Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan

Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh


mikroorganisme yang berasal dari genus Leptospira yaitu bakteri spirochaeta aerob
obligat. Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan
(zoonosis). Hewan yang terinfeksi akan mengeluarkan bakteri penyebab
leptospirosis melalui urin dan umumnya akan mencemari perairan. Manusia akan
tertular melalui kontak dengan air yang terkontaminasi melalui membran mukosa
atau lesi di kulit (Amin, 2016).
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia terutama negara dengan iklim tropis
dan subtropis. Hal ini disebabkan negara dengan iklim tersebut memiliki curah
hujan yang tinggi. Iklim ini berguna dalam pertahanan hidup patogen. Insidensi
leptospirosis meningkat pada negara tropis. Pada tahun 1995-2000 terdapat
peningkatan kejadian leptospirosis sebanyak 30 kali di Thailand. Sementara di
Indonesia sendiri pada tahun 2012, sebanyak 239 kasus leptospirosis telah
dilaporkan dengan 29 kasus diantaranya mengalami kematian. Hewan yang dapat
menularkan leptospirosis berasal dari golongan mamalia seperti tikus, kucing,
anjing, domba, babi, dan tupai. Namun, tikus merupakan reservoar utama yang
umumnya menularkan leptospirosis (Setadi, 2001; Amin, 2016; Daher, 2010).
Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi dari ringan sampai berat.
Manifestasi ringan umumnya disebut leptospirosis anikterik dan manifestasi berat
disebut sebagai leptospirosis ikterik atau penyakit Weil. Leptospirosis berat
ditandai dengan ikterik, disfungsi ginjal dan perdarahan. Gagal ginjal akut
merupakan salah satu penyebab penting kematian pada pasien leptospirosis berat.
Pada negara tropis dimana leptospirosis menjadi penyakit endemik, patogen
leptospira menjadi penyebab penting terjadinya kerusakan ginjal. Insidensi gagal
ginjal akut bervariasi antara 10%-60% (Daher, 2010).
BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang berasal dari genus Leptospira yaitu bakteri spirochaeta aerob
obligat. Flood fever, canicola fever, dan icterohemorrhagic fever merupakan nama
lain untuk menyebut penyakit ini (Sucipto, 2017).

B. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia terutama negara dengan iklim tropis
dan subtropis. Hal ini disebabkan negara dengan iklim tersebut memiliki curah
hujan yang tinggi. Iklim ini berguna dalam pertahanan hidup patogen. Insidensi
leptospirosis meningkat pada negara tropis. Pada tahun 1995-2000 terdapat
peningkatan kejadian leptospirosis sebanyak 30 kali di Thailand. Sementara di
Indonesia sendiri pada tahun 2012, sebanyak 239 kasus leptospirosis telah
dilaporkan dengan 29 kasus diantaranya mengalami kematian (Setadi, 2001; Amin,
2016; Daher, 2010).

C. Etiologi
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang berasal dari genus Leptospira yaitu bakteri spirochaeta aerob
obligat. Organisme ini memiliki ukuran panjang 5-15 um dengan lebar 0,1-0,2 um
bebelit, tipis, sangat motil dan memiliki flagella. Pergerakan leptospira dapat
diamati menggunakan mikroskop lapangan gelap Leptospira terbagi menjadi dua
spesies, yaitu L. interrogans yang bersifat patogen dan L. biflexa yang tidak
patogen. L. interrogans terbagi menjadi beberapa tipe. Beberapa tipe yang sering
menginfeksi manusia adalah L. icterrohemorraghica dengan reservoir tikus, L.
canicola dengan reservoir anjing, dan L. pomona dengan reservoir sapi dan babi
(Zein, 2008)
D. Faktor Risiko
Penularan patogen dapat terjadi melalui banyak cara seperti gigitan hewan
yang terinfeksi, kontak langsung dengan darah, urin, atau jaringan hewan yang
terinfeksi. Pekerjaan yang memiliki risiko tinggi terkena patogen adalah petani,
peternak, pekerja selokan/perairan, dan pekerja perkebunan. Aktivitas seperti
berenang di sungai, kemping, berkegiatan di hutan, dan berburu juga menjadi faktor
risiko terkena patogen leptospira. Selain pekerjaan dan aktivitas, terdapat beberapa
kondisi lingkungan yang menjadi faktor risiko penularan leptospira, yaitu
lingkungan yang terkena banjir, banyak hewan ternak, dan lingkungan yang dihuni
banyak tikus (Zein, 2008; Amin, 2016).

E. Patogenesis & Patologi


Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui lesi pada kulit atau melalui
mukosa utuh seperti konjungtiva dan oronasofaring. Di dalam tubuh, leptospira
akan beredar di dalam darah (leptospiremia) dan menginfeksi organ-organ terutama
hati dan ginjal. Leptospira akan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah
yang akhirnya dapat menyebabkan perdarahan (Speelman, 2008).
Leptospira yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan gangguan di
berbagai tempat di dalam tubuh. Gangguan tersebut dapat berupa lesi dan gangguan
fungsi organ yang terkena (Zein, 2008). Organ-organ tersebut adalah
 Ginjal
Toksin leptospira menyebabkan lesi berupa interstitial nefritis pada ginjal.
Pada keadaan lebih lanjut, kegagalan ginjal dapat terjadi dikarenakan proses
nekrosis dari tubular ginjal.
 Hati
 Jantung
Pada jantung, leptospira menyebabkan nekrosis pada otot-otot jantung.
 Otot Rangka
Invasi langsung bakteri leptospira pada otot rangka menyebabkan
manifestasi klinis berupa nyeri otot.
 Mata
Leptospira yang menyerang mata akan menyebabkan uveitis.
 Pembuluh Darah
Pada pembuluh darah, leptospira menyebabkan kerusakan pada lapisan
endotel pembuluh darah kapiler. Akibatnya dapat ditemukan perdarahan
atau bintik perdarahan pada kulit.
 Sistem Saraf Pusat
Leptospira yang masuk ke dalam cairan serebrospinal dapat menyebabkan
meningitis.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien leptospirosis dapat terbagi
menjadi dua, yaitu leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik (Weil Disease).
Pada leptospirosis anikterik, infeksi leptospira memunculkan gejala seperti demam,
sakit kepala frontal atau retroorbital, mual, muntah, dan myalgia. Nyeri otot yang
dirasakan terutama pada betis, punggung, dan abdomen. Pada pemeriksaan fisik,
kenaikan suhu tubuh dan konjungtiva suffusion dapat ditemukan. Hasil
pemeriksaan lain yang mungkin ditemukan adalah limfadenopati, rash,
hepatomegali dan splenomegali.
Menurut Amin (2016), leptospirosis ikterik atau penyakit weil memiliki
karakteristik berikut: disfungsi ginjal, ikterus, dan perdarahan. Ikterus mulai
tampak pada pasien pada hari kelima sampai hari kesembilan. Disfungsi ginjal yang
terjadi bervariasi dari yang ringan hingga yang berat. Gangguan fungsi ginjal ringan
ditandai dengan proteinuria ringan dan sedimen urin yang tidak normal. Sementara
gangguan fungsi ginjal yang berat ditandai dengan cedera ginjal akut. Cedera ginjal
akut disebabkan oleh serangan langsung toksin leptospira sehingga menyebabkan
nefritis interstitial dan nekrosis tubular akut. Manifestasi perdarahan pada
leptospirosis berat dapat berupa pteki, purpura, epistaksis, perdarahn gusi, dan
batuk darah ringan.
G. Diagnosis
Diagnosis awal pada leptospirosis sulit ditegakkan karena pasien datang
dengan keluhan beragam yang menyerupai penyakit lain seperti hepatitis,
meningitis, nefritis, dan sebagainya. Leptospirosis didiagnosis melalui riwayat
paparan pasien dengan leptospira seperti pekerjaan, aktivitas, dan lingkungan
tempat tinggal. Diagnosis pasti leptospirosis membutuhkan pemeriksaan penunjang
lebih lanjut menggunakan kultur dan uji serologi. Spesimen yang dapat digunakan
untuk pemeriksaan kultur adalah darah, cairan serebrospinal dan urine.
Pemeriksaan spesimen darah dan cairan serebrospinal dapat dilakukan segera saat
awal gejala. Sementara kultur urine dilakukan setelah 2-4 minggu gejala muncul.
Uji serologi merupakan pemeriksaan cepat untuk mengetahui patogen leptospira.
uji serologi yang sering digunakan adalah PCR, silver stain, mikroskop lapangan
gelap, dan flourescent antibody stain (Zein, 2008).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien leptospirosis meliputi pemberian antibiotik
dan pengobatan suportif. Antibiotik lini pertama yang diberikan untuk leptospirosis
derajat ringan adalah doksisiklin dan penisilin G benzatin pada leptospirosis derajat
berat. Antibiotik alternatif yang dapat diberikan adalah azitromisin, ampisilin,
amoksisilin, dan eritromisin. Antibiotik diberikan selama tujuh hari kecuali
azitromisin yang diberikan selama 3 hari. Pada leptospirosis berat, pasien harus
dirawat inap dan dirawat pada ruangan intensif karena pertimbangan progresivitas
penyakit. Pasien yang mengalami gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau
hemodiafiltrasi (Amin, 2016; Gompf, 2017).

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi karena infeksi leptospira adalah meningitis
aseptik, gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis, dan miokarditis.
Gagal ginjal akut sering terjadi pada pasien dengan leptospirosis. Gagal ginjal akut
adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba.
Gagal ginjal akut dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu prerenal, renal dan
postrenal. Pada gangguan prerenal, gagal ginjal terjadi karena terdapat penurunan
aliran darah ke ginjal yang dapat disebabkan oleh keadaan dehidrasi atau
perdarahan. Gagal ginjal yang disebabkan karena proses intrinsik atau renal
umumnya disebabkan keadaan-keadaan yang mengganggu integritas tubulus,
glomerulus, atau interstisium. Hambatan yang terjadi pada saluran kemih yang
dapat disebabkan karena adanya pembesaran prostat, batu, atau tumor merupakan
penyebab terjadinya gagal ginjal postrenal. Prevalensi gagal ginjal akut yang terjadi
pada leptospirosis sekitar 16-40% kasus. Sindroma pseudohepatorenal merupakan
nama lain untuk gagal ginjal yang terjadi pada leptospirosis. Tanda dari gagal ginjal
akut umumnya adalah kenaikan serum ureum dan kreatinin serta dapat
berhubungan dengan kejadian ikterik. Hipokalemia terjadi pada 45%-74% pasien
dengan gagal ginjal akut pada leptospirosis. Pada pemeriksaan USG dapat
ditemukan pembesaran dari ginjal. Gagal ginjal akut yang terjadi bermula dari
toksin leptospira yang menyebabkan nefritis interstitialis dan nekrosis tubular akut.
Selain efek langsung dari toksin leptospira, gagal ginjal akut pada leptospirosis juga
disebabkan oleh berbagai macam penyebab, yaitu dehidrasi yang akan memicu
hipovolemia sehingga memperberat fungsi ginjal. Selain dipicu dehidrasi,
hipovolemia dapat pula disebabkan oleh perdarahan yang terjadi sehingga
menurunkan volume darah. Ikterus hampir terjadi pada semua kasus leptospirosis
berat. Kejadian ikterus ini juga mempunyai hubungan dengan terjadinya gagal
ginjal akut. Tingginya kadar bilirubin dalam darah dapat mempengaruhi fungsi
ginjal. Rabdomiolisis yang terjadi pada penderita leptospirosis menyebabkan
vasokonstriksi renal, obstruksi tubular, dan toksisitas mioglobin (Daher, 2010).

J. Prognosis
Kematian terjadi pada 10% kasus leptospirosis berat yang disebabkan oleh
gagal ginjal, ARDS, dan perdarahan masif. Pasien usia lanjut dan
imunokompromais merupakan pasien dengan risiko tinggi mengalami mortalitas
(Gompf, 2017).
BAB III
Laporan Status Pasien

UNIVERSITAS DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT


ISLAM DALAM
INDONESIA
FAKULTAS STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
KEDOKTERAN Untuk Dokter Muda
Nama Dokter Muda Nastiti Putri Arimami Tanda Tangan
NIM 14711024
Tanggal Ujian
RS Dr. Soedirman
Rumah sakit
Kebumen
Gelombang Periode

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. MA
Jenis kelamin :L
Umur : 59 tahun
Alamat : Pejagoan, Kebumen

II. ANAMNESIS
Jika alloanamnesis, tuliskan
Identitas sumber informasi
Nama :
Umur :
Alamat :
Hubungan dengan pasien :
Anamnesis dilakukan pada tanggal: 21 Mei 2018 pukul :13.30 WIB

Resume anamnesis :
Pasien datang ke RS dengan keluhan buang air kecil berwarna kehitaman disertai
dengan mual, muntah, pegal, dan demam, pasien tidak mengeluh sesak. Keluhan
tersebut sudah muncul sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien belum
minum obat untuk mengatasi keluhannya. Keluhan serupa sebelumnya disangkal.
Pasien merupakan petani dan saat bekerja menggunakan alat pelindung diri
seadanya.

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)

Dilakukan pada tanggal : 21 Mei 2018 pukul : 13.30 WIB


Tekanan darah : 91/74 mmHg
Suhu tubuh : 38,5 oC
Frekuensi denyut nadi : 120x/menit
Frekuensi nafas : 24x/menit

IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK :

IV. A. KEADAAN UMUM

Kesadaran : Compos mentis


Tinggi badan : 162 cm
Berat badan : 62 kg
Status gizi : baik
Skema manusia : tidak ditemukan kelainan
IV.B. PEMERIKSAAN KEPALA :
Mata : Konjungtiva sufusion +, sklera ikterik +
Mulut : Normal

IV.C. PEMERIKSAAN LEHER

Inspeksi : Normal
Palpasi : normal
Pemeriksaan trakea : normal
Pemeriksaan kelenjar tiroid : normal
Pemeriksaan tekanan vena sentral : normal

IV.D. PEMERIKSAAN THORAKS

Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)


Perkusi : sonor
Palpasi : fremitus normal
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+), tidak terdapat suara paru
tambahan

IV.E. PEMERIKSAAN ABDOMEN :

Inspeksi : distensi (+)


Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : redup
Palpasi : nyeri tekan (-)
Pemeriksaan ren : sulit teraba
Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : tidak dilakukan
Pemeriksaaan hepar : sulit teraba
Pemeriksaan lien : normal
Pemeriksaan asites : positif
Pemeriksaan ekstremitas : normal
Lengan : normal
Tangan : normal
Tungkai : normal
Kaki : normal

V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :


Pada pemeriksaan fisik didapatkan kenaikan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi,
konjungtiva suffusion, sklera ikterik dan asites

VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS


DAN PEMERIKSAAN FISIK)

VI.A. Masalah aktif :


BAK hitam, demam, ikterik dan asites yang disebabkan oleh bakteri leptospira
VI. B. Masalah pasif : -

VI. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Leptospirosis dengan ARF

VII. RENCANA
A. TINDAKAN TERAPI :
 Infus Asering 12 tpm
 Injeksi bactecyn 2 x 1,5 gr IV
 Injeksi metronidazole 3x 500 mg IV
 Injeksi Resfar 1x1
 Bicnat 3x1
 Nocid 3x2
 Sistenol 3x1
 Hepamax 3x1
 Injeksi Diaz 1A
 Spironolakton
 Propanolol 2x5 mg
 Infus eas pfrimmer

B. TINDAKAN DIAGNOSTIK /PEMERIKSAAN PENUNJANG :

 Pemeriksaan Urin
o Warna : kuning tua
o Kejernihan : agak keruh
o Bilirubin : pos +1
o Darah : pos +3
o Protein : +1
o Leukosit : 3-5 / lpb
o Silinder : positif
o Bakteri urin : positif
 Pemeriksaan Darah
o Hb : 12,7
o Leukosit : 14,1
o Hematokrit : 35
o Trombosit : 21.000
o Ureum : 92
o Kreatinin : 1,83
 Pemeriksaan Serologi
o Leptospira IgM Rapid (+)
o CRP (+)

Pernyataan :

Bahwa semua data yang saya tulis dalam status ujian ini adalah berdasarkan
pemeriksaan yang saya lakukan sendiri

Kebumen, 24 Mei 2018

Mahasiswa, Dosen Pembimbing

Nastiti Putri Arimami dr. Imbar Soedarsono, Sp. PD


Daftar Pustaka

Amin, L. Z., 2016, Leptospirosis, CDK-243, vol. 43 no. 8 th. 2016


Gompf, S. G., 2017, Leptospirosis.
https://emedicine.medscape.com/article/220563-overview#a7 [diupdate
tanggal 18 Mei 2017, diakses tanggal 24 Mei 2018]
Speelman, P., Hartskeerl, R., 2008, Leptospirosis, dalam Fauci A. S., Kasper, D.
L., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L., Loscalzo, J.,
Harrison’s Principles of Internal Medicine, The Mc Graw Hill, America,
1048-1051
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S., 2008, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi V, Interna Publishing, Jakarta
Setadi, B., Setiawan, A., Effendi, D., Hadinegoro, S., 2001, Leptospirosis, Sari
Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 – 167
Daher, E., Abreu, K., Junior, G., 2010, Leptospirosis-Associated Acute Kidney
Injury, J Bras Nefrol, 2010;32(4):400-407

Anda mungkin juga menyukai