Disusun Oleh :
Chandrayani Arfeni
10711122
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
YOGYAKARTA
2015
21
BAB I
PENDAHULUAN
21
Ditangan seorang ahli dalam sonografi, banyak informasi yang dapat
diberikan. Sebagai contoh, massa intraabdominal, secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat menunjukkan letak massa tersebut, tetapi dengan
palpasi saja sulit untuk menentukan apakah massa tersebut berasal dari
hepar atau ginjal. Sonografi dengan mudah memberikan informasi tersebut
(Sjahriar et al, 2005)
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Invaginasi
2.1.1. Definisi
2.1.2. Etiologi
21
Schonlein, dengan hematoma intramural yang berperan sebagai puncak
invaginasi. Keadaan lain yang jarang terjadi pada pascabedah dan juga
selalu ileosecal. Dapat juga terjadi pada penderita kistik fibrosis yang
mengalami dehidrasi. Lesi luar biasanya antara lain tumor metastase,
hemangioma, benda asing, infeksi parasit, dan fecalith yang semua itu dapat
terjadi setelah kemoterapi kanker (Nelson, 2000).
2.1.3. Klasifikasi
21
2.1.4. Patofisiologi
21
2.1.5. Manifestasi Klinis
Anak atau bayi yang semula sehat dan biasanya dengan keadaan gizi
yang baik, tiba-tiba menangis kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke
atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat menahan sakit, serangan
nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Manifestasi
penyakit mulai tampak dalam waktu 3-24 jam setelah terjadi invaginasi.
Diluar serangan, anak atau bayi kelihatan seperti normal kembali. Pada
waktu itu sudah terjadi proses invaginasi. Serangan nyeri perut datangnya
berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit, lama serangan 2-3 menit
(Crystal et al, 2002).
21
invaginasi, kemudian buang air besar darah lendir ini bervariasi jumlahnya
dari kasus ke kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan
colok dubur.
Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya
tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem
yang semakin bertambah, sehingga pasien dijumpai dengan tanda-tanda
obstruksi, seperti perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang
jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi.
Oleh karena perut kembung maka massa tidak dapat diraba lagi dan
defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus
akan dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan
terganggunya aliran pembuluh darah arteri, pada segmen yang terlibat
menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi, peritonitis umum, shock
dan kematian (Kazez et al, 2004; Bailey et al, 2007).
Gejala klinis dari invaginasi adalah trias gejala yang terdiri dari
21
Adapun yang menyebutkan bahwa trias gejala tersebut adalah:
21
Foto polos abdomen 3 posisi akan ditemukan tanda-tanda obstruksi
dengan gambar air fluid levels dan distribusi udara dalam usus tidak merata.
Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi,
dimana akan terlihat gambaran cupping dan coilspring. Untuk tujuan terapi,
barium enema dikerjakan dengan tekanan hidrostatik untuk mendorong usus
yang masuk ke arah proksimal, teknik ini dapat dikerjakan bila belum ada
tanda-tanda obstruksi usus yang jelas, seperti muntah-muntah hebat, perut
distensi, dan dehidrasi berat. Peritonitis merupakan kontra indikasi
dilakukan reposisi dengan barium enema. Reposisi berhasil bila setelah
rectal tube ditarik dari anus maka barium keluar dengan disertai massa feses
dan udara (menyemprot), pada fluoroskopi terlihat ada refluks barium
kedalam lumen ileum dan massa tumor hilang. Pemeriksaan USG (ultra
sonografi) akan terlihat gambaran seperti ginjal (pseudo kidney appearance)
atau seperti kue donat (doughnut’s sign) (Brunicardi et al, 2010).
21
Mungkin sangat sulit mendiagnosis invaginasi pada anak yang sudah
menderita gastroenteritis, perubahan gambaran penyakitnya dalam hal sifat
nyerinya, sifat muntahnya, atau mulai perdarahan rektum, harus menjadi
perhatian. Tinja bercampur darah dan abdomen kejang yang menyerupai
enterokolitis biasanya dapat dibedakan dati invaginasi karena nyerinya
kurang hebat dan kurang teratur, ada diare, dan bayi tetap kesakitan diantara
nyeri. Perdarahan pada divertikulum Meckeli tanpa nyeri. Perdarahan
intestinal pada Schonlenin pupura biasanya, namun tidak selalu, disertai
gejala-gejala sendi atau purpura dimana-mana, dan mungkin nyeri koliknya
sama.
2.1.7. Penatalaksanaan
21
b. Reposisi secara operatif
Kadang reposisi barium tidak berhasil, karena pengenalan
gejala klinis yang terlambat, sehingga invaginasi sudah berjalan dan
menimbulkan obstruksi sampai perforasi. Untuk itu reposisi
langsung dengan operasi tanpa dilakukan dengan reposisi barium
terlebih dahulu jika telah terjadi perforasi, peritonitits, dan tanda-
tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya pada invaginasi yang sudah
berlangsung 48 jam. Demikian pula pada kasus-kasus relaps.
Kejadian invaginasi berulang setelah reposisi barium sekitar 11%
dan 3% pada operasi tanpa reseksi usus. Biasanya reseksi dilakukan
jika aliran darah tidak pulih kembali setelah dihangatkan dengan
larutan fisiologik. Jika terjadi invaginasi berulang maka langsung
dilakukan reposisi secara operatif.
Sebelum dilakukan operatif terlebih dahulu ditangani
keadaan dehidrasi yang mungkin didderita oleh pasien karena
muntah yang berlebihan dan defekasi dengan lendir darah. Pada
kasus dehidrasi berat bisa diberikan cairan 20cc/kgBB, cairan yang
dipakai bisa langsung dengan menggunakan koloid. Jika akses
secara vena sulit bisa dilakukan dengan intraosseus. Pembedahan
bisa ditunda selama masih dilakukan dekompresi abdomen, rehidrasi
dan koreksi elektrolit. Tetapi harus diingat bahwa asidosis metabolik
yang mungkin terjadi tidak akan bisa dikoreksi sampai segmen usus
yang nekrosis direseksi terlebih dahulu.
2.1.8. Prognosis
Jika pasien tertangani dalam 24 jam, mortalitas hanya 1-3% tetapi
jika terjadi invaginasi berulang maka mortalitas naik menjadi 3-11%
(Daneman & Navarro, 2004)
21
Bagan 1. Algoritma penatalaksaan dugaan invaginasi pendekatan
penggunaan USG (Kia et al, 2005)
2.2 Ultrasonografi
21
2.2.2 Cara kerja USG
2.2.3 Penyulit
21
2.3. Gambaran USG Invaginasi
21
Gambar 4. Gambaran USG doughnut sign
21
BAB III
FAKULTAS
KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda Chandrayani Arfeni Tanda Tangan
NIM 10711122
Tanggal Ujian 11 Februari 2015
Rumah Sakit RSUD Kebumen
Gelombang Periode 2-21 Februari 2015
1. IDENTITAS
Nama : An. AZ
Tanggal lahir : 26 April 2014
Jenis Kelamin : Perempuan
Mondok di bangsal : Melati
Tanggal masuk : 09 Februari 2015
Nomor CM : 878443
2. ANAMNESIS
21
Keluhan Utama : Muntah-muntah dan buang air besar
berdarah
Pasien merupakan anak lahir hidup pertama, ibu pasien pernah mengandung
sebelumnya namun keguguran pada waktu umur kehamilan 2 minggu.
Kemudian hamil pasien sampai usia kehamilan aterm, lahir di bidan dengan
21
berat badan lahir 3300 gram, langsung menangis dan kulit berwarna merah
serta bergerak aktif. Dilakukan inisiasi menyusu dini pada pasien, air susu
ibunya langsung keluar saat itu. Pasien diberi ASI dan susu formula sampai
umur 6 bulan. Menurut saran bidan setempat pasien dapat diberi makan-
makanan yang lunak, sehingga orangtua pasien memberi pisang dan bubur
sejak umur 6 bulan sebagai makanan pendamping ASI.
Riwayat imunisasi:
Resume Anamnesis:
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
a. Kondisi Umum : tampak lemah dan rewel
b. Kesadaran : compos mentis, E4V5M6
c. Berat badan : 8 kg
d. Tanda vital :
Nadi : 102 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 37,8º C
e. Warna kulit : putih kemerahan
21
f. Cephal : Mata anemis (-), ikterus (-)
g. Collum :
Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba pembesaran
h. Thorax :
Bising (-), S1 S2 reguler, wheezing (-), ronkhi (-)
i. Abdomen :
Bising usus (-), tanda asites(+)
j. Ekstremitas : edema (-), akral teraba dingin (+)
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Cek darah rutin, terutama untuk mengetahui kadar Hb, leukosit,
dan trombosit. Hematokrit juga perlu diketahui untuk menilai
konsentrasi darah/dehidrasi atau tidak.
Hasil pemeriksaan lab darah rutin:
o Hemoglobin 11,2 g/dl
o Leukosit 11,4 103/uL
o Hematokrit 32 %
o Eritrosit 4,5 106/uL
b. Foto Polos Abdomen 3 posisi
21
Gambar 8. Foto polos abdomen posisi erect
21
c. Ultrasonografi abdomen
Hasil USG pada An.AZ: Tampak gambaran doughnut sign (+) dengan
distensi intestinal (+) mengarah ke gambaran invaginasi, terjadi cairan bebas
intra abdomen (+) dengan DD perforasi atau inflamasi, hepar lien ren
normal.
DIAGNOSIS PRE OP
21
5. TERAPI/ TINDAKAN
Observasi keadaan umum pasien dan vital sign
Pasang infus RL 500 cc double line tetesan cepat
Pasang kateter
Pasang oksigenisasi 4 lpm
Konsultasi bedah dilakukan laparotomy emergency
Antibiotika : skin test ceftriaxon (-), injeksi ceftriaxon 2 gr
IV
KIE pasien dan keluarganya
6. POST OPERASI
Hb : 9,4 g/dl
AL : 11,8 103/u
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus yang disajikan dalam laporan ini yaitu seorang bayi berumur
9 bulan dengan diagnosa Ileus Obstruksi oleh karena Invaginasi Illeocolica.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang berupa foto polos abdomen, USG, pemeriksaan
laboratorium dan temuan saat operasi.
Sebelum terjadi muntah anak biasanya gelisah dan rewel yang pada
pasien dalam kasus ini tidak diperhatikan ibunya karena dianggap hal
biasa.Kemudian pasien mengalami buang air besar bercampur darah merah
segar. Buang air besar awalnya biasa, buang air besar yang ini merupakan
sisa-sisa feses yang terjadi sebelum invaginasi. Kemudian berubah menjadi
buang air besar berupa lendir yang bercampur darah hal ini sesuai dengan
pendapat Blanch et al (2007) dimana terjadi karena adanya iskemia mukosa
daerah usus di daerah invaginasi terjadi pada 50% penderita. Red currant
jelly stool sendiri terdiri dari pengelupasan mukosa, darah dan mukus dari
21
jaringan usus. Perdarahan terjadi pada 12 jam pertama terdapat darah segar
disertai lendir pada awal penyakit, kemudian berangsur-angsur bercampur
dengan jaringan nekrosis yang disebut terry stool karena terjadi kerusakan
jaringan dan pembuluh darah (Kazez et al, 2004).
21
BAB V
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, K.,A., Wales, P.,W., Gerstle, J.,T., 2007. Laparoscopic versus Open
Reduction on Intussuception in Children: a Single-Institution
Comparative Experience. Journal of Pediatric Surgery. 42(5):845-848
Bajaj, Roback, 2003. Postreduduction Management of Intussuception in a
Children’s Hospital Emergency Departmen. Journal of Pediatric.
112:1302-1307
Blanch, A.,J., Perel, S.,B., Acworth, J.,P., 2007. Pediatric Intussuception:
Epidemiologu and Outcome. Emergency Medical Australias. 19(1):45-
50
Brunicardi, J.,H., et al., 2010. Intussuception in Schwartz Principles of
Surgery. Ed 9. The McGraw-Hill Companies. Chapter 39
Crystal, P., Hertzanu, Y., Farber, B., 2002. Sonographically Guided
Hisdrostatic reduction of Intussuception in Children. Journal of Clinical
Ultrasound. 30(6):343-348
Daneman, A., Navarro, O., 2004. Intussusception: An Update on the
Evolution of Management. Journal of Pediatric Radiologi. 34:97-108
De Jong, Sjamsuhidajat, W.,R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 742-744
Fallan, M.,E., 2005. Intussusception in Pediatric Surgery. 4th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company
Justice et al, 2006. Intususeption: Trends in Clinical Presentation and
Management. Journal of Gastroenterol Hepatol. 21(5):845-848
Kazez, A., Ozel, S.,K., Kocakoc, E., Kiris, A., 2004. Double Intussuception
in a Child: the Triple-Circle Sign. Journal of Ultrasound Med.
23(12):1659-1661
Kia, K.,F., Mony, V.,K., Dronowski, R.,A., 2005. Laparoscopic vs open
surgical approach for intussusception requiring operative intervention.
Journal of Pediatric surgery. 40(1):281-284
Nelson, Behrman, R.,E., Kliegman, R.,M., Arvin., A.,M., 2000. Ilmu
Kesehatan Anak. Vol 2. Jakarta: EGC. Halaman 1319-1321
Sjahriar, R., Sukono, K., Iwan, E., 2005. Radiologi diagnostik. Ed 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Stead, L.,G., Stead, S.,M., Kaufman, M.,S., 2003. Pediatric Surgery in First
Aid for the Surgery Clerkship. The McGraw-Hill Companies. Page 336-
337
21