NIM : H3511007
1. Pengertian fitofarmaka
Fitofarmaka berasal dari dua kata yaitu farmakon (obat) dan Phyto
(Tumbuhan). Fitofarmaka dapat diterjemahkan sebagai obat yang dibuat
menggunakan bahan baku tumbuhan. Fitofarmaka yang berasal dari tanaman
segar berupa juice dan ekstrak, yang berasal dari simplisia kering berupa
serbuk (powder), herbal infusion, ekstrak cair dan kering. Fitofarmaka
merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
produk jadinya telah distandarisasi. Salah satu syarat agar suatu calon obat
dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal
(fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan
manfaat klinik.
Perbedaan fitofarmaka dengan jamu, fitofarmaka terdiri dari 2-3
ekstrak nabati, zat aktif bisa lebih dari satu, standarisasinya komplek, khasiat
dan keamanan berdasarkan penelitian. Jamu adalah sediaan bahan alam yang
khasiatnya belum dibuktikan secara ilmiah, namun khasiat tersebut dipercaya
oleh orang berdasarkan pengalaman empiric. Dalam sediaan jamu, bahan
baku yang digunakan pun belum mengalami standarisasi karena masih
menggunakan seluruh bagian tanaman. Jamu tersusun bisa sampai lebih dari
10 bahan, zat aktif tidak diketahui, standarisasinya sulit, khasiatnya dan
keamanan hanya berdasarkan pengalaman.
Perbedaan fitofarmaka dengan obat (konvensional) Fitofarmaka
terdiri dari 2-3 ekstrak nabati zat aktif lebih dari satu, dosisnya jelas,
standarisasinya komplek, dasar penelitian jelas. Lain halnya dengan obat
(konvensional) Obat tersusun dari satu zat aktif dan bahan tambahan,
dosisnya jelas, standarisasinya jelas sesuai prosedur baku, dasar penelitian
jelas.
2. Tahap-tahap Pengembangan Fitofarmaka
Ada beberapa tahapan dalam pengembangan fitofarmaka antara lain :
a. Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sebagai
calon fitofarmaka sesuai dengan skala prioritas.
b. Tahap Pengujian Farmakologi
- Penapisan aktivitas farmakologi
- Pengujian aktivitas menggunakan metode yang sesuai atau standar
- Pengujian sebaiknya dilakukan secara in vitro dan sebisa mungkin
dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Biasanya tidak
dilakukan uji farmakodinamik dan farmakokinetik.
c. Pengujian toksisitas
d. Pengujian klinik
e. Standarisasi atau penapisan fitokimia
f. Pengembangan sediaan
g. Pengujian farmakodinamik
h. Monitoring
3. Pembuatan Sediaan Herbal
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sediaan herbal antara lain :
1. Indentifikasi bahan.
Harus dipastikan bahwa tumbuhan yang digunakan benar sesuai
spesies yang diinginkan, hal ini untuk menghindari dari efek yang tidak
diinginkan
2. Peralatan
Peralatan yang digunakan harus inert (dari gelas, email, atau
stainless steel). Tidak diperbolehkan menggunakan bahan dari aluminium
karena dapat bereaksi dengan kandungan kimia tertentu dari tanaman yang
mungkin menjadi toksik.
3. Penimbangan
Digunakan alat ukur yang sesuai, untuk jumlah yang kecil dapat
dilakukan dengan pembagian, (2-3 bagian ditimbang sekaligus selanjutnya
dibagirata)
4. Derajat kehalusan
Ukuran serbuk/derajat kehalusan sangat penting khususnya dalam
penyarian karena akan berpengaruh terhadap proses pelepasan zat
berkhasiat.
5. Penyimpanan
Berbagai bentuk sediaan dapat berbeda untuk jangka waktu
penyimpanan seperti :
a. infus harus dibuat setiap hari
b. dekokta dapat digunakan dalam waktu 48 jam
c. sediaan cair seperti sirup dan minyak atsiri disimpan dalam botol
gelap dan terlindung dari cahaya
4. Macam sediaan herbal
a. Infusa (Infus)
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90�C selama 15 menit. Pembuatan
infus merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan
herbal dari bahan lunak seperti daun dan bunga. Dapat diminum panas
atau dingin. Sediaan herbal yang mengandung minyak atsiri akan
berkurang khasiatnya apabila tidak menggunakan penutup pada
pembuatan infus.
b. Dekokta (Dekok)
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi
sediaan herbal dengan air pada suhu 90 0C selama 30 menit.
c. Tea (Teh)
Pembuatan sediaan teh untuk tujuan pengobatan banyak
dilakukan berdasarkan pengalaman seperti pada pembuatan infus yang
dilakukan pada teh hitam sebagai minuman.
d. Gargarisma dan Kolutorium (Obat Kumur dan Obat Cuci Mulut)
Obat kumur dan cuci mulut umumnya mengandung bahan
tanaman yang berkhasiat sebagai astringen yang dapat mengencangkan
atau melapisi selaput lendir dan tenggorokan dan tidak dimaksudkan agar
obat menjadi pelindung selaput lendir. Obat kumur dan obat cuci mulut
dibuat dari sediaan infus, dekok atau tingtur yang diencerkan.
e. Sirupi (Sirup)
Sirup adalah sediaan berupa larutan dari atau yang mengandung
sakarosa. Kecuali dinyatakan lain, kadar sakarosa tidak kurang dari 64,0%
dan tidak lebih dari 66,0%.
f. Tinctura (Tingtur)
Tingtur adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara maserasi atau
perkolasi simplisia dalam pelarut yang tertera pada masing-masing
monografi. Kecuali dinyatakan lain, tingtur dibuat menggunakan 20% zat
khasiat dan 10% untuk zat khasiat keras.
g. Extracta (Ekstrak)
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan
penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk.
5. Pengendalian Kualitas
Pengendalian kualitas sediaan obat tradisional biasanya dilakukan di
laboratorium QC(Quality Control). Syarat untuk membangun lab QC adalah
Lab QC harus dirancang sesuai dengan operasi yang diharapkan. Tersedia
ruang penyimpanan sampel, baku pembanding, pelarut, reagen & catatan -
catatan. Menurut Reksohadiprojo, 1995 Pengendalian mutu menentukan
komponen-komponen mana yang rusak dan menjaga agar bahan-bahan untuk
produksi mendatang jangan sampai rusak. Pengendalian kualitas merupakan
alat bagi manajemen untuk memperbaiki kualitas produk bila diperlukan,
mempertahankan kualitas yang sudah tinggi dan mengurangi jumlah bahan
yang rusak. Pengendalian Kualitas juga sering disebut standarisasi yang
meliputi bahan, proses, alat dan terakhir analisis.
Standarisasi Bahan lebih merujuk ke MMI. Standarisasi bahan terdiri
dari 3 cara, antara lain : fisis, kimia, mikrobiologis. Standarisasi bahan
melalui cara fisis (organoleptis, pemeriksaan mikroskopis, Uji Kemurnian
Simplisia, Uji Kadar Abu), cara khemis/kimia (kualitatif dan kuantitatif).
Standarisasi ekstrak saat ini lebih menuju ke monografi ekstrak dan
farmakope herbal. Secara fisik standarisasi ekstrak dilakukan dengan berbagai
cara antara lain organoleptis, kadar abu, kadar air, kecepatan tuang, kelarutan,
dan kelengketan. Standarisasi ekstrak secara kimia antara lain kualitatif
(KLT) kuantitatif (KLT-densitometri), residu pestisida, residu logam berat.