Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Energi merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan, oleh
karena itu energi tidak dapat dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan, yang
salah satunya adalah perekonomian suatu negara. Keterkaitan antara energi
dengan perekonomian suatu negara secara umum dapat dilihat dalam
beberapa komponen makro seperti penerimaan pemerintah, penerimaan
ekspor dan neraca pembayaran.
Jika kita membicarakan mengenai ekonomi energi maka tidak akan
terlepas dari masalah harga. Harga pada kondisi ideal adalah titik temu
antara jumlah yang diminta konsumen dengan jumlah yang ditawarkan
oleh produsen. Dalam keadaan yang sebenarnya sangat sulit menentukan
besarnya permintaan dan penawaran akan energi disuatu negara. Untuk itu
diperlukan beberapa pendekatan tertentu, seperti analisa penetapan harga.
Analisa penetapan harga sektor energi sangat penting dalam
kaitannya dengan kebijakan. Secara bersamaan struktur harga dapat
mengontrol permintaan maupun penawaran energi dan, dalam
hubungannya dengan kebijakan energi, penetapan harga berdampak
langsung terhadap konsumsi energi untuk keperluan industri, transportasi,
rumah tangga dan komersial serta pembangkit listrik.
Dari sudut ilmu ekonomi murni, penetapan harga sebagai
perangkat dalam kebijakan energi dapat menjadi sangat kompleks,
terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Berbagai
kepentingan sosial, ekonomi, dan politik di negara ini saling terkait dalam
kebijaksanaan penetapan harga. Harga harus dapat berperan sebagai
perangkat kebijaksanaan pemerintah saat digunakan mengatur
keseimbangan permintaan dan penawaran. Untuk itu konsumen,
pemerintah dan produsen perlu memahami dengan benar konsep
penetapan harga energi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana konsep penetapan harga energi?
2. Bagaimana
3. Bagaimana
4. Apasaja masalah dalam penetapan harga energi di Indonesia dan
bagaimana solusinya?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memahami konsep penetapan harga energi.
2. Mengetahui implementasi konsep penetapan harga energi di
Indonesia.
3. Mengetahui masalah dalam penetapan harga energi di Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai konsep penetapan harga
energi yang dilakukan negara berkembang seperti Indonesia
2. Dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penetapan
harga energi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penetapan Harga Energi
Tingkat harga energi secara ekonomi pada intinya harus memenuhi
dua kriteria utama dari sisi produsen dan konsumen. Harga bagi produseen
harus memenuhi total biaya produksi sumber daya energi. Kriteria
produsen secara sederhana diwakili oleh kurva penawaran sumber energi
yang terdiri dari komponen long run marginal cost (LRMC), premi
pengurasan dan biaya eksternalitas. Jumlah ketiga komponen tersebut
merupakan harga minimal yang harus dipenuhi produsen. Komponen
paling penting adalah LRMC, karena kurva penawaran idealnya hanya
mencerminkan biaya untuk memproduksi suatu barang. Karena berkait
dengan barang energi, terutama energi primer yang tidak dapat
diperbaharui, harga minimal perlu menambahkan premi pengurasan.
Sementara biaya eksternalitas merupakan komponen yang muncul
belakangan karena berkaitan dengan semakin maraknya isu lingkungan
tentang energi.
Harga yang terbentuk harus dapat diterima konsumen. Harga ini
dapat memberikan alternatif bagi penggunaan energi yang paling baik
diantara berbagai jenis energi yang ada. Artinya, konsumen suatu jenis
energi bersedia membayar harga minimal paling tinggi sampai dengan
harga energi alternatif terbaik berikutnya. Kriteria itu diterjemahkan dalam
bentuk kurva permintaan dan menunjukkan harga maksimal yang dapat
diterima konsumen yang biasa disebut nilai netback. Dan interaksi antara
produsen dan konsumen dengan asumsi pasar persaingan sempurna
dinyatakan dalam penggabungan kurva penawaran dan permintaan seperti
tampak dalam grafik 2.1 dibawah ini.

Grafik 1 Permintaan dan Penawaran


Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa :

1. terdapat suatu titik dimana menunjukkan posisi keseimbangan antara


produsen dan konsumen, titik Pe.
2. Bagaimanapun bentuk pergerakan harga energi, pergerakan ini akan
berhenti pada posisi harga yang sama dengan Pe.
3. Jika pergerakan sampai pada kurva penawaran yang lebih besar
daripada kurva permintaan, atau biaya penawaran yang lebih besar
daripada kurva permintaan, atau biaya penawaran lebih besar daripada
nilai netback, konsumen akan beralih pada sumber energi alternatif
lain yang biaya produksinya lebih rendah.

Dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit mencapai harga pada kondisi


keseimbangan. Selain data statistik yang menggambarkan perubahan
permintaan maupun penawaran tidak memadai, berbagai distorsi seperti
pajak, subsidi, monopolli, dan politik menyulitkan penentuan kondisi
keseimbangan sebenarnya.

2.2 Metodologi Penetapan Harga Energi


2.2.1 Biaya Dasar atau Harga Minimum
Biaya dasar atau harga minimum, merupakan kriteria yang berasal
dari sisi penawaran. Biaya ini dapat pula dikatakan sebagai biaya
minimum yang diperlukan produsen untuk memproduksi satu jenis
sumber energi. Biaya ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu biaya
penawaran (cost of supply), premi pengurasan (depelation allowance),
biaya eksternal (external cost) dan biaya transpor (transport cost).

A. Biaya Penawaran
Dalam menentukan biaya penawaran dilakukan pendekatan
dengan menggunakan metode AIC (Average Incremental Cost).
Perhitungan AIC hanya memperhitungkan tambahan biaya yang
diperlukan untuk mempertahankan kemantapan produksi dalam
kurun waktu tertentu. Pada kasus Indonesia BUMN berperan
sebagai pemasok tunggal sumber energi tertentu. Untuk itu Bank
Dunia memberi saran agar digunakan konsep perhitungan biaya
rata-rata penuh (Average Full Cost). AFC adalah Aic dengan
penambahan kompensasi untuk produsen.

B. Premi Pengurasan
Premi pengurasan adalah komponen biaya untuk mengukur
pertambahan biaya produksi sumber daya energiyang tidak
terbarukan. Selain itu juga menggambarkan satu unit sumber
energi yang digunakan saat ini tidak akan tersedis lagi dimasa akan
datang.
Untuk kasus Indonesia diperlukan kebijakan khusus untuk
mengatur premi pengurasan karena pemilik energi bukan produsen
energi.

C. Biaya Eksternal
Pada dasarnya, biaya eksternal adalah besarnya biaya sosial
yang dibebankan kepada masyarakat sebagai akibat tidak langsung
kegiatan produksi dan konsumsi sumber energi. Seberapa besar
biaya sosial yang dibebankan tergantung batasan ambang batas
yang tertuang dalam kebijakan masing-masing negara. Indonesia
mamberikan ambang batas pencemaran yang ketat jika
dibandingkan dengan negara-negara lain.
Usaha mencari formulasi penentuan ambang batas yang
lebih pasti memang terus dilakukan. Di sisi lain tampak proses
yang secara bertahap berusaha memasukkan komponen biaya
eksternal sebagai biaya internal. Usaha tersebut dilakukan lewat
perencanaan yang lebih baik, penambahan peralatan atau iuran
yang ditarik pemerintah sebagai kompensasi atas kerusakan
lingkungan yang terjadi. Untuk hal terakhir tercermin lewat biaya
restribusi, pajak atau biaya izin pembuangan limbah.

D. Biaya Transportasi
Biaya transportasi atau sering disebut biaya distribusi
terjadi karena terdapat masalah jarak antara sumber dan pemakai
energi. Energi harus diangkut dari sumbernya supaya dapat
dikonsumsi. Biaya transportasi harus dihitung dan dibebankan
dalam harga pada titik konsumen.
Biaya transportasi dapat mempengaruhi skala ekonomi
produksi suatu sumber energi. Biaya transportasi dapat dipengarui
oleh beberapa faktor berikut:

1. Biaya transportasi oleh jarak/keadaan geografi titik permintaan.


Jarak semakin jauh akan meningkatkan biaya transportasi pada
volume penjualan tertentu.
2. Biaya transportasi akan sensitif terhadap banyaknya konsumen.
Semakin banyak konsumen, semakin besar pula volume yang
harus disediakan.
3. Biaya transportasi dipengaruhi oleh proporsi cadangan yang
diolah pada titik permintaan tertentu. Apabila pangsa pasar yang
terpenuhi pada titik permintaan relatif kecil dibandingkan
dengan besarnya potensi cadangan, sementara potensi
permintaan sangat besar, produksi energi dapat ditingkatkan
tanpa perlu mengandalkan pasar yang lebih jauh dengan biaya
transportasi lebih besar.
4. Biaya transportasi dipengaruhi oleh cara penentuan harga. Jika
harga pada titik permintaan yang saling berbeda tempat, maka
semakin jauh jarak titik tersebut semakin besar pula beban biaya
yang harus ditanggung produsen
5. Biaya transportasi sangat dipengaruhi oleh modus transportasi
yang digunakan.

2.2.2 Nilai Netback


Nilai netback pada dasarnya membahas kemungkinan harga
tertinggi yang bersedia dibayar konsumen untuk mendapatkan energi
tertentu. Penghitungan mengansumsikan seorang konsumen akan
memilih alternatif harga paling murah dan membandingkan secara
relatif nilai suatu jenis energi terhadap jenis energi alternatif lainnya.
Dengan asumsi pasar persaingan sempurna, seorang konsumen
bersedia membeli energi jika harganya lebih kecil atau setidaknya sama
dengan biaya produksi. Dalam hal ini Netback harus lebih besar atau
sama dengan biaya dasar atau harga minimum. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa nilai netback adalah nilai maksimum yang sedia
dibayar konsumen dihadapkan dengan harga barang produksi atau biaya
dari alternatif terbaik penggunaan energi lainnya.

2.2.3 Harga Efisien


Harga efisien sebenarnya merupakan tingkat harga yang terbentuk
saat permintaan sama dengan penawaran, atau saat keseimbangan.
Dalam kenyataannya harga efisien sangat sulit ditemui. Meskipun
begitu, tingkat harga efisien penting untuk diketahui terutama oleh para
pembuat kebijakan. Dengan mengetahui secara pasti harga efisien,
pemerintah dapat menetapkan sekaligus menentukan lebih jauh besar
surplus ekonomi yang dapat diterima lewat keijakan fiskal tanpa harus
merugikan produsen energi.
Dalam praktiknya harga efisien dihitung dengan menggunakan
metode optimalisasi, yaitu mendefinisikan tujuan dan kendala yang
timbul dari usaha menuju optimalisasi. Contohnya adalah sebagai
berikut :
 Meminimalkan biaya, atau
 Memaksimalkan keuntungan

2.2.4 Harga Finansial


Harga finansial adalah harga patokan atau harga minimal yang
muncul di sisi produsen. Mekanismenya adalah proses negosiasi dengan
pihak konsumen. Harga maksimum yang dapat diperoleh konsumen
merupakan harga finansial tadi. Jika konsumen bersedia membayar
pada tingkat harga tersebut berarti konsumen akan membeli. Jika tidak
bersedia, maka konsumen akan mencari energi alternatif lain yang dapat
mensubstitusi energi tersebut.
Harga finansial berhubungan erat dengan sistem perjanjian kerja
yang berlaku antara produsen dan pemerintah. Sebagai contoh harga
finansial minyak, gas bumi, batubara dan panas bumi di Indonesia.
Pengembangan energi primer tersebut dapat diusahakan sendiri oleh
BUMN yang bersangkutan atau berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak
operasi bersama dan kontrak kerja sama. Perhitungan harga finansial
akan berbeda bila semua diusahakan sendiri oleh BUMN yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan perbedaan formula yang diterapkan
pemerintah untuk menghitung bagian BUMN dan pihak investor.

2.3 Beberapa Masalah dalam Penetapan Harga Energi di Indonesia


2.3.1 Alokasi Sumber Energi
Seperti telah di jelaskan sebelumnya, penetapan harga harus dapat
memenuhi kriteria produsen dan konsumen yaitu long run marginal
cost (LRMC) dan nilai netback. Penetapan harga di bawah nilai LRMC
mengakibatkan kerugian di pihak produsen dalam jangka panjang.
Sementara penetapan harga yang melebihi nilai netback akan
merugikan konsumen.
Pada kenyataannya penetapan harga di indonesia sangat di
pengaruhi berberapa hal yaitu :
1. variabel ekonomi (efisiensi),
2. distribusi energi
3. finansial (inefisiensi)

Harga yang di tetapkan sampai saat ini tidak berada pada tingkat
efisien maupun inefesiensi. Subsidipun masih tetap diberlakukan.
Dengan kata lain penetapan harga energi di indonesia belum mengarah
pada penetapan harga yang efisien. Penetapan harga masih
dihubungkan dengan distribusi pendapatan melalui struktur harga
energi.
Seperti dalam penjelasan harga finansial, inefesiensi alokasi
sumber energi terjadi karena distorsi pasar. Kasus distorsi pada
umumnya bersumber dari intervensi pemerintah melalui pajak dan
subsidi. Namun di sini perlu ditekankan bahwa intervensi tersebut di
selenggarakan berkaitan dengan obyektif sosial. Terlepas dari maksud
dan tujuan pemerintah, penetapan pajak dan subsidi yang tidak tepat
akan menimbulkan inefesiensi bagi perekonomian.
Dari kerangka ekonomi mikro, dengan menganggap elastisitas
permintaan dan penawaran sama dan moderat, penetapan pajak
membuat harga menjadi lebih tinggi dari pada harga keseimbangan.
Dampak selanjutnya penetapan pajak tersebut adalah penurunan surplus
produsen dan surplus konsumen.
Pembahasan subsidi sebenarnya identik dengan pajak. Namun
subsidi di sini dianggap negative tax. Output yang dihasilkan saat ini
lebih banyak dari pada yang seharusnya terjadi pada posisi
keseimbangan. Dalam sejarah penetapan harga di Indonesia, subsidi
selalu mendapat perhatian khususnya dalam distribusi kesejahteraan
bagi masyarakat yang kurang mampu dan untuk mendorong
industrialisasi.

2.3.2 Obyektif Sosial


Obyektif sosial merupakan kaidah keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat. Fungsi atau obyektif sosial terutama masalah
subsidi seperti telah di jelaskan sebelumnya, subsidi memang tidak
akan mencerminkan tingkat harga energi yang sebenarnya. Namun
dalam kebijakan harga, subsidi merupakan salah satu instrumen untuk
meratakan penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat
berpenghasilan rendah. Selain itu subsidi juga dapat dijadikan alat
untuk mendukung sektor industri.
Kebijakan subsidi diberlakukan ketika harga suatu produk energi
dinilai tidak sebanding dengan daya beli masyarakat berpenghasilan
rendah. Pemerintah indonesia sendiri menerapkan dengan subsidi
silang. Suatu produk energi dijual dengan harga tinggi, diatas tingkat
harga sebenarnya dan selisih harga digunakan untuk menutup kerugian
produk energi yang lain. Contoh klasik di indonesia adalah subsidi
produk energi minyak tanah.
Minyak tanah merupakan jenis energi yang paling banyak di
gunakan, terutama untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
Subsidi silang terhadap minyak tanah diberikan premium, bahan bakar
yang sering digunakan masyarakat untuk kendaraan bermotor. Subsidi
untuk sektor industri diberikan pada bahan bakar solar, jenis energi
yang sering di gunakan sektor industri.
Namun tampaknya perlu di cermati apakah subsidi solar dan
minyak tanah sudah tepat diterima oleh pengguna akhir yang memang
betul-betul memerlukan. Data terbaru biro pusat statistik menunjukan
bahwa masyarakat berpendapatan menengahpun masih banyak yang
mengkonsumsi minyak tanah. Di samping itu, menurut hasil studi yang
di lakukan Mark Pitt. Tidak terdapat hubungan yang segnifikan antara
harga dengan konsumsi kayu bakar masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Penggunaan kayu bakar oleh masyarakat berpenghasilan rendah
l;ebih disebabkan tingkat pendapatan mereka yang rendah. Bila
konsumsi masyarakat lapisan tersebut ingin di ubah ke BBM, maka
pendapatan mereka harus ditingkatkan terlebih dahulu.
Contoh lain adalah penerapan subsidi tarif listrik. Penerapan tarif
listrik di indonesia di bedakan menurut pengguna akhir. Tarif untuk
kalangan industri berbeda dengan tarif untuk perkantoran dan rumah
tangga. Salah satu fungsi pembedaan tarif ini adalah untuk memberikan
subsidi silang di antara berbagai pengguna tersebut. Penetapan tarif
untuk golongan industri dan perkantoran tertentu umumnya lebih besar
dari pada penetapan tarif untuk golongan rumah tangga tertentu. Tarif
untuk berbagi golongan masih di pilah lagi berdasarkan batas daya.
Dalam praktik, subsidi dapat dibedakan antara subsidi secara
finansial atau secara ekonomi.
 Secara finansial subsidi hanya merupakan selisih antara
biaya produksi dan biaya distribusi dengan harga produk
energi tersebut yang sebenarnya terjadi di pasar.
 Sedangkan subsidi secara ekonomi merupakan perbedaan
antara harga yang sebenarnya terjadi dari proses produksi
dengan harga efisien. Jika selisihnya tidak dijadikan
subsidi, dalam subsidi secara ekonomi ini. Seluruh selisih
tersebut akan di tanggung oleh masyarakat dan
perekonomian sebagai beban inefisiensi.

2.3.3 Masalah Lingkungan


Indonesia memasukkan isu lingkungan dalam penetapan harga
lewat biaya eksternal dalam struktur biaya produksi. Konsep ini
dijalankan untuk mendukung terlaksananya pembangunan yang
berkelanjutan. Berbagai komponen biaya yang berhubungan dengan isu
lingkungan dalam praktik digunakan untuk kegiatan penanggulangan
dampak negatif terhadap lingkungan. Di samping itu juga untuk tujuan
konservasi sumber daya energi, sehingga keberadaanya dapat terus
terjamin untuk masa akan datang. Biaya ekstenal yang dikeluarkan
produsen energi terkait erat dengan ambang batas pencemaran yang
ditentukan oleh otoritas lingkungan. Di indonesia, pelaksanaanya harus
memenuhi persyaratan analisa mengenai dampak lingkungan dan
pencegahannya memerlukan biaya yang sudah termasuk dalam struktur
biaya energi.

2.3.4 Harga Energi Diindonesia


2.3.4.1 Tujuan Penentuan Harga
Tujuan penentuan harga adalah sebagai berikut :
1. untuk memperoleh keuntungan setelah dihitung biaya
produksinya,
2. untuk memperoleh kembali nilai investasi pada peralatan yang
telah dibeli, atau peralatan yang telah ditetapkan cukup rendah di
bawah biaya produksi hingga diderita kerugian.
3. untuk mencapai tujuan pemerataan agar mereka yang
berpendapatan rendah dapat membelinya.
Namun penetapan harga terialu rendah akan menyebabkan
banyaknya permintaan hingga melebihi biaya produksinya. Sebagai
contoh adalah penetapan harga minyak tanah (kerosin) yang terialu
rendah. Di zaman Orde Lama, BBM yang dianggap sebagai
komoditi yang strategis dan vital merupakan bahan kebutuhan pokok
dan harganya ditetapkan sangat rendah, hingga permintaan jauh
melebihi penawarannya. Antrian dan penjatahan harus dilakukan,
hingga muncul pasar gelap dengan harga transaksi yang sangat tinggi
dibandingkan dengan harga resminya yang ditetapkan terialu rendah.
Kebijakan ini akan memacu pengurasan sumber alam energi terialu
cepat. Hal inipun seharusnya tidak terjadi pada sumber energi utama
lainnya, misalnya batu bara.
Perlu dipertimbangkan bahwa, manakah yang lebih tinggi
antara manfaat yang diperoleh dari konsumsi di dalam negeri dengan
manfaat atau hasil yang bisa diperoleh dengan meng-ekspornya.
Atau secara ekonomika populer dikatakan bahwa biaya oportunitas
konsumsi dalam negeri adalah penggunaannya untuk ekspor. Harga
suatu komoditi ditentukan bersama oleh unsur kekuatan pasar yaitu
permintaan dan penawaran, serta oleh intervensi atau penentuan
harga oleh pemerintah.
2.3.4.2 Penetapan Harga Energi Primer
1. Minyak Bumi
Sejak tahun1970-an hingga saat ini Indonesia
mengenal dan menerapkan dua model penetapan harga
minyak mentah di pasar internasional. Kedua model
penetapan harga tersebut adalah :
 GSP (Government Sale Price)
Harga GSP diterapkan sejak tahun 1968 – 1986 saat harga
minyak mentah di pasar dunia menunjukkan perkembangan
menggembirakan. Harga GSP berpedoman pada harga yang
telah ditetapkan OPEC.

 ICP (Indonesia Crude Price)


Karena harga minyak dunia terus berfluktuasi maka
Indonesia menetapkan patokan harga baru, yaitu Indonesia
Crude Price. Perhitungan ICP dibuat berdasarkan harga
basket minyak mentah dunia yang dikeluarkan oleh Asian
Petroleum Price Index (APPI).
2. Gas Bumi
Harga gas bumi diusahakan memenuhi kriteria
produsen dan konsumen. Namun dalam penetapan harga
gas bumi terdapat beberapa kendala, diantaranya adalah
teknis pemurnian gas bumi dan pencairan dalam bentuk
LNG ekspor sehingga membuat biaya teknologi gas bumi
masih sangat mahal.
Pada prinsipnnya harga gas bumi Indonesia
ditentukan berdasarkan hasil negosiasi antara produsen dan
konsumen. Namun harga pemakaian gas bumi untuk
konsumen tertentu, seperti rumah tangga yang disalurkan
oleh Perusahaan Gas Negara (PGN), ditetapkan oleh
pemerintah setelah dibandingkan dengan harga BBM
tertentu yang menjadi saingan gas bumi. Langkah ini untuk
mendorong pemakaian gas bumi lebih banyak di tingkat
konsumen.
3. Batubara
Harga yang berlaku untuk batubara sesuai dengan
harga yang terjadi di pasar internasional. Pemerintah sendiri
pernah menetapkan harga energi batubara konsumsi
domestik tidak melebihi harga CIF batubara impor Asia
Pasifik dan 65 persen harga minyak bakar domestik. Untuk
ekspor, batubara Indonesia tetap mengacu pada harga pasar
dengan memperhatikan pesaing yang ada terutama
Australia dan Kanada. Harga untuk dalam negeri terutama
ditetapkan melalui negosiasi antara produsen dan konsumen
dengan memperhatikan ROR yang wajar untuk produsen
batubara.
4. Panas Bumi
Harga jual panas bumi sebagai energi primer di
Indonesia terbagi menjadi dua sistem, yakni berdasarkan
pola pengusahaan industri panas bumi nasional lewat harga
jual uap hasil produksi Pertamina dan harga jual uap hasil
produksi Kontrak Operasi Bersama pengembangan swasta
dengan Pertamina. Pada saat ini keekonomian panas bumi
memang hanya untuk pembangkit listrik. Harga jual uap
Pertamina ditetapkan sebesar 80 persen dari harga eceran
minyak bakar dalam negeri (Rp/liter) dan dengan faktor
konversi 0,28 untuk mengubah menjadi Rp/kWh.
Sedangkan besarnya harga jual dari Kontrak Operasi
Bersama (KOB) ditetapkan dan dieskalasi dalam suatu
indeks. Penetapan harga dibuat dalam serangkaian formula
yang diatur dalam kontrak berdasarkan hasil negosiasi
antara konsumen PLN dan KOB. Penetapan harga seperti
itu dilakukan untuk panas bumi dari Salak dan Darajat.
5. Air
Energi air adalah bentuk energi primer yang dapat
diperbarui. Peranannya sangat besar terutama dalam
pengadaan listrik untuk masyarakat. Penggunaannya
sebagai sumber pembangkit listrik merupakan usaha untuk
mendukung diversifikasi energi. Diharapkan penggunaan
energi air dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM.

2.3.4.3 Penetapan Harga Energi Sekunder


1. Bahan Bakar Minyak
Konsep penetapan harga BBM di Indonesia secara
umum terdiri dari tiga metode, yaitu border price, Harga
Pokok Penjualan (HPP) BBM, dan harga pemerintah.
Hal lain yang berkaitan erat dengan penetapan harga BBM
adalah masalah subsidi.
Penetapan harga metode border pricemengacu
padapenetapan harga eks kilang Singapura. Penetapan
harga ini diasumsikan berlaku pada harga yang kompetitif.
Dengan asumsi tersebut harga BBM dari kilang singapura
menggunakan posted price yang dipublikasikan secara
rutin. Harga ini kemudian ditambah komponen biaya
seperti transportasi, pajak, subsidi dan sebagainya. Semua
itu menjadi harga jual di Indonesia (landed price). Tabel 1
merupakan contoh Posted Price Singapura pada awal 1998.

Tabel 1. Harga BBM impor (singapore posting) Januari 1998


Produk Harga (Ekivalen RP/Liter)
Avgas 1.152.20
Avtur 1.004.25
Premium 1.124.09
minyak tanah 1.004.25
minyak solar 1.102.95
minyak diesel 931.10
minyak bakar 750.15
Sumber: Laporan Rutin Pasar Minyak Singapura. PLATTS, 1998

Tabel 2. Harga Jual Eceran Dalam Negeri Bahan Bakar Minyak Bumi dan
Perhitungan Besarnya Subsidi Ekonomi
Produk Harga Besarnya Subsidi
Ekonomi
Avgas 420 420-1.152.20=(732.2)
Avtur 420 420-1.004.25=(584.25)
Premium 700 700-1.124.09=(424.09)
minyak tanah 280 280-1.004.25=(724.25)
minyak solar 380 380-1.102.95=(722.95)
minyak diesel 360 360-931.10=(571.1)
minyak bakar 240 240-750.15=(510)
Sumber: Departemen Pertambangan dan Energi. Keppres No. 1/1993

Sistematika perhitungan harga BBM di Indonesia


pertama kali dimulai dengan mencari harga pokok
penjualan produksi BBM dalam satuan rupiah per liter.
Dalam konsep ekonmi mikro perhitungan itu merupakan
nilai biaya rata-rata (average cost) produksi BBM. HPP
dihitung dengan mengurangi pendapatan penjualanb BBM
dalam negeri setelah itu dikurangi biaya-biaya kemudian
dibagi dengan besarnya volume BBM.

Sisi biaya dikelompokan dalam biaya pengadaan


minyak mentah dan produk serta biaya operasi. Biaya
pengadaan minyak mentah dan produk merupakan biaya
yang dominan dalam struktur biaya bbm yang terdiri atas
pembelian minyak mentah, impor BBM, perubahan
persediaan, dan nilai non-BBM. Sedangkan biaya operasi
terdiri dari atas biaya pengolahyan, biaya distribusi, biaya
angkutan laut, biaya umum dan aministrasi, biaya bunga
dan biaya penyusun.
Harga BBM berdasarkan ketetapan pemerintah
adalah harga yang ditetapkan dan diberlakukan untuk
konsumsi nasional. Tabel 2 merupakan contoh harga yang
ditetapkan pemerintah, dan tetap dipakai sampai dengan
februari 1998, seperti tertera dalam Keppres No. 1/1993
tentang Harga jual eceran dalam negeri Bahan bakar
minyak bumi.

Nilai HPP yang diperoleh setelah dikurangi harga


rata-rata Pertamina disebut laba bersih minyak (LBM).
Nilai LBM negatif mencermikan besarnya subsidi yang
harus dikeluarkan. Bila positifberrarti mencerminkan laba
bersih. Terlihat diatas untuk mempertaankan supaya
hargadengan seperti tertera dalam Keppres no.1/1993, LBM
merupakan besarnya subsidi yang harus dikeluarkan agar
harga tidak berubah. Total subsidi yang harus
dikeluarkan pemerintah agar harga tidak berubah. Total
subsidi yang harus dikeluarkan kemudian dibagi menurut
proporsi dalam struktur BBM.

Tabel 3 merupakan contoh penetapan HPP BBM


yang kemudian mnenghasilkan besarnya subsidi yang harus
dikeluarkan pemerintah. Prinsip subsidi yang seharusnyya
dilakukan sekarang untuk avtur, avgas, dan minyak bakar
mengacu pada harga pasar, sementara premium diatas harga
pasar karena jenis BBM ini dipakai oleh masyarakat
berpenghasilan menengah keatas. Subsidi ekonomi adalah
perbedaan antara harga efisien BBM yang dicerminkan oleh
border price eks kilang singapurayang dianggap efisien
dikurangi harga BBM yang ditetapkan pemerintah.

Harga BBM dilihat dari alur produksi –konsumsi


terbentuk setelah melalui tiga proses. Pertama, kegiatan
eksplorasi dan produksi. Kedua, kegiatan operasi kilang.
Ketiga, kegiatan operasi distribusi.

Kegiatan pertama masuk dalam kegiatan industri


hulu, sedangka kegiatan kedua da ketiga masuk dalam
kegiatanindustri hilir. Harga yang dihadapi kegiatan
eksplorasi-produksi adalah harga pasar, walaupun sebagian
kecil terdiri atas DMO (Domestic Market Obligation) yang
merupakan bagian dari produksi minyak Indonesia yang
harus disetor untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan
harga tertentu. Sedangkan kegiatan operasi kilang dan
distribusi menghadapi harga yang telah disubsidi, bukan
harga pasar sebenarnya.
Tabel 3 memperlihatkan sekali lagi komponen biaya
terbesar dalam penetapan harga pokok ppenjualan BBM
adalah biaya pembelian minyak mentah dari pasar
internasional. Proporsinya sekitar 75% dari total biaya.
Untu menghindari gejolak harga minyak domestik, perlu
dipertimbangkan alternatif penetapan harga BBM dengan
menggunakan ceiling price dan floor price. Cara ini
dilakukan beberapa negara berkembang pada tahapan awal
atau masa transisimenuju harga pasar. Ceiling price adalah
batasan harga tertinggi dan floor price adalah batasan harga
terendah yang dapat ditetapkan pemerintah.

Tabel 3. Penetapan HPP BBMTahun Anggaran 1998/1999


Rupiah
Rupiah/Ekivalen Rupiah Dolar AS
/Liter

(juta) (juta) (ribu)

I Pendapatan

1. Penjualan BBM
19.066.913 19.066.913 366.561
Domestik

Jumlah Penapatan 19.066.913 19.066.913 366.561

A. Biaya Pengadaan Minyak Mentah dan Produk


1. Pembelian Minyak
19.946.336 57.908 3.975.651 383.901
Mentah

2. Impor Minyak
7.807.906 1.567.212 150.688
Mentah

3. Impor BBM 7.366.815 1.473.651 141.780

4. Pembelian BBM 3.590.253 751.051 69.456

5. Perubahan
-1.519.826 -1.565.769 -29.908
Persediaan

6. Nilai non BBM -8.672.429 -1.754.234 -165.890

Jumlah 28.519.056 1.454.713 5.994.781 548.764

B. Biaya Operasi
1. Biaya Pengolahan 2.350.749 901.245 289.632 45.193

2. Biaya Distribusi 1.460.748 1.020.760 88.908 28.904

3. Biaya Angkutan Laut 2.129.647 321.876 40.942

4. Biaya umum dan


90.312 90.780 1.738
Adm.

5. Biaya Bunga 195.642 59.242 27.212 3.751

6. Biaya Penyusutan 363.670 363.254 6.992

Jumlah 6.590.768 2.959.790 726.300 125.057

Jumlah Biaya 35.`09.524 1.507.812 6.720.890 647.908

-
(Subsidi)/LBM 17.587.568 6.720.347 -308.901
16.267.098

Sumber: Seminar Indonesian Institute For Energy Economics

2. Energi Listrik
Konsep perhitungan utama menggunakan metode
biaya pembangkitan terendah. Secara umum, harga energi
listrik yang sampai ke pemakai akhir terdiri atas komponen
biaya pembangkitan, biaya transmisi, dan biaya distribusi.
Variabel yang paling menentukan harga listrik dari ketiga
komponen tersebut adalah biaya pembangkitan listrik.
Selama ini dipakai metode biaya pembangkitan
terendah untuk menentukan besarnya harga listrik di lokasi
pembangkitan. Secara umum metode ini terdiri dari tiga
variabel utama, yaitu biaya modal, biaya operasi dan
perawatan, serta biaya bahan bakar. Berikut ini adalah tabel
yang menunjukkan basarnya komponen biaya dalam
penentuan biaya beberapa jenis pembangkit listrik.

Tabel 4 Biaya Pembangkitan Listrik Tahun 1989-1990


Buaya
Biaya Biaya
Bahan Total
Jenis Pembangkit Modal O&M
Bakar
Listrik
Mills/k
Mills/kWh Mills/kWh Mills/kWh
Wh
PLTD MFO 12,3 2,6 31,2 46,1
PLTU Batubara 12,8 2,8 19,8 35,3
PLTU MFO 10,0 2,1 29,9 42,0
PLTG Combined
7,8 1,7 23,9 33,4
Cycle
PLTU Gas Bumi 12,6 2,7 26,3 41,6
PLTG HSD 21,4 4,6 101,3 127,3
PLTG Gas Bumi 21,4 11,4 52,4 85,2
PLTP 8,0 1,7 33,4 43,1
Sumber : Energy Pricing Policy Study (EPPS),1990

Penentuan tarif dasar listrik (TDL) sebenarnya


merupakan upaya yang sangat penting dilakukan, bila
dikaitkan dengan struktur dan tingkat harga. Pada
prinsipnya penentuan TDL berdasarkan diskriminasi harga
dan harga mark-up dari biaya finansial. Kriteria penetapan
TDL bertujuan untuk :

1. Memenuhi sebagian kebutuhan pendanaan untuk investasi


yang menjamin tersedianya tenaga listrik secara efisien dan
berkelanjutan
2. Menjamin keadaan keuangan pemegang kuasa usaha
ketenagalistrikan agar sehat dan wajar
3. Menyempurnakan penggolongan dan struktur tarif listrik,
sehingga tenaga listrik untuk masing-masing golongan tarif
semakin mendekati nilai keekonomian
BAB III
PENUTUP

 Dalam penetapan harga energi secara ekonomi, pada intinya harus


memenuhi dua kriteria utama dari sisi produsen dan konsumen.
 Dalam metodologi penetapan harga energi ada empat hal yang harus
diketahui yaitu:
1. Biaya dasar atau harga minimum yang merupakan biaya minimum
yang diperlukan produsen untuk memproduksi satu jenis sumber
energi. Biaya dasar dapat dibagi menjadi tiga yaitu biaya
penawaran (cost of supply), premi pengurasan (depelation
allowance), biaya eksternal (external cost) dan biaya transpor
(transport cost).
2. Nilai netback yang merupakan nilai maksimum yang sedia dibayar
konsumen dihadapkan dengan harga barang produksi atau biaya
dari alternatif terbaik penggunaan energi lainnya.
3. Harga efisien yang merupakan tingkat harga yang terbentuk saat
permintaan sama dengan penawaran, atau saat keseimbangan.
4. Harga finansial yang merupakan harga patokan atau harga minimal
yang muncul di sisi produsen.
 Di Indonesia ada beberapa masalah yang dijumpai dalam hal penetapan
energi. Masalah tersebut ialah alokasi sumber energi, objektif sosial,
masalah lingkungan dan harga energi di Indonesia.
 Solusi dari permasalahan dalam penetapan harga energi adalah ketegasan
pemerintah dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan energi.
Ketegasan ini mencakup dalam pemberhentian pemberian subsidi BBM,
melakukan pengembangan terhadap energi alternatif yang bukan hanya
sekedar penelitian saja dan memperketat perjanjian dengan pihak asing.
DAFTAR PUSTAKA

Yusgiantoro, Purnomo. Ekonomi Energi. LP3ES. 2000. Jakarta


\http:// herrypradana.wordpress.com//, diakses 15-03-2014
http://jieb.feb.ugm.ac.id//, diakses 15-03-2014
http://koran.bisnis.com//, diakses 15-03-2014

Anda mungkin juga menyukai