Anda di halaman 1dari 18

Anemia Defisiensi Besi et causa Perdarahan Kronis.

William Alexandro Hawula


102015133
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. (021-56942061
E-mail: reinanda.2015fk104@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Anemia defisiensi besi(ADB) terjadi ketika tubuh yang menyimpan zat besi menurun terlalu
rendah untuk mendukung produksi sel darah merah normal. Asupan besi yang tidak adekuat,
gangguan penyerapan zat besi, perdarahan, atau kehilangan zat besi dalam urin mungkin
menjadi penyebabnya. Keseimbangan besi di dalam tubuh biasanya diatur secara hati-hati
untuk memastikan bahwa zat besi diabsorpsi dengan cukup dalam rangka menkompensasi
kehilangan tubuh terhadap zat besi.

Kata kunci: anemia, defisiensi besi, gangguan penyerapan zat besi

Abstract
Iron deficiency anemia develops when body stores of iron drop too low to support normal red
blood cell production. Inadequate dietary iron, impaired iron absorption, bleeding, or loss of
body iron in the urine may be the cause. Iron equilibrium in the body normally is regulated
carefully to ensure that sufficient iron is absorbed in order to compensate for body losses of
iron.
Keywords : anemia , iron deficiency , impaired iron absorption

1
Pendahuluan

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola
makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Selain itu penyebab
anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap penyakit
kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing). Di negara
berkembang seperti Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar
untuk kasus anemia gizi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setaip
harinya.

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan,
baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala
lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah raga
dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan
mengakibatkan mudah terkena infeksi.1

Anamnesis

Anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dengan pasien untuk mendapatkan
informasi. Yang ditanyakan adalah identitas (nama, umur, pekerjaan, tempat tinggal), keluhan
utama (keluhan yang menyebabkan pasien datang ke dokter), riwayat penyakit sekarang
(seperti onset, lokasi, durasi, faktor pemberat), riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan
keluarga, faktor sosial dan lingkungan.2

Adanya kelelahan dan berkurangnya kemampuan dalam melakukan pekerjaan yang


berat. Selain itu mungkin pula didapat perubahan perilaku, dan resistensi terhadap infeksi
berkurang .Yang perlu dicari dalam anamnesis kasus anemia defisiensi besi adalah riwayat
kehilangan darah, riwayat diet, dan riwayat malabsorbsi.

Pemeriksaan Fisik2-4

Inspeksi

Keadaan umum dan kesadaran : lihat apakah pasien sakit ringan atau berat, sering
merasa sesak napas atau syok akibat kehilangan darah akut.

Adakah tanda-tanda ikterus yang ditandai dengan mata berwarna kuning, atau kulit yg
berubah warna menjadi kuning contoh pada anemia hemolitik dapat dijumpai keadaan ini.

2
Adakah koilonikia (kuku seperti sendok) atau keilotis angularis (peradangan pada sudut
mulut sehingga tampak bercak pucat keputihan. Gejala tersebut terdapat pada anemia defisiensi
Fe.

Adakah tanda kerusakan trombosit (memar dan petechiae) dan bila ada menandakan
kadar trombosit yang menurun misal pada anemia aplastik.

Adakah atrofi papil lidah yang ditandai dengan permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang. Biasa gejala ini timbul pada anemia defisiensi besi.3

Palpasi

Konjungtiva . Minta pasien untuk melihat ke atas sementara pemeriksa menekan kedua
kelopak mata ke bawah dengan menggunakan ibu jari tangan sehingga membuat sclera dan
konjuctiva terpajan. Inspeksi sklera dan konjugtiva palpebralis untuk menilai warnanya.
Patologis: Sklera yang berwarna kuning menunjukkan ikterus, konjunctiva dapat berwarna
pucat yang disebut konjuctiva anemis dan merupakan salah satu sindromanemia.1

Kuku. Lakukan inspeksi dan palpasi kuku jari tangan dan kaki. Perhatikan warna dan
bentuk dan lesi yang ada. Patologis: Pada anemia defisiensi Fe dapat dijumpai koilonikia (kuku
yang berbentuk seperti sendok, rapuh, bergaris vertical dan menjadi cekung mirip seperti
sendok).

Limfa. Palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal anterior yang lokasi
nya di sebelah anterior dan superficial M.Sternocleidomastoideus. kemudian lakukan plapasi
rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal posterior di sepanjang M.Trapezius (anterior)
dan M. Sternocleidomastoideus (posterior). Lakukan pemeriksaan nodus limfatikus
supraklavikular pada sudut antara os clavicula dan M.Sternocleidomastoideus. Patologis : Bila
terdapat limfadenopati mungkin menandakan adanya tanda infeksi atau keganasan. Bila limfa
yang di palpasi sakit menandakan peradangan, limfa yang membesar dank eras menandakan
keganasan. Nodus limfatikus supra klavikular yang membesar menandakan kemungkinan
adanya keganasan di abdomen atau torax.

Palpasi hati , limpa, abdomen. Lakukan palpasi hati dan limpa untuk menilai apakah
ada hepatomegali atau splenomegali yang biasanya terdapat pada anemia hemolitik dan kadang
pada anemia defisiensi besi juga dapat ditemukan bila anemia tersebut tidak diterapi.2

3
Pemeriksaan Penunjang2,4

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang
beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan
Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan
minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.

Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau


menggunakan rumus:

Mean Corpusculer Volume (MCV)

MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat
besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan.
Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl,
mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.

Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH). MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam
satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah.
Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC). MCHC adalah konsentrasi


hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30- 35% dan hipokrom < 30%.

Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer. Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan


secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan
ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan
darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.

Pemeriksaan Feses. Mencari adanya perdarahan melalui traktus digestivus. Secara


makroskopik dilihat warna tinja, mikroskopik dilihat ada tidak nya eritrosit, telur cacing,
parasit, untuk pemeriksaan kimia lakukan tes darah samar.

4
Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel
darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara
kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan
variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara.
Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi,
serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama
dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila
disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan
besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal
yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah
kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid
artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan
ukuran mutlak status besi yang spesifik.

Serum Transferin (Tf).

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum.
Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.

Transferrin Saturation (Jenuh Transferin).

Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin
dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap
perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh
transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi
lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk
mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi
serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat
secara khusus oleh plasma.

Serum Feritin.

5
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi,
tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat
dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah
pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin
pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65
tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama
trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin
adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan,
penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris
(IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

Pemeriksaan Sumsum Tulang

Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun
mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk
menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat
besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga
tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang
dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai
untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

Kesimpulannya dalam pemeriksaan penunjang ditemukan Hemoglobin, Hct


dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun. Hapus darah tepi menunjukkan
hipokromik mikrositik. Kadar besi serum (SI) menurun dan. TIBC meningkat , saturasi
menurun. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat.
Sumsum tulang terdapat aktifitas eritropoitik meningkat

Diagnosis Kerja

6
Diagnosa kerjanya ialah anemia defisiensi besi et causa perdarahan kronik. Dapat terjadi
pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun
kronis. Perdarahan kronis umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal ( misal ulkus,
hemoroid, gastritis, atau kanker saluran pencernaan ), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan
ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses kelahiran.5
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria
WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan
tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.3,4
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan
tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria
Kerlin et al) sebagai berikut:4

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 dan MCHC <31%
dengan salah satu dan a, b, c, atau d.

 Dua dari tiga parameter di bawah ini:


- Besi serum <50 mg/dl
- TIBC>350 mg/dI
- Saturasi transferin: <15%, atau
 Ferritin serum <20 mg/l, atau
 Pewarnaan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl's stain) menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
 Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara)selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditemukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Tahap
ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi
merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun
dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.4
Untuk pasien dewasa fokus utama aalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi anamnesis
tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-

7
laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Tidak
cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tetapi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap
sebagai penyebab utama ADB, hams dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang
sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per gram faeces
(EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki. Dalam suatu penelitian lapangan
ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi
pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan.3
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang
disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat cacing
tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang disertai adanya
eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,3%
pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dan 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai.2

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult
blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah.4

Diagnosis Banding

Anemia pada Penyakit Kronik

Di antara berbagai anemia yang paling sering ditemukan terdapat anemia yang
menyertai berbagai penyakit kronik.Anemia yang terjadi bersifat normositik/normokromik
atau mikrositik/hipokromik. Penanganan keadaan yang mendasari akan mengoreksi anemia ini;
hanya sebagian dari terapi eritropoitin yang berhasil dengan baik. Lemah badan, penurunan
berat badan, pucat merupakan tanda-tanda dari penyakit kronis.4

Baru kemudian diketahui bahwa bahwa pada pasien tuberkulosis, misalnya timbul
keluhan seperti tadi dan ternyata disebabkan oleh anemia pada infeksi. Cartwright dan
Wintrobe menyebutkan bahwa peneliti-peneliti di Perancis tahun 1842 membuktikan bahwa

8
pasien tifoid dan cacar mengandung massa eritrosit yang lebih rendah dibandingkan orang
normal.6

Belakangan diketahui bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia, syphilis, HIV-AIDS


dan juga pada penyakit lain seperti artritis reumatoid, limfoma Hodgkin, kanker, sering disertai
anemia, dan diintroduksi sebagai anemia penyakit kronik.4

Alasan untuk mengatakan bahwa anemia yang ditemukan pada berbagai kelainan klinis
kronis berhubungan, karena mereka mempunyai banyak macam gambaran klinis, yakni: kadar
Hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe
jaringan tinggi, produksi sel darah merah berkurang.4,6

Pasien yang menderita penyakit peradangan sistemik kronik yang menetap lebih dan
sebulan biasanya mengalami anemia ringan atau sedang. Berat ringannya anemia secara kadar
setara dengan lama dan keparahan proses peradangan. Penyakit ini adalah infeksi kronik
misalnya endokarditis infektif subakut, osteomielitis, abses paru, tuberkulosis, dan
pielonefritis. Penyakit peradangan noninfeksi yang sering berkaitan dengan anemia adalah
artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik, vaskulitis (misalnya arteritis temporalis),
sarkoidosis, enteritis regionalis, dan cedera jaringan misalnya fraktur.2

Anemia jenis ini juga sering ditemukan pada penyakit keganasan, termasuk penyakit
Hodgkin dan berbagai tumor padat misalnya karsinoma paru dan payudara. Pada pasien kanker,
faktor lain mungkin berperan menimbulkan anemia yang lebih parah. Pada pasien kanker
saluran makanan atau uterus, kehilangan darah merupakan faktor utama. Perdarahan kronik
akan menimbulkan defisiensi besi. Selain itu, pasien kanker dapat menderita anemia progresif
bila sumsum tulangnya terinvasi oleh sel tumor. Pasien kanker sering mengalami malnutrisi
dan mungkin menderita defisiensi folat. Walaupun jarang, pasien dengan keganasan diseminata
dapat mengalami anemia hemolitik traumatik yang berat. Akhirnya, penekanan hematopoisis
oleh obat kemoterapi atau terapi radiasi dapat memperparah anemia.2

Talasemia

Talasemia dalah sekelompok penyakit kongenital yang berbeda menimbulkan


terjadinya defek pada sintesis satu atau lebih subunit hemoglobin. Akibat penurunan
pembentukan hemoglobin, sel darah merah menjadi mikrositik-hipokromik. Talasemia α
mengalami gangguan pembentukan rantai. Talasemia ß dibagi 2 yaitu talasemia ß mayor dan

9
talsemia ß minor. Talasemia ß minor jarang menyebabkan gejala klinis yang bermakna.
Diagnosa umumnya ditegakkan pada pasien yang sedang dievaluasi untuk anemia ringan atau
pada tindak lanjut kelainan yang dijumpai pada pemeriksaan darah rutin.2

Talasemia ß mayor disebut juga anemia Cooley, merupakan bentuk terparah dari
anemia hemolitik congenital. Pasien mengalami gejala anemia berat. Pada pasien juga dijumpai
temuan yang berkaitan dengan hemolisis intramedularis dan eprifer yang parah serta kelebihan
besi. Kulit pasien berwarna aneh karena kombinasi ikterus, kepucatan, dan penigkatan endapan
melanin. Pasien biasanya mengalami kelainan tulang akibat ekspansi sumsum eritroid.
Pembesaran tulang malar dapat menimbulkan wajah khas tupai atau maloklusi rahang.
Kardiomegali, hepatomegali, dan splenomegali juga dapat ditemukan. Diagnosis talasemia ß
mayor harus dipertimbangkan pada tiap pasien anemia hemolitik dan sel darah merah
mikrositik dan hipokrom.2

Etiologi

Asupan zat besi. Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang
mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri
dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi.
Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah
maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi makanan
yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.2

Penyerapan zat besi. Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi
dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari jenis zat besi dan
bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan besi.2

Kebutuhan meningkat. Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa
pertumbuhan seperti pada bayi, anakanak, remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat
besi juga meningkat pada kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit.2

Kehilangan zat besi. Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan urin
disebut kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi basal juga kehilangan
zat besi melalui menstruasi. Di samping itu kehilangan zat besi disebabkan pendarahan oleh
infeksi cacing di dalam usus.2

10
Epidemiologi

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di
klinik maupun di masyarakat. ADB merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara
berkembang.

Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia. Diperkirakan ADB
pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai
negeri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh karena
defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB
sebesar 27%.

Wanita hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ABD. Di India,
Amerika Latin dan Filipina prevalensi ABD pada perempuan hamil berkisar antara 35% sampai
99%.

Sedangkan di Bali, pada suatu pungunjung puskesmas didapatkan prevalensi anemia


sebesar 50% dengan 75 % anemia yang disebabkan oleh defisiensi besi. Dalam suatu survei
pada 42 desa di Bali yang melibatkan 1684 Perempuan hamil didapatkan prevalensi ADB
sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko yang dijumpai adalah
tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi.

Di Amerika Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES tahun1988 sampai tahun 1994,
defisiensi besi dijumpai kurang dari 1% pada laid dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun,
2-4% pada laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-11% pada perempuan masa
reproduksi, dan 5-7% pada perempuan pascamenopause.2

Manifestasi Klinis

Gejala Umum Anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini
berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di

11
bawah kuku. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka
gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.2,6

Gejala Khas Defisiensi Besi

Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada

anemia jenis lain adalah:

Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah
menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. Stomatitis angularis (cheilosis),
yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.2,4

Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi2,3

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat
dibagi menjadi 3 tingkatan : (Bakta, 2015)

Deplesi besi (iron depleted state) adalah cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi
untuk eritropoesis belum terganggu.

Eritropoesis defisiensi besi ( iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi kosong


penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.

Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai penurunan kadar hemoglobin.

Metabolisme Besi

Besi merupakan trace element dan mikronutrien esensial yang penting dan dibutuhkan
oleh hampir semua organisme baik mikroba, tanaman, hewan maupun manusia. Fungsi besi
didalam tubuh adalah sebagai katalisator untuk oksigenasi, hidroksilasi dan proses
metabolisme penting lainnya. Selain itu besi juga penting sebagai kofaktor enzim-enzim pada
respirasi mitokondrial. Proliferasi dan aktifasi dari sel T, sel B dan sel NK juga memerlukan

12
besi. Dalam keadaan normal seorang laki dewasa mempunyai kandungan besi 50 mg/kgBB
sedangkan perempuan dewasa adalah 35 mg/kgBB.7

Tubuh mendapatkan masukan besi berasal dari makanan dalam usus. Proses absorpsi
besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Membran apikal enterosit
di duodenum berperan untuk transport besi dari lumen intestinal ke dalam sel enterosit dimana
molekul transporter yang terpenting adalah Divalent Metal Transporter 1 (DMT1).2

Setelah diabsoprsi di duodenum, besi akan beredar di sirkulasi dalam bentuk transferin
menuju sistem portal dari hepar yang merupakan tempat penyimpan besi yang utama. Sel
hepatosit akan mengikat besi melalui Transferrin Receptor 1 (TfR1) yang klasik namun
sebagian besar melalui TfR2 yang tersedia dalam jumlah lebih besar.2,4

Tempat utama penggunaan besi adalah sumsum tulang dimana besi diikat oleh TfR
pada sel prekursor eritrosit dan digunakan untuk sintesis heme. Besi pada heme selanjutnya
akan didaur ulang melalui proses tertangkapnya eritrosit yang sudah tua pada makrofag sistem
retikuloendotelial. Besi dalam makrofag dapat tersimpan di makrofag sebagai feritin atau
dilepaskan ke plasma yang kemudian akan terikat transferin dan beredar di plasma untuk
digunakan kembali. Hati dan sistem retikuloendotelial merupakan tempat utama penggunaan
cadangan besi.4,5

Setiap hari 1-2 mg besi hilang dari tubuh karena perdarahan, menstruasi atau eksfoliasi
dari epitel yang mengandung besi di kripta usus, traktus urinarius, rambut dan kulit dan dalam
jumlahnya yang samapun setiap harinya diserap. Karena tubuh tidak mempunyai mekanisme
spesifik dalam mengekskresi besi maka keseimbangan besi dalam tubuh dijaga oleh regulator
proses absorpsi besi di duodenum.4

Seluruh proses ini terjadi melalui sirkulasi yang tertutup dimana jumlah yang diserap
dan jumlah yang diekskresi bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-
2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel.5

Patofisiologi

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi semakin


menurun. Jika cadangan besi menurun maka keadaan ini disebut iron depleted state atau

13
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dalam usus serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.7,8

Apabila kekurangan besi berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi dimana keadaan ini disebut iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan
TIBC meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferin dalam serum.8,9

Kondisi kekurangan besi yang terus berkepanjangan akan menyebabkan jumlah besi
menurun terus dan eritropoesis akan semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun sehingga timbullah anemia hipokromik mikrositer yang disebut sebagai anemia
defisiensi besi. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim
yang dapat menimbulkan kelainan pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala
lainnya.9

Tatalaksana

Setelah didiagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi


terhadap anemia defisiensi besi adalah:9
Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau
tidak maka anemia akan kambuh kembali.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy):

Terapi Besi Oral 9,10


Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif,
murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus)
merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis
anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi
elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg
per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.

14
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping
hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enteric coated
yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi
absorbsi besi.

Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong. tetapi efek
samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien
yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah
makan.

Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang
dijumpai pada 15 sampai 20%. yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan
ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi
diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg.

Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan


sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi
tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak
diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.

Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C,


tetapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang
banyak mengandung hati dan daging yang banyak mengandung besi.

Terapi besi parenteral 10,11

Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mernpunyai risiko lebih besar
dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya
diberikan atas indikasi tertentu.
Indikasi pemberian besi parenteral adalah:

 Intoleransi terhadap pemberian besi oral


 Kepatuhan terhadap obat yang rendah
 Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika
diberikan besi
 Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi

15
 Keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada
hereditary hemorrhagic teleangiectasia
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan
trimester tiga atau sebelum operasi
 Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada
anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.

Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi /ml),
iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate daniron
sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam
atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan
memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan
mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung
melalui rumus di bawah ini:
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali
pemberian.

Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

Komplikasi2,11

Defisiensi besi selain menyebabkan anemia juga menyebabkan hal negatif seperti
berikut :

 Pada sistem neuromuskular menyebabkan gangguan kapasitas kerja.


 Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan.
 Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi.
 Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya.

16
Seluruh gangguan ini dapat timbul pada anemia ringan dan bahkan sebelum anemia
bermanifestasi.

Prognosis2,10

Anemia defisiensi zat besi adalah gangguan yang mudah diobati dengan hasil yang
sangat baik, namun bisa buruk jika disebabkan oleh suatu keadaan yang mendasarinya
memiliki prognosis buruk, seperti neoplasia. Demikian pula, prognosis dapat diubah oleh
suatu kondisi penyerta seperti penyakit arteri koroner.

Kesimpulan
Pada kasus ini, hal yang pertama harus dilakukan adalah melengkapi hasil pemeriksaan
laboratorium, yaitu dengan menentukan nilai besi serum, DIBT, saturasi transferrin, ferritin
serum, dan reseptor transferring (bila perlu). Dan bila dengan pemeriksaan-pemeriksaan tsb
masih belum terlalu meyakinkan diagnosis, dapat dicoba untuk melihat cadangan besi sumsum
tulang dengan pewarnaan biru Prussia. Setelah ditemukan adanya hasil yang menunjang
diagnosis pasti anemia defisiensi besi, perlu dicari etiologi pasti penyebab anemia yang diderita
pasien.

17
Daftar Pustaka

1. Bickley, Lynn. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi 8. Jakarta:
EGC; 2009.h.151.

2. Supartondo, Setiyohadi B : Anamnesis . Dalam . AW, Setiohadi B, Alwi I,


SimadibrataM , Setiati S ( Editors). Buku ajar ilmu penyakil dalam. Jilid 1 .Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.25-8

3. Silbernagl,Stefan. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta : EGC ; 2007. h.38-9.
4. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. Kapita Selekta Hematologi Ed. 4. Jakarta :
EGC, 2005.h.35-7
5. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. H. 1130-3, 1135-6
6. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. 4th ed. United
States: The McGraw-Hill Companies; 2005.p. 56-9, 60-3
7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Cetakan ke-3. Jakarta: Bagian Patologi Klinik FK UKRIDA; 2009.h.30,
111, 132-4
8. Guyton CA dan Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008.
9. Handayani W, Hariwibowo A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta; Salemba Medika: 2008.h.2-12.
10. Corwin E. Buku Saku Patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta; Buku Kedokteran EGC:
2007.h.141.
11. Mehta AB, Hoffbrand AV. At a glance hematologi [terjemahan]. Edisi ke-2. Jakarta:
Erlangga; 2008. H. 26-7, 29, 40-1, 84-5

18

Anda mungkin juga menyukai