Anda di halaman 1dari 4

Nama : Damara Alif Pradipta

NIM : 1821160411

Jurusan Penciptaan DKV

Mata Kuliah Nilai Filosofi Wayang

Pada hari Jum’at tanggal lima Oktober 2018, penulis menghadiri pagelaran
wayang yang diadakan di Bangsal Kepatihan di Kantor Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta. Acara ini diadakan demi memperingati Bulan Syuro yang dianggap
bulan penuh makna, acara ini ternyata tidak hanya diadakan di Bangsal Kepatihan,
namun juga ada di enam titik di empat kabupaten/kota se-DIY. Penulis mengetahui
acara tersebut dikarenakan ajakan oleh Dosen Nilai Filosofi Wayang yaitu Prof. Dr.
Kasidi, M.Hum yang notabene merupakan dosen dari penulis sendiri dan Dalang
yang akan mengisi acara tersebut. Hal ini merupakan tamparan keras dan juga angin
segar bagi penulis dikarenakan penulis tidak pernah sekalipun melihat wayang secara
langsung hal ini ironis sekali jika dilihat bahwa penulis sendiri merupakan seorang
yang menyukai seni, dan ajakan ini merupakan angin segar dikarenakan penulis
diberi kesempatan untuk melihat secara langsung pagelaran wayang yang berarti
bahwa penulis diajak untuk merasakan suasana secara langsung.

Kembali kepada bahasan utama, ketika penulis memasuki area pagelaran,


penulis melihat terdapat satu kedai makanan dan minuman yang melayani para
pengunjung yang menggerombol. Pada kesan pertama penulis mengira bahwa kedai
tersebut sedang berjualan disana dalam artian mengambil kesempatan emas atau aji
mumpung. Namun setelah penulis mendekati keramaian penulis disapa oleh pemilik
kedai dan penulis diberi pilihan “teh nopo kopi mas?”, disitu penulis dengan cepat
merasa bahwa makanan dan minuman yang terdapat di kedai tersebut gratis dan
merupakan fasilitas dari pagelaran tersebut. Setelah memesan makanan dan
minuman, penulis berkumpul bersama rekan-rekan penulis untuk menikmati acara.
di dalam pagelaran tersebut sudah terdapat suguhan untuk menikmati pagelaran
wayang. Namun yang menarik adalah suguhan tersebut berupa makanan khas Jawa
yaitu polo pendem. Dalam hati, penulis bertanya tanya mengapa makanan yang
disuguhkan berupa polo pendhem. Belakangan penulis mengetahui bahwa makanan
khas Jawa tersebut memiliki nilai filosofi yang mendalam, salah satunya polo pendhem
memiliki nilai filosofi yang mengajarkan asal muasal manusia yaitu dari tanah
kembali ke tanah yang mengandung makna bahwa dimanapun manusia berpijak,
seharusnya tidak merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, adapun nilai filosofis
lain yang diajarkan adalah bahwa di tanah yang dikonotasikan jelek dan kotor,
manusia dapat mendapat manfaat darinya, hal tersebut juga mengajarkan akan nilai
luhur yaitu kerendahan hati bahwa apa yang kita anggap rendah dan remeh ternyata
juga memberi manfaat kepada kita tanpa rasa pamrih.

Dari pertemuan penulis dan tumpeng polo pendhem, terdapat suatu rasa
merinding yang mengisyaratkan bahwa di setiap pagelaran seperti wayang dan
pagelaran-pagelaran Jawa lainnya terdapat unsur-unsur pendukung yang memiliki
nilai filosofi, yang berarti bahwa setiap unsur-unsur kehidupan orang jawa terdapat
nilai filosofi yang menjadi pedoman hidup orang Jawa.

Setelah terpaku oleh nilai dari makanan yang disuguhkan, penulis


menyaksikan pagelaran wayang dan memilih tempat yang nyaman untuk melihat
ditemani kopi dan polo pedhem. Ada rasa bangga dan haru karena bisa melihat
pagelaran secara langsung dan ditambah yang menjadi Dalang merupakan dosen
penulis sendiri dan hal tersebut merupakan kebanggan tersendiri bagi penulis. Dalam
pagelaran ini dalang memerankan lakon “Tumuruning Wahyu Cakraningrat”. Cerita
dari Tumuruning Wahyu Cakrangingrat sebenarnya merupakan cerita dari tigas
ksatria yaitu Raden Samba, Raden Lesmana, dan Raden Abimanyu yang berebut
untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat untuk dapat berkuasa dan bertakhta pada
suatu kerajaan. Disebutkan bahwa yang mendapat dan menguasai Wahyu
Cakraningrat, kelak keturunannya akan dapat menguasai Tanah Jawa. Dengan latar
belakang ini ketiga kesatria tersebut berlomba-lomba untuk mendapatkan Wahyu
Cakraningrat.

Raden Lasmana Mandrakumara ingin memiliki Wahyu Cakraningrat, dan dia


harus bertapa di hutan Gangga Warayang. Pada saat ditanya tentang
kesanggupannya bertapa di hutan, maka Raden Lasmana Mandrakumara menjawab
sanggup bertapa di hutan tersebut. Namun dia ingin agar dijaga paman-pamannya,
di antaranya adalah Sengkuni dan Drona. Yang paling penting bagi Lasmana
Mandrakumara adalah membawa minuman dan makanan dengan tujuan agar tidak
kelaparan pada saat bertapa meraih wahyu. Dengan demikian diri si tapa akan tenang
sehingga wahyunya nanti akan mudah menyatu ke tubuh (manjing sarira), itulah
pemikiran para sesepuh Hastina. Keberangkatannya di antar oleh para punggawa
prajurit berkuda dan Lasmana Mandrakumara naik Joli Jempana yaitu kereta yang
ditarik lebih dari dua ekor kuda. Setelah dia bersemedi selama beberapa waktu,
akhirnya dia mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Dengan rasa senang yang
menggelora dia beserta pengawalnya berpesta pora, dan kemudian pulang ke Hastina
dengan rasa bangga. Para pengawal merasa bangga akan pencapaian Raden Lesmana.
Namun ketika setengah perjalanan menuju Hastina, Raden Lasmana dan para
pengawalnya bertemu dengan orang yang membawa barang bawaan dan tidak mau
hormat kepada mereka semua. Merasa dirinya adalah bangsawan dan harus
dihormati, dengan congkaknya Raden Lesmana marah dan langsung menghajar
orang tersebut, para pengawal juga mengikuti perbuatan Sang Raden, tak lama
kemudian orang itu berubah wujud menjadi cahaya dan masuk kedalam tubuh Raden
Lesmana, dan kemudian keluar bersama Wahyu Cakraningrat. Sekeluarnya Wahyu
Cakraningrat dari tubuh Raden Lesmana, Sang Raden langsung pingsan dan lemas.
Kemudian Wahyu Cakraningrat melesat menuju ke angkasa.

Di sisi hutan yang lain, Raden Samba bertapa sama kerasnya untuk
mendapatkan Wahyu Cakraningrat, tak lama dia merasa bahwa Wahyu
Cakraningrat masuk kedalam tubuhnya. Seketika dia pulang menuju Dwarawati
dengan rasa congkak. Dia merasa bahwa dirinyalah segalanya karena sudah
mendapatkan Wahyu tersebut. ditengah perjalanan Raden Samba bertemu dengan
seorang gadis cantik dan seorang kakek tua, ketika bertemu Raden Samba kedua
orang tersebut langsung hormat kepada Raden Samba, dan kemudian Raden Samba
membalas hormat mereka. Kedua orang tersebut meminta untuk ikut Raden Samba,
namun Raden Samba hanya menerima gadis cantik tersebut, Raden samba menolak
orang tua yang mendampingi gadis tersebut dan menghina dan merendahkan orang
tua tersebut. Seketika kedua orang tersebut langsung berubah menjadi cahaya dan
merasuk dalam tubuh Raden Samba kemudian mengambil Wahyu Cakraningrat
dalam tubuhnya dan melesat keangkasa. Seketika Raden Samba merasa lelah lesu
dan merasa tidak ada harapan. Kemudian dia pulang dengan rasa menyesal dan
menyadari aka kesalahan yang dia perbuat.

Di lain tempat Raden Abimanyu bertapa berhari-hari untuk mendapatkan


Wahyu Cakraningrat. Dan akhirnya Raden Abimanyu pun mendapatkan hal-yang
didambakannya tersebut. Mengetahui keadaan tersebut Raden Lesmana berusaha
untuk merebut Wahyu Cakraningrat dari Raden Abimanyu, namun Raden Abimanyu
sudah kembali ke tempat asalnya. Dengan keadaan tersebut Wahyu Cakraningrat
manjing dengan Raden Abimanyu, karena Raden Abimanyu memiliki sifat yang
luhur dan mulia.

Menurut penulis, dari cerita diatas Wahyu Cakraningrat merupakan suatu


gelar atau kepercayaan dalam arti hal tersebut merupakan pangkat. Untuk
mendapatkan gelar Raja Sejati tidaklah mudah, harus memiliki sifat yang luhur dan
memiliki batin yang murni serta dapat mengendalikan ego nya. Seorang Raja Sejati
haruslah bisa mengendalikan dirinya, sanggup membawa keseimbangan dalam
jiwanya agar dapat memimpin dengan baik. Jikalau manusia yang terlalu berambisi
maka dia sebenarnya masih terikst dengan Egonya dan dapat juga dikendalikan oleh
Egonya. Hal tersebut dapat membahayakan rakyat yang dipimpin. Dengan dasar
seperti itu maka untuk menyandang Wahyu Cakraningrat adalah orang-orang yang
terpilih. Dalam cerita tersebut terdapat selingan juga cerita dari para Punokawan.
Dari yang bisa saya tangkap para punokawan membahas tentang modernisasi saat ini
dan bagaimana cara menyingkapinya dengan baik, serta memberikan wejangan-
wejangan yang menurut saya memiliki kedalaman tertentu.
Dari melihat pagelaran wayang yang sudah penulis lihat, penulis menemukan
suatu hipotesis tersendiri bahwa alasan pagelaran wayang diadakan semalam suntuk
adalah karena ketika penonton melihat semalam suntuk, penonton pasti akan merasa
mengantuk namun masih ingin tetap melihat. Dari situ keadaan manusia berada
dalam keadaan yang sangat rileks, keadaan memasuki gelombang Alpha yang
memiliki frekuensi 8Hz hingga 12 Hz. Gelombang Alpha merupakan gelombang
dimana menjembatani antara alam sadar dan alam bawah sadar, jika gelombang otak
dalam frekuensi tersebut maka proses belajar pun menjadi efektif. Sehingga orang-
orang akan mudah dalam menyerap pengetahuan dan ajaran yang terdapat dalam
pagelaran wayang.

Menurut penulis, strategi tersebut merupakan strategi yang sangat brilian yang
ditemukan oleh masyarakat Jawa. Namun yang menjadi ironi adalah ketika penulis
melihat masyarakat yang datang. Banyak sekali kursi kosong yang ada dan banyak
sekali makanan yang tidak termakan. Ini menandakan bahwa minat masyarakat
untuk melihat Pagelaran Wayang rendah. ini menjadi tamparan keras bagi generasi
muda dan penulis juga dikarenakan di zaman modern ini masyarakat sudah mulai
meninggalkan budaya yang dianut dikarenakan terkesan kuno, udik dan tidak
modern. Dengan demikian masyarakat akan kehilangan ke “Jawa”annya, hal ini tentu
sangat membahayakan bagi masyarakat Jawa sekarang diakrenakan masyarakat akan
tidak mengenal alasan mengapa mereka dilahirkan sebagai orang Jawa, karena
menurut penulis tidak ada sesuatu hal yang dibuat kebetulan di muka bumi ini,
semua sudah terencana. Jika kita dilahirkan sebagai orang Jawa setidaknya kita
belajar bagaimana menjadi orang Jawa dan menelisik alasan mengapa kita dilahirkan
menjadi orang Jawa. Dengan keadaan demikian kita akan menemukan suatu
kemurnian dan dan akhirnya dapat mengenal Yang Maha Kuasa, penulis merujuk
pada Hadist Qudsi yang berbunyi “barangsiapa yang mengenal dirinya, maka akan
mengenal Tuhannya”. Semoga tulisan penulis ini bermanfaat dan menjadi sebuah
inspirasi dikedepannya, Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai