Anda di halaman 1dari 3

Faktor obyektif tersebut di antaranya adalah:

Pertama, kita memiliki Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang mengamanatkan

”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan”. Pasal ini jelas bervisi menolak dikotomi pekerja dan pemilik

modal dalam relasi produksi di tempat kerja. Usaha bersama bermakna pelibatan

pekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol secara kolektif di perusahaan.

Hal ini terwujud jika pekerja mempunyai kesempatan untuk ikut memiliki

perusahaan. UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja pun telah mengamanatkan

bahwa salah satu fungsi Serikat Pekerja adalah sebagai wakil pekerja dalam

memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan.

Kedua, relasi dikotomis tersebut telah menghasilkan struktur alokasi yang

timpang. Bagian yang diterima pekerja (upah dan tunjangan lain) dari nilai output

industri di Indonesia relatif kecil dan dari tahun 1986 ke 2004 makin menurun.

Misalnya saja bagian pekerja di industri bahan makanan turun dari 8% menjadi

hanya 1%, industri kayu dari 14% menjadi 2%, dan di industri kertas dari 20%

menjadi 4%. Bagian tertinggi diterima pekerja industri galian. Itu pun hanya 17%

(Hudiyanto, 2007). Kondisi ini menjadi salah satu sebab kemiskinan pekerja

Indonesia yang diperparah dengan merosotnya nilai upah riil pada tahun-tahun

terakhir.
Ketiga, terjadinya perluasan dominasi asing terhadap kepemilikan perusahaan di

Indonesia. Sebanyak 70% saham di Pasar Modal, termasuk di dalamnya 50%

lebih saham perbankan, telah dikuasai pemodal asing. Kondisi ini akan

berimplikasi pada penyedotan surplus perusahaan keluar negeri (net transfer),

melemahnya posisi tawar pekerja, dan ketergantungan terhadap modal asing. Pada

saat yang sama relasi produksi makin timpang dan tidak demokratis. Pengambilan

keputusan dan kontrol perusahaan makin di luar jangkauan partisipasi pekerja

karena dilakukan oleh pemilik modal yang berada jauh di luar negeri.

Keempat, rendahnya produktivitas pekerja Indonesia saat ini dituding sebagai

sebab menurunnya kinerja perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan. Tak

banyak yang mengaitkannya dengan terjadinya marjinalisasi pekerja dalam relasi

produksi dan alokasi seperti tercermin di atas. Peningkatan motivasi produksi dan

efisiensi perusahaan selama ini cenderung dilakukan melalui cara-cara represif (a-

humanis) seperti sistem kerja kontrak, outsourcing, dan (wacana) sistem upah

fleksibel, yang berpotensi mengingkari hak-hak sosial-ekonomi pekerja.

Kelima, arus baru demokratisasi perusahaan telah lama bergulir. Makin banyak

perusahaan di dunia yang sadar perlunya revolusi mode produksi. Perubahan

relasi produksi sama sekali bukanlah hal yang utopis. Kepemilikan saham oleh

pekerja sudah lama diatur khusus dalam Undang-Undang dan lazim dipraktikkan

oleh perusahaan di negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat dan Eropa Timur.

Bahkan di negara-negara tersebut sudah banyak perusahaan yang 50%-100%


sahamnya dikuasai oleh pekerja. Kinerja perusahaan tersebut membaik dengan

signifikan, yang otomatis mencerminkan peningkatan kesejahteraan pekerja

selaku pemilik perusahaan.

Sumber : http://awansantosa.blogspot.com/2007/05/

Anda mungkin juga menyukai