Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN REFERAT

GAMBARAN INVAGINASI DENGAN PEMERIKSAAN USG

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepanitraan Klinik Bagian


Ilmu Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Kebumen

Disusun Oleh :

Chandrayani Arfeni

10711122

Pembimbing :

Dr. Iwan Danardono, Sp. Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2015

21
BAB I

PENDAHULUAN

Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan agak


jarang pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak biasanya bersifat
idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Serangan rinitis atau infeksi
saluran nafas sering kali mendahului terjadinya invaginasi (De Jong, 2010).

Invaginasi merupakan suatu kegawatdaruratan, terjadi jika suatu


bagian saluran cerna dimasuki oleh segmen bagian bawahnya, menimbulkan
gejala obstruksi dan pada fase lanjut apabila tidak segera dilakukan reposisi
dapat menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada perforasi dan
peritonitis. Invaginasi ini merupakan penyebab obstruksi intestinum yang
paling umum pada umur antara 3 bulan sampai 6 tahun. Kelainan ini jarang
terjadi pada anak sebelum umur 3 bulan dan frekuensi menurun setelah
umur 36 bulan (Nelson, 2000).

Insidens invaginasi bervariasi dari 1-4 per 1000 kelahiran hidup.


Rasio terjadinya invaginasi pada laki-laki berbanding perempuan adalah
sekitar 4:1. Beberapa invaginasi akan membaik spontan atau mengalami
autoamputasi, jika tidak diobati kebanyakan akan menyebabkan kematian.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa invaginasi sering didahului oleh
serangan rinitis atau infeksi saluran nafas, sehingga pernah dilaporkan
bahwa insidens musiman memuncak pada musim semi dan musim gugur.
Hal ini terkait dengan infeksi adenovirus dan keadaan inilah yang
mempersulit gastroenteritis (Nelson, 2000)

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostik


untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, di mana kita dapat mempelajari bentuk,
ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan sekitar. Hanya
dalam beberapa tahun terakhir ini perkembangan ultrasonografi pada anak
maju dengan pesat. Ultrasonografi pediatrik disukai tidak hanya karena
tidak adanya sinar pengion yang dipergunakan, melainkan memberi
informasi yang cepat dan tidak bersifat invasif (Sjahriar et al, 2005)

21
Ditangan seorang ahli dalam sonografi, banyak informasi yang dapat
diberikan. Sebagai contoh, massa intraabdominal, secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat menunjukkan letak massa tersebut, tetapi dengan
palpasi saja sulit untuk menentukan apakah massa tersebut berasal dari
hepar atau ginjal. Sonografi dengan mudah memberikan informasi tersebut
(Sjahriar et al, 2005)

Berikut adalah kasus invaginasi yang terjadi pada bayi perempuan


berumur 9 bulan yang didiagnosis dengan ileus obstruksi et causa suspek
invaginasi. Selanjutnya diberi tatalaksana berupa laparotomi segera.
Selanjutnya akan dibahas tentang invaginasi dari gejala klinis, pemeriksaan
dan diagnosis, dan penatalkasanaan yang tepat pada pasien. Terutama terkait
dengan peranan diagnosa penunjang dengan ultrasonografi yang sangat
menentukan pada kasus invaginasi.

21
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Invaginasi

2.1.1. Definisi

Invaginasi disebut juga intususepti. Intususepti berasal dari kata


intus artinya ke dalam, sucipere artinya sambil mengambil, yang masuk
kedalam. Sedangkan invaginasi berasal dari kata in artinya didalam, dan
vagina artinya sarung. Jadi intususepsi atau invaginasi adalah suatu proses
melipatnya organ berbentuk saluran sehingga satu bagian melekuk masuk ke
dalam bagian bagian lainnya melapisi rongga baru di dalam saluran tersebut,
dalam hal ini organ berbentuk saluran adalah usus. Umumnya bagian yang
proksimal (intususeptum) masuk ke bagian distal (intususepien), karena aksi
peristaltik usus dimulai dari segmen proksimal ke segmen distal (Bajaj,
2001; Justice et al 2006)

2.1.2. Etiologi

Penyebab pasti belum bisa diketahui. Disebutkan bahwa plak Peyer


yang membengkak di ileum dapat merangsang peristaltik usus sebagai
upaya untuk mengeluarkan massa tersebut, sehingga menyebabkan
intususepsi. Selain itu umur puncak insidens invaginasi ini berada dimana
saluran bayi dimasuki berbagai macam makanan baru, sehingga usus
seharusnya beradaptasi terutama dengan konsistensi makanan baru yang
berbeda-beda (Nelson, 2000).

Pada sekitar 5-10% penderita, dapat dikenali hal-hal yang dapat


mendorong terjadinya invaginasi seperti apendiks yang terbalik,
divertikulum Meckelli, polip usus, duplikasi, atau limfosarkoma. Pada kasus
yang jarang keadaan invaginasi menjadi penyulit purpura Henoch-

21
Schonlein, dengan hematoma intramural yang berperan sebagai puncak
invaginasi. Keadaan lain yang jarang terjadi pada pascabedah dan juga
selalu ileosecal. Dapat juga terjadi pada penderita kistik fibrosis yang
mengalami dehidrasi. Lesi luar biasanya antara lain tumor metastase,
hemangioma, benda asing, infeksi parasit, dan fecalith yang semua itu dapat
terjadi setelah kemoterapi kanker (Nelson, 2000).

2.1.3. Klasifikasi

Terdapat beberapa tipe invaginasi berdasarkan dari lokasi invaginasi


itu terjadi, penamaannya sesuai dengan usus mana yang masuk
(intususeptum) dan menerima (intususepien) , yaitu:

1. Illeocolica, dimana usus halus masuk ke kolon. Tipe ini adalah


tipe yang paling sering didapat, kejadiannya sebanyak 75%.
2. Ileoileal, dimana usus halus masuk ke bagian usus halus sendiri,
kejadiannya sebanyak 15%
3. Colocolica, dimana usus besar masuk ke bagian usus besar
sendiri, kejadiannya jarang hanya sekitar 10% saja.
4. Ileocaecal, dimana usus halus masuk ke bagian cecum.

Gambar 1. Tipe Invaginasi: A. Illeocolica, B. Ileoileal, C. Ileocaecal

21
2.1.4. Patofisiologi

Suatu segmen usus berikut mesenterium atau mesokolon masuk ke


lumen usus bagian distal oleh suatu sebab. Proses selanjutnya adalah proses
obstruksi. Obstruksi yang terjadi secara mendadak ini akan menyebabkan
bagian apex invaginasi menjadi oedem dan kaku, jika hal ini telah terjadi
maka tidak mungkin untuk kembali normal secara spontan. Apabila terjadi
obstruksi sistem limfatik dan vena mesentrial, akan dijumpai mukosa
intussuseptum menjadi oedem dan kaku.

Selanjutnya bisa timbul strangulasi berupa rasa sakit dan pendarahan


peranal. Sakit mula-mula hilang timbul kemudian menetap dan sering
disertai rangsangan muntah. Darah yang keluar peranal merupakan darah
segar yang bercampur lendir. Proses obstruksi usus sebenarnya sudah terjadi
sejak invaginasi, tetapi manifestai klinik obstruksi memerlukan waktu,
umumnya setelah 10-12 jam sampai menjelang 24 jam (Stead et al, 2003).

Gambar 2. Diagram ilustrasi terjadinya invaginasi

21
2.1.5. Manifestasi Klinis

Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi
yang baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke
atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan
nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Manifestasi
penyakit mulai tampak dalam waktu 3-24 jam setelah terjadi invaginasi.
Diluar serangan, anak atau bayi kelihatan seperti normal kembali. Pada
waktu itu sudah terjadi proses invaginasi. Serangan nyeri perut datangnya
berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit, lama serangan 2-3 menit
(Crystal et al, 2002).

Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu diikuti dengan


muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung, sesudah beberapa
kali serangan dan setiap kalinya memerlukan tenaga, maka di luar serangan
pasien terlihat lelah dan lesu dan tertidur sampai datang serangan kembali.
Proses invaginasi pada mulanya belum terjadi gangguan pasase isi usus
secara total, anak masih dapat defekasi berupa feses biasa, kemudian feses
bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa darah
segar bercampur lendir tanpa feses. Karena sumbatan belum total, perut
belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian mudah teraba gumpalan
usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa berbentuk bujur di dalam
perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah
(Blanch et al, 2007).

Massa lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik,


sedangkan pada perut bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut
dance’s sign ini akibat sekum dan kolon naik ke atas, ikut proses invaginasi.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi
goblet sel serta laserasi mukosa usus, ini memperlihatkan gejala buang air
besar darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan
sakit yang pertama kali, kadang-kadang sesudah 12 jam. Buang air besar
dapat normal dengan darah karena sisa-sisa feses sebelum terjadi

21
invaginasi, kemudian buang air besar darah lendir ini bervariasi jumlahnya
dari kasus ke kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan
colok dubur.

Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya
tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem
yang semakin bertambah, sehingga pasien dijumpai dengan tanda-tanda
obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang
jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi.

Oleh karena perut kembung maka massa tidak dapat diraba lagi dan
defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus
akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan
terganggunya aliran pembuluh darah arteri, pada segmen yang terlibat
menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi, peritonitis umum, shock
dan kematian (Kazez et al, 2004; Bailey et al, 2007).

2.1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Penemuan klinis tergantung dari lamanya invaginasi terjadi.


Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Mungkin beberapa hari
sebelumnya menderita radang saluran nafas atau diare. Bayi tiba-tiba
menangis seperti menahan sakit untuk beberapa menit kemudian diam,
main-main atau tidur kembali. Sering disertai muntah berupa
minuman/makanan yang masuk.

Gejala klinis dari invaginasi adalah trias gejala yang terdiri dari

a. Nyeri perut yang bersifat kolik


b. Muntah, dan
c. Berak lendir darah (red currant jelly = selai kismis merah)

21
Adapun yang menyebutkan bahwa trias gejala tersebut adalah:

a. Nyeri perut yang bersifat kolik


b. Teraba massa tumor diperut seperti sosis (sausage’s sign)
c. Buang air besar lendir darah

Pada colok dubur (rectal toucher) dapat ditemukan sebagai berikut:

a. Tonus sfingter ani melemah,


b. Mungkin invaginat dapat diraba berupa massa seperti portio
atau pseudo portio (portio like appearance), dan
c. Bila jari di tarik, maka akan keluar darah bercampur lendir

Pada pemeriksaan perut dapat diraba sausage’s sign, bising usus


meninggi selama serangan kolik, menjadi normal kembali diluar serangan.
Colok dubur memeperlihatkan darah lendir dan kadang teraba pseudoporsio
bila invaginasi sudah mencapai regio sigmoid. Intussusceptum yang keluar
dari rektum jarang ditemukan. Pada invaginasi didapatkan intussusceptum
babas dari dinding anus sedangkan pada prolaps berhubungan sirkuler
dengan dinding usus. Pada inspeksi suka sekali dibedakan prolaps rektum
dari invaginasi. Diagnosis dapat di tegakkan dengan pemeriksaan jari sekitar
penonjolan untuk menentukan ada tidaknya celah terbuka (Kazez et al,
2004; Bailey et al, 2007)

Gambar 3. Diagnosis banding antara invaginatum yang keluar dari


rektum dan prolaps (mukosa) rektum. A. Anatomi normal, B. Prolaps
mukosa rektum, C. Invaginasi, 1. Dinding rektum, 2. Lumen rektum, 3.
Lumen usus/invaginatum, 4. Sfingter anus, 5. Invaginatum yang menonjol
dari anus dengan oedem berat, 7. Batas antara kulit anus dan mukosa rektum
tertutup, 8.celah sirkuler pada pemeriksaan rektal dengan telunjuk.

21
Foto polos abdomen 3 posisi akan ditemukan tanda-tanda obstruksi
dengan gambar air fluid levels dan distribusi udara dalam usus tidak merata.
Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi,
dimana akan terlihat gambaran cupping dan coilspring. Untuk tujuan terapi,
barium enema dikerjakan dengan tekanan hidrostatik untuk mendorong usus
yang masuk ke arah proksimal, teknik ini dapat dikerjakan bila belum ada
tanda-tanda obstruksi usus yang jelas, seperti muntah-muntah hebat, perut
distensi, dan dehidrasi berat. Peritonitis merupakan kontra indikasi
dilakukan reposisi dengan barium enema. Reposisi berhasil bila setelah
rectal tube ditarik dari anus maka barium keluar dengan disertai massa feses
dan udara (menyemprot), pada fluoroskopi terlihat ada refluks barium
kedalam lumen ileum dan massa tumor hilang. Pemeriksaan USG (ultra
sonografi) akan terlihat gambaran seperti ginjal (pseudo kidney appearance)
atau seperti kue donat (doughnut’s sign) (Brunicardi et al, 2010).

Tabel 1. Hasil mengenai sensitivitas dan spesifitas komponen yang


mendasari diagnosis invaginasi (Bulletin of the World Healt
Organization, 2006)

Komponen Hanoi Melbourne


sensitivitas spesifitas sensitivitas Spesifitas
Muntah 30% 91% 31% 97%
Obsdtruksi intestinal 82% 50% 30% 96%
Sausage shape mass 82% 100% 55% 98%
Red currant jelly stool 15% 91% 15% 100%
Abdominal pain 100% 82% 94% 81%
Usia <1 th & laki-laki 44% 66% 53% 64%
Foto polos 26% 100% 41% 100%
Barium enema 96% 95% 96% 95%
USG 98,5% 100% 100% 88%

21
Mungkin sangat sulit mendiagnosis invaginasi pada anak yang sudah
menderita gastroenteritis, perubahan gambaran penyakitnya dalam hal sifat
nyerinya, sifat muntahnya, atau mulai perdarahan rektum, harus menjadi
perhatian. Tinja bercampur darah dan abdomen kejang yang menyerupai
enterokolitis biasanya dapat dibedakan dati invaginasi karena nyerinya
kurang hebat dan kurang teratur, ada diare, dan bayi tetap kesakitan diantara
nyeri. Perdarahan pada divertikulum Meckeli tanpa nyeri. Perdarahan
intestinal pada Schonlenin pupura biasanya, namun tidak selalu, disertai
gejala-gejala sendi atau purpura dimana-mana, dan mungkin nyeri koliknya
sama.

2.1.7. Penatalaksanaan

Penanganan pada invaginasi tergantung keadaan umum penderita, reposisi


invaginasi bisa dilakukan dengan cara operatif maupun non operatif

a. Reposisi secara nonoperatif


Seperti dibahas sebelumnya dengan menggunakan barium
enema atau udara atau NaCl yang dimasukkan melalui rektal
kemudian barium bergerak cupping pada tempat invaginasi. Dengan
tekanan hidrostatik sebesar 1 meter air, barium didorong ke arah
proksimal. Tidak boleh dilakukan pengurutan atau penekanan di
perut sewaktu reposisi hidrostatik ini. Pengobatan dianggap berhasil
jika barium sudah mencapai ileum terminalis. Pada saat itu pasase
usus kembali normal (Bailey et al, 2007).
Sejak tahun 1876, barium enema sudah dipergunakan untuk
pengobatan invaginasi dan hasilnya memuaskan. Hanya sedikit
kemungkinan terjadi perforasi walaupun usus telah mengalami
gangren, asal tekanan hidrostatik tidak melebihi 1 meter. Selain itu
perawatan pada reposisi barium lebih pendek dibanding reduksi
manual pada operasi yang lebih bersifat traumatik, sehingga mudah
terjadi ruptur usus dengan segala kelebihan yang disebutkan tadi.

21
b. Reposisi secara operatif
Kadang reposisi barium tidak berhasil, karena pengenalan
gejala klinis yang terlambat, sehingga invaginasi sudah berjalan dan
menimbulkan obstruksi sampai perforasi. Untuk itu reposisi
langsung dengan operasi tanpa dilakukan dengan reposisi barium
terlebih dahulu jika telah terjadi perforasi, peritonitits, dan tanda-
tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya pada invaginasi yang sudah
berlangsung 48 jam. Demikian pula pada kasus-kasus relaps.
Kejadian invaginasi berulang setelah reposisi barium sekitar 11%
dan 3% pada operasi tanpa reseksi usus. Biasanya reseksi dilakukan
jika aliran darah tidak pulih kembali setelah dihangatkan dengan
larutan fisiologik. Jika terjadi invaginasi berulang maka langsung
dilakukan reposisi secara operatif.
Sebelum dilakukan operatif terlebih dahulu ditangani
keadaan dehidrasi yang mungkin didderita oleh pasien karena
muntah yang berlebihan dan defekasi dengan lendir darah. Pada
kasus dehidrasi berat bisa diberikan cairan 20cc/kgBB, cairan yang
dipakai bisa langsung dengan menggunakan koloid. Jika akses
secara vena sulit bisa dilakukan dengan intraosseus. Pembedahan
bisa ditunda selama masih dilakukan dekompresi abdomen, rehidrasi
dan koreksi elektrolit. Tetapi harus diingat bahwa asidosis metabolik
yang mungkin terjadi tidak akan bisa dikoreksi sampai segmen usus
yang nekrosis direseksi terlebih dahulu.

2.1.8. Prognosis
Jika pasien tertangani dalam 24 jam, mortalitas hanya 1-3% tetapi
jika terjadi invaginasi berulang maka mortalitas naik menjadi 3-11%
(Daneman & Navarro, 2004)

21
Bagan 1. Algoritma penatalaksaan dugaan invaginasi pendekatan
penggunaan USG (Kia et al, 2005)

2.2 Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostik


(pencitraan diagnostik) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, di mana kita
dapat mempelajari bentuk, ukuran, anatomis, gerakan serta hubungan
dengan jaringan sekitarnya. Pemeriksaan ini bersifat non invasif, tidak
menimbulkan rasa sakit pada penderita, dapat dilakukan dengan cepat,
aman, dan data yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
Tidak ada kontra indikasinya karena pemeriksaan ini sama sekali tidak
memperburuk pendertita (Sjahriar et al, 2005)

2.2.1 Prinsip USG

Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih tinggi


daripada kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga kita tidak
dapat mendengarnya sama sekali. Suara yang dapat didengar manusia
mempunyai frekuensi antara 20-20.000 Hz. Pemeriksaan ini menggunakan
gelombang suara yang frekuensinya 1-10 MHz (1-10 juta Hz). Gelomban
suara tersebut dihasilkan dari kristal-kristal yang terdapat dalam suatu alat
yam disebut transducer. Perubahan bentuk akibat gaya mekanis pada kristal,
akan menimbulkan tegangan listrik (piezo-electric) yang merupakan dasar
perkembangan USG selanjutnya (Sjahriar et al, 2005)

21
2.2.2 Cara kerja USG

Transduser bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima


gelombang suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh geneator diubah
menjadi energi akustik oleh transduser, yang dipancarkan dengan arah
tertentu pada bagian tubuh yang akan dipelajari. Sebagian akan dipantulkan
dan sebagian lagi akan merambat terus menembus jaringan yang akan
menimbulkan bermacam-macam eko sesuai gengan jaringan yang
dilaluinya.Pantulan eko yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan
membentur transduser, dan kemudian diubah menjadi pulsa listriklalu
diperkuat dan selanjutnya diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar
osiloskop. Dengan demikian bila transduser digerakkan seolah0olah kita
melakukan irisan-irisan pada bagian tubuh yang diinginkan dan tampak
pada layar monitor (Sjahriar et al, 2005).

Masing-masing jaringan tubuh mempnyai impendance acustic


tertentu. Dalam jaringan yan heterogen akan ditimbulkan bermacam-macam
eko, jaringan tersebut dikatakan echogenic. Sedang pada jaringan yang
homogen hanya seidkit atau sama sekali tidak ada eko, disebut anechoic
atau echofree atau bebas ako. Suatu rongga berisi cairan bersifat anechoic,
misalnya kista, asites, pembuluh darah besar, perikardial atau pleiral
efusion. Dengan demikian kista dan suatu massa solid akan dapat dibedakan
(Sjahriar et al, 2005).

2.2.3 Penyulit

Suatu penyulit yang umum pada pemerikaan USG disebabkan USG


idak mampu menembus bagian-bagian tertentu badan. Dan diperkirakan
25% pemeriksaan di abdomen diperoleh hasil yang kurang memuaskan
karena gas dalam usus. Penderita gemuk agak sulit, karena lemak yang
banyak akan memantulkan gelombang suara sangat kuat (Sjahriar et al,
2005).

21
2.3. Gambaran USG Invaginasi

Penggunaan USG abdomen untuk evaluasi invaginasi pertama kali


digambarkan pada tahun 1977. Sejak saat itu, banyak institusi yang
mengadopsi penggunaanya sebagai alat skrining karena tidak adanya
paparan radiasi dan rendah biaya. Intususepsi biasanya ditemukan disisi
kanan abdomen (Fallan, 2005)

Pemeriksaan dengan USG merupakan pemeriksaan dengan


sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dengan transduser beresolusi yang
tinggi (5-10 MHz) akan terlihat bagian invaginasi pada usus biasanya
terdapat pada regio sub hepatik. Gambaran USG yang khas pada invaginasi
adalah ditemukannya target sign atau doghnut sign yang terdiri dari
hyperechoic outer ring dan hyperechoic central (Gambar 4, Gambar 5).
Hyperechoic doughnut adalah bagian yang oedem, apeks dari
intussusceptum, membentuk gambaran bulan sabit pada doughnut sign
sedangkan hyperechoic center terdiri dari mesenterium. Tidak ada gerakan
pada tanda donat tersebut. Ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi
luar lebih dari 1,6 cm menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada
tampilan longitudinal tampak pseudokidney sign yang timbul sebagai
tumpukan lapisan hipoekoik dan hiperekoik (Gambar 6) (Sjahriar et al,
2013; Kazez, 2004).

Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan


untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari invaginasi. Park et al (2007)
melaporkan bahwa invaginasi transien dari usus kecil lebih sering
terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki
diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38cm dan 2,53cm), memiliki
garis luar yang lebih tipis (0,26cm dan 0,53cm), dan tidak memiliki nodus
limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan invaginasi ileocolic.

21
Gambar 4. Gambaran USG doughnut sign

Gambar 5. A. Intussusupiens, B. Cincin luar hyperechoic terbentuk karena


lipatan intussusceptum C. Intussusceptum sentral

Gambar 6. Gambaran irisan memanjang invaginasi pada USG

21
BAB III

UNIVERSITAS DEPARTEMEN ILMU RADIOLOGI


ISLAM STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
INDONESIA UntukDokterMuda

FAKULTAS
KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda Chandrayani Arfeni Tanda Tangan
NIM 10711122
Tanggal Ujian 11 Februari 2015
Rumah Sakit RSUD Kebumen
Gelombang Periode 2-21 Februari 2015

1. IDENTITAS
Nama : An. AZ
Tanggal lahir : 26 April 2014
Jenis Kelamin : Perempuan
Mondok di bangsal : Melati
Tanggal masuk : 09 Februari 2015
Nomor CM : 878443

Nama Ibu : Ny. S


Umur : 25 tahun
Alamat : Kandangan, Prembun, Kebumen.
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam

2. ANAMNESIS

Diberikan oleh : Ibu Pasien

Tanggal/pukul : 10 Februari 2015/11.00

21
Keluhan Utama : Muntah-muntah dan buang air besar
berdarah

Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan sudah dialami pasien sejak 2


hari sebelum masuk rumah sakit tepatnya hari Sabtu tanggal 07 Februari
2015 pukul 02.00 pasien buang air besar biasa lembek berwarna kuning.
Kemudian 1 jam kemudian pasien muntah-muntah cair berwarna kuning
dengan sedikit butiran-butiran berwarna kuning lebih dari 5 kali. Pukul
07.30 pasien dibawa ke bidan setempat, di beri obat namun keluhan tidak
berkurang bahkan semakin bertambah muntah-muntah jika pasien disuapi
obat. Pukul 09.30 pasien buang air besar cukup banyak namun disertai darah
merah segar, pasien segera dibawa ke Puskesmas saat itu juga oleh ibunya.
Pasien dirawat inap sampai hari minggu pagi keluhan berkurang hanya
sedikit. Hari Minggu sore 08 Februari 2015 pasien muntah-muntah lagi
lebih dari 5 kali berwarna hijau. Hari Senin 09 Februari 2015 pasien
kembali buang air besar disertai darah segar, selain itu pasien juga muntah
cairan berwarna hijau, pasien sangat rewel menangis terus namun tidak
mengeluarkan air mata, bibir kering dan tidak mau menyusui, sehingga jam
12.00 ibu pasien segera membawa pasien ke PKU Petanahan. Pasien di
diberi terapi cairan, injeksi ceftriakson, injeksi ondansentron, injeksi
dexamethason, zinc, dan parasetamol. Disana pasien 2 kali muntah
berwarna hijau dan ibu pasien merasa perut anaknya membesar. Kemudian
pasien segera dirujuk ke RSUD Kebumen. Di RSUD Kebumen pasien sudah
muntah lebih dari 10 kali berwarna hijau dari pasien datang sampai hari
berikutnya Selasa, 10 Februari 2015. Pasien juga buang air besar berupa
lendir disertai darah merah sampai coklat lebih dari 5 kali. Ibu pasien
mengaku 3 hari sebelum pasien mengalami keluhan pasien terkena flu, dan
sudah sembuh saat pasien mengalami keluhan.

Riwayat Kelahiran dan Pemberian Makanan :

Pasien merupakan anak lahir hidup pertama, ibu pasien pernah mengandung
sebelumnya namun keguguran pada waktu umur kehamilan 2 minggu.
Kemudian hamil pasien sampai usia kehamilan aterm, lahir di bidan dengan

21
berat badan lahir 3300 gram, langsung menangis dan kulit berwarna merah
serta bergerak aktif. Dilakukan inisiasi menyusu dini pada pasien, air susu
ibunya langsung keluar saat itu. Pasien diberi ASI dan susu formula sampai
umur 6 bulan. Menurut saran bidan setempat pasien dapat diberi makan-
makanan yang lunak, sehingga orangtua pasien memberi pisang dan bubur
sejak umur 6 bulan sebagai makanan pendamping ASI.

Riwayat imunisasi:

Ibu pasien mengaku pasien sudah diimunisasi lengkap, hanya kurang


imunisasi campak yang seharusnya dilakukan bulan ini, namun karena
pasien sakit sehingga imunisasi belum dilakukan.

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak didapatkan informasi.

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak didapatkan informasi.

Resume Anamnesis:

Seorang bayi 9 bulan, muntah-muntah berwarna hijau, buang air


besar disertai darah 2 hari SMRS, bibir kering(+), irritable (+), air mata
tidak keluar(+), tidak mau menyusui (+), distensi perut (+). Riwayat
kelahiran normal, BBL normal, imunisasi lengkap.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
a. Kondisi Umum : tampak lemah dan rewel
b. Kesadaran : compos mentis, E4V5M6
c. Berat badan : 8 kg
d. Tanda vital :
Nadi : 102 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 37,8º C
e. Warna kulit : putih kemerahan

21
f. Cephal : Mata anemis (-), ikterus (-)
g. Collum :
Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba pembesaran
h. Thorax :
Bising (-), S1 S2 reguler, wheezing (-), ronkhi (-)
i. Abdomen :
Bising usus (-), tanda asites(+)
j. Ekstremitas : edema (-), akral teraba dingin (+)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Cek darah rutin, terutama untuk mengetahui kadar Hb, leukosit,
dan trombosit. Hematokrit juga perlu diketahui untuk menilai
konsentrasi darah/dehidrasi atau tidak.
Hasil pemeriksaan lab darah rutin:
o Hemoglobin 11,2 g/dl
o Leukosit 11,4 103/uL
o Hematokrit 32 %
o Eritrosit 4,5 106/uL
b. Foto Polos Abdomen 3 posisi

Gambar 7. Foto polos abdomen An.AZ posisi LLD

21
Gambar 8. Foto polos abdomen posisi erect

Gambar 9. Foto polos abdomen posisi supine


Hasil foto polos abdomen 3 posisi: pre peritoneal fat line masih
cukup tegas. Distribusi udara tak merata, udara hanya tampak di
gaster dan intestinum. Udara rektum (+). Distensi intestinum (+),
coil spring (+),air fluid level pendek (+), rigler’s sign (-), crescent
sign (-). Kesan: sesuai dengan gambaran ileus obstruktif letak
tinggi.

21
c. Ultrasonografi abdomen

Gambar 10. Gambaran USG terdapat free fluid

Gambar 11. Gambaran USG invaginasi pada pasien

Hasil USG pada An.AZ: Tampak gambaran doughnut sign (+) dengan
distensi intestinal (+) mengarah ke gambaran invaginasi, terjadi cairan bebas
intra abdomen (+) dengan DD perforasi atau inflamasi, hepar lien ren
normal.

DIAGNOSIS PRE OP

Ileus Obstruksi et causa suspect invaginasi

21
5. TERAPI/ TINDAKAN
 Observasi keadaan umum pasien dan vital sign
 Pasang infus RL 500 cc double line tetesan cepat
 Pasang kateter
 Pasang oksigenisasi 4 lpm
 Konsultasi bedah dilakukan laparotomy emergency
 Antibiotika : skin test ceftriaxon (-), injeksi ceftriaxon 2 gr
IV
 KIE pasien dan keluarganya
6. POST OPERASI

Tindakan Operasi : Laparotomi dan herniodektomi

Penemuan Intra Operasi :

 Invaginasi ileocolica sepanjang ±15 cm


 Invaginasi ke dalam kolon ascenden sampai dengan kolon
transversum
 Massa tumor intralumen ileum ±2cm dari ileocecal junction

DIAGNOSIS POST OPERASI

Ileus Obstruktif et causa invaginasi ileocolica

Instruksi Post Operasi :

 Pemeriksaan laboratorium post-operatif


 IVFD RL 20 tpm, ceftriaxone 2 gr, ketorolac 3.1, metronidazole 2.1
 Observasi tanda vital dan perdarahan
 Puasa 3-5 hari

Hasil lab post op :

Hb : 9,4 g/dl

AL : 11,8 103/u

21
BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus yang disajikan dalam laporan ini yaitu seorang bayi berumur
9 bulan dengan diagnosa Ileus Obstruksi oleh karena Invaginasi Illeocolica.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang berupa foto polos abdomen, USG, pemeriksaan
laboratorium dan temuan saat operasi.

Dari hasil anamnesis didapatkan hasil yang mengarahkan diagnosis


dengan melihat kondisi pasien yang sehat, kemudian pasien terkena flu yang
merupakan faktor predisposisi dari terjadinya invaginasi pada anak yang
sehat. Penyakit respiratorius bagian atas yang biasanya disebabkan oleh
virus dapat menyebabkan komponen limfatik pada dinding intestinal yang
disebut Peyer’s patches yang telah disebutkan sebelumnya membesar secara
signifikan. Pembesaran ini menyebabkan penebalan dinding usus halus
dimana memperbesar terjadinya invaginasi (Daneman & Navaro, 2004)

3 hari kemudian pasien mengalami muntah yang awalnya berwarna


kuning disertai ampas sisa-sisa makanan secara periodik sampai muntah
berwarna hijau yang disebut bilious vomiting. Muntah merupakan gambaran
klinis yang muncul pada 80% anak berumur kurang dari 2 tahun dan 50%
pada anak usia lebih dari 2 tahun pada penderita invaginasi (De Jong, 2010;
Blanch et al, 2007).

Sebelum terjadi muntah anak biasanya gelisah dan rewel yang pada
pasien dalam kasus ini tidak diperhatikan ibunya karena dianggap hal
biasa.Kemudian pasien mengalami buang air besar bercampur darah merah
segar. Buang air besar awalnya biasa, buang air besar yang ini merupakan
sisa-sisa feses yang terjadi sebelum invaginasi. Kemudian berubah menjadi
buang air besar berupa lendir yang bercampur darah hal ini sesuai dengan
pendapat Blanch et al (2007) dimana terjadi karena adanya iskemia mukosa
daerah usus di daerah invaginasi terjadi pada 50% penderita. Red currant
jelly stool sendiri terdiri dari pengelupasan mukosa, darah dan mukus dari

21
jaringan usus. Perdarahan terjadi pada 12 jam pertama terdapat darah segar
disertai lendir pada awal penyakit, kemudian berangsur-angsur bercampur
dengan jaringan nekrosis yang disebut terry stool karena terjadi kerusakan
jaringan dan pembuluh darah (Kazez et al, 2004).

Setelah itu terjadi tanda-tanda dehidrasi sedang sampai berat yang


dapat diperhatikan pada pasien kasus ini, yaitu rewel menangis terus namun
tidak mengeluarkan air mata, bibir kering dan tidak mau menyusui. Hal ini
terjadi karena pasien terus muntah dan buang air besar, walaupun tidak
diare. Riwayat pemberian makan tidak menyimpang dari yang disarankan
karena sudah sewajarnya bayi berumur lebih dari 6 bulan dapat diberikan
makanan pendamping ASI dengan makanan yang lunak.

Pada pemeriksaan fisik sulit untuk menilai adanya sausage-shaped


mass (Dance’s sign) karena perut anak sudah mengalami distensi dan
banyak cairan bebas yang bisa terjadi karena adanya perforasi usus.
Perforasi usus dapat terjadi karena penanganan yang kurang cepat, pada
kasus ini diagnosis invaginasi yang terlambat membuat penanganan tidak
dapat dilakukan dengan cepat. Proses obstruksi usus sebenarnya sudah
terjadi sejak invaginasi, namun klinisnya timbul setelah 10-12 jam sampai
24 jam. Pada kasus ini pasien mengalami gejala pada hari Sabtu, 07
Februari 2015, dan dilakukan pemeriksaan radiologis berupa foto polos
abdomen dan USG. Foto polos abdomen didapatkan kesan ileus letak tinggi.
Hal ini dapat dilihat dengan telah terjadinya distensi intestinum dengan
tanda seperti distribusi udara tidak merata dan ditemukannya coil spring.
Pada pemeriksaan dengan USG didapatkan gambaran doughnut sign dengan
distensi intestinal dan gambaran cairan bebas. Hal ini sesuai dengan
gambaran USG invaginasi dimana doughnut sign atau target sign
merupakan lipatan usus yang mengalami invaginasi. Gambaran distensi
intestinal dapat mengarahkan ke terjadinya obstruksi letak tinggi.
Sedangkan gambaran cairan bebas dalam abdomen dapat mengarahkan telah
terjadi proses inflamasi atau perforasi dari usus yang mengalami obstruksi.

21
BAB V

KESIMPULAN

Invaginasi merupakan suatu kegawatdaruratan yang sering terjadi


pada bayi dan anak, terjadi jika suatu bagian saluran cerna dimasuki oleh
segmen bagian bawahnya, menimbulkan gejala obstruksi dan pada fase
lanjut apabila tidak segera dilakukan reposisi dapat menyebabkan
strangulasi usus yang berujung pada perforasi dan peritonitis.

Manifestasi klinis yang timbul terbanyak adalah muntah biasa


sampai berwarna hijau dan buang air besar biasa disertai darah hingga
buang air besar bentuk lendir berdarah. Pemeriksaan abdomen ditemukan
distensi perut dan tanda ileus berupa hilangnya bising usus. Pada
pemeriksaan penunjang berupa foto polos abdomen 3 posisi ditemukan
distensi intestinum yang menandakan adanya ileus obstruktif letak tinggi.
Gambaran USG mengarah pada invaginasi dengan ditemukan gambaran
doughnut sign dan gambaran cairan bebas yang dapat mengarah ke arah
perforasi atau inflamasi. Oleh karena itu dilakukan laparotomi segera yang
merupakan penatalaksanaan yang tepat pada kasus ini, dimana invaginasi
sudah berlanjut menjadi obstruksi dan perforasi usus. Prognosis untuk
pasien ini dubia ad bonam, karena penanganan segera walaupun sedikit
terlambat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bailey, K.,A., Wales, P.,W., Gerstle, J.,T., 2007. Laparoscopic versus Open
Reduction on Intussuception in Children: a Single-Institution
Comparative Experience. Journal of Pediatric Surgery. 42(5):845-848
Bajaj, Roback, 2003. Postreduduction Management of Intussuception in a
Children’s Hospital Emergency Departmen. Journal of Pediatric.
112:1302-1307
Blanch, A.,J., Perel, S.,B., Acworth, J.,P., 2007. Pediatric Intussuception:
Epidemiologu and Outcome. Emergency Medical Australias. 19(1):45-
50
Brunicardi, J.,H., et al., 2010. Intussuception in Schwartz Principles of
Surgery. Ed 9. The McGraw-Hill Companies. Chapter 39
Crystal, P., Hertzanu, Y., Farber, B., 2002. Sonographically Guided
Hisdrostatic reduction of Intussuception in Children. Journal of Clinical
Ultrasound. 30(6):343-348
Daneman, A., Navarro, O., 2004. Intussusception: An Update on the
Evolution of Management. Journal of Pediatric Radiologi. 34:97-108
De Jong, Sjamsuhidajat, W.,R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 742-744
Fallan, M.,E., 2005. Intussusception in Pediatric Surgery. 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company
Justice et al, 2006. Intususeption: Trends in Clinical Presentation and
Management. Journal of Gastroenterol Hepatol. 21(5):845-848
Kazez, A., Ozel, S.,K., Kocakoc, E., Kiris, A., 2004. Double Intussuception
in a Child: the Triple-Circle Sign. Journal of Ultrasound Med.
23(12):1659-1661
Kia, K.,F., Mony, V.,K., Dronowski, R.,A., 2005. Laparoscopic vs open
surgical approach for intussusception requiring operative intervention.
Journal of Pediatric surgery. 40(1):281-284
Nelson, Behrman, R.,E., Kliegman, R.,M., Arvin., A.,M., 2000. Ilmu
Kesehatan Anak. Vol 2. Jakarta: EGC. Halaman 1319-1321
Sjahriar, R., Sukono, K., Iwan, E., 2005. Radiologi diagnostik. Ed 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Stead, L.,G., Stead, S.,M., Kaufman, M.,S., 2003. Pediatric Surgery in First
Aid for the Surgery Clerkship. The McGraw-Hill Companies. Page 336-
337

21

Anda mungkin juga menyukai