Disusun Oleh:
Aku bingung. Semua orang menatapku sedih. Bahkan tidak sedikit yang menangis. Aku
masih termenung. Mama tidak menjawabku. Apakah mama marah padaku? Apakah aku tidak
melakukan permintaan mama? Aku rasa mama tidak memintaku apa-apa. Mama juga tidak
melarangku melakukan sesuatu. Tadi malam, mama hanya memintaku untuk jadi anak yang
kuat dan bermanfaat bagi orang lain. Hanya itu. Dan aku sudah menepati permintaan mama.
Tadi pagi aku membantu Tante Sekar mengisi ember-ember hitam besar. Tante Sekar bilang
air itu untuk mandiin mama.
Tapi kenapa mama tidak juga menjawabku? “Ma…” aku memanggil mama lagi. Tapi mama
masih diam. Bahkan tidak mau membuka mata. Aku bingung. Aku menatap Tante Sekar
yang sekarang menangis sambil memelukku. “Apa Mira nakal Tante?” Tanyaku padanya.
Tante Sekar menggeleng dan malah semakin menangis. “Tapi kenapa mama tidak mau
menjawabku?” Tanyaku lagi.
“Tante yakin Mira gak nakal?” Tanyaku lagi. Tante Sekar menggeleng. “Tapi kenapa mama
sama papa tidak mau ketemu Mira lagi? Kenapa mama sama papa tidak mengajak Mira pergi
sama-sama? Mira takut sendirian.” Aku menangis. Aku takut. Tante Sekar semakin
memelukku erat. Kemudian mengecup keningku lagi.
Orang-orang mengangkat tubuh mama. Ada Pak Kasim, Mas Teo, Om Deni, dan beberapa
tetangga lain. Mereka membawa mama keluar rumah. Apa mereka mau membawa mama
pergi? Ke mana mereka mau membawa mama pergi? Tante Sekar menggendongku mengikuti
mereka. Orang-orang mengikuti kami.
Tante Sekar mengajakku pulang. Aku diam saja ketika Tante Sekar mengajakku menjauhi
mama. Aku bingung. Kenapa Tante Sekar bohong sama Mira? Mama tidak pergi. Mama
masih ada di sana. Di bawah gundukan tanah itu. Mama terkurung di sana. Bagaimana
mungkin mama bisa pergi menemui papa? Tante Sekar bohong. Mama masih ada di sana.
Aku yakin.
Sorenya, orang-orang kembali berdatangan. Aku sudah mandi. Sudah berganti pakaian. Aku
melakukannya sendiri. Mama bilang mama bangga Mira bisa mandi dan berganti pakaian
sendiri. Tante Sekar sibuk menemui orang-orang. Aku bosan duduk terus. Aku teringat
mama. Mama masih ada di sana. Akhirnya aku putuskan untuk menemui mama.
Jalan itu sangat sepi. Aku bahkan tidak bertemu satu orang pun. Pak Kasim yang biasanya
berjaga di pos ronda juga tidak ada di tempat. Setelah sampai di sana, aku menghampiri
mama.
“Ma… maafin Mira ya kalau Mira nakal. Mira janji gak akan nakal lagi. Mama pulang ya? Di
rumah banyak orang. Gak sepi lagi kayak dulu. Mama pulang ya?” Mama tidak menjawab.
Aku menunggu lama sekali, tapi mama masih tidak menjawab. Aku lelah. Aku mengantuk.
Aku kemudian tiduran di samping mama.
Aku mendengar mama memanggilku dari arah dapur. Menyuruhku bersiap untuk sekolah.
Aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Lalu ke dapur untuk sarapan. Mama tidak ada di
sana. Di dapur tidak ada siapa-siapa. Lampunya juga masih mati. Mungkin mama di kamar
mandi.
Aku ke kamar mama. Tapi juga tidak ada orang. Di kamar mandi mama juga tidak ada. Aku
kembali ke meja makan. Mungkin mama baru membangunkan Tante Sekar. Sebentar lagi
pasti ke sini. Tapi mama tidak datang juga. Aku ke kamar Tante Sekar. Tante Sekar masih
tertidur. Aku naik ke tempat tidurnya. Menatap Tante Sekar. Mama pernah bilang kalau Mira
harus jadi anak yang baik. Tidak boleh merepotkan Tante Sekar. Aku janji tidak akan
merepotkan Tante Sekar. Tante Sekar baik. Sayang sama Mira. Mira akan jadi anak baik
untuk Tante Sekar.
Tante Sekar terbangun dan menatapku. Tante Sekar menangis lagi. Aku tidak mau melihat
Tante Sekar sedih. Aku menghapus air mata Tante Sekar. Dan mencium kedua pipinya. Tante
Sekar memelukku. Tapi malah semakin menangis. “Tante Sekar jangan sedih. Kalau Tante
Sekar sedih, Mira juga sedih”.
1. Pengertian Implikatur
2. Jenis Implikatur
Menurut Grice dalam Rani (2006), setidaknya ada dua macam implikatur,
yaitu:
Contoh:
“Mama kamu mau pergi sayang. Mama mau ketemu sama Papa. Mau
ketemu sama Tuhan. Dan tidak bisa ke sini lagi.” Kata Tante sekar.
Contoh:
“Tante Sekar jangan sedih”. Implikasinya Tante sekar tidak boleh menangis.