GANGGUAN SOMATISASI
Oleh
Pembimbing
UNIVERSITAS BENGKULU
2018
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan
pertolongan-Nya, referat yang berjudul “GangguanSomatisasi” ini dapat selesai disusun tepat
pada waktunya. Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan
untuk memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Andri Sudjatmoko, SpKJ
yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan referat ini.
Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih jauh dari sempurna, baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini
memberikan informasi bagi para dokter muda dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
Tim Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan somatisasi ditandai oleh banyaknya gejala somatik yang tidak dapat
dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan
somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan
yang melibatkan berbagai sistem organ sebagai contoh organ gastrointestinal, sistem
organ kardiovaskular dan neurologis. Gangguan ini bersifat kronis (dengan gejala
ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai
dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan,
dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan (Fausiah Widury, 2005).
3
disebabkan atau secara signifikan diperberat oleh faktor psikologis. DSM-IV-TR juga
memiliki dua kategori diagnostik sisa untuk gangguan somatoform yaitu gangguan
somatoform yang tidak terinci dan gangguan somatoform yang tidak tergolongkan
(Kaplan dan Sadock, 2004).
Gambaran somatisasi telah dikenal sejak zaman mesir kuno. Nama awal untuk
gangguan somatisasi adalah histeria, suatu kedaan yang secara tidak tepat diperkirakan
hanya mengenai wanita. Kata “histeria” didapatkan dari bahasa yunani untuk rahim,
hystera. Gangguan somatisasi lebih sering terjadi atau ditemukan di budaya non-Barat,
terutama sering terjadi pada orang-orang Asia dan Afrika (Gaw, 1993). Prevalensi
gangguan somatisasi pada populasi umumnya diperkirakan 0,1–0,7% (Weissman, Myers,
& Harding, 1978; McLeod, Budd, & McClelland, 1997; Barsky, & Borus, 1995).
Prevalensi gangguan somatisasi terjadi pada wanita di populasikan sebanyak 1– 5%.
Perbandingan rasio penderita pada wanita dan laki-laki adalah 5 berbanding 1, biasanya
gangguan dimulai pada usia dewasa muda sebelum usia 30 tahun (Davidson, Neale, &
Kring, 2006; Kallivayalli & Punnoose, 2010; Eisendrath, 1998; Khouzam & Field, 1999;
Redekop, Stuart, Mertens, 1999). Di Mesir Kuno juga menyebutkan bahwa gangguan
somatisasi lebih sering terjadi pada perempuan (McCarron, 2006). Survey pada
komunitas penderita gangguan somatisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang
dengan gangguan somatisasi telah mengunjungi dokter dan hampir setengahnya (45%)
masuk perawatan inap di rumah sakit (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
4
1.2. Tujuan Referat
somatisasi yang sering terlewati oleh pemeriksa, untuk mengetahui cara penegakkan
diagnosis, diagnosis banding serta tatalaksana yang tepat bagi pasien dengan gangguan
somatisasi. Gangguan somatisasi adalah salah satu penyakit dengan berbagai keluhan
medis yang sering membawa pasien untuk berobat berulang-ulang kali ke dokter padahal
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
2.2. EPIDEMIOLOGI
Wanita dengan gangguan somatisasi melebihi jumlah laki-laki sebesar 5-20 kali,
walaupun perkiraan tertinggi mungkin karena kecendrungan awal yang tidak
mendiagnosis gangguan somatisasi pada laki-laki. Prevalensi gangguan somatisasi terjadi
pada wanita di populasikan sebanyak 1– 5%. Perbandingan rasio penderita pada wanita
dan laki-laki adalah 5 berbanding 1, biasanya gangguan dimulai pada usia dewasa muda
sebelum usia 30 tahun (Davidson, Neale, & Kring, 2006; Kallivayalli & Punnoose, 2010;
Eisendrath, 1998; Khouzam & Field, 1999; McCarron, 2006; Redekop, Stuart, Mertens,
6
1999). Di Mesir Kuno juga menyebutkan bahwa gangguan somatisasi lebih sering terjadi
pada perempuan (McCarron, 2006). Survey pada komunitas penderita gangguan
somatisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang dengan gangguan somatisasi telah
mengunjungi dokter dan hampir setengahnya (45%) masuk perawatan inap di rumah
sakit (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
2.3. ETIOLOGI
Penyebab gangguan somatisasi belum diketahui dengan pasti tetapi diduga
terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni
sebagai berikut:
1. Faktor Genetika
Data genetik menunjukkan bahwa dalam beberapa keluarga, transmisi gangguan
somatisasi memiliki komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung berjalan
dalam keluarga dan terjadi pada 10% sampai 20% dari tingkat pertama keluarga
perempuan dari pasien dengan gangguan somatisasi. Di dalam keluarga, tingkat
pertama kerabat keluarga laki-laki rentan terhadap penyalahgunaan zat dan
gangguan kepribadian antisosial. Satu studi juga melaporkan tingkat terjadinya
somatisasi yang terjadi pada kembar monozigot sebesar 29% dan pada anak kembar
dizigot sebesar 10% (Kaplan dan Sadock, 2010).
2. Faktor Biologis
Pada pasien dengan gangguan somatisasi ditemukan adanya penurunan metabolisme
(hipometabolisme) suatu neurotransmitter di lobus frontalis dan hemisfer
nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi yang abnormal (disregulasi) sistem
sitokin yang menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan
somatisasi.
7
3. Faktor Psikososial
Pada gangguan somatisasi sering terdapat berbagai faktor psikososial berupa konflik
psikis dibawah kesadaran yang mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial
tentang penyebab gangguan yang melibatkan interpretasi gejala sebagai suatu tipe
komunikasi sosial yang hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh
mengerjakan pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai contoh
kemarahan pada pasangan), atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau
keyakinan. Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal dari kondisi rumah
yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan
juga etnik mungkin juga terlibat dalam perkembangan gangguan somatisasi.
Teori-teori ini satu sama lain tidak eksklusif, dan kemungkinan somatisasi
merupakan suatu fenomena kompleks dengan banyak faktor resiko yang memainkan
penyebabnya. Pada seorang pasien tertentu, tiga kesatuan atau kelompok faktor berikut
dapat ditemukan:
a. Faktor predisposisi
Termasuk karakteristik biologi, perkembangan, kepribadian, dan sosiokultural pasien.
Teori bahwa soamtisasi disebabkan oleh pengaturan sistem saraf pusat yang abnormal
untuk informasi sensorik yang masuk (inhibisi kortikufugal).
b. Faktor pencetus
Termasuk peristiwa-peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres (misal: penyakit)
dan konflik antar pribadi.
c. Faktor penunjang
Termasuk interaksi-interaksi antar pasien, keluarga dan dokter dan sistem sosial.
Keuntungan finansial dan bentuk-bentuk lain keuntungan sekunder memperkuat
somatisasi, demikian pula faktor-faktor iantrogenik seperti pengujian yang tidak
perlu, efek samping obat, dan komplikasi pemeriksaan pemeriksaan invasif (Mangel
dkk, 2001).
8
2.4. GAMBARAN KLINIS
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-
kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak
ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya. Pasien dengan gangguan somatisasi
memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medis yang rumit dan panjang, seperti
mual dan muntah (selain selama kehamilan), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan
tungkai, nafas sesak dan pendek yang tidak berkaitan dengan olahrga, amnesia, dada
berdebar-debar, sakit kepala dan keluhan gastrointestinal adalah gejala-gejala yang lazim
ditemui. Pasien sering meyakini bahwa mereka telah sakit selama sebagian besar hidup
mereka (Kaplan dan Sadock, 2010).
2.5. DIAGNOSIS
9
memenuhi 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tak satu pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
1) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan
atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
2) Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan
pun selama perjalanan dari gangguan:
Empat gejala nyeri : riwayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau
fungsi yang berbeda (mis: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air
kecil)
Dua gejala gastrointestinal : sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain
nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau
intoleransi beberapa makanan berbeda)
Satu gejala seksual : sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain
nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tak teratur,
perdarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
Satu gejala pseudoneurologik : sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit
pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas
pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan,
paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan
tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, kehilangan sensasi rasa sakit dan
raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia,
hilang kesadaran bukan karena pingsan)
10
Kriteria Diagnosis Menurut DSM-V (300.82)
1) Satu atau lebih gejala somatik dengan gangguan signifikan dalam kehidupan sehari-
hari.
2) Pikiran, perasaan, perilaku atau kebiasaan yang berlebihan atau terlalu banyak terkait
dengan gejala somatic atau terkait masalah kesehatan seperti yang diwujudkan paling
tidak satu dari dibawah ini :
Pikiran yang tidak seimbang dan terus-menerus tentang keseriusan dari suatu
gejala.
Kecemasan yang menetap dalam level tinggi tentang kesehatan atau gejala-
gejala.
Waktu dan energi berlebihan yang dicurahkan untuk gejala-gejala tersebut
atau kekhawatiran tentang kesehatan.
3) Meskipun beberapa gejala somatik tidak muncul berkelanjutan, keadaan saat
mengalami gejala muncul menetap (biasanya lebih dari 6 bulan).
11
1. Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi
a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
b. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.
c. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
d. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau
sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
12
4. Kriteria diagnostik disfungsi otonomik somatoform.
a. Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor,
muka panas/ flushing, yang menetap atau menganggu.
b. Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala tidak
khas).
c. Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya
gangguan yang serius ( sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu,
yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan berulang, maupun penjelasan-
penjelasan dari para dokter.
d. Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem atau organ yang dimaksud.
13
2.7. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki
seorang dokter tunggal sebagai tenaga kesehatan umumnya. Klinisi primer harus
memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval
satu bulan.
Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus
mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan
medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik,
karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai
sejauh mana.
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan
kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala
penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan
psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi
yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan
perasaan mereka (Kaplan dan Sadock, 2010). Spesifik terapi dengan cognitive-behavior
approach adalah efektif dan sering digunakan dalam membantu pasien untuk melihat
gejala-gejala fisik yang dialaminya dan memahami keadaan gangguan yang dihadapinya.
Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai
dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata,
gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya. Obat anti
depresi biasanya efektif untuk gejala-gejala somatik termasuk rasa sakit dan insomnia
(Spratt, 2014). Gejala-gejal spesifik yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala,
mialgia, dan bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat hilang dengan antidepresan
trisiklik. Demikian pula pasien-pasien cemas dengan terapi aprazolam, benzodiazepin,
atau beta-bloker. Walaupun pasien-pasien tersebut tidak memnuhi kriteria gangguan
panik atau kecemasan. Obat-obat simptomatik murni (misal: analgetik, antasida) kadang
juga diberikan dengan indikasi bila memang ada bukti klinis terdapat penyakit tersebut.
14
2.8. PROGNOSIS
1. Sebagian besar pasien dengan gejala-gejala somatik fungsional sembuh tanpa
intervensi khusus. Faktor-faktor yang lebih prognostik antara lain awitan yang akut
dan durasi gejala yang singkat, usia muda, kelas sosioekonomi tinggi, tidak ada
penyakit organik, dan tidak ada gangguan kepribadian.
2. Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi,
menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari
perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan.
3. Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru
dengan eksaserbasi gejala somatik. Prognosis gangguan somatisasi umumnya sedang
sampai buruk.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai
oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak
dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Prevalensi
gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 – 0,2 % dan biasanya gangguan
mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun).
Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat
faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni faktor
psikososial, faktor biologis dan faktor genetic. Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya
gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah,
yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Jika
gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan
keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis.
Diagnosis gangguan somatisasi ditegakkan berdasarkan pemenuhan kriteria yang
telah ditetapkan/disepakati dalam DSM-IV dan PPDGJ III. Untuk itu diperlukan kepekaan
dalam melakukan pemeriksaan. Gangguan somatisasi sering terlewati dan salah terdiagnosis
menjadi penyakit medis karena pemeriksa kurang memahami pasien secara keseluruhan dan
melihat keluhan pasien dari sudut pandang keilmuan pemeriksa saja.
Pengobatan gangguan psikosomatik dari sudut pandang psikiatrik adalah tugas yang
sulit. Tujuan terapi untuk memotivasi pasien dan memberi informasi mekanisme gangguan
fungsi dan sifat dari penyakitnya. Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang
berubah dan lebih sehat. Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan
somatisasi disertai dengan gangguan penyerta. Terapi kombinasi sangat bermanfaat untuk
mencapai resolusi gangguan struktural dan reorganisasi gangguan kepribadian.
16
DAFTAR PUSTAKA
Barsky, A. J., & Borus, J. F. (1995). Somatization and medicalization in the era of managed care.
Journal of The American Medical Association, 274, 1931–1934
Davidson, G., Neale, J., & Kring, A. (2006). Psikologi abnormal. (Edisi ke-9). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Departemen kesehatan, direktorat Jenderal pelayanan Medik. 1993. Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Eisendrath, S. J. (1998). In current medical diagnosis and treatment. American Journal of
Psychiatry, 24(7) 128-142.
Fausiah, Fitri, dan Widury, Julianti. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Gaw, A. (1993). Culture, ethnicity and mental illness. Washington, DC: American Psychiatric
Press.
Kallivayalil, R., & Punnoose, V. (2010). Understanding and managing somatoform disordes:
Making sense of non-sense. Indian Journal of Psychiatry, 52(7)
Khouzan, H. R., & Field, S. (1999). Somatization disorder: Clinical presentation and treatment in
primary care. Indian Journal of Psychiatry, 152, 897-991.
Mangel MB. Dkk, Referensi Manual Kedokteran Keluarga, Editor edisi bahasa Indonesia,
perpustakaan Nasional, jakarta:2001 hal 701-709
Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga University
Maslim R, Buku Saku Diagnosis Gangguan jiwa, Rujukan Ringkasan dari PPDGJ III,
jakarta: 2001, hal 84-86
Maulany RF. Setio M: Buku Saku Psikiatri, Edisi I, Jakarta; EGC, 1997, hal 224-226
McCarron, R. M. (2006). Somatization in the primary care setting. Indian Journal of psychiatry,
6(23), 32-40.
McLeod, C.C., Budd, M. A., & McClelland, D. C. (1997). Treatment of somatization in primary
care. Journal of Clinical Psychiatry, 19, 251–258
Nevid, S., Rathus, S., & Greene B. (2005). Psikologi abnormal. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
17
North, C., Kawasaki, A., Spritznagel, E., & Hong, B. (2004). The course of PTSD, major
depression, substance abuse, and somatization after a natural disaster. Journal Nervuoes
Mental Disorder, 192, 823-829.
Redekop, F., Stuart , S., Mertens, C. (1999). Physical "phantasies" and family functions:
Overcoming the mind/body dualism in somatization. Family Process, 38(3), 371.
Samuels SC, Neugroschl JA. Dementia. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry, Sadock BJ, Sadock VA, edit, seventh ed. Lippincott Williams & Wilkins, A
Weissman, M., Myers, J.K., & Harding,P. S. (1978). Psychiatric disorders in a U.S. urban
community. American Journal of Psychiatry, 135, 459-462.
18