Anda di halaman 1dari 5

Sindrom Guillain-Barré dan Human Immunodeficiency Virus

Nermin Kelebek Girgin1, Remzi İşçimen1, Emel Yılmaz2, Ş. Ferda Kahveci1, Oya Kutlay3
1Department Anestesiologi dan Reanimation, Unit perawatan intensif, Uludağ Universitas Fakultas Kedokteran, Bursa, Turki
2Jurusan penyakit menular dan mikrobiologi, Universitas Uludağ Fakultas Kedokteran, Bursa, Turki
3Private Medicabil Hospital, Bursa, Turki

Sindrom Guillain-Barré (SGB) adalah penyakit akut ditandai dengan kelemahan otot simetris,
hilangnya sensasi dan refleks. Biasanya disertai infeksi virus pada awal penyakit. Disini, kami
melaporkan kasus SGB yang pada awalnya tidak respon terhadap beberapa strategi pengobatan
dan didiagnosis sebagai Human Immunodeficiency Virus positif (HIV +) selama pencarian
pada etiologi. Seorang pasien laki-laki berusia 32 tahun yang datang ke pusat kesehatan dengan
keluhan gangguan cara berjalan dan lengan dan kaki mati rasa, didapatkan bahwa pasien
memiliki disosiasi albuminocytologic pada pemeriksaan cairan serebrospinal. Setelah
diagnosis SGB, terapi immunoglobulin G (IVIG) (400 mg kg-1 hari-1 5 hari) dimulai sebagai
terapi standar. Terapi ini diulang karena kurangnya perbaikan gejala. Selama terapi ini, pasien
dikirim ke klinik kami dengan gejala kegagalan pernapasan dan tetraplegi. Pasien sadar,
kooperatif, hemodinamik stabil dan analisa gas darah arteri didapatkan: pH: 7,28, PaO2: 74.4
mmHg, PCO2: 63.8 mmHg. Pasien diintubasi, kemudian diberikan ventilasi mekanis dan
menjalani plasmaperesis. Setelah dilakukan pencarian mengenai etiologi, HIV(+), jumlah
CD4/CD8: 0,17, jumlah CD4 mutlak: 71 sel mL terdeteksi dan terapi antiretroviral dimulai.
Pasien meninggal karena multiple organ failure akibat sepsis pada hari ke-35. Kesimpulannya,
infeksi HIV harus dipertimbangkan pada pasien SGB, terutama mereka yang tidak memberi
respon terhadap pengobatan rutin. Sehingga, pasien tidak hanya dapat memperoleh terapi lebih
awal dan adekuat, tetapi transmisi dari infeksi HIV juga dapat dihindari.

Kata kunci: Guillain-Barré sindrom, Human Immunodeficiency Virus, perawatan intensif

Pendahuluan

Sindrom Guillain-Barré (GBS) atau polineuropati demielinasi akut adalah penyakit akut, yang
ditandai dengan kelemahan otot simetris, hilangnya sensasi dan hilangnya refleks tendon
dalam(1, 2)
. Dengan kejadian berkisar antara 0,6 dan 4/100.000 per tahun, dan angka
kejadiannya 1,5 - 2 kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan (1, 3). Faktor-faktor
seperti berbagai mikroorganisme, mulai dari bakteri, virus dan stress paska operasi telah

1
(1-4)
ditemukan sebagai penyebab dari penyakit SGB . Telah dilaporkan bahwa pada 2/3 dari
kasus SGB terdapat beberapa gejala awal yang mendahului seperti flu-like disease atau
gastroenteritis pada 6 minggu sebelum terjadinya penyakit (2-4). Telah dibuktikan bahwa infeksi
dapat menimbulkan reaksi imun yang menghasilkan reaksi silang antigen axolemmal atau
antigen sel Schwann, yang menyebabkan kerusakan saraf perifer (1).

Umumnya gejala awal dari sindrom Guillain-Barré adalah rasa nyeri, kelemahan, mati rasa dan
(1)
paraesthesia pada anggota gerak . Hipoventilation yang disebabkan oleh kelemahan otot
pernafasan dan diafragma, sekret pada saluran pernafasan tertahan akibat hilangnya reflek
batuk, hilangnya mekanisme proteksi jalan nafas dan disfungsi otonom (takikardia bradikardia,
aritmia lain, hiper/hipotensi) dapat dilihat selama berlangsungnya penyakit. Sekitar 25% dari
kasus yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dilakukan intubasi endotrakeal, ventilasi
mekanik dan monitoring kardiovaskular (1, 3).

Jalur infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan beberapa tipe neuropati perifer
yang berbeda meliputi polineuropati axonal sensorik distal, poliradikulopati, polineuropati
demielinasi akut atau kronis (4). Setelah epidemi infeksi HIV, kasus GBS dengan HIV mulai sering
(4-9)
dilaporkan . GBS dapat didiagnosa baik pada fase inisiasi atau serokonversi HIV, atau
dapat juga pada tahapan kronis. Oleh karena itu, tatalaksana HIV dianjurkan untuk mendukung
keberhasilan penatalaksanaan GBS (6).

Dalam tulisan ini, kami bertujuan untuk menyajikan kasus GBS, yang dirawat di ruang ICU
untuk diberikan ventilasi mekanik, yang tidak merespon denga pemberian imunoglobulin dan
terapi inisial plasmaperesis, serta mencari adanya HIV yang positif selama pencarian etiologi,
setelah dilakukannya informed consent dengan keluarga pasien.

Laporan Kasus

Seorang pasien pria, 32 tahun, telah dirawat di pusat medis dengan keluhan mati rasa dibagian
kaki dan lengan, gangguan berjalan, dan radang usus. Karena dalam analisis cairan
serebrospinal ditemukan disosiasi albuminocytologic, pasien didiagnosa sebagai GBS dan
menerima terapi immunoglobulin G (IVIG) selama 5 hari dengan dosis 400 mg/kgbb/hari, dan
karena pasien tidak terlihat membaik, terapi pada pasien diulang, electroneuromyography
dilakukan dan dilakukan obserbasi pada axonal polyneuropathy yang parah. Karena timbul
gangguan pernapasan dan tetraplegia pada pasien selama masa pengobatan, pasien dirujuk ke

2
rumah sakit kami. Pasien sadar dan kooperatif dan tanda vitalnya stabil (TD:150/80 mmHg,
detak jantung: 96/menit, suhu tubuh: 36°C) saat pemeriksaan di IGD. Pemeriksaan neurologis
menunjukkan unresponsif terhadap stimulus rasa nyeri di seluruh ekstremitas, tidak adanya
refleks tendon dan tetraplegia. Computed tomography (CT) otak normal. Analisa gas darah
pasien dengan gangguan pernapasan adalah sebagai berikut, pH: 7,28, PaO2: 74,4 mmHg, BE:
2,6 mmol/L. Pasien dirawat ke unit perawatan intensif, di intubasi dan dilakukan ventilasi
mekanis invasif. Karena kondisi pasien tidak menunjukkan kemajuan setelah plasmapheresis,
dilakukan sebanyak lima kali, dilakukan penyelidikan etiologi. Antibodi anti-HIV-1 ditentukan
dengan tes EULA dan hasil diverifikasi dengan Western blot test. Pengobatan antiretroviral
dilakukan terhadap pasien (lamivudine, zidovudine, lopinavir, ritonavir) setelah ditetapkan
bahwa rasio CD4/CD8 adalah 0,17 dan jumlah CD4 mutlak adalah 71 sel/mL. Tracheostomy
perkutaneus dilakukan di hari ke 14 di rumah sakit. Pasien ini mendapat sepsis saat pengobatan
(A. baumannii diisolasi dalam kultur darah), meninggal di hari ke-35 setelah di hospitalisasi.

Review retrospektif dari kasus menunjukkan bahwa penyedia layanan kesehatan mendapatkan
luka jarum saat tes dilakukan di pusat medis tempat pasien dirawat sebelumnya, dan dia sudah
dijadwalkan untuk pemeriksaan HIV setelah adanya peringatan dari kami.

Diskusi

Sindrom Guillain-Barré adalah gangguan autoimun akut yang menyebabkan demielinasi


nervus. Penyakit ini dapat dengan mudah didiagnosa secara klinis maupun pemeriksaan labor
seperti lemah yang progresif, hilang refleks, dan disosiasi albuminositologis di cairan
serebrospinal. Beberapa kasus dirawat di ICU karena gagal saluran napas atau simptom
kardiovaskular akibat terlibatnya sistem nervus otonom. Selain bantuan ventilasi mekanis dan
memonitor parameter hemodinamik dan elektrolit, prevensi dari komplikasi seperti
thromboembolism dan infeksi sangat dibutuhkan dalam kasus-kasus ini. Namun, walaupun
dengan monitoring yang ketat di ICU dan penanganan spesifik lainnya, seperti plasmapheresis
atau IVIG, 4-15% dari kasus ini masih berujung kematian. Penyebab kematian paling sering
adalah pneumonia, sepsis, dan disfungsi otonom.

Penyakit sistem nervus perifer termasuk polineuropati, nyeri saraf sensorik, dan
poliradikulopati sering terlihat dalam kasus yang melibatkan HIV. GBS adalah penyakit
polineuroradiculopati akut berbahaya dengan melemahnya ekstremitas simetrik yang progresif

3
yang dapat dengan mudah dilihat di stadium manapun dari penyakit HIV. Penyakit GBS yang
timbul saat fase kronis infeksi HIV telah dilaporkan memperlihatkan regresi komplit maupun
parsial setelah IVIG dosis tinggi atau plasmapheresis. Penulis menyarankan bahwa terapi
antiretroviral dengan obat-obatan dengan penetrasi CSF yang lebih baik harus dipertimbangkan
sebelum plasmapheresis dan dosis tinggi IVIG pada pasien GBS dengan infeksi HIV. Namun,
penulis dkk mengobservasi perbaikan fungsional dalam kasus HIV(+)-GBS tanpa perawatan
HIV, dan menyarankan bahwa investigasi komprehensif dibutuhkan dalam perihal ini. Selain
itu, obat-obatan antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan HIV dilaporkan
menyebabkan neuropati motorik dan aksonal, dan ditemukan juga bahwa obat-obatan ini juga
dapat menyebabkan neuropati dengan toksisitas mitokondria dan mekanisme neuroimun.

Mortalitas dalam kasus GBS positif HIV bervariasi dari 0-45%. Schleizer dan kolega
mengevaluasi kasus GBS yang dirawat di ICU, dan menyimpulkan bahwa 46% kasus adalah
HIV(+). Jika dibandingkan, mereka menemukan bahwa kasus HIV(+) jauh lebih muda
daripada HIV(-), walaupun tidak signifikan secara statistik. Dilaporkan bahwa, mirip dengan
pasien kami, kasus yang dipelajari dalam studi, tidak mendapatkan terapi antiretroviral sebelum
masuk ke rumah sakit dan ICU, dan penanda pertama dari HIVnya adalah GBS. Lebih lagi,
disaat tidak ada kematian pada HIV(-), satu pasien HIV(+)-GBS meninggal. Hitungan leukosit
CD4 dalam kasus ini di ICU adalah 46x106 sel/L, dan pasien meninggal karena insufisiensi
renal akut dan syok refraktori stelah sepsis. Dalam studi yang sama, ditemukan bahwa rata-rata
hitung CD4 kasus HIV(+)-GBS adalah 322,5x106 sel/L, dan pasien dengan hitung CD4 >
200x106 sel/L selamat. Brannagan dkk mengevaluasi 10 kasus HIV(+)-GBS dan menemukan
diagnosis HIV 3 kasus diverifikasi di ICU. Satu dari kasus ini, dengan hitung CD4 awal
175x106 sel/L di ICU, meninggal karena penyakit kardio. Hitung CD4 pertama dari pasien ini
di ICU adalah 71x106 sel/L dan ia meninggal akibat komplikasi setelah sepsis. Ketika
dipertimbangkan bahwa ia telah menderita lemah ekstremitas selama 2 tahun dan keluhan
turunnya berat badan dalam 4 bulan, disimpulkan bahwa ia terlambat didiagnosa HIV.

Kesimpulan

Sindrom Guillain-Barré adalah suatu kondisi yang harus selalu dipertimbangkan dalam kasus
dengan keluhan kelemahan dan paraesthesia. Pada keadaan sulit bernafas atau disfungsi
otonom, kasus harus ditangani di ICU. Dalam kasus GBS yang tidak berespon terhadap
plasmaperesis atau tatalaksana IVIG, kemungkinan adanya infeksi HIV harus dipikirkan.

4
Pengobatan antiretroviral dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan mengurangi
keparahan gejala, baik pada infeksi HIV maupun GBS.

Anda mungkin juga menyukai