur LOH. Tumor ini lebih
banyak terdapaat pada bagian kanan dan memiliki prognosis yang lebih baik. Tumor
yang berasal dari LOH terjadi pada kolon distal dan berprognosis lebih buruk.

Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke
hati).
Neoplasma primer  adenokarsinoma
Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen usus,
berbentuk kembang kol dan ditemukan terutama di daerah sekum dan kolon
asendens.
2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala
obstruksi, terutama ditemukan di daerah kolon desendens, sigmoid dan rektum.
3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.
Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi
tukak maligna.

24
F. Histologi
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001
di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan
gambaran histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma,
2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan
0,08% berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma
dan carcinoid tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan,
didapatkan suatu pola hubungan antara tipe histopatologis, derajat differensiasi dan
stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan dengan derajat
differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, signet ring cell
carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah
bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma
yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan
sering sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.

Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais


(RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah
adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45
(22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell
carcinoma 11 (5,47%). Berbagai varian gambaran histopatologi kanker kolorektal
berdasarkan klasifikasi World Health Organization:
- Mucinous adenocarcinoma
- Signet ring cell adenocarcinoma
- Adenoskuamous carcinoma
- Squamous carcinoma
- Choriocarcionma
- Medullary carcinoma

25
G. Manifestasi klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda
dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama
pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.

Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal
ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar
sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah
makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar.
Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan
dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung empedu.
Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.

Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang
menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi
BAB. Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau
tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan
dengan gumpalan darah atau feses.

Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada
pasien dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada
hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan.

26
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan
kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total
obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan
perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi
iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis
dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah
artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria
atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat
disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker
kolon.

Gambar Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi sebanyak 73% dapat dideteksi
dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (data unit endoskopi, Divisi Departemen
Ilmu penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta 2005)

27
Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal
Kolon kanan :
- Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia
- Tes darah samar pada feses
- Gejala dispepsia
- Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
- Teraba massa abdominal
Kolon kiri :
- Gangguan pola buang air besar
- Darah makro pada feses
- Gejala obstruksi

Rektum :
- Pendarahan per rektal
- Gangguan pola buang air
- Adanya sensasi tidak lampias
- Teraba tumor intrarectal

Tabel Gambaran klinis karsinoma kolorektal


KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus
menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA FESES Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
KEADAAN UMUM

28
Staging tumor menurut TNM
Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya
penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau
metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem
staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.

Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukkan
kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M
ada tidaknya metastase jauh.

Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau kelenjar getah bening
(KGB) dianggap sebagai stadium A (T1N0M0). Bila tumor yang masuk lebih dalam
namun tidak menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0). Bila
tumor terbatas sampai lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0). Bila tumor
menginfiltrasi serosa dan KGB disebut stadium C (TXN1M0), bila terdapat status anak
sebar di hati, paru, atau tulang mempertegas stadium D (TXNXM1). Bila status
metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan stadium. Oleh karena itu,
pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat penting dalam
menentukan stadium. Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun
setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi indikator
kesembuhan. Indikator buruknya prognosis prognosis kanker kolorektal setelah
menjalani operasi.

Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau ke hati
melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering mendapat
anak sebar kelenjar getah bening. Sepertiga kasus kanker kolorektal yang rekuren
disertai metastase ke hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan
metastase ke hati pada waktu meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke
paru. KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati

29
terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum,
sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra kemudian dapat
mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta. Rata-rata
harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 – 9 bulan (hepatomegali dan
gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh
peningkatan CEA dan gambaran CT-scan).
 T – Tumor primer
 Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai
 T0: Tidak ada tumor primer
 Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial
 T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa
 T2: Invasi tumor di lapisan otot propria
 T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke
perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
 T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau
peritoneum viseral.

Gambar Gambaran kedalaman tumor


 N – Kelenjar limfe regional
 Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
 N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional
 N1: Metastase di 1 – 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal

30
 N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau perirektal
 N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan
atau pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).
 M – Metastase jauh
 Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai
 M0: Tidak ada metastase jauh
 M1: Terdapat metastase jauh6

Tabel 2.3. Stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal6,7


Stadium Deskripsi Bertahan 5
Dukes TNM Derajat histopatologis tahun (%)

A T1N0M0 I Kanker terbatas >90


pada
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 I Kanker mencapai 85
muskularis
B1 T3N0M0 II Kanker cenderung 70-80
masuk atau
melewati lapisan
serosa
C TxN1M0 III Metastasis 35-65
D TxNxM1 IV 5

H. Pemeriksaan
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi
metastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam
pengobatan. Area supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya
kelenjar yang mengalami metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi

31
yaitu melihat adanya bekas operasi, penonjolan massa, kontur usus yang
mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm steifung). Palpasi dilakukan untuk
meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau nyeri tekan pada abdomen.
Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau melekat pada
jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen ialah
timpani. Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada
auskultasi didengarkan bising usus.

Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata, keras, oval atau
melingkar dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan
derajat perlekatan jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah
pada sarung tangan.

 Pemeriksaan penunjang
Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia
mikrositik, hematoskezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi.
Oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi. Temuan
darah samar di feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak dapat
menyingkirkan lesi neoplasma.

Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil
normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah urinalisis, hitung leukosit dan
hemoglobin. Pemeriksaan lain yang dapat diperiksa sesuai dengan indikasinya ialah
protein serum, kalsium, bilirubin, alkali fosfatase dan kreatinin. Pendarahan
intermitten dan polip besar dapat dideteksi melalui darah sama feses atau defesiensi
Fe. Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan kolorektal ialah
carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein yang ditemukan pada sel
membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC. Beberapa antigen masuk ke dalam
sirkulasi dan dideteksi dengan radioimunnoassay serum. CEA dapat terdeteksi di

32
berbagai cairan tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak spesifik
berhubungan dengan kanker kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70% pasien dengan
kanker usus besar. CEA tidak dapat digunakan sebagai prosedur screening tetapi
akurat sebagai diagnosis CEA residif.

 Pemeriksaan penyaring pada kanker kolorektal (CRC):

Tabel Screening pada tiap resiko


Resiko Prosedur Onset Frekuensi
Resiko rendah
- Asimptomatik Tes darah samar (TSD), 50 TDS tiap tahun
fleksibel sigmoidoskopi FS tiap 5 tahun
(FS)
- Tidak ada kerabat Kolonoskopi, barium 50 Tiap 5-10 tahun
tingkat 1 yang kena enema dan
proctosigmoidoscopy
Resiko menengah
- CRC pada kerabat Kolonoskopi 40 atau 10 tahun Setiap 5 tahun
tingkat 1,usia < 55th sebelum kasus CRC
atau > 2 keluarga termuda
tingkat pertama
terkena
- CRC pada keluarga Kolonoskopi 50 atau 10 tahun Setiap 5 – 10 tahun
tingkat pertama, usia sebelum kasus CRC
> 55 th termuda
- Riwayat polip Kolonoskopi 1 tahun setelah Jika rekuren, tiap
kolorektal besar > polipektomi tahun. Jika tidak, tiap
1cm atau multipel 5 tahun
- Riwayat CRC setelah Kolonoskopi 1 tahun setelah reseksi Jika normal 3 th,
reseksi bila tetap normal tiap
5 tahun. Jika
abnormal, tiap 5 tahun
Resiko tinggi
- FAP FS, pemeriksaan genetik 12-14 tahun ( Tiap 2 tahun

33
Kolonoskopi, pubertas)
- HNPCC pemeriksaan genetik 21-40 tahun Tiap 2 tahun
Kolonoskopi 40 tahun Tiap tahun
- IBD
8-15 tahun Tiap 2 tahun

Tes darah samar


Pada suatu studi kontrol pada universitas di Minnesota, didapatkan kesimpulan
bahwa tes darah samar sebagai tes penyaring dapat mengurangi mortalitas CRC
sebanyak 33% dan metastasis sebanyak 50%. Tetapi tes darah samar tidak selalu
sensitif dan terlewat sampai 50% kasus. Spesifitas pemeriksaan ini rendah, 90%
pasien dengan tes ini positif tidak memiliki CRC. Tes ini baru signifikan bila
dilakukan kolonoskopi setelahh tes darah samar positif. Jadi, tes darah samar
dilakukan dan direkomendasikan bagi pasien asimptomatik.

Rigid Proctoscopy
Proctoscopy digunakan untuk mengevaluasi kanal anal, rektum dan kolon sigmoid.
Proctoscope pendek, lurus, rigid, dengan pipa metal dan biasanya terdapat cahaya
diatasnya. Panjangnya sekitar 15cm. Proctoscope dilubrikasi dan dimasukan ke dalam
rektum, kemudian obturator disingkirkan dan terlihat bagian interior dari rektum.
Prosedur ini biasa digunakan untuk menginspeksi hemoroid atau polip rektum. Studi
kasus kontrol memperlihatkan adanya penurunan resiko kematian pada kanker rektal
dengan skrining melalui rigid proctoskopi walaupun resiko kematian kanker kolon
tidak dipengaruhi. Akan tetapi, dikarenakan adanya limitasi jangkauan,maka
proctoskopi ini hanya sedikit dicantumkan dalam program skrining modern ini.

34
Gambar Proctoscopy

Flexible Sigmoidoscopy
Skrining dengan fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun menyebabkan penurunan
mortalitas CRC dan mengidentifikasi individu resiko tinggi dengan adenoma. Pada
pasien dengan polip, kanker atau lainnya pada fleksibek sigmoidoskopi maka
memerlukan kolonoskopi.

Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan paling baik digunakan
dalam pemeriksaan usus besar. Prosedur ini sangat sensitif dalam mendeteksi polip
kecil sekalipun dan dapat dilakukan biopsi, polipektomi, mengontrol pendarahan dan
dilatasi striktur. Akan tetapi, pemeriksaan ini memerlukan persiapan usus dan
menyebabkan ketidaknyamanan karena memerlukan sedasi. Kolonoskopi dilakukan
dengan bantuan endoskopi. Komplikasi utama setelah kolonoskopi ialah perforasi dan
pendarahan, namun sangat kecil.

35
Gambar Kolonoskopi dan sigmoidoskopi

Barium enema kontras


Kontras barium enema juga sensitif dalam mendeteksi polip > 1cm yaitu sekitar 90%.
Akan tetapi, tidak ada studi yang membuktikan efikasinya dalam skrining populasi
besar. Akurasi paling tinggi pada kolon proksimal, akan tetapi dapat juga digunakan
pada kolon sigmoid bila ada divertikulosis signifikan. Untuk alasan ini, maka barium
enema dikombinasikan dengan fleksibel sigmoidoskopi sebagai skrining. Kerugian
pada metode ini ialah memerlukan persiapan pada usus. Kolonoskopi juga dilakukan
bila ditemukan lesi.

Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip
kolon dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran pasase kontras, jenis bagian
rektosigmoid sering sulit untuk divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli radiologi
senior. Oleh karena itu, pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih diperlukan. Bilamana
ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi.
Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk
kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak bisa mendeteksi lesi berukuran
kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur
yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.

36
Persiapan dan pemeriksaan barium enema
Persiapan:
 Penderita diberi makan bubur kecap 1 hari sebelumnya
 10 -12 jam sebelum pemeriksaan penderita diberi Laxans
 Segera setelah akan diperiksa diberi Laxans
 Kontras yang dipakai yaitu Barium sulfat.
 Bubur barium 1:4, 1:5, 1:6.

Gambaran normal:
 Pasase lancar (gambaran haustre)
 Refluks kontras ke dalam ileum
 Post evakuasi: feather like appereance

Gambar. Barium enema normal

Gambaran radiologis karsinoma kolon:


 Gangguan pasase kontras

37
 Jenis ekstraluminar: pendorongan lumen
 Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect
Karsinoma kolon kiri : filling defek, biasanya 2-6 cm dengan konfigurasi
apple core. Karsinoma kolon kanan : konstriksi atau massa intrluminal

Gambar karsinoma anular kolon sigmoid

Gambaran radiologis polip:


 Khas pada post evakuasi terdapat gambaran radiolusen yang berbentuk
multipel

Gambar gambaran polip pada barium enema dan peduncaled polyp

38
Gambaran radiologis karsinoma rektum:
 Gambaran pasase kontras
 Tergantung jenisnya:
- Pendorongan : kelainan bentuk dan anatomis
- Filling defect : mukosa tidak rata

CT Colonografi
Kemajuan teknologi sekarang ini menghasilkan sesuatu yang tidak invasif tetapi
akurasi tinggi. CT colonografi mengggunakan teknologi CT helik dan rekonstruksi 3
dimensi untuk menggabarkan kolon intraluminal. Pasien membutuhkan persiapan
usus. Kolon diisi dengan udara lalu dilakukan CT. Kolonoskopi tetap dibutuhkan bila
terdetteksi lesi.

CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah “Virtual Colonography”


merupakan pengembangan dari teknologi multipel helical (multi- slice) CT Scan yang
dapat menghasilkan gambaran interior kolon dalam dua atau tiga dimensi. CTC
memiliki radiasi exposure yang rendah dan tidak invasif, tapi tidak bisa melakukan
biopsi dan polipektomi. Persiapan pemeriksaan CTC hampir sama dengan
kolonoskopi yaitu membersihkan usus besar dengan bahan laksan, ditambah
memasukkan udara ke dalam kolon melalui kateter rektal. Pemeriksaan dilakukan
pada posisi supinasi dan pronasi serta tidak membutuhkan sedasi. Penelitian meta-
analisis mengatakan bahwa CTC memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm, yaitu 88% dan 95%. Penelitian lainnya CTC
dengan 4-detector-row scanners menghasilkan sensitifitas 82%-100% dan spesifisitas
90%-98% untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm. CTC juga memiliki resiko
terjadinya perforasi dan dilaporkan hanya 1/22.000 pemeriksaan.

G. Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda.

39
Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun.
Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan
ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk metastasis.

H. Tata laksana Kanker kolon


Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan drainase
regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan walaupun telah
terjadi metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah metastase. Tujuan terapi
karsinoma kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Reseksi dari
usus tergantung dari pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut. Organ
atau jaringan penyokong seperti omentum nyga harus direseksi en blok dengan
tumor. Bila seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif.
Anastomosis dilakukan diawali dengan irigasi usus dengan normal solusio saline atau
povidon idodin yang diharapkan sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau
dihancurkan.

Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang kuat terhadap
CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap karsinoma ( field defect) dan
harus dilkukan subtotal atau total kolektomi. Kanker synchronous ialah adanya lebih
dari 2 kanker secara bersamaan. Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang
telah direseksi sebelumnya) juga diterapi serupa.

Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan laparotomi,


maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman. Selanjutkan
dilakukan anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi, maka dilakukan
prosedur paliatif dan membutuhkan proksimal stoma atau bypass.

40
Stage 0 ( Tis, N0,M0)
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia tidak memiliki resiko
metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade dysplasia meningkatkan resiko
karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka polip dieksisi lengkap dan batasnya harus
bebas dari displasia.polip bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara
endoskopi. Pada pasien iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan
bahwa polip tidak rekuren dan tidak terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip tidak
dapat diangkat se`luruhnya, maka dilakukan reseksi segmental.

Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)


Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan metastasis ke
kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening berdasarkan kedalaman
invasi polip. Pada invasi limfovaskular, histologi diferensiasi buruk dapat dilkakukan
segmental kolektomi.

Stages I and II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)


Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan dengan operasi reseksi.
Beberapa pasien dengan reseksi komplit stadium 1 dapat berkembang rekurensi lokal
atau jauh dan kemoterapi tidak meningkatkan survival pasien ini. Sebanyak 46%
pasien dengan reseksi komplit stadium 2 dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini,
kemoterapi ajuvan disarankan untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko
tinggi).

Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)


Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko yang tinggi
terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan kemoterapi rutin pada
pasien ini. Regimen yang digunakan ialah 5- Flourouracil dengan levamisole atau
leukovorin emngurangi rekurensi dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen
kemoterapi yang baru ialah as capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis
inhibitors, dan immunotherapy.

41
Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)
Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan penyakit sistemik,
sebanyak 15% akan bermetastase ke hati. Pada stadium ini, sebanyak 20% potensial
reseksi untuk sembuh. Angka survival pada pasien reseksi ini menignkat bila
dibandingkan dengan pasien yang tidak direseksi. Semua pasien membutuhkan
kemoterapi ajuvan. Pasien yang tidakdioperasi difokuskan untuk paliatif terapi.
Terapi paliatif yang digunakan ialah stenting untuk lesi obstruksi kolon kiri.

Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma ( jinak dan
ganas), inflamatori bowel disease dan kasus lain.
 Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran darah pada
bagian kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi. Reseksi kurativ dari CRC
dicapai dengan ligasi PD mesenterika proksimal dan pembersihan kelenjar getah
bening mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses benign, tidak diperlukan
reseksi mesenterika dan omentum dapat tetap dipertahankan.

 Emergensi reseksi
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan hemoragi. Pada
keadaan ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi pasien tidak stabil. Pada reseksi
kolon kanan atau proksimal tranversal, anastomsosi oleocolonic dapat dilakukan.
 Reseksi laparoskopik
Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik, mengurangi nyeri post
operasi dan pemulihan usus yang lebih cepat. Reseksi usus besar secara
laparoskopik membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding operasi secara
terbuka.

42
Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer

Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang digunakan dapat
berupa handsewn atau stapled.
Jenis anastomosis :
1. End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik ini
terutama dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan dalam kolostomi atau
anastomosis usus kecil.
2. End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya. Teknik ini
dilakukan pada obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian distalnya.
4. Side to side
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah atau
segmens usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.

43
End to end End to side

Side to side
Gambar Anastomosis

Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding
dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding
abdomen dibuat dan akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian
distal yang dikeluarkan melalui dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di dalam
abdomen sebagai hartmann’s pouch. Penutupan kolostomi membutuhkan laparotomi.
Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan odentifikasi usus distal, kemudian
dilakukan anastomosis end to end.
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi
dikarenakan terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi kolostomi
lebih sedikit beresiko.

44
Gambar Kolostomi

Kanker rektum
Biologis dari adenokarsinoma rekal sama dengan adenokarsinoma kolon dan prinsip
operasi ialah reseksi komplit dari tumor primer, kelenjar getah bening dan organ
apapun yang terkena. Akan tetapi diakrenakan struktur dari pelvis maka reseksi lebih
sulit dan membutuhkan pendekatan lain. Rekurensi lebih tinggi dibanding dengan
kanker kolon dengan stadium yang sama. Akan tetapi, tumor rektum lebih sensitif
dengan radiasi.

Terapi lokal
Sepanjang 10 cm distal dari rektum dapat dijangkau melalui anus. Karena itulah,
beberapa terapi dilakukan secara lokal. Untuk jenis yang benign, noncircumferential
dan adenoma villous dilakukan dengan baik dengan eksisi transanal. Akan tetapi
rekurensi tinggi walau dengan terapi kemoradiasi. Transanal endoscopic
microsurgery (TEM) dioperasikan dengan menggunakan proctoscope dan alat-alat
serupa dengan laparoskopi yang membuat eksisi lokal dapat dilakukan pada tempat
yang lebih tinggi yaitu sekitar 15 cm. Lokal eksisi harus diikuti dengan eksisional
biopsi.

45
Teknik ablasi seperti elektrokauter atau radiasi endocavitary juga dapat digunakan.
Kerugian dari teknik ini ialah tidak dapat diambilnya spesimen patologis untuk
diketahui stadiumnya. Teknik ini digunakan pada individu dengan resiko tinggi yang
tidak dapat mentoleransi terapi radikal lainnya.

Reseksi radikal
Reseksi radikal lebih dipilih dibanding terapi lokal untuk banyak kasus karsinoma
rektal. Reseksi radikal mengangkat segmen yang terkena bersama dengan
limfovaskularnya.

Total mesorektal excision (TME) adalah teknik yang menggunakan diseksi tajam
untuk menghasilkan reseksi total dari mesenterium rektal. Untuk tumor rektosigmoid,
eksisi partial mesorektal paling tidak sepanyak cm distal dari tumor. TME
menurunkan rekurensi dan meningkatakan survival. Teknik ini hanya sedikit dari
yang hilang dibanding dengan operasi tajam.

Terapi spesifik stadium


Sebelum dilakukan terapi dilakukan ultrasound endorektal untuk mengetahui T dan N
dari kanker rektum. USG ini baik untuk mengetahui kedalaman tumor namun kurang
akurat dalam diagnosis keterlibatan nodus limfatikus.

Stage 0 (Tis, N0,M0)


Karsinoma in situ ( displasia tingkat tinggi) secara ideal diterapi dengan eksisi lokal.

Stage I: Localized Rectal Carcinoma (T1-2, N0, M0)


Karsinoma invasif yang berasal dari polip pedunkulated hanya memiliki < 1% resiko
metastasis. Terapi yang dapat dilakukan ialah polipektomi. Terapi lokal dapat
dilakukan namun angka rekurensi tinggi. Untuk alasan ini, maka dilakukan reseksi
radikal.

46
Stage II: Localized Rectal Carcinoma (T3-4, N0, M0)
Tumor rektum yang besar sering terjadi lagi. Ada 2 pendapat untuk mencegah
rekurensi yaitu tidak diperlukannya kemoradiasi ajuvan setelah dilakukan TME untuk
stadium 1,2 dan 3. Pendapat lainnya ialah diperlukannya kemoradiasi. Keuntungan
kemoradiasi preoperasi ialah pengecilan ukuran tumor, mereseksi menjadi lebih
mudah. Kerugiannya ialah overtreatment dari tumor masa awal, penundaan
penyembuhan uka dan fibrosis pelvis.

Stage III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)


Banyak pendapat yang menyarankan kemoterapi dan radiasi pre atau post operasi
untuk kanker rektal dengan keterlibatan kelenjar getah bening. Keuntungan dan
kerugian sama seperti yang diungkapkan di atas. Untuk alasan ini, pasien diterapi
dengan neoajuvan terapi diikuti dengan reseksi radikal.

Stage IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)


Sama seperti stadium 4 karsinoma kolon, angka harapan hidup terbatas dengan pasien
metastasis. Metastasis ke hepar jarang namun bila ada reseksi dapat menyembuhkan
untuk beberapa pasien. Kebanyakan pasien memerlukan terapi paliatif. Reseksi
radikal dapat digunakan untuk mengontrol nyeri, perdarahan atau tenesmus. Terapi
lokal dengan kauter atau laser digunakan untuk mengontrol perdarahan atau
mencegah obstruksi. Intraluminal stent berguna untuk mencegah obstruksi namun
sering menyebabkan nyeri dan tenesmus.

Sistemik kemoterapi
Tulang punggung regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil
sebagai terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa
regimen kombonasi menyediakan peningkatan efikasi dan angka harapan hidup

47
pasien. Selain 5-Florourasil, terdapat capecitabine dan tegafur yang digunakan
sebagai monoterapi atau kombonasi dengan oxalipatin dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
 5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan
sebelum 5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
 LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion
sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
 Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion
sebelum 5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu

Regimen untuk metastasis :


 Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)
o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400
mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu

48
 Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400
mg/m2 IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
 Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1 untuk
46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
 Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
 FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV
continuous infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu11

Agen biologis
Bevacizumab (Avastin) merupakan obat antiangiogenesis pertama yang diindikasikan
untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk

49
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila
ditambahkan pada kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah
epidermal growth factor receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah
Cetuximab yang digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan
pada pasien kanker kolorektal yang refrakter dengan 5-FU dan oxalipatin.
Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan diindikasikan untuk
monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis ialah
bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).

Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun
metastatik, hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.

50
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. 2004. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal 181-192
Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. 2002. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal
490
Tessy, Agus, dkk. Sistitis. 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Marijata. Pengantar Dasar Bedah Klinis. 2006. Yogyakarta : Unit Pelayanan
Kampus Fakultas UGM.
Brunicardi, F. Charles, Anderson, Dana K, et al. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th ed.
2004

51

Anda mungkin juga menyukai