Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah suatu peradangan dari apendiks vermiformis yang oleh


masyarakat awam sering disebut sebagai radang usus buntu dan ini merupakan suatu
penyakit yang sering dijumpai. Meskipun sebagian besar pasien dengan apendisitis
akut dapat dengan mudah didiagnosa tetapi tanda dan gejalanya cukup bervariasi
sehingga diagnosis secara klinis dapat menjadi sulit untuk ditegakkan.
Pada tahun 1736, apendektomi pertama kali dilaporkan oleh Amyand seorang
ahli bedah yang mengankat appendiks yang telah mengalami perforasi dari suatu
kantong hernia dari anak laki-laki yang berusia 11 tahun, sampai McBurney
menjabarkan manifestasi klinis dari apendisitis akut dini sebelum mengalami rupture,
termasuk dari titik maksimal dari nyeri tekan abdomen dan suatu insisi dibuat pada
dinding abdomen pada kasus appendiks. Apendisitis merupakan kasus tersering dari
nyeri abdomen yang progresif dan menetap. Kegagalan menegakkan diagnose dan
keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas.
Apendisitis akut dapat terjadi pada semua tingkat usia dan paling sering
menyerang pada usia decade kedua dan ketiga. Jarang dijumpai pada bayi. Terdapat
hubungan antara banyaknya jaringan limfoid pada apendiks dengan kejadian kasus
apendisitis akut, selain itu faktor diet dan genetik juga memegang peranan yang
penting. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya
akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks, penyebab obstruksi dapat berupa:
hyperplasia limfonodi sub mukosa dinding appendiks, fekalit, benda asing, tumor.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EMBRIOLOGI DAN ANATOMI APPENDIKS


2.1.1 Embriologi Appendiks
Appendiks pertama kali dapat terlihat pada pertumbuhan embrio diantara
minggu ke-6, sebagai penonjolan dari ujung terminal caecum. Hal ini disebut transient
appendiks. Pada minggu ke-7 transient appendiks ini akan mengecil dan akhirnya
menghilang. Pada minggu ke-8 timbul kembali penonjolan pada caecum. Penonjolan
ini kemudian akan terus berkembang menjadi appendiks yang sebenarnya. Selanjutnya
akan terbentuk suatu mesoappendiks dengan pembuluh darahnya yang memperdarahi
appendiks tersebut.1
Pada masa fetal, appendiks berada diapeks caecum, tetapi akibat pertumbuhan
haustrum terminal kanan yang lebih cepat, appendiks terdorong kearah medial,
mendekati ileocaecal valve. Perubahan serupa juga terjadi pada taenia longitudinal
yang bersatu base appendiks.1

Gambar 2.1. letak appendiks diregio ileocecal

2.1.2 Anatomi Appendiks


Apendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot
dan mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang appendiks vermiformis bervariasi dari 3-5
inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan posteromedial caecum, sekitar 1 inci (2,5
cm) dibawah juncture ileocaecalis. Bagian appendiks vermiformis lainnya bebas. Appendiks

2
vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah
mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek, yang disebut
sebagai mesoappendiks. Mesoappendiks berisi arteri, vena appendicularis dan saraf-saraf. 1,2
Appendiks vermiformis terletak diregio iliaca dekstra, dan pangkal diproyeksikan
kedinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan spina
iliaka anterior superior dan umbilicus (titik McBurney). Di dalam abdomen, dasar appendiks
vermiformis mudah ditemukan dengan cara mencari taeniae coli caecum dan mengikutinya
sampai dasar appendiks vermivormis, tempat taenia coli bersatu membentuk tunica
muskularis longitudinal yang lengkap.1

Gambar 2.2. Titik McBurney

2.1.3 Posisi Ujung Appendiks Yang Umum

3
Ujung appendiks vermivormis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada
tempat-tempat dibawah ini1 :
a. Posisi pelvika : Ujung appendiks terletak agak kekaudal kedalam pelvis
berhadapan dengan dinding pelvis dekstra, pada kedudukan ini appendiks
mungkin melekat pada tuba atau ovarium kanan.
b. Posisi retrosekal : Appendiks terletak retroperitoneal dibelakang caecum,
appendiks pada letak ini tidak menimbulkan keluhan atau tanda yang disebabkan
oleh rangsangan peritoneum setempat.
c. Posisi subsekal : appendiks terletak dibawak caecum.
d. Posisi Preileal : Berada didepan pars terminalis ileum
e. Posisi Postileal : Berada dibelakang pars terminalis ileum

Gambar 2.3. Macam-macam letak appendiks

2.1.4 Pendarahan
a. Arteri : Arteri appendicularis merupakan cabang arteri caecalis posterior. arteri
ini berjalan menuju appendiks.1
b. Venae : Vena appendikularis mengalirkan darahnya kevena caecalis posterior.1

2.1.5 Aliran Limf


Pembuluh limf mengalirkan cairan limf kesatu atau dua nodi yang terletak
didalam mesoappendiks dan dari sini dialirkan kenodi mesenterika superior.1
2.1.6 Persarafan
Saraf-saraf berasal dari cabang – cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) dari plexus mesenterikus superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan
rasa nyeri visceral dari appendiks vermiformis berjalan bersama saraf simpatis dan
masuk kemedulla spinalis setinggi vertebre thoracica x.1

4
2.2 FISIOLOGI APPENDIKS
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya di curahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendiks. Immunoglobulin sektretoar
yang dihasilkan oleh GALT ( gut associated lymphoid tissue ) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA . immunoglobulin sangat efektif
terhadap infeksi.3
Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang
sempit dan seperti traktus intestinalis lainnya secara normal berisi bakteri, resiko
stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat
dengan adanya suatu mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan
valvula Gerlach . Dengan adanya benda-benda asing yang terperangkap dalam lumen
apendiks, posisinya yang mobile, dan adanya kinking, bands, adhesi dan lain-lain
keadaan yang menyebabkan angulasi dari apendiks, maka keadaan akan semakin
diperburuk. Banyaknya jaringan limfoid pada dindingnya juga akan mempermudah
terjadinya infeksi pada apendiks.3
2.3 ETIOLOGI APPENDISITIS AKUT
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen appendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia
jaringan limf, fekalit, tumor appendiks, cacing askaris. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan appendiks ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti
E.histolytica.2,3
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan
mempermudah timbulnya appendisitis akut.2,3

2.4 PATOFISIOLOGI APPENDISITIS AKUT


Faktor penyebab yang paling dominan pada appendisitis akut adalah obstruksi
dari lumennya. umumnya disebabkan oleh fekalit. Obstruksi dapat pula disebabkan

5
oleh hipertrofi jaringan limfoid appendiks, sisa barium, biji buah atau sayuran, atau
cacing askaris. Derajat obstruksi yang terjadi meningkat sesuai dengan beratnya
inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% pada appendisitis akut, 60% pada gangrenous
appendisitis tanpa ruptur, dan 95% pada gangrenous appendisitis dengan ruptur.2,3
Kapasitas lumen appendiks yang normal adalah 0.1 ml. Produksi sekret mukosa
appendiks yang normal terjadi terus menerus sehingga apabila terdapat sumbatan pada
bagian proksimal appendiks akan menimbulkan distensi appendiks distal dari
sumbatan dan mengakibatkan close loop obstruction. Sekret sebanyak 0.5 ml pada
distal dari obstruksi akan mengakibatkan peningkatan tekanan intraluminal sebesar 60
cmH2O.2,3
Distensi tadi akan menstimulasi serabut syaraf nyeri visceral, menyebabkan
nyeri tumpul dan menyeluruh pada daerah umbilikal dan abdomen bawah. Terjadi juga
peningkatan peristaltic usus. Adanya stasis sekret pada distal obstruksi menyebabkan
terjadinya multiplikasi bakteri residen secara cepat sehingga terjadi inflamasi pada
mukosa appendiks. Distensi akan bertambah besar, terjadi peningkatan tekanan
intraluminal yang melebihi tekanan vena sehingga terjadi oklusi aliran vena sedangkan
aliran arteri belum terganggu. Hal ini mengakibatkan kongesti vaskuler dan edema
sehingga memperhebat distensi. Pada stadium ini mulai timbul reflex nausea, muntah,
dan nyeri visceral difus yang bertambah berat.2,3
Proses inflamasi akan mempengaruhi serosa appendiks dan menyebar
keperitonium parietal sehingga timbul pergeseran nyeri keabdomen bagian bawah.
Ketika distensi yang progresif tersebut melampaui tekanan arteriolar, terjadi
iskemik pada daerah appendiks, terutama pada daerah yang paling buruk suplai
darahnya, yaitu area antemesentric border dimana akan terbentuk infark jaringan
appendiks. Keadaan ini dikenal sebagai appendicitis gangrenosa.2,3
Terjadinya distensi, infeksi bakteri, gangguan suplai darah, dan progresifitas infark
akan menyebabkan perforasi. Perforasi terutama terjadi didaerah infark tersebut, yaitu
pada area arteri mesenteric border. Akibat perforasi, terjadi kebocoran dari isi
apendiks dan penyebaran infeksi keseluruh kavum peritoneum. Jika proses ini terjadi
secara lambat, akan timbul reaksi inflamasi dimana akan timbul upaya untuk

6
melokalisasi proses tersebut oleh omentum sehingga hanya akan terjadi suatu
peritonitis lokal. Jika upaya melokalisasi tersebut gagal, maka infeksi akan menyebar
keseluruh kavum peritoneum dan menimbulkan suatu peritonitis difus.2,3
2.5 BAKTERIOLOGI
Dari pemeriksaan bakteriologis, ditemukan bakteri aerob, anaerob, dan
facultative bakteri dari pemeriksaan kultur cairan peritoneal dan abses jaringan
appendiks. Bacteriodes fragilis dan Eschericia colli ditemukan pada hampir semua
kasus appendisitis. Bakteri lain yang juga ditemukan pada kasus appendisitis adalah
Peptostreptococcus sebanyak 80% kasus, Pseudomonas 40%, Bacteriodes
sphlangnides 40%, dan Lactobacillus 37 %.3
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari dengan radang
mendadak appendiks disertai ataupun tidak disertai oleh rangsangan peritoneum lokal.
Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual,
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
kekanan bawah ketitik MCBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium, tetapi terkadang konstipasi.2
Bila appendik letaknya retrosaekal retroperitoneal, karena letanya terlindung
oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada
saat berjalan karena kontraksi muskulus psoas mayor yang menegang dari dorsal.2
Apendiks yang terletak dirongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika appendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena
rangsangan dindingnya.2
Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, muntah.
yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi
mual, muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks terdorong ke kraniolateral

7
sehingga keluhan tidak dirasakan diperut kanan bawah tetapi lebih keregio lumbal
kanan. 2

2.7 PEMERIKSAAN FISIK


 Tanda Vital
Tanda vital tidak terlalu banyak terjadi perubahan selama belum terjadi
komplikasi. Suhu tubuh naik sedikit tapi jarang kenaikan melebihi 1 oC,
nadi normal atau sedikit naik. Apabila telah terjadi perubahan yang nyata
pada tanda-tanda vital biasanya telah terjadi komplikasi.3
 Inspeksi
Pasien biasanya berbarng dengan paha kanan difleksikan dan akan
menghindari perubahan posisi karena sakit. Bila disuruh bergerak akan
melakukannya dengan sangat berhati-hati.3
 Palpasi
o Nyeri tekan dan nyeri lepas pada pada titik McBurney

Gambar 2.4 Nyeri tekan dan nyeri lepas pada titik McBurney

o Rousing’s sign yaitu nyeri pada abdomen kanan bawah pada


penekanan abdomen kiri bawah juga menandakan adanya iritasi
peritoneum diabdomen kanan bawah.3

8
Gambar 2.5 Rousing’s Sign
o Blumber sign

Gambar 2.6 Blumberg’s Sign


o Nyeri tekan didaerah flank (appendiks yang letaknya retrocaecal)
o Abdomen tidak didapatkan nyeri (appendiks yang letaknya pelvic)
 dari rectal toucher terdapat nyeri tekan pada daerah cul-de-sac
douglas.
o Psoas sign menandakan adanya iritasi dari musculus psoas.
Pemeriksaan dilakukan dengan mengekstensikan secara pasif
tungkai bawah kanan penderita pada posisi berbaring miring pada
sisi kirinya. Hasil pemeriksaan positif apabila didapatkan nyeri pada
daerah abdomen kanan bawah.3

9
Gambar 2.7. Psoas Sign

o Obturator Sign menandakan adanya iritasi musculus obturator,


pemeriksaan dilakukan dengan melakukan internal rotasi secara
pasif pada tungkai bawah dalam keadaan fleksi pada posisi supine.
Hasil positif bila didapatkan nyeri pada abdomen kanan bawah3

Gambar 2.8 Obturator Sign

o Defance Muskuler : jika telah terjadi rupture appendiks nyeri


semakin bertambah dan menjadi difus.3

 Diagnostic Score
Sistem scoring digunakan untuk meningkatkan akurasi dari diagnostic
appendicitis akut. Sistem scoring yang banyak dilakukan adalah system
Alvarado dan Ohman Score4

10
Tabel 2.1 Alvarado Score

Penilaian
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi
segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10: Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan
tindakan bedah

Tabel 2.2 Ohman Score


Variabel yang dinilai Skor yang dinilai
Nyeri tekan kuadran kanan bawah 4.5
Nyeri lepas 2.5
Tidak ada kesulitan berkemih 2.0
Nyeri menetap 2.0
Leukosit > 10.000/mm3 1.5
Usia < 50 tahun 1.5
Relokasi nyeri ke kuadran kanan bawah 1.0
Ketegangan dinding abdomen 1.0
Skor total 16

11
Penilaian :
Skor < 6 : Jarang appendicitis
Skor 6-11.5 : Kemungkinan appendicitis (Monitoring)
Skor > 11.5 : Appendisitis sangat sering

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada appendisitis akut tanpa komplikasi, didapatkan adanya leukositosis ringan,
antara 10.000-18.000 /mm3 dengan PMN yang dominan. Leukosit yang jumlahnya
lebih dari 18.000/mm3 biasanya ditemukan pada appendisitis perforasi dengan atau
tanpa terjadinya abses.3
Utuk menyingkirkan adanya kemungkinan infeksi saluran kemih diperlukan
pemeriksaan urinalisis. Hasil urinalisis dapat ditemukan leukosit dan eritrosit akibat
iritasi pada ureter atau kandung kencing akibat appendiks yang meradang. Pada
appendisitis akut tidak ditemukan adanya bakteriuria.3
Pemeriksaan rontgen polos abdomen jarang membantu menegakkan diagnosis
appendisitis akut. Pada pemeriksaan tersebut kadang-kadang dapat ditemukan adanya
distribusi udara dalam usus yang abnormal (Ileus lokal) dan tampak adanya fekalit
diabdomen kanan bawah. Apabila telah terjadi perforasi appendiks, dapat ditemukan
gambaran pneumoperitoneum serta hilangnya gambaran peritoneal fat dan psoas line.
Pemeriksaan rontgen dada dibutuhkan untuk menyeingkirkan suatu referred pain dari
proses pneumonia pada lobus inferior paru kanan.3
Pemeriksaan USG lebih dianjurkan untuk membantu menegakkan diagnosa
appendisitis akut karena akurasinya yang baik . Tingkat sensitifitas dan spesifitas USG
pada kasus appendisitis akut adalah 85-98%. Kekurangan USG adalah bahwa hasil
pemeriksaan tergantung pada operator.3
Pada pemeriksaan USG, appendiks diidentifikasikan sebagai bayangan tubuler
buntu yang berasal dari caecum. Diagnosis appendisitis akut dapat ditegakkan bila
didapatkan diameter ukuran antero-posterior appendiks > 6 mm, atau didapatkan
fekalit pada appendiks. Pemeriksaan dikatakan negatif apabila appendiks tidak
terdeteksi dan tidak ditemukan adanya cairan atau masa pericaecal. Apabila hasil
pemeriksaan negatif, perlu dilakukan pemeriksaan organ-organ lain untuk menegakkan
diagnosis lain seperti ginjal, traktus urinarius, serta organ reproduksi wanita.3

12
Pemeriksaan penunjang lain yan dapat dilakukan adalah pemeriksaan CT-Scan,
Barium Enema, atau Radioisotop Labeled Leucocyte scans. Pemeriksaan CT-scan
lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi biaya pemeriksaan lebih mahal dan
penderita terkena paparan radioaktif lebih besar sehingga sebaiknya pemeriksaan ini
hanya dilakukan pada penderita dengan kecurigaan adanya abses appendical yang
akan dilakukan drainage perkutan. Pada pemeriksaan barium enema diagnosis
appendisitis akut ditegakkan berdasarkan adanya non-filling of the appendiks.3
Pemeriksaan labeled radioisotope ada 2 macam, yaitu dengan radiolabelled
leukosit (Tc99WBC) dan dengan radiolabelled imunoglobulin G (Tc99IgG).
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk penderita yang dicurigai appendisitis akut,
namun negatif pada pemeriksaan USG dan CT-Scannya .3
Laparoskopi dapat dilakukan sebagai suatu tindakan diagnostic dan terapeutik
pada kasus nyeri akut abdomen seperti appendisitis akut. Pada wanita dengan keluhan
nyeri perut bawah, pemeriksaan laparoskopi sangat berguna untuk menegakkan
diagnose appendisitis akut dan menyingkirkan kemungkinan kelainan dibidang
ginekologis.3
2.9 RUPTUR APPENDIKS
Ruptur appendiks hampir selalu terjadi didaerah distal sumbatan pada lumen
disisi antemesenterikanya. Kecurigaan telah terjadi ruptur appendiks apabila
didapatkan demam lebih tinggi dari 39oC dan jumlah leukosit lebih dari 18.000/mm3
pada penderita yang sebelumnya mengalami gejala appendsitis akut.3
Sebagian besar ruptur appendiks dapat dilokalisir oleh tubuh dengan membentuk
suatu proses walling off terhadap appendiks tersebut, sehingga hanya didapatkan
tanda-tanda peritonitis lokal. Apabila proses walling off ini tidak efektif dalam
melokalisir rupture appendiks, akan terjadi suatu peritonitis difus yang akan
memperberat keadaan penderita. Sekitar 2-6 % kasus, dapat teraba suatu massa yang
nyeri yaitu phlegmon atau periappendicular abcess.3
Phlegmon dan abses yang kecil dapat terapi secara konservatif dengan
pemberian antibiotik intravena. Well localized abcess diterapi dengan percutaneus
drainage. Pada kasus kompleks abcess, harus dilakukan surgical drainage.3

13
Pada penderita dengan perforasi appendiks yang diterapi secara konservatif atau
dengan simple drainage dari abcess, harus dilakukan appendiktomi dengan interval
waktu ± 6 minggu, karena dapat terjadi appendicitis rekuren. Angka kejadian
appendisitis rekuren pada penderita yang tidak dilakukan terapi operatif adalah 0-3 %
terutama selama tahun pertama.3
Pada penderita yang berusia ≥ 50 tahun dengan gejala appendicular abcess,
harus dilakukan pemeriksaan barium enema atau pemeriksaan colonoscopy untuk
menyingkirkan diagnosa perforasi tumor caecal.

2.10 DIAGNOSIS BANDING


Banyak gejala klinis akibat kelainan didalam atau dekat kavum peritoneum yang
memberikan gambaran klinis yang serupa dengan gejala appendisitis akut, sehingga
sulit untuk menegakkan diagnosis appendisitis akut preoperatif.
Penyakit atau keadaan yang memberikan gambaran seperti appendisitis akut
diantaranya : acute mesenteric lymphadenitis, acute pelvic inflammatory disease, kista
ovarium terpuntir, rupture folikel graft, dan gastroenteritis akut.
Perlu diingat bahwa diagnosis banding appendisitis akut tergantung dari 3 faktor
yaitu3 :
1. Lokasi anatomis appendiks yang meradang
2. Tingkat atau derajat peradangan appendiks, baik simple ataupun rupture
appendiks
3. Usia dan jenis kelamin penderita

 Acute Mesenteric lymphadenitis


Didahului dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas sebelumnya. Nyeri yang
terjadi biasanya lebih difus dengan nyeri tekan yang lebih ringan dibandingkan
dengan nyeri tekan appendisitis akut. Kadang-kadang didapatkan adanya
limfadenopati yang menyeluruh. Untuk membedakan dengan appendisitis sangatlah
sulit. Penderita biasanya diobservasi terlebih dahulu beberapa jam. Mesenteric
adenitis merupakan self limiting disease, sehingga diharapkan selama observasi
beberapa jam terjadi perbaikan. Apabila setelah observasi tetap sulit untuk

14
menyingkirkan diagnosis banding ini, maka tindakan operatif segera merupakan
tindakan yang paling aman.
 Gastroenteritis akut
Pada viral gastroenteritis akut terjadi watery diarrhoe, mual dan muntah. Terdapat
hiperperistaltik usus yang menyertai watery diarrhoe. pada gastroenteritis akut
tidak didapatkan adanya tanda-tanda lokal dan nilai laboratorium dalam batas
normal. Pada gastroenteritis akut yang disebabkan oleh salmonella, dapat
ditemukan nyeri abdomen yang hebat, terlokalisir didaerah abdomen kanan bawah,
juga terdapat nyeri lepas. Demam dan menggigil pada umumnya dirasakan oleh
penderita. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan jumlah leukosit yang normal
sampai dengan leukositosis.

 Penyakit pada pria


Torsio Testis dan epididimitis akut pada tahap awal akan menimbulkan nyeri
didaerah epigastrik yang menutupi gejala lokalnya. Seminal vesikulitis juga
mempunyai gejala yang menyerupai appendisitis akut namun dapat dibedakan
melalui pemeriksaan rectal toucher dimana didapatkan pembesaran vesikula
seminalis.

 Diverticle Meckel
Gejala yang ditimbulkan sama, Diverticulectomy hampir selalu dilakukan melalui
titik Mc. Burney. Jika basis dari divertikel melebar, diperlukan reseksi dari ileum
dengan divertikulumnya. kemudian dilakukan anastomosis end to end

 Intususepsi
Umur penderita menjadi patokan penting dalam menegakkan diagnosis diantara
kedua penyakit ini. Intususepsi biasanya terjadi pada anak-anak berumur kurang
dari 2 tahun, sedangkan appendisits akut jarang terjadi pada umur tersebut.
Intususepsi biasanya terjadi pada anak yang sehat, dimana anak tersebut akan
mengalami kolik secara tiba-tiba. diantara serangan kolik anak tersebut sehat
kembali. BAB penderita menjadi berdarah dan berlendir. Pada abdomen kanan
bawah teraba massa seperti sosis.

15
 Regional Enteritis
Gejala regional enteritis hampir menyerupai appendisitis akut, yaitu demam, nyeri
tekan pada daerah abdomen kanan bawah, leukositosis, diare, anoreksia, nausea dan
vomiting. Diagnosis pasti ditegakkan post operatif.

 Perforatid Peptic Ulcer


Keluarnya cairan gastroduodenal ke kavum peritoneum. Karena adanya gravitasi,
cairan gastroduodenal tersebut akan mengalir kebawah mengenai caecum. Adanya
cairan tersebut akan menimbulkan iritasi pada caecum sehingga akan menimbulkan
rasa nyeri yang menyerupai appendisitis akut. Proses didaerah terjadinya perforasi
sendiri telah mengalami walling off, sehingga gejala yang timbul sangat minimal.

 Epiploic Appendisitis
Karena terjadinya torsio pada appendages sehingga terjadinya iskemia. Gejala
biasanya minimal dan tidak ada pergeseran rasa nyeri. Penderita biasanya tidak
terlihat sakit, tidak ada keluhan mual, muntah ataupun anoreksia. Biasanya
didapatkan nyeri tekan yang terlokalisir

 Urinary Tract Infection


Pielonefritis akut pada sisi kanan dapat menyerupai retroileal appendisitis akut.
Pada pielonefritis akut biasanya ditemukan gejala menggigil, nyeri ketok daerah
Costo Vertebre Angel, adanya pus dan bakteri pada urin.

 Ureteral Stone
Jika terdapat batu pada ureter didekat appendiks, gejala yang timbul dapat
menyerupai appendisitis recrocaecal. Pada batu ureter terdapat reffered pain pada
labia, skrotum, maupun penis. Juga ditemukan adanya hematuria dan leukositosis.
Diagnosis pielonefritis dikonfirmasi dengan melakukan pielografi.

 Primary Peritonitis
Gejala penyakit ini menyerupai peritonitis sekunder akibat rupture appendiks.
Selain dari anamnesa menegakkan diagnose dari peritoneal aspirasi dan kultur. Bila

16
hanya ditemukan bakteri coccus, maka peritonitis yang terjadi adalah peritonitis
primer dan diterapi dengan medikamentosa.

 Henoch-Sconlein Purpura
Sindroma ini biasanya terjadi setelah 2-3 minggu post infeksi Streptococcus. Pada
penyakit ini didapatkan gejala nyeri perut yang disertai nyeri sendi, purpura dan
nefritis.

 Yersiniosis
Yersinia enterocolica menginfeksi manusia melalui makanan yang terkontaminasi.
Kuman ini dapat menyebabkan Mesenteric adenitis, ileitis, kolitis, dan appendisitis
akut. Pada umumnya infeksi yang ditimbulkan ringan.

 Kelainan Ginekologis
Kelainan ginekology yang paling sering adalah pelvic inflammatory disease (PID),
folikel the graft, kista ovarium atau tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan
kehamilan ektopik terganggu.

 Penyakit lain
2.11 PENATALAKSANAAN
Penderita yang telah didiagnosis sebagai apendisitis akut harus disiapkan untuk
operasi. Untuk itu harus memperhatikan status hidrasi penderita, keseimbangan
elektrolit, dan kelainan-kelainan pada jantung, ginjal dan paru-paru.
Pemberian antibiotic pre-operatif diberikan untuk menurunkan komplikasi infeksi
pada appendisitis. Jika durante operasi hanya didapatkan appendisitis akut simple
tanpa perforasi, maka antibiotik diberikan cukup sampai 24 jam post operasi. Jika
terdapat perforasi atau gangrenous appendiks, maka pemberian antibiotik dilanjutkan
sampai penderita afebris dan jumlah leukositnya kembali kebatas normal.
a. Open Appendectomy
Tindakan operasi untuk appendsitis akut tanpa perforasi adalah dengan
menggunakan insisi pada right lower quadrant muscle splitting Mc.Burney
(Oblique) atau Rocky Davis (Transverse). Insisi yang dilakukan harus mencakup
daerah dimana nyeri tekannya maksimal dirasakan atau dimana teraba massa.

17
Apabila telah terjadi perforasi dan terdapat tanda-tanda peritonitis, insisi yang
dilakukan adalah lower midline incision untuk mendapatkan exposure yang lebih
baik pada cavum peritoneum. Setelah dilakukan insisi, dilakukan identifikasi
caecum. Bila caecum telah teridentifikasi, dilanjutkan dengan identifikasi
appendiks dengan mengikuti ketiga taenia coli sampai kepertemuannya (basis
appendiks), kemudian ujung appendiks dicari sampai seluruh appendiks dapat
tereksposure dengan memobilisasi caecum.3
Setelah appendiks tereksposure, dilakukan pembebasan appendiks dari
mesoappendiks sambil melakukan ligasi arteri appendikularis. Apabila
appendiks telah terbebas dari mesoappendiks sampai pangkal appendiks,
dilakukan appendectomy. Pada appendiks perforasi atau gangrenous appendiks
dilakukan pencucian rongga abdomen dengan normal saline sampai bersih.3
Apabila teraba massa pada abdomen kanan bawah (2-5 % pada kasus
appendisitis) yang dicurigai pada appendikular abses, tindakan yang dilakukan
adalah percutaneus drainage dengan guiding USG atau CT-Scan disertai dengan
pemberian antibiotik untuk bakteri aerob gram negatif dan bakteri anaerob.3
Jika pada operasi tidak didapatkan appendisitis, perlu dicari kelainan lain
sebagai diagnosis alternatif, mulai dari caecum sampai mesenterium, dilanjutkan
dengan eksplorasi dari intestine secara retrograde mulai dari ileocaecal valve.
Pada wanita harus dilakukan eksplorasi pada organ reproduksinya.
Berikut teknik Open appendiktomi

Gambar 2.9 insisi dapat diletakkan pada salah satu dari beberapa lokasi. beberapa ahli lebih suka
insisi dikuadran kanan bawah dengan tekhnik memisahkan otot (splitting). Ahli lainnya lebih

18
menyukai insisi transversal kuadran kanan bawah yang melintas otot rektus dengan refleksi otot
kemedial. Bilamana diagnose diragukan, insisi garis tengah tentunya tepat 5

Gambar 2.10 Appendik terletak pada sambungan taenia dinding kolon pada ujung saekum.
appendiks mendapatkan vaskularisasi pada arteri appendiks, yang harus diligasi selama
pengangkatan appendiks. Appendiks dapat terletak pada hampir semua posisi, termasuk
retrosekal, menjulur kearah fleksura hepatica dari kolon5

Gambar 2.11 Pada saat abdomen dibuka, usus halus dimobilisasi kemedial ; sekum diidentifikasi
dikuadran kanan bawah. Appendiks sering kali terlihat jelas, tetapi jika tidak terlihat, appendiks
dapat diidentifikasi dengan mudah melalui palpasi, karena appendiks membengkak dan teraba
padat, perlekatan omentum biasanya dapat dilakukan diseksi bebas secara tumpul5

19
Gambar 2.12 Pada gambar 70-4, Jika appendiks terletak retrosekal, lipatan peritoneum lateral
harus diinsisi dan sekum dimobilisasi kemedial dan anterior. Selanjutnya appendiks dapat
dibebaskan dengan diseksi tumpul dan tajam. gambar 70-5 dan 70-6 Jika apendiks terletak
parasekal, perlekatan dapat dilakukan diseksi tumpul untuk memaparkan appendiks5

Gambar 2.13 Setelah appendiks dimobilisasi, mesoappendiks dipotong diantara dua klem dan
diligasi secara cermat untuk menjamin hemistasis. Pemotongan dilanjutkan sampai leher
appendiks pad sambungannya dengan sekum terlepas semuanya.5

20
Gambar 2.14 Gambar diatas jahitan diletakkan didasar apendiks sekitar 1 cm dari sambungannya
untuk memungkinkan dilakukan invaginasi stump apendiks. dua klem diletakkan pada dasar
appendiks untuk menjepit jaringan appendiks. klem bawah dilepas, dan dilakukan ligasi benang
cromic catgut 1-05

Gambar 2.15. Appendiks dipotong da stump diinvaginasikan dengan mengikat rapat-rapat jahitan
pursetring. Drain jarang diindikasikan. Ileum distal diperiksa terhadap adanya divertikulum
meckel luka operasi ditutup lapis demi lapis, dengan meninggalkan kulit terbuka jika terdapat
abses5.

b. Laparascopy Appendectomy
laparoscopy merupakan suatu tekhnik baru yang dapat digunakan untuk
diagnosis dan terapetik appendisitis akut.3
Keuntungan laparoscopy appendectomy dipilih dibandingkan dengan open
appendictomy antara lain untuk menurunkan insidensi infeksi luka operasi.
Mengurangi nyeri pada penderita, menurunkan hospitalisasi dan lebih cepat
penyembuhannya. Prinsip laparoscopy appendectomy sama dengan laparaskopi

21
untuk tujuan lain. Penderita harus dipasang kateter urin dan NGT sebelumnya.
Operator berdiri disisi kiri penderita dengan monitor pada sisi kanan penderita.
Kemudian dibuat keadaan pneumoperitoneum. Trochar canulla sepanjang 10
mm dimasukkan melalui umbilikus. Forward viewing laparoscopy dimasukkan
melalui kanula tersebut dan dilakukan inspeksi cavum peritoneum. Kemudian
trochar 10 mm kedua dimasukkan melalui regio suprapubik pada garis tengah
dan additional 5 mm port dibuat diabdomen kanan atas dan kanan bawah.3
Eksposur dilakukan dengan merubah posisi pasien menjadi trendelenburg
dengan sisi kanan lebih tinggi. Pada umumnya caecum dan appendiks dapat
dengan mudah diidentifikasi. Kemudian dilakukan penarikan mesoappendiks
melalui penarikan tip appendiks dengan atraumatik gasper yang ditempatkan di
trochar abdomen kanan atas. Mesoappendiks dipisahkan dengan alat stapling
atau elektrokauter untuk diseksi dan diklips atau ligating loop untuk mengikat
arteri appendikularis.3
Pemisahan mesoappendiks dilakukan sedekat mungkin dengan appendiks.
Setelah basis appendiks tereksposure, 2 ligating loop ditempatkan diproksimal
dan distal basis appendiks. Kemudian dilakukan appendectomy dengan sassor
dan elektrocauterization. Appendiks kemudian dibebaskan melalui trokhar yang
terletak di suprapubik3.

Gambar 2.16 Trokar 5 mm diletakkan pada insisi umbilical dan laparoscopy video 5 mm dipasng. Dua
trokar 5 mm yang lain diletakkan pada sisi kanan abdomen. Tekhnik alternative adalah dengan

22
meletakkan trokar Hasson pada umbilicus untuk memungkinkan pengangkatan appendiks yang menebal
melalui insisi umbilicus.5

Gambar 2.17 Trokar 10 mm diletakkan pada kuadran kiri bawah secara tegak lurus, sehingga
menghindari keperluan penutupan fasia diakhir prosedur. Abdomen dieksplorasi secara visual, dan
appendicitis dikonfirmasikan. Endoloop diletakkan melalui trokar 5 mm, dan ujung appendiks dijerat
untuk retraksi. Selanjutnya mesoappendiks terlihat dengan mudah5

Gambar 2.18 Gambar 71-3sampai71-6 Mesoappendiks dilakukan diseksi pelalui port-10 mm. Arteri
Appendiks dan lemak yang menyertainya dikontrol dengan elektrokauter dank lip. Bilamana dasar
appendiks terlihat dengan mudah, tiga endoloop tambahan diletakkan berurutan pada appendiks. Dua
endoloop diletakkan pada sisi sekal, dan satunya ditempatkan pada sisi specimen. Endolop ini diikat
rapat-rapat, dan specimen dipotong, stapler linier endoskopik dapat digunakan melalui port 12-cm pada
kuadran kiri bawah untuk mengontrol stump appendik dan arteri apendikalis. Gambar 71-7
Elektrokauter digunakan untuk kauterisasi mukosa pada stump apendiks5

23
Gambar 2.19 Spesimen ditarik ke obturator trokar 10 mm dan diekstraksi. Tekhnik alternative adalah
memasukkan appendik kedalam kantong karet yang dapat diletakkan melalui port 10 mm atau ditarik
langsung keluar dari mukosa kulit. selanjutnya kuadran kanan bawah diirigasi secara menyeluruh, dan
trokar dikeluarkan. Steri-Strips ditutupkan pada kulit5
2.12 Prognosis
Diantara beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan insiden yang
bermakna adalah diagnosis dan penatalaksanaan yang lebih baik.
Kematian biasanya disebabkan sepsis yang tidak terkontrol, peritonitis, abses
intraabdominal atau septikimia gram negative.
Angka kejadian parallel dengan angka mortalitas, menjadi meningkat dengan
adanya rupture appendiks dan sebagian kecil karena penambahan usia. Komplikasi
dini yang paling serius adalah sepsis dan termasuk abses serta infeksi luka

BAB III
STATUS PASIEN

24
A. Identitas Pasien
Nama : An. G
Umur : 17 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Paal XIII RT.11 Desa Pondok
MRS : 08 Mei 2014, Pukul 23:00

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Os datang dengan nyeri perut bagian kanan bawah sejak ± 2 jam
yang lalu SMRS.

Riwayat Perjalanan Sekarang :


Sejak 1 minggu yang lalu os merasakan nyeri perut yang hilang timbul di ulu
hati, mual (+), muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan dan os
berobat dipuskesmas, os diberi obat sehingga keluhan os berkurang.
Sejak satu hari SMRS os demam, mual (+), muntah (-).
±2 jam SMRS os tiba-tiba mengeluh nyeri perut yang tak tertahan di bagian
perut kanan bawah, demam (+), mual (+) dan muntah sebanyak 3 kali,
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Akhirnya os memutuskan ke IGD RS
Raden Mattaher.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
TD : 120 / 80 mmhg
Nadi : 85 x/menit
Suhu : 37,50 c
RR : 20 x/menit

Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/-, Si -/-, Refleks cahaya (+/+)
Thoraks :
Cor : BJ1 dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing (-), Ronkhi (-)
Abdomen : Soepel, Bu (+), NT (+), NL (+), Psoas sign (+), Defans
muscular (+)

25
Ekstremitas : Akral hangat, Edema (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Rutin
WBC : 17,0 H 103/mm3
RBC : 4,57 106/mm3
HB : 13,4 g/dl
HCT : 40,5 %
PLT : 234 103/mm3
GDS : 111 mg/dl

2. Kimia Darah Lengkap


Bilirubin Total : 1,0 mg/dl
Bilirubin Direk : 0,5 mg/dl
Bilirubin Indirek : 0,5 mg/dl
Protein Total : 7,4 g/dl
Albumin : 3,6 g/dl
Globulin : 3,8 g/dl
SGOT : 21 U/L
SGPT : 12 U/L
Ureum : 16,1 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mg/dl
3. Gravindex test : Negatif (-)
4. USG

E. Diagnosa Kerja
Suspect Appendisitis Akut

F. Tatalaksana
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1x 2 gr
Inj. Ranitidine 2x1 amp
Paracetamol 3x500 mg
Mucogard syrup 1x1

26
BAB IV
KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks. Apendisitis


akut adalah frekuensi terbanyak penyebab persisten, progressive abdominal
pain pada remaja. Etiologi terbanyak disebabkan adanya fekalit. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis disertai
mual dan anoreksia. Nyeri pindah keperut kanan bawah menunjukkan tanda
rangsangan peritoneum local dititik McBurney. Nyeri tekan, nyeri lepas dan
defans muskuler (+). Nyeri perut kanan bawah pada saat dilakukan penekanan
disebelah kiri (Rovsing Sign)
Bila diagnose klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali pada apendisitis
gangrenosa, atau apendisitis perforasi. Penundaan tindakan bedah sambil
memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Diantara beberapa factor yang mempengaruhi penurunan insiden yang
bermakna adalah diagnosis dan penatalaksanaannya yang lebih baik. Kematian

27
biasanya disebabkan sepsis yang tidak terkontrol, peritonitis, abses
intraabdominal atau septikimia gram negative.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC;
2006.Hal.230-231.
2. Sjamsuhidayat R, De jong W. Apendiks vermiformis pada buku ajar ilmu bedah.
Edisi ke-dua. Jakarta: EGC; 2005. Hal.640-641
3. Schwartz SI. Appendix, in principles of surgery, 7 th Ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 1999.P.1383-1393.
4. Smink DS, Soybel DI. Appendix and Appendectomy in maingot’s abdominal
operations. 11th ed. London: The McGraw-Hill Companies; 1997.P.593.
5. Sabiston DC. Apendektomi pada atlas Bedah Umum. Tangerang Selatan: Binarupa
Aksara; 2011.Hal.398-407.

28

Anda mungkin juga menyukai