Anda di halaman 1dari 5

2.

1 VOKASI DAN KARIR DALAM BIDANG FARMASI

Instansi Pemerintah Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang


paling banyak menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian pula Bidang
Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor Wilayah Dep.Kes dan jajaran
Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama
Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan, bimbingan dan
pengendalian. Sejak tahun 2000, telah terjadi perubahan struktur, Direktorat Jendral POM
tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan POM yang
bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur Balai
(besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan POM, tidak
berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi. Departemen HANKAM, juga memerlukan
Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat
kesehatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan
dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang
Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi
lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA
(Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu
program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi
pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta
perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang
dapat dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan
khusus dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri
Kesehatan di daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
5. 2.2 Farmasi sosial dan Kebijakan hukum kefarmasian di Indonesia Dari penjelasan diatas kita
bisa menarik kesimpulan bahwa farmasi sosial memiliki cakupan yang sangat luas sehingga kita
tidak membatasinya „hanya‟ pada tataran kebijakan hukum farmasi di Indonesia. Tetapi benar
bahwa hasil penelitian dibidang farmasi sosial harus dijadikan dasar dalam pembuatan aturan
main di bidang kefarmasian. Lahirnya kebijakan yang tidak mendukung eksistensi apoteker di
Indonesia tidak hanya disebabkan karena kurangnya pendidikan farmasi sosial. Kasus UU
praktek kefarmasian misalnya sebagai contoh. Isu undang-undang ini hilang ditelan bumi dengan
lahirnya PP 51 tahun 2009, seolah-olah kita sudah puas dengan mendapatkan PP tersebut. Jika
kita melihat konten UU praktek kedokteran dan PP 51 maka kita akan menyadari bahwa isinya
dominan sama mengenai hal-hal yang diatur (mungkin UU kedokteran dijadikan colap ?). Lalu
mengapa yang satu dalam bentuk UU yang satu bentuknya PP ?. Diresmikannya UU praktek
keperawatan saya pikir bisa menjadi pelajaran berharga dan bisa membantu kita menjawab
mengapa kita belum mampu memiliki UU sendiri. Apakah benar hanya karena kita kekurangan
mata kuliah farmasi sosial ? Disini saya mau mengajak untuk membedakan tataran sosial dan
politik dalam sebuah aturan. Kita memang lemah dalam tataran sosial tetapi jika kita tarik ke
masalah hukum maka jelas penyebabnya adalah kekurangan kita dalam bidang politik
(farmakopolitik ?). Kurang kompaknya para apoteker menjadi salah satu sebab lemahnya nilai
tawar apoteker secara politik. IAI sebagai wadah bertemunya ide-ide besar yang harus dibawa
untuk diperjuangkan, nyatanya belum mampu diterima dan dirasakan secara penuh kehadirannya
oleh para apoteker. Teman-teman sejawat apoteker yang masuk ranah politik bisa dihitung jari
dan jikapun mereka mampu berperan secara nasional maka pastinya mereka lebih tersandera oleh
kepentingan partai daripada profesi. Inilah realita perpolitikan di Indonesia. Sebenarnya kita
punya perwakilan dibidang pemerintahan (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes, Depkes RI) yang
saya nilai bisa memberikan andil besar dalam mempengaruhi kebijakan. Tetapi sampai saat ini
sepertinya belum maksimal (mohon saya dikoreksi), buktinya SJSN seolah-olah tidak
menghargai eksistensi apoteker.

6. 2.3 Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan Apoteker Sejak dikeluarkannya PP 25/80


diwajibkan kepada para Apoteker untuk mengikuti pelatihan tambahan sebagai Apoteker
Pengelola Apotik (APA). Dengan dikeluarkannya PP tersebut maka kemampuan dan
keterampilan Apoteker sebagai Pengelola Apotik perlu ditingkatkan, khususnya dalam bidang
manajemen, komunikasi personal, farmakologi dan kewiraswastaan dalam rangka peningkatan
kemampuan dalam pengabdian profesi di Apotik. Pelatihan ini dilaksanakan untuk semua
Apoteker yang sudah mempunyai izin kerja dengan pemberian sertifikat Apoteker Pengelola
Apotik (APA). Setelah itu pada tahun 1984 materi kompetensi APA itu diintegrasikan ke dalam
kurikulum pendidikan Apoteker. 2.4 Apoteker lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya
Perkembangan farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di bidang
kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara di dunia,
termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health for All by the year
2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang melibatkan seluruh negara untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya, suatu derajat kesehatan yang memungkinkan
seluruh anggota masyarakat memperoleh kehidupan yang produktif secara sosial maupun
ekonomis. Semboyan tadi dirumuskan melalui suatu konsep bernama “Primary Health Care”
dalam konperensi internasional di Alma Atta 1978, sehingga konsep itu dikenal dengan nama
Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini merupakan kunci dalam pencapaian tujuan pengembangan
sosio-ekonomi masyarakat dengan semangat persamaan hal dan keadilan sosial. Perkembangan
terakhir pengembangan di bidang kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma
Sehat”. Paradigma sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana mempertahankan
keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang sudah menjadi tugas rutin bidang
kesehatan. Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi bagian dari bidang kesehatan, juga
harus mengikuti perkembangan yang terjadi di bidang kesehatan. The American Society of
Colleges of Pharmacy (AACP) [1] mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan
(knowledge system) yang merupakan bagian dari

7. pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi
secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan
pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di Jakarta bulan
Maret 1986 [9] oleh suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi
Farmasi sebagai berikut : Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi
dan sosial budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan
melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan
pengetahuan tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan
pengaruh obat pada manusia dan hewan. Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem
pengetahuan seperti diuraikan di atas, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang
relevan dari ilmu biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini
dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan. Sebagian besar kompetensi farmasi ini
diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara profesional bagi yang
membutuhkannya. Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional
dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan
mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan
dan kesejahteraan umum masyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi,
karena penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif
maupun secara kualitatif dalam setiap upaya kesehatan.

PenyusunanRenaksiPengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (PMK No. 17


th2017)

Meningkatkan produktifitas dan daya saing melalui upaya kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan industriprioritas agar dapat memenuhi kebutuhan nasional, perlu mendorong
industry farmasidan alat kesehatan;

1. Untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan produksi alat kesehatan, bahan baku
obat, dan bahan baku obat tradisional;dan
2. Meningkatkan koordinasi dan sinergisme antar pemangku kepentingan dalam
pengembangan industri farmasi Indonesia.

Pasal3

Pengembangan industry farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan dengan mempertimbangkan


kapabilitas industrifarmasi dan alat kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang registrasi obat
Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2007, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundangundangan
Terkait Apotek termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek
Rakyat, Edisi Revisi, Penerbit USD, Yogyakarta
Khairina, 2007, Awas, obat palsu mengintai kita, http://medicastore.com/med/artikel.php?
id=191, diakses pada 18 September 2010
Rochmi, 2010, Jangan Sesat Beli Obat,
http://gresnews.com/ch/National/cl/Sepekan/id/1446937/Jangan+Sesat+Beli+Obat,
diakses pada 15 September 2010
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai