Anda di halaman 1dari 6

Kepemimpinan di Negara Korea Utara

Democratic People’s Republic of Korea (DPRK: Choson Minjujuui Inmin Konghwaguk)


atau lebih dikenal dengan Korea Utara merupakan salah satu Negara di kawasan Asia Timur
yang menganut sistem Single party yakni Korean Worker’s Party (KWP) yang berdiri sejak 30
Juni 1949 dan dipimpin oleh rezim dictator totalitarian.Korea Utara secara resmi berdiri pada
tanggal 09 September 1948 dengan Pyongyang sebagai ibu kota Negara.
Sebelum berdiri sebagai suatu Negara, Korea Utara merupakan satu kesatuan dengan
Korea Selatan hingga pada akhirnya terpisah setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada saat itu,
wilayah Utara dikuasai oleh Unit Soviet dan di wilayah Selatan dikuasai oleh Amerika Serikat.
Hal ini menandai masuknya Perang Dingin ke semenanjung Korea, dimana Korea Utara
beraliansi dengan blok timur sedangkan Korea Selatan beraliansi dengan blok barat.
Korea Utara merupakan suatu negara yang dipimpin dengan menerapkan sistem
keturunan dalam memilih pemimpin. Dinasti itu dimulai dari kakek Kim Jong-un yaitu
Kim Il Sung. Semenjak berdiri hingga saat ini, Korea Utara telah mengalami tiga kali
pergantian pemimpin yakni Kim Il Sung memimpin dari tahun 1945-1994, Kim Jong Il
memimpin dari tahun 1994-2011, dan Kim Jong Un dari tahun 2011- sekarang. Meskipun
demikian, sistem kepemimpinan dari satu pemimpin ke penggantinya tidak terlalu jauh berbeda.
Misalnya saja, transisi politik dari Kim Jong Il dengan sistem pemerintahan yang terpusat pada
satu pemimpin ke sebuah sistem pemerintahan totalitarian yang lebih kompleks masih terus
berlanjut hingga masa Kim Jong Un. Setelah meninggalnya Kim Il Sung pada tanggal 8 Juli
1994, Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong Il yang merupakan anaknya sendiri. Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, Kim Jong Il masih memakai Juche sebagai ideologi dan
kebijakan luar negeri Korea Utara, tetapi kebijakan untuk memperkuat bidang militer (Militarry
first) lebih diutamakan oleh Kim Jong Il. Alhasil, kemajuan pesat dibidang militer bisa dirasakan
dengan berhasilnya Korea Utara dalam pengayaan uranium dan membuat senjata nuklir. Dengan
mengesampingkan pengembangan sektor ekonomi, pada masa kepemimpinan Kim Jong Il,
ekonomi Korea Utara semakin terpuruk bahkan bisa dikatakan menjadi negara yang gagal (fail
State).
Dalam hal pengambilan kebijakan Negara yang menganut sistem kepemimpinan terpusat
seperti halnya Korea Utara, maka kepribadian dari pemimpin, perilaku, serta gaya kepemimpinan
dapat berdampak pada pengambilan kebijakan yang ada. Melihat pada latar belakang pendidikan
Eropa dan usia yang masih sangat muda sebagai seorang pemimpin Negara, Kim Jong Un
memiliki gaya yang berbeda dengan pendahulunya dalam hal memimpin. Dibalik
kediktatorannya, Kim Jong-un memiliki gaya kepemimpinan Authoritarian. Menurut
Lewin, Lippit, dan White Authoritarian leadership style adalah pemimpin selalu
mengontrol dan mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh bawahannya.
Kim Jong-un adalah pemimpin yang otoriter dan seringkali menghukum
bawahannya dengan tembak mati ketika pekerjaan yang dilakukan tidak becus. Kim Jong-
un tidak begitu besar dalam melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan dan
hanya memfokuskan bawahan menyelesaikan tugasnya. Kim Jong-un juga merupakan
sosok pemimpin dengan tipe the technocrat. pemerintahan. Pemimpin the technocrat juga
cenderung tegas dan keras kepala kepada bawahannya. Setiap pemimpin memiliki Power
dan Influence untuk memimpin dan mengatur bawahannya. Menurut Gary Yukl, power
terbagi atas legitimate power, reward power, coersive power, information
power,  dan  ecological power.

Karakteristik pribadi Kim Jong Un yang bersifat diktator kemudian dilihat dari gaya
kepemimpinan otoriter yang dianut. Berdasarkan tipe kepemimpinan otokratik pemimpin otoriter
memiliki sifat-sifat yakni pemimpin bertindak sebagai diktator dan menggerakkan bawahan
dengan paksaan dan ancaman. Dalam kepemimpinan ini, pemimpin bertindak sebagai diktator
terhadap anggota kelompoknya. Bagi penganut tipe kepemimpinan tersebut, bawahan hanya
bersifat sebagai pembantu, kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah
dan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia kepada
pemimpin dan pemimpin sebagai pemegang kontrol secara secara mutlak. Gaya kepemimpinan
Kim Jong Un yang otoriter telah dianut sejak turun temurun. Sikap otoriter telah melekat erat
pada pemimpin-pemimpin Korea Utara. Mulai dari kakeknya, Kim Il Sung, ayahnya Kim Jong Il
hingga Kim Jong Un. Selama beberapa dekade, Korea Utara telah dipaksa untuk belajar lagu-
lagu pujian yang ditulis untuk ayahnya Kim Jong Il dan kakeknya Kim Il Sung. Lagu pujian ini
kemudian tiba-tiba diperintahkan kepada rakyat Korea Utara menyanyikannya untuk Kim Jong
Un. Karakter personal Kim Jong Un yang bersifat diktator ini dapat dilihat dari kepemimpinan
otoriter yang dijalankan oleh Kim Jong Un. Sehingga hal inilah yang kemudian mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh Kim Jong Un dan menghasilkan kebijakan Korea Utara yang
konfrontatif terkait dengan meningkatnya eskalasi konflik di Semenanjung Korea tahun 2013.

Pembuatan keputusan atau kebijakan tidak hanya tentang pengaturan agenda dan
mengadakan pertemuan. Dalam sistem kepemimpinan terpusat Korea Utara, kepribadian
pemimpin, sikap, dan gaya kepemimpinan sangat berdampak pada bagaimana keputusan
pemimpin agung dibuat. Ini adalah sebuah sistem yang membuat sulit bagi bupati dan penasihat
untuk menjaga agar pemimpin terfokus pada satu set masalah atau prioritas. Pengambilan
kebijakan dapat dilakukan dengan kehendak dan ego Pemimpin Agung. Selain itu, karena rezim
tergantung pada masukan terhadap etos kerja dan perhatian pada setiap detail fungsi kerja maka
hal ini memiliki dampak yang besar pada efisiensi proses pembuatan kebijakan (Ken E. Gause,
2013). Karakter Kim Jong Un yang diktator sangat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan.
Pembuatan keputusan di Korea Utara ini yang kemudian menghasilkan kebijakan luar negeri
yang konfrontatif terkait dengan keputusan-keputusan sepihak yang diambil oleh pemimpin
tertinggi Korea Utara yakni Kim Jong Un. Kebijakan Korea Utara yang konfrontatif merupakan
kebijakan program nuklir yang Kim Jong Un ambil didasarkan pada kehendaknya dengan
difokuskan pada bagaimana Korea Utara harus melindungi diri dari ancaman eksternal

Selama kurang dari tiga tahun kepemimpinannya, Kim Jong Un melakukan kebijakan
keamanan dengan meningkatkan kekuatan militer serta melakukan tindakan-tindakan yang lebih
provokatif dan agresif. Hal tersebut dapat ditunjukkan ketika Korea Utara melakukan tindakan
provokasi dengan melakukan peluncuran Missil pada 13 Maret 2012 sebagai bentuk
penghargaan atas perayaan 100th kelahiran Kim Il Sung, namun peluncuran tersebut gagal dan
untuk mengatasi rasa malu karena kegagalan yang sempat dialami sebelumnya, Korea Utara
pada 12 Desember 2012 melakukan peluncuran roket long-range Unha-3. Rocket tersebut
diluncurkan dari tempat peluncuran Dongchang-ri yang berlokasi di pesisir pantai barat Korea
Utara. Kemudian pada bulan februari 2013 Korea Utara kembali melakukan uji coba Nuklir
bawah tanah, yang mana hal tersebut dianggap sebagai bentuk penegasan atas perlawanan
terhadapaliansi Korea Selatan-Amerika Serikat. Sifat dan karakteristik personal Kim Jong Un
tersebut kemudian mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri Korea Utara yang mengarah
pada kebijakan Korea Utara yang konfrontatif terkait dengan kebijakan pengembangan nuklir
dan uji coba nuklir yang menyebakan eskalasi konflik di Semenanjung Korea kembali
meningkat.

 Penelitian Terdahulu
1. Penelitian terdahulu yang pertama ialah skripsi dari Galih Wisnu Aji(09260079)
yang berjudul Kebijakan Self Defense Korea Utara Dalam Upaya Mengantisipasi
Invasi Militer Amerika Serikat Pasca Peristiwa 11 September 2001. Dalam
skripsi yang dibuat tahun 2013 tersebut, Galih menjelaskan bahwa kebijakan
proliferasi nuklir Korea Utara dilakukan sebagai cara untuk melindungi diri dari
potensi ancaman militer Amerika Serikat. Dengan kata lain ialah Korea Utara
menggunakan senjata nuklirnya sebagai bentuk detterence. Hal tersebut diperkuat
setelah Amerika membuat kebijakan global war on terrorism pasca tragedi 11
September 2001 yang lalu. Dalam kebijakannya tersebut, Amerika Serikat
menggolongkan Korea Utara kedalam Negara-negara poros setan atau exis of evil.
Sebutan tersebut disematkan kepada Korea Utara karena Korea Utara memiliki
senjata uranium dan nuklir yang mana dalam hal ini Amerika Serikat khawatir akan
digunakan untuk membantu teroris dalam melawan Amerika Serikat mengingat
selama ini Korea Utara dan Amerika Serikat memiliki hubungan yang tidak baik.
2. Penelitian terdahulu yang kedua ialah penelitian dari Anthony H. Cordesman yang
berjudul The Korean Military Balance: Comparative Korean Forces and the Forces
of Key Neighboring States dalam jurnal CSIS (Center for Strategic and
International Studies) Juli 2011. Dalam jurnalnya, Cordesman menjelaskan bahwa
setiap aktor yang melakukan perimbangan pada dasarnya memiliki kekuatan dan
pengeluaran militer yang berbeda-beda. Namun, perimbangan atau balancing akan
menjadi sangat menarik karena kedua Korea memiliki pendukung masing-masing di
dalam kawasan yang mana kekuatan dari pendukung masing-masing Negara juga
sangat dipertimbangkan sebagai sebuah bentuk power balancing.
3. Penelitian terdahulu yang ketiga ialah penelitian dari Ryo Hinata Yamaguchi, Ph.D
yang berjudul Military Capability Management In the Democratic People’s
Republic of Korea: The Impact of Domestic Situational and Structural Factors on
Military Capability and Strategy. Dalam penelitiannya tersebut, Ryo Hinata
menjelaskan bahwa pengolahan manajemen militer di Korea Utara banyak
dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor dan juga berbagai pertimbangan baik itu
yang berasal dari internal Korea Utara sendiri maupun eksternal. Yang dimaksud
dengan faktor internal tersebut ialah berasal dari aspek politik dan ekonomi di dalam
rana domestik Korea Utara yang berarti bahwa politik dan ekonomi memberikan
pengaruh dalam perencanaan strategis Korea Utara.
4. Penelitian terdahulu yang keempat ialah Asian Journal for Social Sciences &
Humanities Vol.2 No.2 Mei 2013 dari Seoyeon Yoon dan Kyunghan Lim yang
berjudul North Korea’s National Security Strategy and It’s Implications for South
Korea. Dalam penelitiannya, yoon dan lim menjelaskan bahwa Korea Utara berusaha
untuk mempertahankan hegemoni rezim Kim dengan mempertahankan dan berpaku
pada ideologi Juche (Self-reliance). Juche sendiri merupakan sebuah nilai yang sangat
penting untuk mendukung agenda nasional Korea Utara seperti halnya Songun
(Military first Policy). Bagi Korea Utara, yang paling penting dalam mempertahankan
kepentingan Negaranya ialah dengan meningkatkan kemanan nasionalnya. Seperti
yang telah dijelaskan dalam penelitian sebelumnya yakni “Being the only divided
country in the world, North Korea’s first national interest wiil be national security”.
5. Penelitian terdahulu kelima ialah penelitian dari Hong Nack Kim. Ph.D dalam
International Journal of Korean Studies Vol. XXI, No. 2 West Virginia University
yang berjudul The Kim Jong Un Regime’s Survival Strategy and Prospects for the
Future of North Korea. Dalam penelitiannya, Nack Kim menjelaskan bahwa terdapat
beberapa hal yang akan menjadi fokus dari rezim Kim Jong Un dimasa yang akan
datang yakni masalah politik dalam negeri, ekonomi, dan hubungan dengan Korea
Selatan. Mengenai masalah politik, tidak akan ada banyak perubahan dari sistem dan
pola kebijakan yang ada, hanya saja Kim Jong Un sebagai pemimpin muda yang
dianggap masih tidak terlalu berpengalaman harus mencari legitimasi dari rakyat dan
juga elit pemerintahan. Dalam hal ekonomi, Kim Jong Un akan dihadapkan pada
masalah ekonomi yang sangat berat, oleh karena itu diharapkan akan adanya
perubahan pada rezim pemerintahan yang baru untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakatnya. Sehingga, Pyongyang perlu adanya reformasi ekonomi dan membuka
dirinya ke dunia internasional seperti halnya China pada masa Deng Xiaoping.
Referensi :

1. Paramitha, Devy Indah. 2014. Kebijakan Keamanan Korea Utara Pada Masa
Pemerintahan Kim Jong Un Atas Aliansi Korea Selatan-Amerika Serikat.
https://minio1.123dok.com/dt03pdf/123dok/pdf/2017/02_14/xvmfph1591262163.pdf?X-
Amz-Content-Sha256=UNSIGNED-PAYLOAD&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-
SHA256&X-Amz-Credential=HBT28R878GBP52A279VA%2F20210301%2F
%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-Date=20210301T114416Z&X-Amz-
SignedHeaders=host&X-Amz-Expires=600&X-Amz-
Signature=866e6dc1cd111f2803fd1be83fdd2f4809efc1166b1567c54b0774bb5e8b9640.
Diakses pada tanggal 28 Februari 2021.
2. Hong Nack Kim, The Kim Jong Un Regime’s Survival Strategy and Prospects for the
Future of North Korea, International Journal of Korean Studies Vol. XXI, No. 2, 2012,
West Virginia University, hal. 10.
3. Ole. R. Holsti, 2004, Public Opinion and American Foreign Policy, 2ed, Ann Arbor: The
University of Michigan Press, hal. 15-26 dikutip dalam Master Thesis, Audun Reiby,
Public Opinion and US China Policy: A Quantitative Analysis of the Relationship
between America Public Opinion and America Policy toward China, 1990-2004, May
2012, University of Oslo, hal.19.
4. Alexanre Y. Mansourov, Kim Jong Un’s First 500 Days: Consolidating Power and
Clearing Political Space for National Revival,International Journal of Korean Unificaton
Studies, Vol.22, No. 1. 2013. 81-108, hal. 81.
5. Siswoyo, Reestya Dyahwatie. 2015. Pengaruh Idiosinkratik Kim Jong Un Terhadap
Kebijakan Luar Negeri Korea Utara Studi Kasus Meningkatnya Eskalasi Konflik di
Semenanjung Korea (2013). Global & Policy Vol.3 No.1 Januari-Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai