Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelayanan farmasi merupakan salah satu pelayanan kesehatan di Indonesia yang dituntut
berubah orientasi dari drug oriented menjadi patient oriented. Kegiatan pelayanan farmasi yang
semula berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi harus diubah menjadi pelayanan yang
komprehensif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Kesembuhan pasien sebesar
25% diharapkan diperoleh dari kenyamanan serta baiknya pelayanan apotek, sedangkan 75% berasal
dari obat yang digunakan pasien (Handayani dkk, 2009).

Dalam menjamin mutu pelayanan farmasi kepada masyarakat, maka berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1027 tahun 2004 terdapat tiga indikator yang digunakan dalam proses
evaluasi mutu pelayanan tersebut yaitu tingkat kepuasan konsumen, dimensi waktu pelayanan obat,
dan adanya dokumen prosedur tetap.

Pelayanan farmasi selama ini dinilai oleh beberapa pengamat masih berada di bawah standar.
Salah satunya menurut Kuncahyo (2004) bahwa Apoteker yang seharusnya mempunyai peran sentral
dan bertanggung jawab penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat ternyata masih
belum dilaksanakan dengan baik.

Apotek di Kota Kendari berjumlah 96 apotek dan belum dilakukan penelitian untuk melihat
kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan yang baik akan mempengaruhi efektivitas terapi, dimana
salah satunya dapat dilihat dari tingkat kepuasan konsumen yang menggambarkan mutu pelayanan
di apotek tersebut.

Suatu pelayanan farmasi juga dikatakan baik apabila lama pelayanan obat dari pasien
menyerahkan resep sampai pasien menerima obat dan informasi obat diukur dengan waktu dan
melakukan kegiatan kefarmasian berdasarkan prosedur tetap yang telah ditetapkan (Mashuda, 2011).

1
BAB II

ISI

2.1. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian evaluative non eksperimental dengan menggunakan alat
ukur kuesioner untuk menjelaskan tingkat kepuasan konsumen serta pelaksanaan pelayanan
kefarmasian, wawancara dan observasi untuk menjelaskan adanya dokumen prosedur tetap dan
dimensi waktu pelayanan obat di apotek. Metode pengambilan sampel apotek dilakukan secara
cluster random sampling dan simple random sampling dari tiap kecamatan (Arikunto, 2010).
Responden dalam penelitian ini terbagi atas 2 yaitu responden konsumen apotek dan apoteker
pengelola apotek (APA). Sampel responden konsumen apotek dihitung menggunakan rumus sampel
minimal (Lwanga Lemeshow, 1991):

Jumlah sampel minimal yang diperoleh untuk mengukur kepuasan konsumen berbeda-beda
setiap apotek yang didasarkan dari jumlah rata-rata perhari pengunjung untuk setiap apotek tersebut.
Ditetapkan tingkat kepercayaan 95%, proporsi = 0,5, dan presisi =0,1, sehingga didapat jumlah
responden konsumen apotek sebanyak 509 responden. Untuk 10 responden apoteker pengelola
apotek (APA) ditentukan berdasarkan jumlah sampel apotek yang dilakukan secara cluster random
sampling.

Responden yang dipilih berusia mulai dari 18 tahun dengan pertimbangan bahwa mereka
sudah dapat mempersepsikan pelayanan kefarmasian yangdiperolehnya dengan cukup baik, dapat
membacadan menulis serta minimal sudah 1 kali mendapatpelayanan kefarmasian di apotek

2.2. Hasil Penelitian


a. Uji Pendahuluan

2
Hasil dari uji pendahuluan terhadap kuesioner yang disebarkan kepada 30 responden
diperoleh reliabilitas kuesioner dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,926, sedangkan
untuk validitasnya dipeoleh nilai r tabel sebesar 0,361. Hal ini menunjukkan bahwa kuesioner
yang dibuat realibel dan valid serta dapat digunakan dalam penelitian.
b. Karakteristik Responden
1. Responden Konsmen Apotek
- Karakteristik berdasarkan usia. Persentase tertinggi responden yang datang ke
apotek (34,38%) yaitu responden berusia 20-29 tahun, sedangkan persentase
terendah (9,82%) yaitu responden berusia 50 tahun ke atas.
- Karakteristik berdasarkan jenis kelamin. Persentase tertinggi responden yang
datang ke apotek (57,96%) yaitu responden berjenis kelamin laki-laki, selanjutnya
(42,04%) yaitu responden berjenis kelamin perempuan.
- Karakteristik berdasarkan pendidikan. Persentase tertinggi yang datang ke apotek
(53,44%) yaitu responden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi, sedangkan
persentase terendah (2,36%) yaitu responden dengan tingkat pendidikan sekolah
dasar.
- Karakteristik berdasarkan tingkat penghasilan kepala keluarga per bulan.
Persentase terbesar yang datang ke apotek (47,54%) adalah responden dengan tingkat
penghasilan kepala keluarga antara Rp 1.500.000-Rp 3.000.000 per bulan, sedangkan
persentase terendah (19,84%) yaitu responden berpenghasilan dibawah Rp 1.500.000
per bulan.
- Karakteristik berdasarkan pekerjaan. Persentase tertinggi yang datang ke apotek
(21,81%) adalah responden dengan status pekerjaan sebagai PNS, sedangkan
persentase terendah (7,07%) yaitu responden berpekerjaan tidak tetap (lain-lain).
- Karakteristik berdasarkan peruntukkan resep yang ditebus atau obat yang
dibeli. Persentase terbesar yang datang ke apotek (50,49%) adalah responden yang
menebus resep atau membeli obat untuk anak atau keluarga, sedangkan persentase
terendah (3,14%) yaitu responden yang menebus resep atau membeli obat untuk orang
lain.
2. Responden Apoteker Pengelola Apotek
Hasil penelitian 60% apoteker pengelola apotek berstatus tidak sebagai PNS
atau pegawai swasta, sedangkan 40% berstatus pemilik sarana dan merangkap

3
sebagai PNS atau pegawai swasta. Rata-rata jumlah tenaga yang bekerja di apotek
yaitu satu apoteker, dua asisten apoteker, dan tiga tenaga non teknis.
2.3. Pembahasan
A. Gambaran Mutu Pelayanan
1. Evaluasi Mutu Pelayanan
a. Tingkat Kepuasan Konsumen
Kepuasan pasien didefinisikan sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu
produk yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan (Harianto dkk, 2005).
Menurut Kuncahyo (2004) bahwa kualitas pelayanan yang diberikan apoteker di apotek
akan berpengaruh terhadap kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen juga akan sangat
bergantung pada kualitas dari pelayanan yang diberikan, yang mana dalam kualitas
pelayanan terdapat beberapa dimensi yang mempengaruhinya. Kualitas pelayanan pada
berbagai dimensi kualitas pelayanan yaitu dimensi ketanggapan, dimensi kehandalan,
dimensi jaminan/keyakinan, dimensi empati dan dimensi berwujud seperti pada tabel 1
(Harianto dkk, 2005).
Dimensi Fasilitas Berwujud. Dimensi ini merupakan hal penunjang dasar dari
sebuah pelayanan. Hal yang dinilai pada dimensi ini adalah bukti fisik dari suatu apotek.
Hasil penelitian yang diperoleh pada dimensi ini menunjukkan bahwa persentase
tertinggi sebesar 80,18% ada pada indikator apotek yang terlihat bersih dan rapih,
sedangkan persentase terendah sebesar 75,66% terdapat pada indikator kesiapan alat-alat
yang dipakai lengkap dan bersih. Rata-rata persentase pada dimensi fasilitas berwujud
adalah sebesar 77,61% sehingga persepsi konsumen terhadap dimensi fasilitas berwujud
adalah kategori cukup.
Ketersediaan fasilitas yang berkualitas dan terpelihara dengan baik maka
konsumen/pasien lebih cenderung memilih pelayanan yang baik tersebut dibanding
pelayanan yang memiliki sarana atau fasilitas yang lengkap tapi tidak terpelihara (Dewi
dan Arta, 2014).
Dimensi Kehandalan. Hasil Penelitian diperoleh persentase tertinggi sebesar
77,33% ditunjukkan pada indikator kecepatan pelayanan obat, sedangkan persentase
terendah sebesar 70,72% ditunjukkan pada indikator keramahan petugas dalam melayani
konsumen. Rata-rata persentase pada dimensi adalah sebesar 74,42% sehingga
konsumen menilai dimensi kehandalan cukup memuaskan.

4
Dimensi ini merupakan persepsi dengan persentase terendah dari semua dimensi.
Hal ini dapat dilihat dari Persepsi konsumen bahwa petugas apotek yang kurang ramah
dalam memberikan pelayanan dan kurangnya kesiapan petugas apotek dalam
memberikan pelayanan. Berdasarkan pengamatan peneliti, kemampuan komunikasi
petugas apotek dengan konsumen sangat kurang, sehingga dimensi ini memiliki
persentase yang rendah. Komunikasi yang baik merupakan faktor penentu kualitas dari
suatu pelayanan, sehingga menjadi penentu utama dari kepuasan konsumen atau pasien.
Disisi lain kegagalan komunikasi dalam pelayanan kefarmasian, misalnya edukasi dan
informasi obat, sehingga dapat menyebabkan efektivitas terapi tidak tercapai.
Dimensi Ketanggapan. Ketanggapan ditunjukkan sebagai kemampuan apotek
untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa cepat. Hasil penelitian yang dilakukan
pada dimensi ini diperoleh persentase tertinggi sebesar 76,88% ditunjukkan pada
indikator terjadinya komunikasi yang baik antara petugas dan komsumen, sedangkan
persentase terendah sebesar 71,48% ditunjukkan pada indikator petugas cepat tanggap
terhadap keluhan konsumen. Hal ini disebabkan petugas apotek yang tidak cepat tanggap
dalam memberikan jasa cepat kepada konsumen. Rata-rata persentase pada dimensi ini
adalah sebesar 75,01%. Berdasarkan persentase tersebut pada dimensi ini diasumsikan
cukup memuaskan oleh konsumen.
Dimensi Keyakinan. Hal yang dinilai pada dimensi ini adalah jaminan terhadap
pelayanan yang diberikan oleh apotek sebagai pemberi jasa untuk menimbulkan
kepercayaan dan keyakina. Hasil penelitian diperoleh persentase tertinggi sebesar
82,35% ditunjukkan pada indikator obat yang dibeli terjamin kualitasnya, sedangkan
persentase terendah sebesar 76,14% ditunjukkan pada indikator petugas mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang baik dalam bekerja. Rata persentase yang diperoleh
pada dimensi ini adalah sebesar 80,09% sehingga persepsi konsumen terhadap dimensi
ini cukup memuaskan. Dimensi ini merupakan persepsi sangat baik dengan persentase
tertinggi dari semua dimensi yaitu pada kebenaran obat yang diberikan petugas kepada
konsumen.
Dimensi Empati. Hal ini yang dinilai pada dimensi ini adalah perhatian pribadi
yang diberikan petugas apotek kepada konsumen/pasien. Hasil penelitian diperoleh
persentase tertinggi sebesar 81,01% ditunjukkan pada indikator petugas memberikan
pelayanan kepada semua konsumen tanpa memandang status sosial, sedangkan
persentase terendah sebesar 72,01% ditunjukkan pada indikator petugas memberikan
5
perhatian terhadap keluhan konsumen. Berdasarkan rata-rata persentase pada dimensi
empati adalah sebesar 76,29 %, sehingga persepsi konsumen pada dimensi ini adalah
kategori cukup.
Berikut disajikan tabel profil kepuasan konsumen di Apotek-apotek Kota Kendari
yang berdasarkan hasil penelitian didapatkan kepuasan konsumen di Apotek-apotek Kota
kendari adalah kategori cukup yaitu 76,70% dengan nilai standar deviasi 5,106%.
Tabel 1. Profil Kepuasan konsumen di Apotek-apotek Kota Kendari
Wilayah Persentase (%) Interprestasi
1. Abeli 77,47 Cukup
2. Baruga 86,28 Baik
3. Kadia 77,76 Cukup
4. Kambu 78,86 Cukup
5. Kendari 73,64 Cukup
6. Kendari Barat 80,92 Cukup
7. Mandonga 78,58 Cukup
8. Poasia 71,53 Cukup
9. Puuwatu 73,65 Cukup
10.Wua-wua 68,33 Cukup
Rata –rata seluruh 76,70 Cukup
Wilayah

b. Adanya Dokumen Prosedur Tetap


Manfaat dari adanya dokumen prosedur tetap adalah untuk memastikan bahwa
praktek yang baik dapat tercapai setiap saat, untuk menstandarkan bentuk pelayanan
sesuai yang ditetapkan, untuk melindungi profesi dalam menjalankan praktek
kefarmasian, adanya pembagian tugas dan wewenang bagi petugas apotek, dapat
memberikan pertimbangan dari panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di
apotek, dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru, dan dapat membantu
proses audit (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa hanya 60% apotek komunitas di Kota
Kendari yang memiliki dokumen prosedur tetap dalam jumlah dokumen prosedur tetap
yang bervariasi. Apotek yang tidak memiliki dokumen prosedur tetap memiliki beberapa
alasan yaitu ketidaktahuan APA terhadap adanya prosedur tetap tertulis yang diharuskan
6
oleh Depkes RI, ketidakikutsertaan APA dalam penyusunan standar prosedur
operasional apotek yang diadakan oleh organisasi yang bersangkutan sehingga tidak tahu
untuk menyusun dan menyediakan prosedur tetap tertulis di apotek yang dikelolanya,
APA yang belum memahami arti penting dari adanya prosedur tetap tertulis, dan
apoteker yang tidak lagi menyediakan prosedur tetap tertulis yang sebelumnya
disediakan karena telah mengetahui prosedur-prosedur yang harus dilakukan pada tiap
kegiatan pelayanan kefarmasian.
Berikut disajikan dalam tabel-tabel yang menunjukkan distribusi kepuasan
konsumen pada tabel 2 dan tabel 3 mengenai distribusi jumlah dokumen prosedur tetap
di Apotek komunitas Kota Kendari. Kriteria penilaian frekuensi kepuasan konsumen
terhadap pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek
didasarkan atas kriteria dalam bentuk persentase yang dikeluarkan oleh Depkes RI tahun
2008 yaitu jumlah skor 81-100 adalah kategori baik, jumlah skor 61-80 kategori cukup
dan jumlah skor 20-60 adalah kategori kurang (Depkes RI, 2008).
Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat kepuasan konsumen berdasarkan dimensi terhadap
pelayanan kefarmasian
Pelayanan Kefarmasian Persentase (%) Interpretasi
1. Dimensi fasilitas berwujud
a. Apotek terlihat bersih dan rapi 80,18 Cukup
b. Bagian luar dan bagian dalam ruangan tertata 78,46 Cukup
dengan
baik 75,66 Cukup
c. Kesiapan alat-alat yang dipakai lengkap dan bersih d.
Petugas apotek berpakaian yang bersih dan rapi 76,13 Cukup
Rata-rata 77,61 Cukup
2. Dimensi kehandalan
a. Pelayanan obat cepat 77,33 Cukup
b. Obat tersedia dengan lengkap 74,04 Cukup
c. Obat dijual dengan harga yang wajar 75,85 Cukup
d. Petugas melayani dengan ramah dan tersenyum 70,72 Cukup
e. Petugas selalu siap membantu 74,17 Cukup
Rata-rata 74,42 Cukup
3. Dimensi ketanggapan
a. Petugas cepat tanggap terhadap keluhan konsumen 71,48 Cukup
b. Petugas mampu memberikan penyelesaian 74,89 Cukup
terhadap masalah yang dihadapi konsumen
c. Terjadinya komunikasi yang baik antara petugas 76,88 Cukup
dan konsumen
d. Konsumen mendapatkan informasi yang jelas 76,78 Cukup
dan
mudah dimengerti tentang resep/obat yang ditebus
Rata-rata 75,01 Cukup
7
4. Dimensi keyakinan
a. Petugas mempunyai pengetahuan dan 76,14 Cukup
keterampilan yang baik dalam bekerja
b. Obat yang dibeli terjamin kualitasnya 82,35 Baik
c. Obat yang diberikan sesuai dengan yang diminta
Rata-rata 81,75
80,09 Baik
Cukup
5. Dimensi empati Cukup Baik
a. Petugas memberikan perhatian terhadap 72,01 Cukup
keluhan konsumen
b. Petugas memberikan pelayanan kepada 81,01
semua konsumen tanpa memandang status sosial
Rata-ratas
c. Konsumen merasa nyaman selama menunggu obat 76,29
75,86 Cukup
Rata-rata seluruh dimensi 76,70 Cukup

Sumber: data primer yang diolah Tahun 2014

8
Tabel 3. Distribusi frekuensi jumlah dokumen prosedur tetap yang dimiliki tiap
apotek perwakilan kecamatan di Kota Kendari

Kecamatan Jumlah Dokumen


Abeli 5
Baruga 9
Kadia 2
Kambu -
Kendari -
Kendari Barat 9
Mandonga 10
Puuwatu -
Poasia -
Wua-Wua 8
Sumber data primer yang diolah Tahun 2014

c. Dimensi Waktu Pelayanan Obat


Dimensi waktu adalah pelayanan obat dari pasien menyerahkan resep
sampai pasien menerima obat dan informasi obat.Suatu pelayanan farmasi
dikatakan baik apabila lama pelayanan obat dari pasien menyerahkan resep sampai
pasien menerima obat dan informasi obat di ukur dengan waktu (Mashuda,
2011).Penetapan dimensi waktu dalam pelayanan obat dimaksukan agar pasien
merasa nyaman dan tidak menunggu lama.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Dimensi Waktu Pelayanan Obat Tiap Apotek


Perwakilan Kecamatan di Kota Kendari

Dimensi waktu dengan resep Dimensi waktu


Kecamatan
Racik Non Racik tanpa resep
Abeli - - -
Baruga - - -
Kadia 5 menit 5 menit 1 menit
Kambu - - -
Kendari 10-15 menit 5-10 menit 1-5 menit

9
Kendari Barat 15 menit 10 menit 5 menit
Mandonga 15-30 menit 5-10 menit 1-5 menit
Puuwatu - - 1-5 menit
Poasia - - -
Wua-Wua 10-15 menit 5-10 menit 5 menit
Sumber: data primer yang diolah

Tabel 4 menunjukkan bahwa sejumlah 6 apotek (60%) telah menetapkan


dimensi waktu pelayanan obat.Namun, hanya satu apotek (10%) hanya menetapkan
dimensi waktu pelayanan obat tanpa resep, tetapi apotek tersebut menerima resep
obat.

Setiap apotek yang menetapkan dimensi waktu pelayanan obat. Peneliti


melakukan pembuktian dengan cara mengukur waktu pelayanan obat, sehingga
dapat dipastikan bahwa apotek telah menjalankan ketetapan yang telah dibuatnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu apotek (10%) yang melakukan pelayanan
obat melebihi waktu pelayanan yang ditetapkan.Dimensi waktu pelayanan obat
dengan resep yang ditetapkan oleh apotek tersebut 5-10 menit, sedangkan hasil
pengukuran yang diperoleh peneliti adalah 16 menit. Hal ini disebabkan oleh
penumpukan resep dalam waktu yang bersamaan dan kurangnya sumber daya
manusia (SDM) di apotek. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi dimensi
pelayanan obat terdapat apotek yang tidak melakukan pelayanan informasi obat
atau edukasi karena menetapkan dimensi waktu hanya 1 menit.

Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian. Evaluasi mutu pelayanan dilakukan


melalui kuesioner kepada konsumen apotek dan wawancara dengan apoteker
pengelola apotek (APA). Selain itu, juga dilakukan penilaian melalui kuesioner
kepada apoteker pengelola apotek (APA) untuk melihat pelaksanaan pelayanan
kefarmasian di apotek Komunitas Kota Kendari.

Tabel 5 menunjukkan bahwa hanya 40% apoteker pengelola apotek (APA)


menjamin kualitas pelayanan apotek yang dikelolahnya. Hal ini menunjukkan
bahwa pelaksanaan kefarmasian yang dilakukan APA berimplikasi pada tingkat
kepuasan konsumen dalam evaluasi mutu pelayanan.

10
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Evaluasi Mutu Pelayanan di Apotek
Komunitas Kota Kendari

Kecamatan Persentase (%) Interprestasi


Abeli 31,25 Kurang
Baruga 62,5 Cukup
Kadia 25 Kurang
Kambu 12,5 Kurang
Kendari 12,5 Kurang
Kendari Barat 87,5 Baik
Mandonga 75 Cukup
Puuwatu 12,5 Kurang
Poasia 12,5 Kurang
Wua-Wua 68,75 Cukup
Rata-rata seluruh
40 Kurang
kecamatan

11
BAB III

KESIMPULAN

1. Berdasarkan standar skor pelayanan kefarmasian oleh DepKes RI, Mutu


pelayanan di apotek komunitas Kota Kendari dalam tinjauan tingkat kepuasan
konsumen adalah 76.70% kategori cukup.
2. Mutu pelayanan di apotek komunitas Kota Kendari dalam segi prosedur tetap
adalah 60% kategori cukup
3. Mutu pelayanan di apotek komunitas Kota Kendari dalam dimensi waktu
pelayanan obat adalah 60% kategori cukup
4. Secara keseluruhan mutu pelayanan di apotek komunitas Kota Kendari adalah
kategori cukup.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S, 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi, Rineka
Cipta, Yogyakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Keputusan Menteri Kesehatan RI


No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Dewi PR, Arta SK 2014, Analisis Harapan dan Persepsi Pasien Kerjasama (PKS)
Terhadap Mutu Pelayanan Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Puri Raharja Tahun 2013,
Artikel Penelitian, Volume 11 (1), Denpasar.

Handayani RS, Raharni, Retno G, 2009, Persepsi Konsumen Apotek Terhadap Pelayanan
Apotek Di Tiga Kota Di Indonesia, Makara Kesehatan, Volume 13(1), Jakarta.

Harianto NK, Sudibyo S, 2005. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Resep di Apotek
Kopkar Rumah Sakit Budhi Asih Jakarta, Majalah Ilmu Kefarmasian, Volume II (1),
Jakarta.

Kuncahyo I, 2004/ Dilema Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian, Surakarta.


http//www.suarapembaruan.com/News/2004/04/29/ Editor/edi04/htm.

Mashuda A, 2011. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian Yang Baik, Departemen


Kesehatan RI, Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai