Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT Oktober 2018

DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS Laporan Kasus


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

“Hipertensi Grade II“.

OLEH:

Nur Baeti C111 12 071


Meindayani Artanti C111 12 166
Banni Aprilita Pratiwi C111 12 286
Fitri Sasmita Kusuma C111 12 291

PEMBIMBING:

dr. Utami Murti Pratiwi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang tersebut dibawah ini :


1. Nur Baeti C111 12 071
2. Meindayani Artanti C111 12 166
3. Banni Aprilita Pratiwi C111 12 286
4. Fitri Sasmita Kusuma C111 12 291

Adalah benar telah menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Hipertensi


Grade II “ pada Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 6 Oktober 2018

Mengetahui,

dr. Utami Murti Pratiwi

2
STATUS PASIEN

I. Identitas
Nama : Tn. Achmad Djusli R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 11 Oktober 1970
Umur : 48 tahun
Alamat : Jl. Perintis kemerdekaan IV
Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Swasta
Penjamin : BPJS

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Tegang dibelakang leher.
Riwayat Penyakit Sekarang : Tegang dibelakang leher sejak 2 hari yang lalu
dan tidak menjalar. Tegang dirasakan seperti tertekan. Pasien juga merasa
pusing. Pusing dirasakan terasa berputar. Pasien juga merasa mual dan tidak
muntah, mata kabur di sangkal. Nyeri dada tidak ada. Buang air kecil lancar,
buang air besar kesan normal.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien mengatakan sebelumnya pernah


merasakan keluhan yang sama dengan tekanan darah 170/100, riwayat
kolesterol ada, riwayat DM tidak ada, riwayat penyakit jantung tidak ada,
riwayat asam urat tidak ada, riwayat keluhan serupa di keluarga ada.

Riwayat Pengobatan :
Riwayat mengkonsumsi obat-obat antihipertensi ada yaitu amlodipine 5 mg
tetapi tidak rutin, riwayat mengkonsumsi obat kolesterol ada yaitu
simvastatin 20 mg, riwayat mengkonsumsi obat-obatan penyakit jantung
tidak ada.

3
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu kandung pasien pernah menderita hipertensi
Riwayat Konsumsi Makanan dan Minuman :
Makanan : Makanan tinggi garam dan tinggi lemak
Minuman : Air putih
Riwayat Kebiasaan : Konsumsi alkohol disangkal, merokok (-)

III. Pemeriksaan fisik


 Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Laju nafas : 20x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,7 °C
Antropometri
Berat badan : 85 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT = 33,2 ( Obesitas II )
 Status Lokalis
 Kepala dan leher : anemis (-/-), ikterik (-/-), pembesaran KGB
(-)
 Thorax
o Paru :
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris, D=S
 Palpasi : Fremitus raba simetiris, D=S
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing
(-)
o Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

4
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL (S)
 Perkusi :
 Batas jantung kanan : ICS III PSL (D)
 Batas jantung kiri : ICS V MCL (S)
 Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-
 Abdomen
o Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
o Palpasi : Nyeri tekan (-)
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), kelemahan pada kedua
tungkai (-) , parestesia pada jari-jari kedua kaki (-), atrofi otot (-).

IV. Pemeriksaan penunjang


Hasil Pemeriksaan Penunjang : tidak ada

V. Penatalaksanaan
1. Personal care
a. Initial Plain
Usulan Pemeriksaan Penunjang:
 Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu
 Pemeriksaan kolesterol

b. Non Medikamentosa
 Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
 Pengaturan cara dan pola makan berupa makanan rendah garam
 Diet tinggi protein, rendah karbohidrat, rendah lemak, dan
tinggi serat

c. Medikamentosa
 Amlodipine 10 mg 1x1
 Vit.B1, B6, B12 2x1

5
d. KIE (Konseling, Informasi, dan Edukasi)
 Edukasi untuk minum obat secara teratur dan tiap hari
 Penjelasan keluarga pasien tentang penyakit hipertensi serta
pencegahan komplikasi.
 Mulai membiasakan diri tidak memakan makanan tinggi natrium
dan tinggi lemak
 Tanda-tanda kegawatan atau muncul komplikasi dari hipertensi
segera bawa pasien ke rumah sakit
 Olahraga teratur (olahraga aerobik)
 Kontrol setiap bulan ke puskesmas atau klinik dokter keluarga
untuk cek tekanan darah

e. Monitoring
Pasien secara rutin memeriksakan dirinya ke pelayanan
kesehatan 1 minggu setelah keluhannya berangsur pulih untuk
memantau tekanan darah dan keefektifan pengobatan.

2. Family Focus
a. Memberikan pengatahuan kepada keluarga pasien tentang
pencegahan terjadinya komplikasi hipertensi.
b. Meningkatkan imunitas pasien dengan makan makanan bergizi dan
seimbang.
c. Pasien mendapatkan dukungan psikologis dari keluarga

3. Community Focus
a. Pasien juga mendapatkan dukungan psikologis dari dokter dan
tenaga medis lainnya
b. Menjaga gaya hidup sehat di lingkungan tempat tinggal oleh
seluruh warga tempat pasien tinggal

VI. Diagnosis
Hipertensi Grade II

6
VII. Prognosis

Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

7
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular.


Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju.1
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain
mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal
maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap
tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke
dokter, perawatan di rumah sakit dan / atau penggunaan obat jangka panjang.
Makin meningkatnya harapan hidup makin kompleks penyakit yang
diderita oleh orang lanjut usia, termasuk lebih sering terserang hipertensi.
Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi
(HST), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik
HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas
dan mortalitas pada pasien usia lanjut.2
Hipertensi pada usia lanjut mempunyai beberapa kekhususan, umumnya
disertai dengan faktor risiko yang lebih berat, sering disertai penyakit-penyakit lain
yang mempengaruhi penanganan seperti dosis obat, pemilihan obat, efek samping
atau komplikasi karena pengobatan lebih sering terjadi, terdapat komplikasi organ
target, kepatuhan berobat yang kurang, sering tidak mencapai target pengobatan
dan lain-lain. Kesemua ini menjadikan hipertensi usia lanjut tergolong dalam risiko
kardiovaskular yang tinggi atau sangat tinggi. Oleh karena itu penanganan
hipertensi pada usia lanjut membutuhkan perhatian yang besar.3
Hipertensi khususnya pada usia lanjut sangat sering dijumpai. Dari hasil
riset dasar kesehatan nasional (RISKESDAS) 2007 didapatkan prevalensi
hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% yang meningkat semakin banyak, sehingga
di atas 55 tahun melebihi 50%. Data dari negara maju tak jauh berbeda, di Amerika
Serikat prevalensi hipertensi pada usia diatas 65 tahun adalah 72%. Dalam
penelitian Framingham, pada yang mempunyai tekanan darah normal di usia 50
tahun, hampir seluruhnya (90%), kemudian menjadi hipertensi. Komplikasu

8
hipertensi yang utama adalah penyakit kardiovaskular, yang dapat berupa penyakit
jantung koroner, gagal jantung, stroke, penyakit ginjal kronik, kerusakan retina
mata, maupun penyakit vaskuar perifer.4

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan klasifikasi
Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada
arteri. Tekanan tersebut dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah.
Hipertensi berkaitan dengan kenaikan tekanan diastolik, tekanan sistolik, atau
kedua-duanya secara terus-menerus. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya
tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan darah
diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan

relaksasi di antara dua denyutan.5,6


The Joint National Community on Preventation, Detection,Evaluation and
Treatment of High Blood Preassure 7 (JNC-7), WHO dan European Society of
Hipertension mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi dimana tekanan darah
sistolik seseorang lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastoliknya lebih dari

90 mmHg.6
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18
tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau
lebih kunjungan klinis2 (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori,
dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan
darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori
penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat
(stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi

obat.

Tabel 1. Klasi

7.2
fikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC
a. Isolated Sistolik Hypertension
Sesuai dengan panduan JNC-VII, ISH didefinisikan sebagai Tekanan Darah Sistolik
≥140 mmHG dengan Tekanan Darah Diastol 90 mmHg atau kurang. Kenaikan

10
tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik umumnya terjadi
diatas usia 60 tahun. Hal ini sejalan dengan berkurangnya elastisitas pembuluh
darah besar (aorta) dan proses aterosklerosis. ISH didapatkan pada usia 60-70 dari
kasus hipertensi pada usia lanjut dengan risiko 2-4 kali lipat untuk terjadinya infark
miokard, LVH, gangguan fungsi ginjal, stroke, dan mortalitas kardiovaskuler.3
Komplikasi KV berbanding lurus dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan
tekanan nadi serta berbanding terbalik dengan penurunan tekanan darah diastolik.
Semakin tinggi tekanan darah sistolik atau tekanan nadi semakin berat risiko
komplikasi kardiovaskular. Selain itu penurunan tekanan darah dioastolik yang
terlalu rendah berisiko mengurangi aliran darah ke arteri koroner.3
b.
Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah
yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya
kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg;
dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada hipertensi
emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target
akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam
hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh
gangguan organ target akut: encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal
ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris
tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan.. Hipertensi
urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ target yang
progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai
tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam s.d. beberapa hari.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan
darah tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar
setiap tahunnya.4 Menurut National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000
adalah sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita
hipertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991.
Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya
tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk

11
menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya
normal adalah 90%.2 Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi
sebelum mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis
hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai
dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding
perempuan. Dari umur 55 - 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding
laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun),
prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.8
2.3 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada
kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau
hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai
penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder
dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.8
a. Hipertensi primer (essensial). Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi
merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer).5 Literatur lain mengatakan,
hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa
mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah
diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis
hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun-temurun dalam suatu
keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan
penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran
bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai
kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen
ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide,
ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.

b. Hipertensi sekunder. Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan


sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat

12
meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat
penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering.10 Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 2. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya
sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.

Penyakit Obat
 penyakit ginjal kronis  Kortikosteroid, ACTH
 hiperaldosteronisme primer  Estrogen (biasanya pil KB dg
 penyakit renovaskular  kadar estrogen tinggi)
 sindroma Cushing  NSAID, cox-2 inhibitor
 pheochromocytoma  Fenilpropanolamine dan analog
 koarktasi aorta  Cyclosporin dan tacrolimus
 penyakit tiroid atau paratiroid  Eritropoetin
 Sibutramin
 Antidepresan (terutama venlafaxine)
Tabel 2. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi8
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH: adrenokortikotropik hormon

2.4 Patogenesis

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi
jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi.

Gambar 1. Fisiologi pengaturan tekanan darah


Pengaturan tekanan darah sangat kompleks dan mencakup interaksi antara

13
berbagai faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel
hemodinamik yakni curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung dipengaruhi
oleh volume darah yang sangat tergantung secara independen dengan konsentrasi
natrium serum. Resistensi perifer diatur pada tingkat arteriol dan dipengaruhi oleh
faktor neuronal dan hormonal. Tonus vaskulur normal dipengaruhi oleh zat
vasokonstriktor (angiotensin II dan katekolamin) dan vasodilator (kinin,
prostaglandin dan nitrit oksida). Resistensi pembuluh darah diatur oleh autoregulasi
dimana peningkatan tekanan darah akan memicu vasokonstriksi untuk mencegah
hiperperfusi jaringan. Faktor lokal seperti pH dan hipoxi serta interaksi neuronal
antara α dan β adrenerdik juga terlibat.

Gambar 2. Autoregulasi tekanan darah oleh sistem RAAS


Ginjal dan kelenjar adrenal berperan penting pada regulasi tekanan darah
dan berinteraksi satu sama lain untuk mengatur tonus tekanan darah dan volume
tekanan darah. Ginjal mempengarhi resistensi perifer dan homeostasis natrium
secara langsung melalui sistem RAAS. Renin merupakan enzim proteolitik yang
dihasilkan di ginjal oleh sel jukstaglomerular di arterior aferen. Saat volume atau
tekanan darah turun terjadi penurunan tekanan pada arteriol aferen, penurunan GFR
dan peningkatan resorpsi natrium tubulus proksima sehingga terjadi konservasi
natrium dan ekspansi voume darah. Sel jukstaglomerular berespn dengan
melepaskan renin. Renin mengkatabolisme angiotensinogen plasma menjadi
angiotensin I yang kemudia dikonversi menjadi angiotensin II oleh Angiotensin
converting enzyme di perifer. Angiotensin II meningkatkan tekanan arah dengan

14
meningkatkan resistensi perifer dengan merangsang kontraksi sel otot polos
vaskular, meningkatkan volume plasma dengan merangsang sekresi aldosteron
pada adrenal, meningatkan reabsorbsi natrium tubulus. Atrium jantung juga
mensekresika atrial natriuretik peptita (ANP) sebagai respon terhadap ekspansi
volume jantung pada gagal jantung dan menghambat reabsorbi natrium di tubulus
ginjal dan menyebabkan vasodilatasi sistemik.

Hampir 95% hipertensi adalah idiopatik (hipertensi esensial) . Kebanyakan


pasien tetap stabil seumur hidup dan sebagian mengalami komplikasi infark
miokard, strokea tau komplikasi lain. Sisanya adalah hipertensi sekunder yang
disebabkan oleh penyempitan arteri renalis biasanya oleh plak aterosklerosis
(hipertensi renovaskular). Yang jarang terjadi adalah hipertensi akibat penyakit
adrenal seperti aldosteronisme perifer, sindrom cushing, feokromositoma atau
penyakit lain

Sekitar 5% hipertensi menunjukkan peningkatan tekanan darah cepat yang


jika tidak terdeteksi dapat menyebaban kematian dalam 1-2tahun. Hipertensi
maligna atau accelerated secara klinis ditandai oleh hipertensi berat (DBP
>120mmHg), gagal ginjal, perdarahan retina dan eksudat dengan atau tanpa
papiledema. Hipertensi maligna dapat terjadi pada hipertensi yang sudah ada,
esensial maupun sekunder.Faktor resiko hipertensi mencakup faktor genetik dan
faktor lingkungan. Faktor genetik. Beberapa gen tunggal dapat menyebabkan
hipertensi dengan mempengaruhi reaborbsi natrium. Hipertensi juga dipengaruhi
oleh polimorfisme lokus angitensin. Pengaruh genetik dan ras pada sistem RAAS
belum jelas namun diduga melibatkan perbedaan pada regulasi tekanan darah
mencakup loading natrium ginjal, peningkatan reaktivitas vaskular terhadap
vasoprotektor atau proliferasi otot polos vaskular. Faktor lingkungan: modifikasi
ekspresi genetik seperti stres obesitas, merokok, inaktivitas fisik dan konsumsi
garam. Hubungan antara diet tinggi natrium dan prevalensi hipertensi berbeda pada
populasi yang berbeda secara impresif.

Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara


potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah 10
- Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi

15
diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress
psikososial dll

- Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor


- Asupan natrium (garam) berlebihan
- Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
- Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi
angiotensin II dan aldosteron
- Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide
natriuretik
- Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus
vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
- Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh
darah kecil di ginjal
- Diabetes mellitus
- Resistensi insulin
- Obesitas
- Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
- Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik
inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
- Berubahnya transpor ion dalam sel

2.5. Diagnosis

Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:


- Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular atau
penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga
dapat memberi petunjuk dalam pengobatan
- Mencari penyebab tekanan darah tinggi
- Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan
prosedur diagnostik lainnya.

16
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang
utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata- rata dua kali atau
lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi.
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor resiko tambahan (lihat tabel 3) tetapi kebanyakan asimptomatik.
Tabel 3. Faktor-faktor resiko kardiovaskular2
Faktor resiko mayor Kerusakan organ target
→ Hipertensi Merokok → Jantung : Left ventricular hypertrophy
→ Obesitas (BMI ≥30) Immobilitas → Angina atau sudah pernah infark
→ Dislipidemia Diabetes mellitus
miokard
→ Mikroalbuminuria atau perkiraan
→ Sudah pernah revaskularisasi koroner

GFR<60 ml/min → Gagal jantung

Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 → Otak : Stroke atau TIA Penyakit ginjal

→ kronis Penyakit arteri perifer Retinopathy

→ →
tahun untuk perempuan)
→ Riwayat keluarga untuk penyakit
kardiovaskular prematur (laki-laki < 55
tahun atau perempuan < 65 tahun)
BMI = Body Mass Index; GFR= glomerular Filtration Rate; TIA = transient ischemic
attack

Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar,


pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan
(kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis,
abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan
lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran
ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas
bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik juga perlu digali apakah sudah ada
kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti:
 Otak: stroke, TIA, dementia

17
 Mata: retinopati
 Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard, pernah
revaskularisasi koroner
 Ginjal: penyakit ginjal kronis
 Penyakit arteri perifer

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai


terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,
kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk
HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional
termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin.
Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak
diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.

2.5 Penatalaksanaan
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah : Penurunan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini
berhubungan dengan kerusakan organ target (misal: kejadian kardiovaskular atau
serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Mengurangi resiko merupakan
tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna
oleh bukti yang menunjukkan pengurangan resiko.

a. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII.5


- Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
- Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
- Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg

b. Target nilai tekanan darah menurut JNC VIII12


- Pada populasi umum usia ≥60 tahun terapi farmakologi dimulai pada
SBP>150 dan DBP>90 mmHg dengan target tekanan darah
<150/90mmHg (Grade A)
- Pada populasi umum usia ≥60 tahun jika terapi farmakologi berhasil
mencapai SBP <140mmHg dan dapat ditoleransi secara baik tanpa efek
samping maka terapi tidak perlu diubah (Grade E)

18
- Pada populasi umum <60 tahun terapi farmakologi dimulai untuk
mencapai target DBP <90mmHg (Grade A untuk usia 30-59 tahun, grade
E untuk usia 18-29 tahun) dan SBP <140mmHg (Grade E)
- Pada populasi usia ≥18 tahun dengan CKD atau diabetes terapi
farmakologi bertujuan mencapai SBP <140 dan diastolic <90mmHg
(grade E)

c. Target nilai tekanan darah menurut ESH 20139


- Tekanan darah <140/90 untuk pasien hipertensi dengan faktor resiko CVD
rendah dan <130/80 pada pasien dengan resiko CVD tinggi (diabetes,
penyakit cerebrovaskular, kardiovaskular, ginjal)
- Pada orang tua <80 tahun target SBP 140-150mmHg dan pada kondisi fit
dapat <140mmHg atau disesuaikan dengan toleransi individual
- Pada orang tua <80tahun target SBP 140-150mmg
- Pada pasien diabetes melitus target DBP <85mmHg
- Pada kehamilan terapi diberikan pada TD >160/110mmHg

Tabel 4. Perbandingan target tekanan darah menurut JNC VII, JNC VIII,
ESH/ESC 2013, ISHIB 2010, ADA 2013, KDIGO 2102, NICE, CHEP 20138

19
Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum
dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan
hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik
masih tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi
belum terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≤90 mmHg.12 Pada kebanyakan pasien, tekanan darah
diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang
diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan
dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan
darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan
penyakit pada hipertensi.5 Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk
pasien dengan prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan
hipertensi atau untuk pasien-pasien dengan target tekanan darah ≤130/80 mmHg
(DM dan penyakit ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya tekanan
darah dan adanya indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1
harus diobati pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan
tekanan darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat,
dengan salah satunya diuretik tipe tiazid. Penatalaksanaan hipertensi dapat
dilakukan dengan: terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.
a. Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan
tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC
VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke
hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.14 Modifikasi
gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan
kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol

20
sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik
dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat.10 Program diet yang mudah diterima
adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada
pasien yang gemuk dan obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan
alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.
b. Terapi farmakologi
Panduan dalam Pemilihan dosis obat antihipertensi
- Mulai satu obat: titrasi maksimal. Jika tujuan tekanan darah tidak dicapai dengan
penggunaan satu obat meskipun titrasi dengan dosis maksimum yang
disarankan, tambahkan obat kedua dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB,
ACEI, atau ARB) dan titrasi sampai dengan maksimum yang disarankan dosis
obat kedua untuk mencapai tujuan tekanan darah.
- Jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga dari
daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan
kombinasi ACEI dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga untuk maksimum
dosis yang dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah.

- Mulailah dengan 2 obat pada saat yang sama, memulai terapi dengan 2 obat
secara bersamaan, baik sebagai obat 2 yang terpisah atau sebagai kombinasi pil
tunggal. Titrasi obat ketiga sampai dengan maksimum dosis yang dianjurkan
untuk mencapai tujuan tekanan darah. Beberapa anggota komite sarankan mulai
dengan> 2 obat ketika tekanan darah sistolik > 160 mmhg kombinasi pil dan /
atau tekanan darah diastolk > 100 mm hg, atau jika tekanan darah sistolik > 20
mm hg di atas target dan / atau tekanan darah diastolik > 10 mmhg di atas target.
jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga dari daftar
(thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan gabungan ACEI
dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga dengan dosis maksimum yang disarankan.

- Kombinasi Obat-Obat Anti-Hipertensi 15,16: Data-data menunjukkan bahwa


sebagian besar penderita hipertensi memiliki tekanan darah yang tidak terkontrol
(tidak mencapai target). Hal ini selain disebabkan karena pasien tidak patuh
menggunakan obat, juga disebabkan karena pemberian obat anti-hipertensi yang
tidak adekuat. The American ALLHAT study (The Antihypertensive and Lipid

21
Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial, 2000) menunjukkan bahwa
untuk mencapai TD < 140/90 mmHg ],60% pasien hipertensi membutuhkan 2
atau 3 jenis obat anti-hipertensi. Dengan demikian berbagai asosiasi hipertensi
menganjurkan menggunakan 2 atau 3 jenis obat anti-hipertensi. Bahkan mereka
telah membuat algoritme pengobatan agar lebih efektif menurunkan tekanan
darah dalam kombinasi obat. Pabrik obat juga membuat dosis kombinasi tetap
(fixed dose combination) dalam satu tablet dengan tujuan meningkatkan
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Contoh kombinasi 2 obat
antihipertensi antara lain :(Exforge®), Nifedipin + atenolol (NIF-TEN®),
Telmisartan + HCT (Micardis Plus®), Irbesartan+HCT(Co-aprovel®),
Valsartan+HCT (CoDiovan®), Bisoprolol + HCT (Lodoz®), Spironolacton +
Butizide (Aldazide®), Reserpin + Hydralazine + HCT (Serapes®), dan lain lain.
Kombinasi obat hipertensi dengan obat lain juga tersedia seperti kombinasi
Amlodipin dengan Atorvastatin (Caduet®).

Gambar 3. Penatalaksanaan hipertensi menurut JNC 75

22
Gambar 4. Penatalaksana hipertensi menurut JNC 811

23
Tabel 6. Obat-obat antihipertensi dan dosis rekomendasi JNC 811

Tabel 7. Indikasi memulai obat antihipertensi menurut ESC

2013.12

- Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:


1. Mempunyai efek aditif

24
2. Mempunyai efek sinergisme
3. Mempunyai sifat saling mengisi
4. Penurunan efek samping masing-masing obat
5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6. Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan
kepatuhan pasien (adherence)

Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:5,8


1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Penyekat beta dengan diuretik
4. Diuretik dengan agen penahan kalium
5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium
6. Agonis α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretic

Menurut European Society of Hypertension 2013, kombinasi dua obat untuk


hipertensi ini dapat dilihat pada gambar dibawah dimana kombinasi obat yang
dihubungkan dengan garis hijau adalah kombinasi yang paling efektif.

Gambar 5. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk obat-
obat antihipertensi. Garis hijau : kombinasi yang direkomendasikan. Garis hijau
putus-putus : kombinasi yang mungkin. Garis hitam putus- putus: kombinasi
yang memungkinkan tetapi kurang disarankan. Garis merah: tidak

direkomendasikan9

25
A. Diuretik
Diuretik yang digunakan sebagai obat antihipertensi adalah diuretik tiazid,
diuretik hemat kalium, dan loop-diuretik . Pemberian diuretik sebagai obat
antihipertensi tunggal dilaporkan efektif dalam menurunkan TD pada 50%

penderita HT ringan sampai sedang. Diuretik menyebabkan ekskresi air dan Na+
melalui ginjal meningkat. Berkurangnya volume plasma menurunkan preload

selanjutnya menurunkan cardiac output. Selain itu, berkurangnya konsentrasi Na+


dalam darah menyebabkan sensitivitas adrenoreseptor–alfa terhadap katekolamin
menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi perifer menurun. Diuretik

bermanfaat pada orang tua karena orang tua volume dependent. 12,13
1. Diuretik tiazid. Hydro-chloro-thiazide (HCT) adalah yang paling banyak
dilakukan klinik. Dulu HCT diberikan pada dosis besar yaitu 25-50 mg/hari
sehingga banyak menimbulkan efek samping seperti peningkatan asam urat
(70%), peningkatan gula darah (10%), gangguan profil lipid atau hiponatremia.
Saat ini HCT digunakan dalam dosis kecil yaitu 12,5 - 25 mg/hari. Pada dosis
ini HCT dilaporkan efektif menurunkan TD, menurunkan morbiditas dan
mortalitas dan tidak banyak menimbulkan efek samping, sehingga HCT dosis
kecil dianjurkan sebagai obat antihipertensi lini I pertama untuk kebanyakan

pasien hipertensi. HCT memiliki efek retensi Ca++ sehingga dapat mencegah
osteoporosis. Dengan demikian penggunaan HCT sebagai obat antihipertensi
pada lansia memiliki efek tambahan. HCT dosis kecil (6,25 mg) dapat
dikombinasi dengan hampir semua obat anti-hipertensi lainnyaa dan memberi
efek sinergistik. Hasil ALLHAT (2002) memberi informasi bahwa diuretik
tiazid merupakan obat antihipertensi lini pertama bagi pasien HT tanpa
komplikasi. Kondisi lain yang juga menguntungkan penggunaan diuretik tiazid
adalah isolated systolic hypertension. Dosis maksimum HCT adalah 25
mg/hari. Dosis diatas ini meningkatkan mortalitas. Chlorthalidone
(Hygroton®) adalah preparat lain dari diuretik tiazid. Indapamide (Natrilix
SR.®) adalah diuretik tiazid yang non diuresis; obat ini menurunkan tekanan
darah tanpa meningkatkan produksi urin. Kelebihan indapamide adalah
menurunkan TDS tanpa mempengaruhi TDD. Pada pasien gangguan fungsi

26
ginjal tiazid tidak efektif menurunkan TD dan sering menyebabkan
hipokalemia. Pada keadaan ini loop diuretik menjadi pilihan. Untuk
meningkatkan efektifitas, tiazid dan loop diuretik dapat dikombinasi.

2. Diuretik hemat kalium. Spironolakton (Aldactone®, carpiaton®, letonal®, 25


mg dan 100 mg) adalat anti- aldosteron, memiliki efek antihipertensi lemah
sehingga jarang diberikan sebagai obat tunggal dalam terapi HT. Spironolakton
disebut diuretik hemat kalium karena meningkatkan kadar kalium dalam
plasma, sehingga obat ini selalu dikombinasikan dengan HCT atau furosemide
untuk mencegah terjadinya hipokalemia. Pada pasien gagal jantung, dilaporkan
bahwa konsentrasi plasma aldosteron berbanding lurus dengan mortalitas,
pemberian spironolakton pada pasien HT vang juga gagal jantung menurunkan
mortalitas seperti dilaporkan pada Randomized Aldactone Evaluation Study
(RALES). Spironolakton juga dianjurkan pada penderita infark miokard
dengan hipertensi karena memiliki efek mencegah remodeling. Indikasi lain
dari diuretik hemat kalium adalah untuk hiperaldosteronisme. Efek samping
spironolakton adalah impotensi, gynecomastia dan hipertrofi prostat. Hati-hati
digunakan bersama ACE-I karena dapat menyebabkan hiperkalemia.
3. Loop diuretik. Furosemide (Lasix®: Farsix®, Uresix®) adalah loop diuretik
yang kuat, tersedia dalam tablet (40 mg/tablet) dan dalam bentuk vial (20
mg/ampul). Obat ini dapat cepat sekali menguras cairan tubuh dan elektrolit,
sehingga tidak dianjurkan sebagai obat antihipertensi kecuali pada pasien HT
yang juga menderita retensi cairan yang berat, atau pada Hypertension Heart
Failure (HHF) . Efek samping loop diuretik adalah hiponatremia, ototoksisitas,
hiperurisemia, hiperglisemia, hipokalemia, dan meningkatkan LDL kolesterol
sebaliknya menurunkan HDL kolesterol. Indikasi lain dari loop diuretik adalah
edema pada sindrom nefrotik, chronic renal insufficiency, atau sirosis hepatis
yang sudah refrakter terhadap diuretik lain. Akan tetapi loop diuretik
mengaktifkan sistem RAA dan meningkatkan PGC, hal ini dilaporkan dapat
memperburuk kerusakan ginjal. Kontraindikasi loop diuretik adalah
hipovolemia, hiponatremia, anuri (obstruksi post renal) dan pasien yang alergi
terhadap preparat sulfa. Bumetanide (Bumex®) dan ethacrynic acid
(Edecrin®) adalah preparat loop diuretik.

27
B. Beta bloker.
Beta bloker menurunkan tekanan darah terutama dengan mengurangi isi
sekuncup jantung, selain itu juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan
menghambat pelepasan rennin dari ginjal, sehingga mengurangi sekresi aldosteron.
Beta bloker generasi baru seperti bisoprolol, carvedilol, nebivolol dan lain - lain
yang memiliki farmakokinetik lebih netral, serta memiliki efek pleiotropik seperti
meningkatkan produksi NO, memiliki efek anti-oksidan dan menghambat
adrenoseptor-a1. Efek antihipertensi dari beta bloker generasi ketiga ini belum
pemah diperbandingkan. Beta bloker menurunkan Cardiac output dan resistensi
perifer sehingga memiliki efek antihipertensi . Sejak ditemukan pada tahun 1960,
B-bloker selain sebagai obat antiaritmia, juga digunakan sebagai obat
antihipertensi. Bahkan pada JNC I-V (1998), beta bloker dan diuretik
direkomendasikan sebagai obat antihipertensi lini pertama. Namun pada tahun
1985, laporan dari Medical Research Council (MRC) Trial of mild hypertension
menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi ringan, diuretik lebih unggul
menurunkan insiden stroke dibanding propranolol; dan pada tahun 1992 MRC Trial
of hypertension in older adult menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi umur 65-
74 tahun, diuretik lebih unggul dari atenolol dalam mencegah kejadian
kardiovaskular termasuk stroke; kemudian Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes
Trial (ASCOT, 2006) menunjukkan bahwa resimen kombinasi atenolol dan
diuretik .tiazid tidak lebih baik bahkan sedikit inferior dibandingkan regimen
kombinasi amlodipin dan ACE-inhibitor dalam menurunkan kejadian
kardiovaskular pasien hipertensi.
Hasil hasil ini menyebabkan popularitas BB sebagai antihipertensi menurun.
Padahal secara farmakologi hasil hasil penelitian tersebut diatas memiliki banyak
kelemahan yang perlu diluruskan disini. Indikasi utama beta bloker adalah pada
pasien HT yang takikardi atau takiaritmia (termasuk pasien anxiety,
feokromositoma dan tirotoksikosis), dan pada pasien HT yang memiliki penyakit
jantung koroner (angina pektoris atau pasca miokard infark). Bagi pasien HT umur
lanjut yang sudah mengalami jpenurunan fungsi jantung, penggunaan Beta bloker
tentu harus sangat hati-hati. Beta bloker yang dapat digunakan pada pasien HT
golongan ini hanya metoprolol, bisoprolol dan carvedilol dengan ketentuan "start

28
low go low”. Beberapa beta bloker yang sering dipakai adalah:
 Propranolol (Inderal®) adalah prototype dari beta bloker yang non-
cardioselective. Obat ini tersedia dalam dua kemasan (10 mg dan 40
mg/tablet). Dosis : 2-3 x 10 mg, atau 2-3 x 20 mg biasanya cukup efektif
menurunkan TD. Efek samping antara lain: bronkospasme, bradikardi,
hiperglikemia.

 Atenolol (Tenormin®, Farnormin®, betablok®) tersedia dalam tablet 50


dan 100 mg Dosis : 1-2 x 50 mg, atau 1 x 100 mg.

 Metoprolol (Seloken®, Lopresol®, Cardiosel®)tersedia dalam tablet 50


dan 100 mg. Dosis : 1-2 x 50 mg, atau 1 x 100 mg

 Bisoprolol (Concor®, Maintate®) tersedia dalam tablet 2,5 dan 5 mg.


Dosis : 1.-2 x 2,5 mg, atau 1 x5 mg.

 Carvedilol (Dilbloc®, V-bloc®, Blorec®) tersedia dalam tablet 25 mg.


Dosis: 1 x/ 12,5 atau 25 mg. Dilbloc® dan V- bloc 6,25/tablet digunakan
untuk gagal jantung.
Beta bloker aktif secara oral. Efek samping biasa meliputi kelelahan, insomnia, dan
halusinasi, juga dapat menyebabkan hipotensi. Selain itu juga dapat menurunkan
libido dan menyebabkan impotensi. Beta bloker dapat mengganggu metabolisme
lipid, menurunkan HDL, dan meningkatkan trigliserol plasma, selain itu juga dapat
menyebabkan rebound hipertensi.

C. Penyekat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker). 12


Sebagaimana diketahui bahwa kalsium adalah zat yang tersebar di sel tubuh,
dan merupakan intracellular messenger untuk menjembatani suatu rangsang

menjadi respon. Sebuah sel dapat berkontraksi-apabi la terjadi peningkatan Ca2+


intrasel baik disebabkan oleh masuknya Ca ekstrasel melalui kanal kalsium atau
karena dilepaskan dari intrasellular store. Berbagai penyakit atherosklerotik
seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, juga diabetes melitus dan obesitas,
homeostasis kalsium intrasel terganggu, akibatnya pembuluh darah menjadi sangat
sensitif terhadap substansi vasoaktif sehingga cenderung berkontraksi. Hal ini
meningkatkan resistensi perifer dan meningkatkan TD. Dengan menghambat

29
kalsium masuk kedalam sel, CCB memiliki efek vasodilatasi, memperlambat laju
jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan TD. CCB
juga dapat bertindak sebagai intracellular messenger bagi sistem RAA, dan juga
berperan dalam sekresi berbagai substansi neurohumoral.
Dalam penelitian telah dibuktikaf bahwa CCB menurunkan produksi
angiotensin II (Ang-II) melalui mekanisme penghambatan terhadap aktivitas ACE.
CCB juga menghambat vasokonstriksir hiperplasi dan hipertrofi pembuluh darah
yang diinduksi oleh Ang-II. Efek-efek ini membuat CCB mampu menghambat
proses dan progresivitas atherosclerosis. Efek lain adalah CCB menghambat sekresi
aldosteron, menurunkan sintesis endotelin dan menghambat vasokonstriksi yang
ditimbulkan oleh endotelin. dilaporkan juga memiliki efek antiperoksidan terhadap
jaringan lemak. Di bidang reologi, CCB dilaporkan menghambat agregasi
trombosit. Masih ada satu efek CCB yang tidak kalah pentingnya yaitu efek pada
arterial compliance (komplians arteri). Suatu obat antihipertensi dikatakan baik
apabila mampu meningkatkan komplians arteri sehingga menurunkan pulse
pressure dan pulse wave velocity. Komplians arteri diartikan sebagai kemampuan
arteri untuk mengakomodasi volume darah yang meningkat secara simultan pada
waktu ventrikel kiri berkontraksi. Semakin elastik sebuah pembuluh darah, maka
kompliansnya semakin baik.
Efek CCB yang antisklerotik atau efek yang menurunkan ketebalan tunika
media dan meningkatkan kandungan elastin pada arteri meningkatkan komplians.
Dengan demikian CCB sebagai obat antihipertensi memiliki efek proteksi terhadap
penyakit jantung, penyakit pembuluh darah dan penyakit ginjal. Semua CCB
memiliki efek anti iskemik miokard melalui mekanisme yang telah dijelaskan diatas
yaitu: menurunkan resistensi perifer, menurunkan beban jantung, meningkatkan
suplai; menurunkan kebutuhan O2, anti sklerotik dan anti agregasi. Berbagai studi
menunjukkan bahwa CCB menurunkan episode angina pada penderita PJK.
Prospective Randomized Amlodipine Survival Evaluation (RAISE) trial (1996) dan
Vasodilator -Heart Failure Trial III (V-HeFT III,1997) menunjukkan bahwa
golongan dihidropiridin efektif memperbaiki gejala seperti sesak dan menurunkan
mortalitas pasien gagal jantung yang memiliki ejection fraction (EF) rendah.
Golongan benzotiazepin dan verapamil memiliki efek antiaritmia (terutama

30
takiaritmia). Verapamil merupakan obat yang memiliki sifat seperti beta- blockers
yaitu efek kronotropik negatif dan inotropik negatif, jadi pasien yang mempunyai
indikasi diberikan beta-blockers namun memiliki penyakit asma atau diabetes yang
tidak cocok diberikan beta-blockers dapat diganti dengan verapamil. Efek proteksi
terhadap penyakit ginjal. CCB golongan dihidropiridin dan benzotiazepin mampu
memperbaiki efek vasokonstriksi vasa aferen arteri ginjal yang diinduksi oleh Ang-
II atau adrenalin. Dengan demikian meningkatkan glomerular capillary pressure,
meningkatkan glomerulo flow rate dan meningkatkan perfusi ginjal pada penderita
HT. Dihidropiridin generasi baru seperti efonipine dan manidipine selain
menyebabkan dilatasi vasa aferen, juga menyebabkan delatasi vasa eferen ginjal
sehingga menurunkan glomerular capillary pressure, dengan demikian memiliki
efek menurunkan proteinuria. Studi klinik juga telah membuktikan bahwa CCB
menghambat progresivitas kerusakan ginjal pada pasien dengan berbagai Penyakit
ginjal kronis, efek renoprotektif CCB dilaporkan sebanding dengan ACE-Inhibitor.
CCB memiliki Trough-to-Peak (T/P) ratio antara 55-70 %. Golongan CCB.
Beberapa golongan CCB yang dibicarakan disini adalah yang memiliki efek pada
sistem kardiovaskuler yaitu : dihidropiridin, fenilalkilamin dan bensotiazepin.
 Dihidropiridin: merupakan CCB generasi kedua ini mempunyai afinitas
lebih besar untuk kanal kalsium vaskuler dibandingkan dengan kanal
kalsium di jantung.
o Nifedipin (Adalat®) adalah CCB generasi pertama yang paling kuat
menyebabkan vasodilatasi. Tersedia dalam dua kemasan (5 mg dan
10 mg) diberikan secara oral. Berhubung karena onset of action dari
obat ini sangat cepat dan memiliki duration of action yang pendek
yaitu hanya 6-8 jam, maka obat ini memprovokasi suatu refleks
takikardi dan TD menjadi fluktuatif. Sifat ini menyebabkan
nifedipin tidak popular digunakan sebagai obat antihipertensi,
apalagi pada pasien HT yang juga menderita PJK. Nifedipin GIT
(Adalat oros®) berisi nifedipin 30 mg dengan formulasi lepas
lambat yang memiliki duration of action 24 jam (T/P ratio 65%),
sehingga menurunkan TD lebih stabil dan tidak memiliki efek
refleks takikardi yang nyata. Obat ini diberikan sekali sehari. Hasil

31
penelitian menunjukkan bahwa nifedipin GIT bermanfaat pada
pasien HT, termasuk mereka yang juga menderita PJK maupun gagal
jantung.
o Amlodipin (Norvask®) adalah CCB yang unik karena bersifat long
acting. Obat ini menurunkan TD secara perlahan-lahan sehingga
tidak menimbulkan refleks takikardi. Efek samping amlodipin
adalah edema pretibial. Amlodipin tersedia dalam dua kemasan (5
mg dan 10 mg) yang diberikan secara oral sekali sehari. Felodipin
(Plendil®, Nirmadil®), tersedia dalam bentuk tablet 2,5,5 dan 10
mg.
o Nicardipine (Perdipine®) adalah CCB yang dapat diberikan secara
parenteral. Berbagai guideline sudah merekomendasikan nicardpine
digunakan pada hipertensi emergensi, diantaranya JNC 7 (2003),
American stroke Association 2007 dan CHEST 2007. Pada evaluasi
keamanan penggunaan nicardipine pada pasien pre-eclampsia berat,
penggunaan obat ini baik pada jangka pendek (< 7 hari), jangka
menengah (2-28 hari) dan jangka panjang (>29 hari) menunjukkan
perbaikan pada tekanan darah sistolik maupun diastolik pada ibu
tanpa efek toksik terhadap janin. Nicardipine di Indonesia tersedia
dalam sediaan ampul 10 mg (untuk syringe pump/infus drip) dan
ampul 2 mg. Obat ini dapat dilarutkan dengan berbagai jenis pelarut
seperti NaCl 0,9%, larutan Ka En, dextrosa 5% dan Ringer Asetat,
namun tidak dapat dilarutkan dengan Ringer Laktat dan tidak dapat
digunakan bersama Bikarbonat natrikus. Nicardipine memiliki mula
keija 5-10 menit dan lama kerja 15-90 menit. Untuk hipertensi
emergensi dosis adalah 0,5-6 ug/KgBb/ menit (dengan syringe
pump). Pada kasus hipertensi peri dan pasca operasi dapat
diberikan secara bolus dengan dosis 10-30 ug/KgBb/menit.
 Fenilalkilamin
Prototip dari golongan ini adalah Verapamil (Isoptin®). Obat ini memiliki
afinitas besar terhadap kanal kalsium di jantung sehingga memiliki efek
kronotropik dan inotropik negative mirip beta blocker. Jadi indikasi obat ini

32
juga seperti beta- blocker yaitu sebagai obat antihipertensi, antiaritmia
terutama Supraventricular Tachycardi (SVT), anti angina dan anti
atherosklerosis. Verapamil biasanya diberikan pada pasien yang
kontraindikasi terhadap beta blocker. Isoptin® tersedia dalam bentuk oral
(80 mg/tablet) dan injeksi (10 mg/ vial). Untuk pengobatan HT biasanya 2-
3 x 80mg sehari. Untuk pengobatan SVT dapat diberi Isoptin 10 mg I.V.
perlahan-lahan, kemudian dilanjutkan dengan tablet Verapamil diabsorbsi
cukup baik melalui GIT, didistribusi ke seluruh tubuh. Efek samping
verapamil adalah bradikardi, AV blok, hipotensi dan konstipasi.
 Bensotiazepin
Prototip dari golongan ini adalah diltiazem. Diltiazem (Herbesser®) adalah
CCB non dihidropiridin yang menyebabkan dilatasi vasa aferen dan eferen
glomerulus, sehingga memiliki efek lebih baik melindungi pasien diabetik
nefropati yang diukur dari proteinuria. Diltiazem terutama diberikan pada
pasien HT yang disertai angina pektoris, takiaritmia diabetik nefropati,

aterosklerotik carotid, Herbessert (R) tersedia dalam tablet 30 mg/tablet,


diberikan 2-3 kali sehari, dan Herbesser CD 100 mg dan 200 mg diberikan
sehari sekali. Herbesser injeksi (ampuls 10 mg dan 50 mg) dengan dosis 5-
15 ug/kgBb/menit efektif menurunkan TD pada pasien krisis hipertensi.
Efek samping antara lain: pusing dan bradikardi. Flushing, sakit kepala,
peningkatan SGOP dan SGPT, dan gatal gatal juga pernah dilaporkan.

D. Penghambat Sistem Renin-Angiotensinogen11

Sistem Renin Angiotensin (RA) merupakan regulator yang penting dalam


mengatur TD, keseimbangan cairan dan elektrolit. Selama bertahun-tahun sistem
RA dianggap sebagai bagian dari sistem endokrin. Akhir-akhir ini terbukti bahwaj
komponen sistem RA yaitu renin, angiotensinogen, angiotensin (Ang) I dan II dapat
diproduksi secara lokal pada berbagai macam organ seperti jantung, ginjal, otak, 1
paru-paru, dan vaskular, dimana efektor dari sistem RA ini dapat berfungsi secara]
parakrin, autokrin dan intrakrin. Sistem RA dalam sirkulasi {circulating RA system)
1 yang mengatur TD serta homeostasis cairan dan elektrolit hanya berjumlah 10 %
dari seluruh sistem RA dalam tubuh. Sedangkan 90 % sistem RA terdapat di dalam

33
jaringan (tissue RA system) yang berperan pada pengaturan tonus vaskular, proses;
remodeling dan proliferasi sel jantung, ginjal, saraf dan lain-lain. Blokade sistem
RA merupakan pendekatan rasional dalam pengobatan HT, gagal jantung, dan
diabetik nefropati maupun non-diabetik. Akan tetapi melihat homeostasis sistem
RA yang begitu sempuma, obat penghambat aktivitas sistem RA mungkin tidak
memiliki efek besar dalam menurunkan TD kecuali pada pasien yang memiliki
aktivitas renin plasma yang tinggi. Obat golongan ini bermanfaat pada HT ringan
dan sedang, atau diberikan dalam dosis kecil untuk mencegah proses degenerasi
sistem kardiovaskular. Obat yang masuk dalam golongan penghambat aktivitas
sistem RA adalah ACE-inhibitor, AT, Reseptor Blockers (ARB) dan Direct Renin
Inhibitor (DRI)
 ACE-inhibitor
ACE selain mengubah Ang-I menjadi Ang-II, enzim ini juga menghambat
katabolisme kinin menjadi bradikinin. Bradikinin dibentuk dari kininogen
oleh kallikrein. Peptide ini merangsang reseptor bradikinin pada endotel
selanjutnya meningkatkan produksi NO dan prostaglandin yang memiliki
efek vasodilatasi (prostasiklin dan PGE2). Dengan demikian penghambatan
aktivitas ACE oleh ACE-inhibitor meningkatkan konsentrasi bradikinin
yang memiliki efek kardioprotektif.
ACE-inhibitor dibagi 3 golongan:
- Yang mengandung Sulfhydiyl group : Kaptopril
- Yang mengandung dicarboxyl: Enalapril, Lisinopril, Benazepril,
Quinapril Ramipril, Perindopril, Trandopril, Spiripril, Celazapril dan
Pentopril.
- Yang mengandung Phosphorius : Fosinopril.
Mekanisme kerja obat obat ACE-inhibitor semuanya sama (tidak seperti
beta-blockers), dengan demikian memiliki indikasi dan efek samping sama.
Farmakokinetik obat obat ACE-inhibitor juga sama, semuanya diekskresi
melalui ginjal (kecuali fosinopril dan spirapril diekskresi sebagian di ginjal
dan sebagian di hati), sehingga pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis
harus dikurangi. Untuk hipertensi, mekanisme ACE-inhibitor menurunkan
TD adalah melalui:

34
- Menghambat pembentukan Ang-II di sirkulasi maupun di
jaringan.
- Menghambat aktivitas saraf simpatis dengan
menurunkan pelepasan noradrenalin.
- Menghambat pelepasan endotelin.
- Meningkatkan produksi substansi vasodilatasi seperti
NO, bradikinin, prostaglandin dan Ang-( 1 -7).
- Menurunkan retensi sodium dengan menghambat produksi aldosteron.
- Memperbaiki insulin resisten. Insulin menyebabkan up-regulation
reseptor AT, dan retensi sodium.
- Menurunkan medial thickness (rasio elastin/kolagen) pembuluh darah.
Dengan demikian memperbaiki komplians arteri besar sehingga refleks
takikardi tidak terjadi dan hanya terjadi sedikit peningkatan
katekolamin.
Rekomendasi penggunaan ACE-inhibitor:
- Penderita HT dengan aktivitas plasma renin yang tinggi misalnya pada
stenosis arteri renalis. Penderita kulit hitam atau lansia biasanya
memiliki aktivitas plasma renin rendah sehingga tidak memberi respon
yang baik terhadap terapi ACE-inhibitors. Penderita HT dengan DM
yang disertai proteinuria, gagal jantung, pasca miokard infark dengan
gangguan fungsi diastolik. ACE- inhibitor menurunkan resistensi
insulin (efek ini baru tampak pada terapi > 3 bulan). Karena DM sendiri
merupakan faktor risiko berbagai kejadian kardiovaskular, maka target
penurunan TD pada populasi DM dianjurkan lebih rendah dari populasi
biasa. ACE-inhibitor menurunkan after-load dan pre-load, menghambat
proses fibrosis dan growth pada miokard, dengan demikian
memperbaiki geometri ventrikel kiri sehingga fungsi sistolik dan
diastolik ikutmembaik. Penurunan pre-load danperbaikan fungsi
endotel meningkatkan aliran koroner sehingga ACE-inhibitor
bermanfaat pada pasien HT yang juga PJK atau gagal jantung.
- Pasien dengan penyakit renovaskular: ACE-inhibitor meningkatkan
aliran darah ginjal dan menghambat progresivitas gagal ginjal. Pada

35
keadaan dimana terjadi penurunan tekanan perfusi ginjal seperti pada
pasien gagal jantung kongestif berat atau stenosis a. renalis bilateral,
GFR dipertahankan dengan meningkatkan resistensi post-glomerular
arteriole (arteriol eferen oleh produksi Ang-II, maka pemberian ACE-
inhibitor pada kondisi ini harus sangat hati-hati karena dapat
mempresipitasi teijadinya gagal ginjal. Pada penderita dengan fungsi
ginjal normal, ACE-inhibitor dilaporkan dapat meningkatkan kalium.
Kekuatiran kombinasi ACE-inhibitor dengan spironolakton menimbulkan
hiperkalemia ternyata pada Randomized Aldactone Evaluation Study
(Rales) tidak terbukti. Hiperkalemia mungkin terjadi apabila pasien
menderita gangguan fungsi ginjal seperti pada diabetik nefropati. ACE-
inhibitor kontraindikasi pada wanita hamil. Sebaiknya hati hati
penggunaannya pada wanita umur reproduksi.
Obat Nama dagang Sediaan (mg/tab) Dosis(mg/hari) Keterangan
Enalapril - Vasotec 2,5 & 5 2,5 – 40 2 x/hari
Lisinopril Zestril 5 & 10 5-40 1 x/hari
Noperten
Tensinop
Perindopr - Bio-Prexum 5 & 10 2,5-10 1 x/hari
il
Imidapril - Tanapress _5 & 10_ 5-10 1 x/hari_
Ramipnl - Triatec 2,5-5 1 x/hari
Fosinopril - Acenorm-M 10 5-10 1 x/hari
Quinapril - Accupril 10 & 20 10-20 1 x/hari
Benazepri - Lotensin 5 •5 1 x/hari
l
Trandolap - Gopten 0,5 & 2 0,5-2' 1 x/hari
ril
Tabel 8. Preparat ACEi 12
ACE-inhibitor dapat dikombinasikan dengan semua obat antihipertensi
lainnya. Kombinasi yang paling baik adalah dengan diuretik. Efek samping:
- Batuk batuk: batuk kering tejadi pada 5 - 20% pasien. Efek samping ini
tidak berhubungan dengan dosis dan lama penggunaan. Lebih banyak
terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan karena akumulasi bradikinin,
substansi P dan/atau prostaglandin. Dilaporkan bahwa pemberian

36
aspirin, antagonis tromboksan dan preparat besi mengurangi batuk yang
ditimbulkan oleh ACE- inhibitor. Batuk akan mereda setelah 2-3 hari
berhenti obat.
- Dysgeusia: hilang rasa pengecap sering dilaporkan pada penggunaan
kaptopril. Efek samping ini reversible.
- Angioedema: Terjadi pada 0,1 -0,5% pasien. Efek samping ini diduga
berhubungan dengan produksi bradikinin atau reaksi alergis. Gejalanya
adalah pembengkakan di hidung, kerongkongan, glottis, larynx, lidah
dan bibir. Angioedema yang terjadi pada jalan napas dapat
menyebabkan kematian. Proteksi jalan napas dengan pemberian
adrenalin, antihistamin atau kortikosteroid harus segera diberikan.
Angioedema juga dapat terjadi di saluran cerna menimbulkan gejala
berupa mual dan muntah, sakit perut dan diare.
- Skin rash: bercak makulopapular yang disertai gatal atau tidak gatal
pernah dilaporkan. Bercak ini kadang kadang menghilang sendiri atau
dengan mengurangi dosis, atau dengan pemberian antihistamin.
- Lain lain: Hiperkalemia dan gagal ginjal akut telah dibahas diatas.
Hepatotoksik. glikosuria dan proteinuria merupakan efek samping yang
jarang.
E. Angiotensin receptor blockers (ARB)
Angiotensin receptor blockers (ARB) yang pertama dipasarkan adalah
losartan (1995). Dengan memblokade AT2 reseptor, ARB menyebabkan

vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume plasma),


menurunkan hipertrofi vaskular. Efek ini mirip efek ACE-inhibitor sehingga
indikasi ARB dan efek samping hampir sama seperti ACE- inhibitor. ARB bahkan
pernah dilaporkan lebih unggul dari ACE- inhibitor, hal ini disebabkan karena
selain memblokade AT1 ARB tidak menurunkan konsentrasi Ang-II dalam darah,
jadi terjadi perangsangan AT2 lebih banyak oleh Ang-II yang menyebabkan
vasodilatasi dan antiproliferasi. Namun Levy (2004) dan Reudelhuber (2005)
menemukan hasil berbeda, mereka menunjukkan bahwa perangsangan AT2 dapat
menyebabkan fibrosis dan hipertrofi vaskular, serta memiliki efek proinflamasi dan
proatherogenik. Akhir akhir ini ada beberapa studi menunjukkan bahwa ARB

37
sebagai obat antihipertensi meningkatkan insiden miokard infark. Namun hal ini
dibantah oleh Volpe dkk (2009) melalui suatu meta-analisis. Kontroversi ini
menyebabkan beberapa senter menganjurkan ARB sebagai penggati ACE-
inhibitor, artinya ARB hanya diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima
ACE-inhibitor. Walaupun demikian telah dilaporkan bahwa pasien yang
menggunakan ARB terjadi penurunan insiden penyakit Alzheimer, insiden atrial
fibrilasi, dan terjadi peningkatan ekskresi asam urat Angiotensin receptor blockers
(ARB) yang pertama dipasarkan adalah losartan (1995). Dengan memblokade AT2,
reseptor, ARB menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan
(mengurangi volume plasma), menurunkan hipertrofi vaskular. Semua ARB
memiliki bioavailability rendah, namun karena ikatan dengan protein plasma sangat
kuat sehingga ARB hanya diberikan sehari sekali. Efek samping ARB antara lain:
pusing, sakit kepala, diare, hiperkalemia, penurunan rash, batuk-batuk (lebih
kurang dibanding ACE-inhibitor), abnormal taste sensation (metallic taste).
Walaupun jarang terjadi, ARB pernah dilaporkan menyebabkan gagal ginjal dan
gangguan fungsi hati, serta menimbulkan reaksi alergi.
Obat Nama dagang Sediaan (mg/ tab) Dosis (mg/hari) Keterangan
Valsartan - Diovan 80 & 160 40-160 1 x/hari
Losartan - Cozaar 50 25-100 1 x/hari
Telmisartan -Micardis 20&40 20-40 1 x/hari
Irbesartam - Aprovel 150 & 300 150-300 1 x/hari
Olmesartan - Olmetec 5 & 20 5-20 1 x/hari
Candesartan - Blopress 8 & 16 8-16 1 x/hari
Eprosartan - Teventen 400 200 - 400 1 x/hari
Tabel 9. Preparat ARB

38
2.6 Komplikasi hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.
Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke,
transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal
ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor
resiko kardiovaskular lain maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas
akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien
dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit
koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung5

39
BAB III
KESIMPULAN
1. The Joint National Community on Preventation, Detection,Evaluation and
Treatment of High Blood Preassure 7 (JNC-7), WHO dan European Society of
Hipertension mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi dimana tekanan darah
sistolik seseorang lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastoliknya lebih
dari 90 mmHg.
2. Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada
tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD)
< 80 mm Hg.
3. ISH didefinisikan sebagai Tekanan Darah Sistolik ≥140 mmHG dengan Tekanan
Darah Diastol 90 mmHg atau kurang.
4. Krisis hipertensi dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi
urgensi.
5. Etiologi hipertensi di bagi dua yaitu Hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Banyak
penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen.
6. Pengaturan tekanan darah sangat kompleks dan mencakup interaksi antara
berbagai faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel
hemodinamik yakni curah jantung dan resistensi perifer.
7. Untuk mendiagnosis hipertensi data di dapat dari anamnesis mengenai keluhan
pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes
laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik lainnya.
8. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan: terapi nonfarmakologi dan
terapi farmakologi

40
DAFTAR PUSTAKA
1. 2003 World Health Organization (WHO) / International Society of
Hypertension Statement on Management of Hypertension. J Hypertens
2003;21:1983-1992
2. Hajjar I, Kotchen TA. Trends In Prevalence, Awareness, Treatment, And
Control Of Hypertension In The United States, 1998 – 2000. JAMA
2003;290:199-206
3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture Note: kardiologi.
Edisi ke-4. Jakarta: Erlangga; 2003.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
6. Chobaniam AV et al. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
JAMA 2003;289:2560-2572
7. Sherwood Lauralee, 2001 ; Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Human
Physiology: From cells to systems) ; Edisi II, Jakarta, EGC.
8. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U.S.
Department of Health and Human Services. 2003.
9. Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults.
J.Fam Pract 2001;50:707-712
10. Oparil S et al. Pathogenesis of Hypertension. Ann Intern Med 2003;139:761-
776
11. Vasan RS et al, Impact of High Normal Blood Pressure on the Risk of
Cardiovascular Disease, NEJM 2001;345:1291-1297
12. James, Paul et al. 201 Evidence based guideline for the managementof high
blood presure in adults report from the panel members appointed to the
english joint national commitee (JNC 8). JAMA 2014;311(5):507-520
13. Mancia et al. 2013 ESC/ESH guideline for the management of arterial
hypertension. Journal of Hypertension 2013; 31:1281-1357

41
14. Hyman DJ et al. Characteristic Of Patients With Uncontrolled Hypertension In
The United States. NEJM 2001;345:479-486
15. Sacks FM et al. Effects On Blood Pressure Of Reduced Dietary Sodium And
The Dietary Approaches To Stop Hypertension (Dash) Diet. DASH
Collaborative Research Group. NEJM 2001;344:3-10
16. Kabo, Peter. Hipertensi dalam Bagaimana menggunaka obat-obatan
kardiovaskular secara rasional. Edisi 1. 2010. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
17. Myceek, MJ et al. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. 2001. Jakarta:
Widya Medika.

42

Anda mungkin juga menyukai