Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam arti luas, menurut Mehrens & Lehmann yang dikutip oleh Ngalim
Purwanto bahwa evaluasi adalah suatu proses merencanakan, memperoleh,
dan rnenyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-
alternatif keputusan. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap kegiatan
evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direncanakan
untuk memperoleh informasi atau data. Sudah barang tentu informasi atau data
yang dikumpulkan itu haruslah data yang sesuai dan mendukung tujuan
evaluasi yang direncanakan. Dalam proses pembelajaran peran sekolah dan
guru yang pokok adalah menyediakan dan memberikan fasilitas untuk
memudahkan dan melancarkan cara belajar siswa. Guru harus dapat
membangkit kegiatan-kegiatan yang membantu siswa meningkatkan hasil
belajarnya.
Namun, di samping itu kadang-kadang guru merasa bahwa evaluasi itu
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan pengajaran. Hal ini timbul
karena sering kali terlihat bahwa adanya kegiatan evluasi justru merisaukan
dan menurunkan gairah belajar pada siswa. Hingga anggapan dengan adanya
kegiatan evaluasi itu bertentangan dengan kegiatan pengajaran. Pendapat yang
demikian pada hakikatnya tidaklah benar. Evaluasi yang dilakukan dengan
tidak benar dapat mematikan semangat belajar siswa. Sebaliknya dengan
evaluasi yang dilakukan dengan baik dan benar seharusnya dapat
meningkatkan mutu dan hasil belajar siswa, karena kegiatan evaluasi itu
membantu guru untuk memperbaiki cara mengajar dan membantu siswa
dalam meningkatkan cara belajarnya.
Bahkan dapat dikatakan bahwa evaluasi tidak dapat dipisahkan dengan
pengajaran. Sehubungan dengan hal tersebut di dalam proses pembelajaran
perlu adanya teknik dalam menyusun dan melaksanakan tes hasil belajar, yang
akan paparkan secara sederhana dalam tulisan ini dengan mengangkat judul
“Teknik Penyusunan Tes Hasil Belajar dan Pelaksanaannya”, dengan harapan
semoga ini semua bermanfaat bagi pembaca yang budiman.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Teknik penyusunan test hasil belajar ?
2. Apa saja ciri-ciri hasil belajar yang baik ?
3. Apa saja prinsip-prinsip dasar dalam penyusunan test ?
4. Apa saja bentuk-bentuk test hasil belajar dan Teknik penyusunannya ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Teknik penyusunan test hasil belajar.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri hasil belajar yang baik.
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam penyusunan test.
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk test hasil belajar dan Teknik
penyusunannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teknik Penyusunan Tes Hasil Belajar


Tes hasil belajar merupakan salah satu jenis tes yang digunakan untuk
mengukur perkembangan atau kemajuan belajar peserta didik, setelah mereka
mengikuti proses pembelajaran. Di dalam teknik penyusunan tes hasil belajar
setidak tidaknya ada empat ciri atau karakteristik yang harus dimiliki oleh tes
hasil belajar, sehingga tes tersebut dapat dinyatakan sebagai tes yang baik
sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas Sudijono yaitu: “(1) valid (shahih
= ‫( ;)صحيح‬2) reliabel (tsabit = ‫( ;)ثابت‬3) obyektif (maudu’iy = ‫( ;)موضوعى‬4)
praktis (‘amaliy = ‫”)عملى‬. Dari uraian keempat ciri atau karakteristik yang
dijelaskan Anas Sudijono dalam bukunya, dapat dipaparkan secara singkat
bahwa
Ciri Pertama: valid atau validitas yang sering diartikan dengan ketetapan,
kebenaran, keshahihan atau keabsahan. Maka sebuah tes dikatakan valid
apabila tes tersebut dengan secara tepat, secara benar, secara shahih atau
secara absah dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Ciri kedua: reliabel yang sering diterjemahkan dengan keajegan (=stability)
atau kemantapan (=consystence). Maka sebuah tes dapat dikatakan reliabel
apabila hasil-hasil pengukuran yang digunakan dengan menggunakan tes
tersebut secara berulangkali terhadap obyek yang sama, senantiasa
menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg dan stabil.
Ciri ketiga: obyektif yang dapat diartikan dengan “menurut apa adanya”.
Ditinjau dari isi atau materi tesnya, tes diambilkan atau bersumber dari materi
atau bahan pelajaran yang telah diberikan sesuai atau sejalan dengan
kompetensinya. Dan ditinjau dari segi pemberian skor dan penentuan nilai
hasil tesnya, maka pemberian skor dan penentuan nilainya terhidar dari unsur-
unsur subyektivitas.
Ciri keempat: praktis yang mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar
tersebut dapat dilakukan dengan mudah, karena ada dua alasan:
1. Bersifat sederhana, tidak memerlukan peralatan yang banyak atau peralajan
yang sulit pengadaannya,
2. Lengkap, tes tersebut telah dilengkapi dengan petunjuk mengenai
bagaimana cara mengerjakannya, kunci jawabannya dan pedoman scoring
serta penentuan nilainya.
Selain dari empat ciri atau karakteristik yang harus dimiliki oleh tes hasil
belajar yang baik, ada beberapa prinsip dasar yang perlu dicermati di dalam
menyusun tes hasil belajar agar tes tersebut dapat mengukur tujuan
pembelajaran yang telah diajarkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas
Sudijono yang dapat dipaparkan singkat, yaitu:
Pertama, tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar
(learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Kedua, butir-butir soal tes hasil belajar harus merupakan sampel yang
representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, sehingga dapat
dianggap mewakili seluruh performance yang telah diperoleh.
Ketiga, bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat
bervariasi, sehingga betul-betul cocok untuk mengukur hasil belajar yang
diinginkan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri.
Kempat, tes hasil belajar harus didesain sesuai dengan kegunaannya untuk
memperoleh hasil yang diinginkan. Pernyataan tersebut mengandung makna,
bahwa desain tes hasil belajar harus disusun relevan dengan kegunaan yang
dimiliki oleh masing-masing jenis tes. Desain dari placement test - (yaitu tes
yang digunakan untuk penentuan penempatan siswa dalam suatu jenjang atau
jenis program pendidikan tertentu). Sudah barang tentu akan berbeda dengan
desain dari formative test - (yaitu tes yang digunakan untuk mencari umpan
balik guna memperbaiki proses pembelajaran, baik bagi guru maupun bagi
siswa) - dan summative test - (yaitu tes yang digunakan untuk mengukur atau
menilai sampai dimana pencapaian siswa terhadap bahan pelajaran yang telah
diajarkan dan selanjutnya untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan
siswa yang bersangkutan). Demikian pula desain dari diagnostic test - (yaitu
tes yang digunakan dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab kesulitan belajar
siswa.
Kelima, tes hasil belajar harus memiliki reliabelitas yang dapat diandalkan.
Keenam, tes hasil belajar di samping harus dapat dijadikan alat pengukur
keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk mencari
informasi yang berguna untuk perbaikan cara belajar siswa dan cara mengajar
guru itu sendiri.
B. Ciri- ciri hasil belajar yang baik
Tes hasil belajar adalah tes yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau
persoalan yang harus dijawab dan dipecahkan oleh individu yang dites(testee).
Disini hasil belajar bermaksud mengukur sejauhmana para peserta didik telah
menguasai atau mencapai tujuan-tujuan pengajaran yang telah ditentukan.
Suatu tes dikatakan baik bilamana tes tersebut memiliki ciri sebagai alat ukur
yang baik. Menurut Anas Sudijono (2010: 60) setidak-tidaknya ada empat ciri
atau karakteristik yang harus dimiliki oleh tes hasil belajar, sehingga tes
tersebut dapat dinyatakan sebagai tes yang baik, yaitu:
1. Memiliki validitas
Sebuah tes dikatakan telah memiliki validitas apabila tes tersebut dengan
secara tepat, benar, shahih, absah telah dapat mengungkap atau mengukur
apa yang harus diukur lewat tes tersebut. Jadi, tes hasil belajar dapat
dinyatakan valid apabila tes hasil belajar tersebut (sebagai alat pengukur
keberhasilan belajar peserta didik) dengan secara tepat, benar, shahih atau
absah telah dapat mengukur atau mengungkap hasil-hasil belajar yang telah
dicapai oleh peserta didik, setelah mereka menempuh proses belajar
mengajar dalam jangka waktu tertentu.
2. Memiliki reliabilitas
Sebuah dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukkan
ketetapan. Dengan kata lain, jika kepada para peserta didik diberikan tes
yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap peserta didik akan tetap
berada dalam urutan (rangking) yang sama dalam kelompoknya.
3. Memiliki kemudahan atau kepraktisan dan ekonomis
Bahwa tes tersebut dapat dan mudah dilaksanakan dan ditafsirkan
hasilnya (usable or practical). Usability atau practicality menunjukkan
kepada tingkat kemudahan dan kepraktisan penggunaan dan pelaksanaan
suatu tes, dalam hubungannya dengan biaya dan waktu untuk melaksanakan
tes tersebut, serta pengolahan dan penafsiran hasilnya.
4. Memiliki nilai yang objektif
Suatu tes mengandung objektivitas bila dua atau lebih pengamat yang
kompeten masing-masing dapat mengetahui bahwa tes performancepeserta
didik memenuhi atau tidak kriteria yang dirumuskan dalam tujuan
pengajaran. Atau sebuah tes dikatakan objektif apabila tidak ada faktor
subjektif (bentuk tes dan penilai) yang mempengaruhi. Menurut Suharsimi
Arikunto (2009) adapun kualitas objektif suatu tes dapat dibedakan menjadi
tiga angkatan, yaitu:
a. Tinggi jika tes tersebut menunjukan tingkat kesamaan yang tinggi,
b. Sedang, jika terdapat pandangan subjektif dalam penilaiannya dan
c. Fleksibel
C. Prinsip-prinsip dasar dalam penyusunan test belajar
Menurut Sudijono (2011:97-99) ada beberapa prinsip dasar yang perlu
dicermati didalam menyusun tes hasil belajar agar tes tersebut dapat mengukur
tujuan instruksional khusus untuk mata pelajaran yang telah diajarkan, atau
mengukur kemampuan dan keterampilan peserta didik yang diharapkan
setelah mereka menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu.
a. Pertama, tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar
(learning out comes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
instruksional. Kejelasan mengenai pengukuran hasil belajar yang
dikehendaki akan memudahkan bagi guru dalam menyusun butir-butir
soal tes hasil belajar.
b. Kedua, butir-butir soal tes hasil belajar harus merupakan sampel yang
representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, sehingga
dapat dianggap mewakili seluruh performan yang telah diperoleh selama
peserta didik mengikuti suatu unit pengajaran.
c. Ketiga, bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat
bervariasi, sehingga betul-betul cocok untuk mengukur hasil belajar yang
diinginkan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri.Untuk mengukur hasil
belajar yang berupa keterampilan misalnya, tidak tepat jika hanya
menggunakan soal-soal yang berbentuk essay test yang jawabannya hanya
mengurai dan bukan melakukan atau mempraktekkan sesuatu. Demikian
pula untuk mengukur kemampuan menganalisis suatu prinsip, tidak
cocok jika digunakan butir-bitir soal yang berbentuk objective test yang
pada dasarnya hanya mengungkap daya ingat peserta didik.
d. Keempat, tes hasil belajar harus didesain sesuai dengan kegunaannya
untuk memperoleh hasil yang diinginkan.Pernyataan tersebut
mengandung makna, bahwa desain tes hasil belajar harus disusun relevan
dengan kegunaan yang dimiliki oleh masing-masing jenis tes.
e. Kelima, tes hasil belajar harus memiliki reliabiltas yang dapat diandalkan.
Artinya, setelah tes hasil belajar itu dilaksanakan berkali-kali terhadap
subyek yang sama, hasilnya selalu sama atau relatif sama. Dengan
demikian tes hasil belajar itu hendaknya memiliki keajegan hasil
pengukuran yang tidak diragukan lagi.
f. Keenam, tes hasil belajar disamping harus dapat dijadikan alat pengukur
keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk mencari
informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara
mengajar guru itu sendiri.
Menurut Sudijono (2011:31-33) evaluasi hasil belajar dikatakan terlaksana
dengan baik apabila dalam pelaksanaannya senantiasa berpegang pada tiga
prinsip dasar berikut ini.
1. Prinsip Keseluruhan
Berprinsip keseluruhan atau menyeluruh atau komprehensif adalah
evaluasi tersebut dilaksanakan secara bulat, utuh, menyeluruh. Maksud
dari pernyataan ini adalah bahwa dalam pelaksanaannya evaluasi tidak
dapat dilaksanakan secara terpisah, tetapi mencakup berbagai aspek yang
dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan tingkah laku yang
terjadi pada diri peserta didik sebagai makhluk hidup dan bukan benda
mati.
Dalam hubungan ini, evaluasi diharapkan tidak hanya menggambarkan
aspek kognitif, tetapi juga aspek psikomotor dan afektif pun diharapkan
terangkum dalam evaluasi. Jika dikaitkan dengan mata pelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia, penilaian bukan hanya menggambarkan pemahaman
siswa terhadap materi ini, melainkan juga harus dapat mengungkapkan
sudah sejauh mana peserta didik dapat menghayati dan
mengimplementasikan materi tersebut dalam kehidupannya.
2. Prinsip Kesinambungan
Istilah lain dari prinsip ini adalah kontinuitas. Penilaian yang
berkesinambungan ini artinya adalah penilaian yang dilakukan secara
terus menerus, sambung-menyambung dari waktu ke waktu. Penilaian
secara berkesinambungan ini akan memungkinkan si penilai memperoleh
informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai kemajuan atau
perkembangan peserta didik sejak awal mengikuti program pendidikan
sampai dengan saat-saat mereka mengakhiri program-program pendidikan
yang mereka tempuh.
3. Prinsip Objektivitas
Prinsip objektivitas mengandung makna bahwa evaluasi hasil belajar
terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subjektif. Orang juga sering
menyebut prinsip objektif ini dengan sebutan “apa adanya”. Istilah apa
adanya ini mengandung pengertian bahwa materi evaluasi tersebut
bersumber dari materi atau bahan ajar yang akan diberikan sesuai atau
sejalan dengan tujuan instruksional khusus. Dengan kata lain, tester harus
senantiasa berpikir dan bertindak wajar menurut keadaan yang
senyatanya, tidak dicampuri oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya
subjektif. Prinsip ini sangat penting sebab apabila dalam melakukan
evaluasi, subjektivitas menyelinap masuk dalam suatu evaluasi,
kemurnian pekerjaan evaluasi itu sendiri akan ternoda.
D. Bentuk-bentuk test hasil belajar dan teknik penyusunannya
Sebagai alat pengukuran perkembangan dan kemajuan belajar peserta didik,
apabila ditinjau dari segi bentuk soalnya, dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu: tes hasil belajar bentuk uraian dan tes hasil belajar bentuk obyektif.
1. Tes hasil belajar bentuk uraian
a. Pengertian tes hasil belaja bentuk uraian
Tes uraian (essay test), yang juga sering dikenal dengan istilah tes
subyektif (subjective test), adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang
memiliki karakteristik, yang pertama tes tersebut berbentuk pertanyaan
atau perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan
kalimat yang pada umumnya terlalu panjang. Kedua, bentuk-bentuk
pertanyaan atau perintah itu menuntut kepada testee untuk memberikan
penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan, dan
sebagainya. Ketiga, jumlah butir soalnya umumnya terbatas berkisar
antara lima sampai dengan sepuluh butir. Keempat, pada umumnya butir-
butir soal tes uraian itu diawali dengan kata-kata:”jelaskan....”,
”terangkan.....”, ”uraikan.....”, ”mengapa....”, ”bagaimana....”, atau kata-
kata lain yang serupa.
Sebagai salah satu jenis tes hasil belajar, tes uraian dapat dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu: tes uraian bentuk bebas atau terbuka dan
tes uraian bentuk terbatas.
Pada tes uraian bentuk terbuka, jawaban yang dikehendaki muncul
dari testee sepenuhnya diserahkan kepada testee itu sendiri. Artinya,
testee mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam merumuskan,
mengorganisasikan dan menyajikan jawaban dalam bentuk uraian.
Contoh:
Adapun bentuk uraian terbatas, jawaban yang dikehendaki muncul
dari testee adalah jawaban yang sifatnya sudah terarah (dibatasi).
Contoh:
Tes hasil belajar bentuk uraian sebagai salah satu alat pengukur hasil
belajar, tepat dipergunakan apabila pembuat soal disamping ingin
mengungkap daya ingat dan pemahaman testee terhadap materi pelajaran
yang ditanyakan, juga dikehendaki untuk mengungkap kemampuan
testee dalam memahami berbagai macam konsep dan pengaplikasiannya,
kecuali tes subyektif ini lebih tepat dipergunakan apabila jumlah testee
terbatas.
Keunggulan yang dimiliki oleh tes uraian, antara lain:
1) Tes uraian adalah jenis tes hasil belajar yang pembuatannya dapat
dilakukan dengan mudah dan cepat
2) Dengan menggunakan tes uraian, dapat dicegah kemungkinan
timbulnya permainan spekulasi di kalangan testee.
3) Penyusun soal aka dapat mengetahui seberapa jauh tingkat kedalaman
dan penguasaan testee dalam memahami materi yang ditanyakan
dalam tes tersebut
4) Mendorong testee untuk terbiasa mengemukakan pendapat dengan
menggunakan susuanan kalimat dan gaya bahasa yang diolahnya
sendiri
Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh tes uraian, antara lain:
1) Tes uraian pada umumnya kurang mencangkup atau menampung dan
mewakili isi dan luasnya materi yang telah diajarkan.
2) Cara mengkoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit.
3) Dalam pemberian skor hasil tes uraian, terdapat kecendurngan bahwa
tester lebih banyak bersifat subyektif.
4) Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes sulit
untuk diserahkan kepada orang lain.
5) Daya ketepatan mengukur dan daya keajegan mengukur yang dimiliki
oleh tes uraian pada umumnya rendah sehingga kurang dapat
diandalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang baik.
b. Teknik penyusunan tes uraian
1) Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sejauh mungkin harus
dapat diusahakan agar butir-butir soal tersebut dapat mencangkup ide-
ide pokok dari materi pelajaran yang telah diajarkan atau telah
diperintahkan
2) Untuk menghindari timbulnya kecurangan oleh testee, hendaknya
diusahakan agar susunan kalimat soal dibuat berlainan dengan
susuanan kalimat yang terdapat dalam buku pelajaran atau bahan lain
yang diminta untuk mempelajarinya
3) Sesaat setelah butir-butir soal tes uraian dibuat, hendaknya disusun
dan dirumuskan secara tegas, bagaimana atau seperti apakah
seharusnya jawaban yang di kehendaki oleh tester sebagai jawaban
yang betul
4) Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian hendaknya diusahakan
agar pertanyaan-pertanyaan atau perintah-perintahnya angan dibuat
seragam, melainkan dibuat secara bervariasi
5) Kalimat soal hendaknya disusun secara ringkas, padat, dan jelas,
sehingga cepat dipahami oleh testee dan tidak menimbulkan keraguan
dalam memberikan jawaban
6) Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sebelum sampai pada
butir-butir soal yang harus dijawab oleh testee, hendaknya
dikemukakan pedoman tetang cara mengerjakan atau menjawab butir-
butir soal tersebut.

2. Tes hasil belajar obyektif (objective test)


Tes obyektif (objective test) yang juga dikenal dengan istilah tes jawaban
pendek (short answer test), tes “ya-tidak” dan tes model baru, adalah salah
satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal yang dapat
dijawab oleh testee dengan jalan memilih salah satu diantara beberapa
kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing items,
atau dengan jalan menuliskan jawabannya berupa kata-kata atau simbol-
simbol tertentu pada tempat atau ruangan yang telah disediakan untuk
masing-masing butir item yang bersangkutan.
Sebagai salah satu jenis tes hasil belajar , tes objektif dapat dibedakan
menjadi lima golongan, yaitu:
a. Tes obyektif bentuk benar salah (true-false test)
Tes obyektif bentuk benar salah adalah salah satu bentuk tes obyektif
dimana butir-butir soal yang diajukan dalam tes hasil belajar itu berupa
pernyataan, pernyataan mana ada yang benar dan ada yang salah. Di sini,
tugas testee adalah membubuhkan simbol tertentu atau mencoret huruf B
jika menurut mereka pernyataan itu benar, atau membubuhkan simbol
tertentu atau mencoret huruf S jika menurut keyakinan mereka
pernyataan itu salah.
Jadi, tes obyektif itu bentuknya adalah kalimat atau pernyataan yang
mengandung, dua kemungkinan jawaban: benar atau salah, dan testee
diminta menentukan pendapatnya mengenai pernyataan tersebut dengan
cara seperti yang ditentukan dalam petunjuk cara mengerjakan soal.
Contoh

Keunggulan tes obyektif bentuk benar salah antara lain:


1) Pembuatannya mudah
2) Dapat dipergunakan berulang kali
3) Dapat mencangkup bahan pelajaran yang luas
4) Tidak terlalu banyak memakan lembaran kertas
5) Bagi testee, cara mengerjakannya mudah
6) Bagi tester, cara mengkoreksinya juga mudah

Kelemahan tes obyektif bentuk benar salah antara lain:


1) Membuka peluang bagi testee untuk berspekulasi dalam memberikan
jawaban
2) Sifatnya amat terbatas
3) Pada umumnya tes obyektif jenis ini reliabilitasnya rendah, kecuali
apabila butir-butir soal dibuat dalam jumlah yang banyak sekali

Teknik penyusunan tes obyektif bentuk menjodohkan, antara lain:


1) Tuliskanlah huruf B – S didepan masing-masing pernyataan dan
jangan di belakangnya .
2) Jumlah butir soal hendaknya berkisar antara 1 sampai dengan 20 butir.
3) Jumlah buir soal yang jawabannya betul (B) sebaiknya sama atau
seimbang dengan jumlah butir soal yang jawabannya salah (S).
4) Urutan soal-soal yang jawabannya betul (B) dan jawaban yang salah
(S) hendaknya dibuat berselang-seling, sehingga tidak menimbulkan
permainan spekulasi di kalangan teste
5) Butir-butir soal yang benar sebaiknya tidak memiliki corak yang
berbeda dengan jawaban yang salah.
6) Hindaarilah pernyataan-pernyataan yang susunan kalimatnya sama
persis seperti yang dimuat dalam buku.
7) Dalam menyusun butir butir soal tester sebainya tidak menggunakan
soal yang terdapat kemungkinan jawaban benar atau kemungkinan
jawaban salah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perdebatan
antara testee dan tester.
b. Tes obyektif bentuk menjodohkan (matching test)
Tes obyektif bentuk matching merupakan salah satu bentuk tes
obyektif dengan ciri-ciri, tes terdiri dari satu seri pernyataan dan satu seri
jawaban, tugas testee adalah mencari dan menempatkan jawaban-
jawaban yang telah tersedia sehingga sesuai atau cocok atau merupakan
pasangan, atau merupakan jodoh dari pertanyaannya.
Jadi dalam test obyektif bentuk matching ini, disediakan dua
kelompok bahan dan testee harus mencari pasangan-pasangan yang
sesuai antara yang terdapat pada kelompok kedua, sesuai dengan
petunjuk yang diberikan dalam tes tersebut. Contoh :
Keunggulan tes obyektif matching, antara lain:
1) Pembuatannya mudah
2) Dapat dinilai dengan mudah, cepat dan obyektif
3) Apabila tes jenis ini dibuat dengan baik, maka faktor menebak dengan
praktis dapat dihilangkan
Kekurangan tes obyektif matching, antara lain:
1) Cenderung lebih banyak mengungkapkan aspek hafalan atau daya
ingat
2) Tes jenis ini sering dijadikan pelarian bagi pengajar, karena mudah
disurun, yaitu dipergunakan saat pengajar tidak sempat lagi membuat
soal bentuk lain
c. Tes obyektif bentuk lisan (fill in test)
Tes obyektif bentuk fill in ini biasanya berbentuk cerita atau karangan.
Kata-kata penting dalam cerita atau karangan itu beberapa diantaranya
dikosongkan, sedangkan tugas testee adalah mengisi bagian-bagian yang
telah dikosongkan itu. Contoh:
Keunggulan dari tes obyektif bentuk fill in, antara lain:
1) Dengan menggunakan tes obyektif ini maka masalah yang diujikan
tertuang secara keseluruhan dalam konteksnya.
2) Berguna untuk mengungkap pengetahuan testee secara bulat atau utuh
mengenai suatu hal atau suatu bidang
3) Cara penyusunan itemnya mudah
Kekurangan dari tes obyektif bentuk fill in, antara lain:
1) Cenderung lebih banyak mengungkapkan aspek pengetahuan dan
pengenalan
2) Tas obyektif bentuk ini umumnya banyak memakan tempat
3) Sifatnya kurang komprehensif
4) Terbuka peluang bagi testee untuk bermain tebak terka.
d. Tes obyektif bentuk melengkapi (completion test)
Tes obyektif bentuk completion sering dikenal dengan istilah
melengkapai atau menyempurnakan, yaitu salah satu jenis tes obyektif
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) tes tersebut terdiri atas susunan kalimat yang bagian-bagiannya sudah
dihilangkan
2) bagian-bagian yang dihilangkan itu diganti dengan titik-titik (........)
3) titik-titik itu harus dilengkapi atau diisi atau disempurnakan oleh
testee, dengan jawaban yang tepat
Jadi, sebenarnya tes obyektif bentuk completion ini mirip sekali
dengan tes obyektif bentuk fill in. Letak perbedaannya ialah, bahwa pada
tes bentuk fill in bahan yang ditaskan merupakan suatu bentuk cerita,
dengankan ada tes completion tidak harus demikian. Dengan kata lain,
pada tes obyektif bentuk completion ini, butir-butir soal tes dapat saja
dibuat berlainan antara yang satu dengan yang lain. Contoh:
Keunggulan dari tes obyektif bentuk completion, antara lain:
1) Tes model ini sangat mudah dalam penyusunannya
2) Tes obyektif ini lebih menghemat tempat
3) Persyaratan komprehensif dapat dipenuhi oleh tes model ini
4) Tes ini dapat digunakan untuk mengukur berbagai taraf kompetensi
dan tidak sekedar mengungkapkan taraf pengenalan atau hafalan saja.
Kekurangan dari tes obyektif bentuk completion, antara lain:
1) Pada umumnya tester lebih cenderung menggunakan tes ini untuk
mengungkapkan daya ingat atau hafalan saja
2) Dapat terjadi bahwa butir-butir item dari tes model ini kurang relevan
utuk diujikan
3) Tester kurang berhati-hati dalam menyusun kalimat-kalimat soalnya

Mengenai pedoman penyusunan butir-butir soal tes obyektif bentuk


completin ini pada dasarnya sama dengan tes obyektif bentuk fill in.
e. Tes obyektif bentuk pilihan ganda (multiple choice item test)
Tes obyektif bentuk multiple choce item atau yang sering disebut
dengan tes obyektif bentul pilihan ganda, yaitu salah satu bentuk tes
obyektif yang terdiri atas pertanyaan yang sifatnya belum selesai, dan
untuk menyelesaikannya harus dipilih salah satu dari beberapa
kemungkinan jawaban yang telah disediakan pada tiap-tiap butir soal
yang bersangkutan. Contoh:

Anda mungkin juga menyukai