Anda di halaman 1dari 39

LEGAL ETIK PELAYANAN KEPERAWATAN GAWAT

DARURAT DI LUAR RUMAH SAKIT

DI SUSUN OLEH :
Kelompok 3
Annisa Aryati (14.IK.375)
Ayu Lestari (14.IK.378)
Azhari (14.IK.379)
Devi Kharismawati (14.IK.385)
IrfaniFikri (14.IK.392)
Lia Fitriani (14.IK.394)
Lisa Fitriani (14.IK.395)
M. Fikriyadi (14.IK.401)
Noor Laila Sari (14.IK.407)
M. Sarifansyah (13.IK.313)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIK 2017-2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gawat darurat atau emergensi merupakan suatu keadaan yang membutuhkan
tindakan segera untuk menanggulangi ancaman terhadap jiwa atau anggota badan yang
timbul secara tiba-tiba. Keterlambatan penanganan dapat membahayakan pasien,
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau mengancam kehidupan.
Pada Keperawatan Gawat Darurat diperlukan asuhan keperawatan secara
langsung kepada pasien dengan berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan
keperawatan tersebut harus dilaksanakan secara teliti, cepat, dan tepat agar menjauhkan
pasien dari keadaan yang mengancam jiwa maupun yang menyebabkan kecacatan.
Tahap pertama diawali dengan triage, yaitu tindakan memilah-milah korban sesuai
dengan tingkat kegawatannya untuk mendapatkan prioritas penanganan.
Tindakan awal dalam penanganan gawat darurat adalah ABCDE. A yaitu airway
management, breathing management, circulation management, drug management dan
EKG management. Hal – hal tersebut harus sangat diperhatikan oleh tenaga medis,
dalam hal ini khususnya perawat. Dalam keperawatan gawat darurat ini peran perawat
yang sangat utama yaitu Fungsi Independen yang merupakan fungsi mandiri berkaitan
dengan pemberian asuhan (Care); Fungsi Dependen yang merupakan fungsi yang
didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain; Fungsi Kolaboratif yang
merupakan kerjasama saling membantu dalam program kesehatan (Perawat sebagai
anggota Tim Kesehatan). Perawat harus benar-benar menjalankan perannya karena
apabila hal ini diabaikan maka perawat akan banyak menghadapi dilema-dilema etik
yang sulit dipertanggung jawabkan secara hukum.
Dalam pelaksanaan kegawat daruratan terdapat aspek legal dari setiap tindakan
yang dilakukan. Aspek legal diperlukan untuk melindungi profesi khususnya perawat
dalam melakukan berbagai hal dalam tindakan kegawatdaruratan. Maka dari itu dalam
makalah ini akan dibahas mengenai aspek legal dari ekegawat daruratan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagimanakah perkembangan profesi keperawatan?
2. Bagiamanakah Kontabilitas dalam profesi keperawatan?
3. Apasajakah yang mempengaruhi Eksistensi profesi keperawatan?
4. Bagaimanakah peran perwat sebagai tenaga kesehatan?
5. Apakah isi pasal 24 UU No. 36 Th. 2009?
6. Apakah isi pasal 24 UU No. 36 Th. 2009?
7. Apakah isi pasal 27 UU No. 36 Th. 2009?
8. Apakah isi PP 32 tentang tenaga kesehatan?
9. Apasajakah yang mempengaruhi Eksistensi profesi keperawatan di rumah sakit?
10. Apasajakah standar pelayanan kegawatdaruratan di rumah sakit?
11. Apakah pengertian perawat menurut Permenkes Nomor 148 Tahun 2010?
12. Apasajakah syarat – syarat pendelegasian tugas ?
13. Apasajakah aspek hukum dalam pelaksanaan kegawatdaruratan?
14. Bagimanakah pengaturan pelayanan kegawatdaruratan?
15. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab profesional perawat?
16. Bagimanakah kode etik dalam duni keperawatan Indonesia?
17. Apasajahakah tanggungjawab hukum profesi perawat?
18. Apasajakah doktrin tanggung jawab hukum dalam keperawatan?
19. Apasajakah landasan etik moral tanggung jawab perawat?
20. Bagaimanakah proses perijinan praktik keperawatan?
21. Apasajahkah kewenangan perawat?
22. Apasajakah yang termasuk dalam tindakan keperawatan komplementer?
23. Kapankah perawat dapat melakukan tindakan diluar kewenangannya?

C. Tujuan
1. Mengetahui perkembangan profesi keperawatan
2. Mengetahui kontabilitas dalam profesi keperawatan
3. Mengetahui yang mempengaruhi Eksistensi profesi keperawatan
4. Mengetahui peran perwat sebagai tenaga kesehatan
5. Mengetahui tentang pasal 24 UU No. 36 Th. 2009
6. Mengetahui tentang pasal 24 UU No. 36 Th. 2009
7. Mengetahui tentang pasal 27 UU No. 36 Th. 2009
8. Mengetahui mengenai PP 32 tentang tenaga kesehatan
9. Mengetahui yang mempengaruhi Eksistensi profesi keperawatan di rumah sakit
10. Mengetahui standar pelayanan kegawatdaruratan di rumah sakit
11. Mengetahui pengertian perawat menurut Permenkes Nomor 148 Tahun 2010
12. Mengetahui syarat – syarat pendelegasian tugas
13. Mengetahui aspek hukum dalam pelaksanaan kegawatdaruratan
14. Mengetahui sistem pengaturan pelayanan kegawatdaruratan
15. Mengetahui bentuk tanggung jawab profesional perawat
16. Mengetahui kode etik dalam duni keperawatan Indonesia
17. Mengetahui tanggungjawab hukum profesi perawat
18. Mengetahui doktrin tanggung jawab hukum dalam keperawatan
19. Mengetahui landasan etik moral tanggung jawab perawat
20. Mengetahui proses perijinan praktik keperawatan
21. Mengetahui kewenangan perawat
22. Mengetahui yang termasuk dalam tindakan keperawatan komplementer
23. Kapankah perawat dapat melakukan tindakan diluar kewenangannya

\
D. Manfaat
Makalah ini dibuat untuk dapat memahami mengenai aspek legal dalam tindakan
kegawatdaruratan untuk menjadi landasan dalam melakukan tindakan kegawat
daruratan.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Perawatan
1. Pengertian Perawat Menurut Permenkes Nomor 148 Tahun 2010
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 148 Tahun
2010 Tentanag Praktik Perawat dan Tanggung Jawab Perawat. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI
2. Syarat Pendelegasian
Adanya wewenang atribusi menyebabkan organ pemerintahan sebagai
penerima wewenang menjadi berwenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Sumber utama
pembentukan dan distribusi wewenang atribusi adalah UUD 1945, yang ditetapkan
lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan. Pemberian wewenang melalui
atribusi dapat dilakukan pembentukan wewenang tertentu oleh pembuat peraturan
perundang-undangan dan diberikan kepada organ-organ tertentu sebagai bagian dari
organ pemerintahan. Organ yang berwenang membentuk wewenang adalah organ
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sebagai badan yang
mempunyai wewenang.
Delegasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintah kepada organ pemerintahan lainnya. Dalam konteks pelayanan
kesehatan, wewenang melakukan tugas medis dari dokter dilimpahkan kepada
perawat. Pelimpahan wewenang dengan cara delegasi merupakan pelimpahan
wewenang yang berasal dari pelimpahan satu orang/organ/badan kepada
orang/organ/badan lain, dengan syarat:
a. Harus definitif, pemberi wewenang tidak dapat menggunakan lagi
wewenang/tugas yang telah dilimpahkan;
b. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, wewenang/tugas hanya
mungkin dilimpahkan jika ada ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan;
delegasi tidak kepada bawahan sehingga dalam hubungan kepegawaian tidak
diperlukan lagi adanya delegasi;
c. Pemberi wewenang wajib untuk memberikan penjelasan/keterangan dan
penerima wewenang berwenang untuk meminta penjelasan tentang
pelaksanaan wewenang tersebut; dan
d. Peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), pemberi wewenang memberi
instruksi/petunjuk tentang penggunaan wewenang

B. Aspek Hukum Kegawatdaruratan


1. Landasan Hukum Pelayanan Gawat Darurat
a. UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan
b. UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
c. UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
d. UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
e. UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan
f. UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit
g. PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan
h. PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
i. Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan
2. Aspek aspek Hukum dan perlindungan hukum Pelayanan Gawat Darurat
oleh profesi keperawatan.
Dalam Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat Inap,
Rawat Jalan dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib
memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti
kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam
pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum
dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit”.
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan
medis. Gawat Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita,
keluarga, atau siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke
rumah sakit memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat
memerlukan pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. (Etika dan
Hukum Kesehatan, Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo 2010).
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi
dan Praktik Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi dn
izin praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan
diluar kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a)
Perawat berhak Memperoleh perlindungan hukum.
Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan
penyelenggaran Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat
(I), Dokter dan dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan
kedokteran dan tindakan kedokteran gigi , kepada perawat, bidan atau tenaga
kesehatn lainnya secara tertulis.
C. Pengaturan Pelayanan Kegawat Daruratan
1. Sistem pelayanan pra rumah sakit.
Dalam rentang kondisi pra-rumah sakit dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
sehingga sangat diperlukan peran serta dan bantuan masyarakat dan petugas
kesehatan, tindakan yang dapat anda lakukan untuk penanganan kondisi
kegawatdaruratan antara lain :
a. Singkirkanlah benda-benda berbahaya yang dapat menimbulkan risiko jatuhnya
korban lagi. Anda boleh menolong apabila kondisi telah aman.
b. Anda lakukan triase atau memilah dan menentukan kondisi korban serta
memberikan pertolongan pertama sebelum petugas yang lebih kompeten datang.
c. Anda lakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
d. Lakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman atau
sarana pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kondisi korban.
e. Persiapkan masyarakat dan tenaga kesehatan melalui pelatihan siaga bencana.
Dalam sistem pelayanan pra rumah
sakit dilakukan dengan membentuk dan mendirikan PSC (Public Safety
Center) yaitu unit kerja yang memberikan pelayanan umum terutama yang
bersifat gawat darurat. Selain itu pelayanan pra rumah sakit dilakukan pula
dengan membentuk satuan khusus dalam penanganan bencana yang kemudian
dikenal dengan BSB (Brigade Siaga Bencana), pelayanan ambulan dan subsistem
komunikasi. Pelayanan sehari-hari meliputi :
PSC (Public Safety Center)
Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal
kegawatdaruratan, termasuk pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam waktu
singkat dan dimanapun berada. Pengorganisasian dibawah pemerintah daerah,
SDM terdiri dari berbagai unsur, antara lain unsur kesehatan (ambulan), unsur
Pemadam Kebakaran, unsur Kepolisian serta masyarakat yang berperan serta
dalam upaya pertolongan bagi masyarakat. (gabungan dari AGD 118, SAR/PK
113, Polisi 110). Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang bertujuan
untuk mendapatkan respons cepat (quick response) terutama pelayanan pra RS.
BSB (Brigade Siaga Bencana)
Adalah unit khusus yang disiapkan dalam penanganan kegiatan pra rumah sakit,
khususnya berhubungan dengan kegiatan pelayanan kesehatan dalam
penanganan bencana.
Pengorganisasian dibentuk di jajaran kesehatan (Kemenkes, Dinkes, Rumah
Sakit), petugas medis (dokter dan perawat) dan petugas non medis (sanitarian,
gizi, farmasi, dll). Pembiayaan didapat dari instansi yang ditunjuk dan
dimasukkan dalam anggaran rutin (APBN/APBD).
f. Pelayanan Ambulans (Ambulance Service)
Adalah menyelenggarakan kegiatanpelayanan terpadu dalam satu
koordinasidengan memberdayakan ambulan milik Puskesmas, milik klinik atau
Rumah Bersalin (RB), milik Rumah Sakit maupun milik institusi non kesehatan
seperti PT Jasa Marga, Polisi. Pengkoordinasian melalui satu center/pusat
pelayanan yang disepakati bersama untuk mobilisasi ambulan terutama bila
terjadi korban massal.
Komunikasi, dalam kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari
memerlukan sebuah sub sistem komunikasi yang terdiri dari jaring penyampaian
informasi, jaring koordinasi dan jaring pelayanan gawat darurat sehingga seluruh
kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem terpadu.
Pembinaan, dilakukan melalui berbagai jenis pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan keterampilan bagi tenaga medis (dokter dan perawat) maupun awam
khusus, pembinaan juga dilakukan melalui penyuluhan bagi masyarakat awam
dll
Sistem pelayanan pada keadaan bencana.
g. Koordinasi dan komando, dalam keadaan bencana diperlukan kegiatan yang
melibatkan unit-unit kegiatan dari lintas sektor. Kegiatan akan efektif dan efisien
bila berada dalam satu koordinasi.
h. Eskalasi dan mobilisasi sumber daya, kegiatan penanganan bencana dan
terjadinya korban masal mengharuskan dilakukannya eskalasi
atau berbagai peningkatan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
mobilisasi SDM, mobilisasi fasilitas dan sumber daya lain sebagai pendukung
pelayanan kesehatan bagi korban bencana.
i. Simulasi, dalam penyelenggaraan kegiatan diperlukan ketentuan-ketentuan baik
berupa prosedur tetap (protap) maupun petunjuk pelaksanaan (juklak) atau
petunjuk teknis (juknis). Ketentuan-ketentuan tersebut perlu diuji melalui
simulasi agar dapat diketahui apakah semua rancangan dapat diimplementasikan
pada kenyataan yang sebenarnya di lapangan.
j. Pelaporan, monitoring dan evaluasi, penangananbencanayang telah
dilakukanharus didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan sistematika
yang disepakati. Data tersebut digunakan untuk melakukan monitoring maupun
evaluasi keberhasilan maupun kegagalan suatu kegiatan, sehingga kegiatan
selanjutnya akan lebih baik dan berhasil.
2. Sistem pelayanan medik antar rumah sakit
a. Jejaring rujukan dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan baik dari segi kuantitas kemampuan menerima pasien
maupun kualitas pelayanan yang dihubungkan dengan kemampuan SDM dan
kesediaan fasilitas medis maupun perkembangan teknologi.
b. Evakuasi, adalah transportasi yang terutama ditujukan dari rumah sakit lapangan
menuju ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit dikarenakan
adanya bencana yang terjadi pada satu rumah sakit dimana pasien
harus dievakuasikan ke rumah sakit lain.
c. Sistem Informasi Manajemen, diperlukan pada suatu rumah sakit yang
menghadapi kompleksitas permasalahan dalam pelayanan. Diperlukan
puladalam audit pelayanan dan hubungannya dengan sistem penunjang
termasuk manajemen keuangan.
d. Koordinasi dalam pelayanan terutama pelayanan rujukan diperlukan pemberian
informasi keadaan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan sebelum pasien
ditransportasikan ke rumah sakit tujuan.
Prinsip Umum
a. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki
kemampuan :
1) Melakukan pemeriksaan awal kasus – kasus gawat darurat
2) Melakukan resusitasi dan stabilisasi ( life saving )
b. Pelayanan di Instalasi Gawat darurat Rumah sakit harus dapat memberikan
pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu
c. Bebagai nama untuk instalasi / unit pelayanan gawat darurat di rumahsakit
diseragamkan menjadi INSTALASI GAWAT DARURAT ( IGD )
d. Rumah sakit tidak bokleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat
darurat
e. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 menit setelah sampai di IGD
f. Organisasi Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) didasarkan pada organisasi
multidisiplin, multiprofesi, dan terintegrasi, dengan struktur organisasi
fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan unsure pelaksanan, yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat darurat
di Instalasi Gawat Darurat ( IGD ), dengan wewenang penuh dipimpin oleh
dokter
g. Setiap rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat
daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi berikut.
Hal yang perlu diketahui :
1) Cara minta tolong
2) Cara RJP
3) Cara menghentikan perdarahan
4) Cara memasang bidai
5) Cara transportasi
Penanggulangan cepat & tepat
1) Kesiapsiagaan
2) Triase
3) Survey primer
4) Resusitasi
5) Evaluasi
6) Survey sekunder
7) Evaluasi
8) Pemantauan berkelanjutan
9) Terapi definitif

3. Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu


Dalam perkembangannya tindakan pertolongan pertama diharapkan menjadi bagian
dari suatu sistem yang dikenal dengan istilah Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu, yaitu sistem pelayanan kedaruratan bagi masyarakat yang
membutuhkan, khususnya di bidang kesehatan.
Keberhasilan penanggulangan pasien gawat darurat tergantung dari terlaksananya 4
kecepatan, yaitu :
a. Kecepatan ditemukannya adanya pasien gawat darurat.
b. Kecepatan dan respon petugas
c. Kemampuan dan kualitas petugas
d. Kecepatan minta tolong

D. Bentuk Tanggungjawab Profesional Perawat


Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat
berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara
hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi.
1. Pertanggungjawaban Hukum Perdata
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan
ketentuan Pasal 1239 KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat
dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat)
prinsip sebagai berkut:
a. Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal
1365 BW dan Pasal 1366 BW “Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas
diri orang lain berarti orang yang melakukannya harus membayar kompensasi
sebagai pertanggungjawaban kerugian dan seseorang harus bertanggungjawab
tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga
karena kelalaian atau kurang berhati-hati”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan
kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan
kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri.
Dilihat dari ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata di atas maka pertanggungjawaban
perawat tersebut lahir apabila memenuhi empat unsur yakni:
1) Perbuatan itu melanggar hukum
2) Ada kesalahan
3) Pasien harus mengalami suatu kerugian
4) Ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian
Mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum, undang-
undang tidak memberikan perumusannya. Namun sesuai dengan yurisprudensi
Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919[4] ditetapakn adanya empat kriteria perbuatan
melanggar hukum yaitu:
1) perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2) perbuatan itu melanggar hak orang lain
3) perbuatan itu melanggar kaedah tata susia
4) perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-
hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama
warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dengan demikian bila dilihat dari konsep hukum keperawatan maka pelanggaran
terhadap penghormatan hak-hak pasien yang menjadi salah satu kewajiban
hukum perawat dapat dimasukkan ke dalam perbuatan melanggar hukum.
Pelanggaran tersebut misalnya tidak memberikan menjaga kerahasiaan medik
pasien. Dan apabila pasien atau kelaurganya menganggap perawat telah
dirugikan oleh perbuatan perawat yang melanggar hukum tersbut maka
pasien/keluarganya dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi sesuai dengan
ketentuan Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009.
b. Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability
atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the
captain of ship melalui Pasal 1367 BW yang menyebutkan bahwa “Seseorang
harus memberikan pertanggungjaaban tidak hanya atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan
dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya”
c. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi
dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk
pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja
di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama
bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien.
d. Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW
e. “Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu,
mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia
secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan
urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan
sendiri urusan itu. la memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya,
seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan
tegas”
f. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat
yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana
tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. Perlindungan hukum dalam
tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes
No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum
apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10
tersebut.
Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang peraawat akan dimintai
pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu:
a. Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang
perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan
fungsinya, peran maupun tindakan keperawatan
b. Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai
fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien
dengan kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu
sampai penuh. Tindakan tersebut megakibatkan pasien mengalami infeksi
saluran urine dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang.
c. Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas
yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan
aliran air infus pasien di malam hari hanya karena tidak mau terganggu
istirahatnya.
d. Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila
seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari
dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya
belum terlatih. Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi,
maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang
bersangkutan sesuai personal liability.

2. Pertanggungjawaban Hukum Pidana


Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat
baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
a. suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal
8 Permenkes No. 148/2010.
a. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami
konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah
mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang
menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien.
b. Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan
(culpa). Kesalahan disini bergantung pada niat (sengaja) atau hanya karena lalai.
Apabila tindakan tersebut dilakukan karena niat dan ada unsur kesengajaan,
maka perawat yang bersangkutan dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana.
Sebagai contoh seorang perawat yang dengan sadar dan sengaja memberikan
suntikan mematikan kepada pasien yang sudah terminal. (disebut dengan
tindakan euthanasia aktif)
c. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan
pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu
tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar. Sebagai contoh perawat yang
menjalankan peran terapeutik atau yang melaksanakan delegated medical
activities dengan beranggapan perintah itu adalah sebuah tindakan yang benar.
Tindakan tersebut tidak menjadi benar namun alasan perawat melakukan hal
tersebut dapat dimaafkan.
Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana secara prinsip adalah personal
liability dan bila dilakukan dalam dalam lingkup technical activities maupun
dalam menjalankan peran koordinatif dimana perawat memahami bahwa
tindakan tersebut bertentangan dengan hukum , maka dokter yang memberi
perintah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Apabila pelayanan kesehatan tersebut dilakukan perawat di sebuah RS dimana
perawat berstatus sebagai karyawan, maka berdasarkan Pasal 46 UU Rumah
Sakit, maka RS dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dengan ancaman
sanksi berupa denda.

3. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi.


Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya
pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan
praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permenkes No. 148/2010 telah
memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni:
a. Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri.
b. Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur
dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10
c. Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan
terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative
malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Namun penulis melihat ada 2
(dua) ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di
sebuah RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang
mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin
praktik. Sementara dalam Permenkes No, 148/2010 SIPP bagi perawat yang
bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri)
tidak diperlukan. Kerancuan norma ini akan membingungkan penyelenggara yan
bersangkutan dala menjalankan profesinya. Namun apabila dilihat dari
pembentukan perundang-undangan maka kekuatan mengikat undang-undang
akan lebih kuat dibandingkan senuah peraturan menteri yang di dalam UU NO,
10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai bagian dari perundang-undangan.
Bentuk Sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum
adminitarsi ini adalah:
1) teguran lisa;
2) teguran tertulis;
3) pencabutan izin
Dalam praktek pelaksanaannya, banyak perawat yang melakukan praktik
pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan dan penegakan diagnosa tanpa
SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota Jambi, pelanggaran ini masih
banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan pengawasan dan penerapan sanksi
represif sebagai upaya pemerintah memberikan perlindungan pada masyarakat.

E. Kode etik Keperawatan


Kode etik disusun dan disahkan oleh organisasi atau wadah yang membina
profesi tertentu baik secara nasional maupun internasional. Kode etik keperawatan di
Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia melalui Musyawarah Nasional PPNI di jakarta pada tanggal 29 November
1989.
Kode etik keperawatan Indonesia tersebut terdiri dari 4 bab dan 16 pasal.
1. Bab 1 terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat
terhadap individu, keluarga, dan masyarakat.
2. Bab 2 terdiri dari lima pasal menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap
tugasnya.
3. Bab 3 terdiri dari dua pasal, menjelaskan tanggung jawab perawat terhadap sesama
perawat dan profesi kesehatan lain.
4. Bab 4 terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat
terhadap profesi keperawatan.
5. Bab 5 terdiri dari dua pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap
pemerintah, bangsa, dan tanah air.
Dengan penjabarannya sebagai berikut:
Perawat dan Klien
1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan
martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama
yang dianut serta kedudukan social.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana
lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan
hidup beragama dari klien
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan
keperawatan
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Perawat dan Praktik
1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui
belajar terus menerus
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai
kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu
menunjukkan perilaku professional
Perawat dan Masyarakat
1. Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan
mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan
masyarakat.
Perawat dan Teman Sejawat
1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun
dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.

Perawat dan Profesi


1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi
keperawatan
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan
yang bermutu tinggi.

F. Tanggung Jawab hukum Perawat


Pertanggungjawaban terhadap hukum dalam dunia kesehatan terutama dalam
pelaksanaan suatu pelayanan medis, dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Pertanggungjawaban secara Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksud dalam suatu pertanggungjawaban tindakan
medis adalah adanya unsur ganti-rugi jika dalam suatu tindakan medis terdapat suatu
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga medis. Hukum perdata ini, juga
dikaitkan dengan isi Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 pasal
29 yang menyebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi.” Dimana yang dimaksud dalam mediasi ini adalah
suatu rangkaian proses yang harus dilewati oleh setiap perkara sebelum masuk ke
pengadilan. Mediasi ini merupakan upaya dari pihak-pihak yang berpekara untuk
berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Mengenai seberapa besar biaya
yang dikeluarkan akibat suatu proses mediasi merupakan tanggung jawab dari pihak
yang memiliki perkara. Gugatan untuk meminta pertanggung jawaban kepada
tenaga kessehatan beersumbeer kepada dua dasar hokum yaitu: pertama,
berdasarkan pada wanprestasi (contractual laibiliti) sebagaiman di atur dalam pasal
1239 KUH Perdata. Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hokum
(Onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan pasal 1356 KUH Perdata.
Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila terpenuhinya usur-unsur
beriku ini:
a. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien terjadi kegagalan beerdasar
kontrak teraupetik.
b. Tenaga kesehatan telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut
dan menyalahi tujuan kontrak teraupetik.
c. Pasien menderita kerugian akibat tindakan tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
Dalam transaksi traupetik, posisis tenaga kesehatan denga pasien adalah
sedeerajat. Dengan posisi yang demikian ini hhukum menempatkan keduanya
memiliki tanggung gugat hokum.
Tentang apa yang di maksud dengan perbuatan melanggar hukum, undang-
undang sendiri tidak memberikan perumusannya. Namun sesuai dengan
Yurisprudensi Arrest Hoge Road, 31 januari 1919 di terapkan adanya empat criteria
perbuatan melanggar hukum yaitu:
a. Peerbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
b. Prbuatan itu melanggar hak orang lain
c. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila
d. Perbuatan itu beertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-
hati yang seharusnya di miliki seseorang dala pergaulan denngan sesama
warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain
Dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan, bila pasien atau keluarganya
menganggap tenaga kesehatan telah melakukan perbuatan melanggar hokum maka
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi menurut ketentuan pasal 58 unndang-undang
no.36 tahhun 2009 tentang kesehatan.
Kemudian kelalaian dalam tindakan medis, diatur dalam pasal 1365-1366 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, jika tindakan medis tersebut hingga menimbulkan
suatu kematian, maka diatur dalam pasal 1370 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan jika terjadi kecacatan diatur dalam pasal 1371 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Dasar hukum yang kedua untuk melakukan gugatan adalah
perbuatan melawan hukum. Gugatan dapat diajukan jika terdapat fakta-fakta yang
berwujud suatu perbuatan yang melanggar hukum walaupun di antara para pihak
tidak terdapat suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan
melawan hukum harus di penuhhi 4 syarat sebagaimana di atur dalam pasal 1365
KUH Perdata yaitu:
a. Pasien harus mengalami suatu kerugian
b. Ada kesalahan
c. Ada hubunga kausal antara kesalahan dengan kerugian
d. Perbuatan itu melanggar hokum
2. Pertanggungjawaban secara Hukum Pidana
Dalam suatu praktek tenaga kesehatan, tanggung jawab secara pidana timbul jika
terbukti adanya suatu tindakan dalam pelayanan kesehatan yang memiliki unsur
tindak pidana sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-
undang lainnya“Azas nullum delictumnulla poena sine praevia lege poenali” yang
artinya seseorang hanya dapat dihukum apabila telah ada ketentuan hukum yang
mengatur perbuatan itu terlebih dahulu.
Ketentuan hukum pidana dapat diberlakukan dengan keharusan memenuhi 2
persyaratan :
a. Adanya suatu perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan yang
melanggar ketentuan hukum pidana, sehingga memenuhi rumusan delik
sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana yang berlaku.
b. Pelanggar hukum pidana mampu mempertang- gung jawabkan perbuatannya
Sumber Hukum Pidana :
a. KUHP
b. Diluar KUHP (UU Tipikor, UU Terorisme dll)
c. UU Non Pidana (UU Kesehatan, UU Rumah Sakit)
Beberapa delik yang dapat diancam kepada tenaga kesehatan :
a. Pasal 242 KUHPidana : “Keterangan palsu/keterangan tidak sesuai dengan fakta,
dipidana 7 tahun”
b. Pasal 304 KUHPidana : “Meninggalkan orang yang perlu ditolong dipidana 2
tahun 8 bulan”
c. Pasal 322 KUHPidana : “Membuka rahasia pasien dipidana 9 bulan”
d. Pasal 333 KUHPidana : “Menahan seorang secara melawan hukum, pidana 8
tahun/RS menahan pasien belum bayar”
e. Pasal 338 KUHPidana : “Sengaja merampas nyawa orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun”
f. Pasal 344 KHUPidana (euthanasia): “Merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, pidana penjara paling lama 12 tahun”
g. Pasal 359 KUHPidana : “Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahunn”
h. Pasal 360 KUHPidana :
1) Karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, 5
tahun”
2) Karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan pidana penjara 9
bulan.
i) Pasal 361 KUHPidana :
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan
suatu jabatan atau pencaharian maka pidana ditambah 1/3 dan yang bersalah dapat
dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan
dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan”
Contoh dalam tindakan pidana dalam praktek kesehatan seperti melakukan aborsi
tanpa adanya indikasi medis, yang diatur dalam Pasal 194 Undang-undang RI No. 36
tahun 2009 tentang keshatan, dimana disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
3. Pertanggungjawaban secara Hukum Administrasi
Yang dimaksud dalam pelanggaran hukum administrasi adalah pelanggaran
terhadap hukum yang mengatur hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam
negara. Dalam lingkungan kesehatan, hukum administrasi terkait erat dengan adanya
Surat Izin Praktek yang dimiliki oleh tenaga kesehatan baik dokter dan perawat. Dasar
dari adanya hukum administrasi ini, yaitu Undang-undang RI No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, yaitu pasal 23 ayat (3) dan pasal 24 ayat (1).Bagi tenaga dokter
hal tersebut diatur dalam Permenkes RI 512/2007 pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa “setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik kedokteran wajib
memiliki SIP”, sedangkan bagi tenaga keperawatan diatur dalam Permenkes No.
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap
perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP”. Contohnya yaitu
melakukan praktek kesehatan tanpa memiliki surat izin praktek, dimana diatur dalam
Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 76
menyebutkan bahwa “setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Selain itu, sanksi dalam
pelanggaran hukum administrasi dapat berupa teguran (lisan atau tertulis), mutasi,
penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan pemecatan

H. Doktrin Tanggung Jawab Hukum Perawat


Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan, Perawat
merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga
perawat merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu
berhubungan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Namun di dalam
menjalankan tugas tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum. Bahkan
profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti gugatan malpraktik sebagai
akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi perawat
bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif.
Dalam ruang lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan
status yuridis dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau “kemandirian”,
seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab secara hukum untuk malpraktik
keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal
ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni
dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik (yang
dilakukan oleh perawat).
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga bentuk yakni, pertama;
fungsi independent, adalah those activities that are considered to be within nursing’s
scope of diagnoses and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak
membutuhkan perintah dokter, kedua; fungsi interdependen adalah carried out in
conjunction with other health team members. Tindakan perawat yang berdasarkan pada
kerja sama dengan tim keperawatan atau tim kesehatan. Kewenangan yang dimiliki
dalam menjalankan fungsi ini disebut sebagai kewenangan delegasi yang diperoleh
karena adanya suatu pendelegasian tugas dari dokter kepada perawat, ketiga; fungsi
dependen adalah the activities performed based on the physician’s order. Di sini perawat
bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik, memberikan
pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus yang menjadi kewenangan dokter yang
seharusnya dilakukan oleh dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan
suntikan dan sebagainya. Dilihat dari peran perawat, maka secara garis besar perawat
mempunyai peran sebagai berikut peran perawatan (caring role/independent), peran
koordinatif (coordinative role/interdependent), dan peran terapeutik (therapeutik
role/dependent)
Tugas pokok perawat apabila bekerja di RS adalah memberikan pelayanan berbagai
perawatan paripurna. Oleh karena itu tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran
perawat di atas. Dalam peran perawatan dan koordinatif, perawat mempunyai tanggung
jawab yang mandiri. Sementara peran terapeutik bahwa dalam keadaan tertentu beberapa
kegiatan diagnostik dan tindakan medik dapat dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh
perawat.
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa tanggung jawab utama tetap pada dokter yang
memberikan tugas. Sedangkan perawat mempunyai tanggung jawab sebagai pelaksana.
Pelimpahan hanya dapat dilaksanakan setelah perawat tersebut mendapat pendidikan
dan kompetensi yang cukup untuk menerima pelimpahan. Pelimpahan jangka panjang
atau terus menerus dapat diberikan kepada perawat kesehatan dengan kemahiran khusus,
yang diatur dengan peraturan tersendiri (standing order). Berdasarkan uraian di atas
maka perlu adanya pengaturan tentang pelimpahan tugas yang sesuai dengan keahlian
perawat, misalnya perawat khusus gawat darurat, perawat pasien gangguan jiwa,
perawat bedah, dan seterusnya. Dalam peran terapeutik maka berlaku verlengle arm van
de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan tangan dokter).
Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil inisiatif
sendiri.
Wewenang dalam melaksanakan praktik keperawatan diatur dalam Permenkes No.
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Praktik keperawatan dilaksanakan melalui kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan,
pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat, dan
pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. Pertanggungjawaban perawat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk
pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, hukum
pidana dan hukum administrasi.
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan
Pasal 1239 KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan
dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai
berikut:
a) Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal
1365 BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang
perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang
mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya
secara mandiri.
b) Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau
let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of
ship melalui Pasal 1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat
maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan
melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun
orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan
bersama-sama bertanggungjawab atas kerugian yang menimpa pasien.
c) Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW.
d) Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat
yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana
tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu.
Perlindungan hukum dalam tindakan zaakwarneming perawat tersebut tertuang dalam
Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai
pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan
dalam Pasal 10 tersebut.
Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan dimintai pertanggungjawaban
apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu:
a) Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang
perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsi,
peran, maupun tindakan keperawatan.
b) Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai
fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan
kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai
penuh. Sehingga dari tindakan tersebut mengakibatkan pasien mengalami infeksi
saluran kencing (ISK) dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang.
c) Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas
yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan
aliran air infus pasien di malam hari, tidak siap tanggap menjaga pasien rawat inap
yang dalam penjagaan dan tanggungjawabnya di malam hari hanya karena tidak
mau terganggu istirahatnya.
d) Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang
perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter,
seperti menyuntik pasien tanpa perintah, menyuntik pasien tanpa kehati-hatian asal
obat masuk saja, tanpa mempertimbangkan efek pemberian yang terlalu cepat atau
terlalu lambat dan cara pemberian yang benar sesuai dengan basic ilmu yang
dimiliki, melakukan pemasangan infus dan menjahit luka pada pasien padahal
dirinya belum terlatih dan tidak dalam pengawasan dokter.
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka
pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan
sesuai personal liability. Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum
pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat
unsur-unsur sebagai berikut; pertama; suatu perbuatan yang bersifat melawan
hukum ; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010, kedua; mampu
bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi
dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan
dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa
tindakannya dapat merugikan pasien, ketiga; adanya kesalahan (schuld) berupa
kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa), ketiga; tidak adanya alasan
pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak
adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada
alasan pembenar. Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir
karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap
penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permenkes
No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat
yakni:
a) Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri.
b) Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah
diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10.
c) Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi.
d) Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan
terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative
malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum.
e) Ada dua ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja
di sebuah RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang
mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin
praktik. Sementara dalam Permenkes No. 148/2010 SIPP bagi perawat yang
bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri)
tidak diperlukan. Kerancuan norma ini akan membingungkan penyelenggara
yang bersangkutan dalam menjalankan profesinya. Namun apabila dilihat dari
pembentukan perundang-undangan maka kekuatan mengikat undang-undang
akan lebih kuat dibandingkan semua peraturan menteri, yang di dalam UU NO.
10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai bagian dari perundang-undangan.
Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum
administrasi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin.
Dalam praktek pelaksanaannya, banyak perawat yang melakukan praktik
pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan (kuratif) terutama dalam
memberikan terapi yang bukan kompetensinya dan penegakan diagnosa tanpa
SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota-kota besar di Jawa Tengah,
pelanggaran ini masih banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan
pengawasan dan penerapan sanksi represif sebagai upaya pemerintah
memberikan perlindungan pada masyarakat.

I. Landasan Etik Moral Tanggung Jawab Perawat


1. Menghargai otonomi (facilitate autonomy)
Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan hidup
individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab terhadap
pilihannya sendiri. Prinsip otonomi menegaskan bahwa seseorang mempunyai
kemerdekaan untuk menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya
sendiri. Bagian dari apa yang didiperlukan dalam ide terhadap respect terhadap
seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan individu tanpa
memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah kepentingannya. (Curtin, 2002).
Permasalahan dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi
pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit,
lingkungan Rumah SAkit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-lain (Priharjo,
1995). Contoh: Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang berhak
mengobatinya sesuai dengan yang diinginkan

2. Kebebasan (freedom)
Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan
pihak lain (Facione et all, 1991). Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang
menurut pandangannya sesuatu yang terbaik. Contoh : Klien mempunyai hak untuk
menerima atau menolak asuhan keperawatan yang diberikan.
3. Kebenaran (Veracity)
Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang tidak
bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987)
didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Suatu
kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang
lain. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun hubungan
saling percaya dengan pasien. Perawat sering tidak memberitahukan kejadian
sebenarnya pada pasien yang memang sakit parah. Namun dari hasil penelitian pada
pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang
kondisinya secara jujur (Veatch, 1978). Contoh : Tindakan pemasangan infus harus
dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku dimana klien dirawat.
4. Keadilan (Justice)
Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991). Merupakan suatu
prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat
tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan
kehidupan seseorang. Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan childress adalah
mereka uang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat
diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka.Ketika
seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini
harus mendapatkan sumber-sumber yang besar pula, sebagai contoh: Tindakan
keperawatan yang dilakukan seorang perawat baik dibangsal maupun di ruang VIP
harus sama dan sesuai SAK
5. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence)
Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang
lain.(Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien dirawat dengan penurunan kesadaran,
maka harus dipasang side driil.
6. Kemurahan Hati (Benefiecence)
Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan danmerugikan/membahayakan dari
tindakan yang dilakukan. Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan
prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien. Prinsip ini
sering kali sulit diterapkan dalam praktek keperawatan. Berbagai tindakan yang
dilakukan sering memberikan dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya
kepastian yang jelas apakah perawat bertanggung jawab atas semua cara yang
menguntungkan pasien.Contoh: Setiap perawat harus dapat merawat dan
memperlakukan klien dengan baik dan benar.
7. Kesetiaan (fidelity)
Memenuhi kewajiban dan tugas dengan penuh kepercayaan dan tanggung jawab,
memenuhi janji-janji. Veatch dan Fry mendifinisikan sebagai tanggung jawab untuk
tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan
perawat-pasien meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi
dan memberikan perhatian/kepedulian. Peduli kepada pasien merupakan salah satu
dari prinsip ketataatan. Peduli pada pasien merupakan komponen paling penting dari
praktek keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi terminal (Fry, 1991). Rasa
kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi asuhan keperawatan dengan
pendekatan individual, bersikap baik, memberikan kenyamanan dan menunjukan
kemampuan professional Contoh: Bila perawat sudah berjanji untuk memberikan
suatu tindakan, maka tidak boleh mengingkari janji tersebut.
8. Kerahasiaan (Confidentiality)
Melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwwa perawat menghargai
semua informsi tentang pasien dan perawat menyadari bahwa pasien mempunyai hak
istimewa dan semua yang berhubungan dengan informasi pasien tidak untuk
disebarluaskan secara tidak tepat (Aiken, 2003). Contoh : Perawat tidak boleh
menceritakan rahasia klien pada orang lain, kecuali seijin klien atau seijin keluarga
demi kepentingan hukum.
9. Hak (Right)
Berprilaku sesuai dengan perjanjian hukum, peraturan-peraturan dan moralitas,
berhubungan dengan hukum legal.(Webster’s, 1998). Contoh : Klien berhak untuk
mengetahui informasi tentang penyakit dan segala sesuatu yang perlu diketahuinya.
J. Kewenangan Perawat
Kewenangan perawat adalah hak dan otonomi untuk melaksanakan asuhan
keperawatan berdasarkan kemampuan, tingkat pendidikan, dan posisi yang dimiliki.
Lingkup kewenangan perawat dalam praktek keperawatan profesional adalah pada
kondisi sehat dan sakit, sepanjang daur kehidupan (dari konsepsi sampai meninggal
dunia), mencakup :
1. Asuhan keperawatan pada klien anak dari usia 28 hari sampai usia 18 tahun.
2. Asuhan keperawatan maternitas, yaitu asuhan keperawatan klien wanita pada masa
subur dan neonatus (bayi baru lahir sampai 28 hari) dalam keadaan sehat.
3. Asuhan keperawatan medikal bedah, yaitu asuhan pada klien usia di atas 18 tahun
sampai 60 tahun dengan gangguan fungsi tubuh baik oleh karena trauma atau
kelainan fungsi tubuh.
4. Asuhan keperawatan jiwa, yaitu asuhan keperawatan klien pada semua usia, yang
mengalami berbagai masalah kesehatan jiwa.
5. Asuhan keperawatan keluarga, yaitu asuhan keperawatan pada klien keluarga unit
terkecil dalam masyarakat sebagai akibat pola penyesuaian keluarga yang tidak
sehat, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga.
6. Asuhan keperawatan komunitas, yaitu asuhan keperawatan kepada klien masyarakat
pada kelompok di wilayah tertentu pada semua usia sebagai akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
7. Asuhan keperawatan gerontik, yaitu asuhan keperawatan pada klien yang berusia
60 tahun ke atas yang mengalami proses penuaan dan permasalahannya.
L. Kewenangan perawat terkait lingkup di atas mencakup
1. Melaksanakan pengkajian keperawatan terhadap status bio-psikososio-kultural dan
spiritual klien.
2. Menurunkan diagnosis keperawatan terkait dengan fenomena dan garapan utama
yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan dasar klien.
3. Menyusun rencana tindakan keperawatan.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan.
5. Melaksanakan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
6. Mendokumentasikan hasil keperawatan yang dilaksanakan.
7. Melakukan kegiatan konseling kesehatan kepada sistem klien
8. Melaksanakan tindakan medis sebagai pendelegasian berdasarkan kemampuannya
9. Melakukan tindakan diluar kewenangan dalam kondisi darurat yang mengancam
nyawa sesuai ketentuan yang berlaku (Standing Order) di sarana kesehatan
10. Dalam kondisi tertentu, dimana tidak ada tenaga yang kompeten, perawat
berwenang melaksanakan tindakan kesehatan diluar kewenangannya

M. Perawat Dapat Melakukan Diluar Kewenangan


1. Kondisi Gawat Darurat
Pelayanan keperawatan yang diberikan kepada individu dan keluarga/orang terdekat
yang diperkirakan atau sedang mengalami keadaan yang mengancam kehidupan, dan
terjadi secara mendadak dalam suatu lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.
Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk mengatasi kondisi
kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asukan keperawatan untuk
mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.
Sistem pelayana bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus
memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi
dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pesien.
2. Diwilayah Tersebut Tidak Ada Dokter
Perawat dijamin oleh Undang-Undang melakukan tindakan medis, (tindakan diluar
kewenangan Perawat) apa bila bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dari ancaman,
baik kesakitan, kecacatan maupun kematian dalam kondisi gawat darurat yang mana
tidak ada tenaga dokter di tempat/daerah tersebut.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan. Dimana, UU dimaksud
mengatur tentang pelayanan gawat darurat bagi perawat, terdapat dalam Pasal 35,
ayat (1), yaitu "Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama,
Perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan
kompetensinya
3. Dalam Rangka Melaksanakan Program Pemerintah
Perawat dapat melakukan hal yang luar kewenangannya apabila dalam rangka
melaksanakan program pemerintah baik yang sudah sah dengan peraturan tertulis.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Gawat darurat atau emergensi merupakan suatu keadaan yang membutuhkan
tindakan segera untuk menanggulangi ancaman terhadap jiwa atau anggota badan yang
timbul secara tiba-tiba. Tindakan awal dalam penanganan gawat darurat adalah ABCDE.
A yaitu airway management, breathing management, circulation management, drug
management dan EKG management. Dalam pelaksanaan kegawat daruratan terdapat
aspek legal dari setiap tindakan yang dilakukan. Aspek legal diperlukan untuk
melindungi profesi khususnya perawat dalam melakukan berbagai hal dalam tindakan
kegawatdaruratan. Aspek Legal Tentang Kesehatan diatur dalam Pasal 23 UU No. 36 th
2009, Pasal 24 UU No. 36 th 2009, Pasal 27 UU No. 36 th 2009, dan PP 32 tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan. Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
mempengaruhi peran perawat yang semula sebagai vokasional atau tenaga terampil, kini
berupaya meningkatkan perannya sebagai mitra kerja dokter. Tenaga kesehatan di RS
bekerja sesuai dengan standar pelayanan RS, standar profesi, etika profesi, keselamatan
pasien dan hak dan kewajiban pasien sehinga mereka dapat mempertahankan
eksistensinya

B. Saran
Sebagai penulis makalah ini kami menyarankan kepada para pembaca
untuk dapat memahami mengenai aspek legal dalam tindakan kegawatdaruratan untuk
menjadi landasan dalam melakukan tindakan kegawat daruratan.
Daftar Pustaka

Direktorat Bina Standar Kesehatan. 2011. Standar Pelayanan Kegawat Daruratan Medik.
Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
Ismani Nila. (2000). Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika
Kartika, Shanthi. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. www.hukumonline.com. Diakses pada 6 November 2016
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.
Marquis, Bessie L, dkk.2010.Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan : Teori dan
Aplikasi.Edisi 4.Jakarta:EGC
Mentri Kesehatan RI. 2010. Permenkes Nomor 148 Tahun 2010 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat. Kementrian Kesehatan RI : Jakarta
Mukadimah. Dalam: http://www.inna-ppni.or.id/index.php/kode-etik. diakses pada 6
November 2016. Pukul 16.00 Wita
Nila, Hj. Ismani (2001). Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika. Potter, Patricia A.
(2005). Fundamental of Nursing: Concepts, Proses adn Practice 1st Edition.
Jakarta:EGC.
Nila, I. (2001). Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
Nursalam. 2002. Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Ed.1. Jakarta:Salemba Medika.
Nursalam. 2014. Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Ed.4. Jakarta:Salemba Medika.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.Kode Etik Keperawatan. http://www.inna-ppni.or.id.
Diakses pada 6 November 2016
Varadita Vebri Damayanti. Bagus Manik Panji, Budi Utomo, Prima Arethasari, Mayka
Dilistiani. 2012. Aspek Legal Kegawatdaruratan. Jogja: Universitas Jogjakarta

Anda mungkin juga menyukai