Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PAI SEJARAH PERADABAN ISLAM


Peradaban Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan &
Ali bin Abi Thalib

Disusun Oleh :
Kelompok 3

Irham Rahman Hakim 10060316027


Susmawati 10060316032
Shintya Amalia Safira 10060316045

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1440 H/2018 M
PAI SEJARAH PERADABAN ISLAM
Peradaban Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan &
Ali bin Abi Thalib

I. Pendahuluan
Puja dan puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT, atas karunia dan
nikmatnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca walaupun
penulis sadari masih banyak kekurangan mengutip dari tulisan Prof. Azumardi
Azra “jikalau semua buku dibuat sesempurna mungkin, maka hanya akan sangat
sedikit buku yang tercetak di muka bumi ini, karena tiap penulis selesai menulis
tulisanya maka dia akan menemukan kekurangan di dalam tulisanya”.
Shalawat serta salam tidak lupa kita junjungkan kepada kehadirat nabi
Muhammad SAW, yang telah member panutan kepada kita.
Dalam tulisan ini kami menuliskan tentang sejarah peradaban islam pada
masa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Setelahnya Nabi
Muhammad wafat, proses pergantikan kepemimpinan terus terjadi, setelah Abu
Bakar berakhir memimpin sebahai khalifah, kemudian digantikan dengan Umar
Ibn Khatab. Kedua pemimpin besar ini telah menamcapkan pengaruhnya dengan
mengeluarkan berabgai kebijakan yang sangat strategis demi kemajuan umat
Islam, hingga akhirnya khalifah Umar Ibn Khatab meninggal dunia.
Sepeningalnya Umar ibn Khatab proses pergantian kepemimpinan Negara pun
tidak berhenti, maka dilanjutkan dengan para penerusnya. Mereka ini termasuk
dalam golongan khulafaurrasyidun, yakni khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai sejarah pradaban Islam pada
masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pembahasan akan dimulai dengan
proses terpilihnya kedua khalifah ini menjadi khalifah (kepala Negara), kebijakan-
kebijakan hingga pada akhirnya mereka meninggal dunia. Pembatasan
pembahasan ini sengaja dilakukan, agar lebih terfokus dalam melakukan
pembahasan juga memberikan peluang kepada yang lainnya untuk mebahas lebih
lanjut.
II. Peradaban Islam Pada Masa Khalifah Ustman Bin Affan
A. Khalifah Ustman bin Affan
1. Latar belakang Pengangkatan Ustman bin Affan
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya
ialah Utsman ibn Affan bin Abil Ash Umayyah dari suku Quraisy. Ia
memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang
sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan
sebagian harta kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia
mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya
karena menikahi dua putri Nabi SAW secara berurutan setelah yang
satu meninggal. (Gibb, 1961:453)
Ia juga merasakan penderitaan yang disebabkan oleh tekanan
kaum Quraisy terhadap muslimin di Mekah, dan ikut hijrah ke
Abesinia beserta istrinya. Ustman menyumbang 950 ekor unta dan 50
bagal serta 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk melawan Bizantium di
perbatasan Pelestina. Ia juga membeli mata air orang-orang Romawi
yang terkenal dengan harga 20.000 dirham untuk selanjutnya
diwakafkan bagi kepentingan umat Islam, dan pernah meriwayatkan
hadis kurang lebih 150 hadis.
Seperti halnya Umar, Ustman diangkat menjadi
khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih atas
penunjukan langsung sedangkan Ustman diangkat atas penunjukan
tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk oleh Umar
menjelang wafatnaya.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari
enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka
untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Ustman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi
Waqqas, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia
hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Melalui persaingan yang ketat dengan Ali, sidang Syura
akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Ustman bin Affan.
Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di
zaman para khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat
tidak seluruh masa kekuasaanya menjadi saat yang baik dan sukses
baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Ustman
menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama merupakan masa
kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa
pemerintahan yang buruk.
Dari wacana diatas dapat disimpulkan bahwa latar belakang
pengangkatan Khalifah Ustman bin Affan berawal dari pergantian
masa kekhalifahan Umar bin Khattab setelah wafatnya, melalui proses
pemilihan tidak langsung, yaitu melewati badan Syura yang dibentuk
oleh Umar menjelang wafatnya.(Gibb,1961:460)

2. Peradaban Islam masa Ustman ibn Affan


a. Politik dan pemerintahan (Harun,1985:310)
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah,
khalifah ustman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk
setiap wilayah atau propinsi pada masanya kekuasaan wilayah
madinah dibagi menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan legislative
dipegang oleh Dewan Penasehat Syura, tempat khalifah mengadakan
musyawarah dengan para sahabat terkemuka. Prestsai tertinggi masa
pemerintahan Usman sebagai hasil majlis syura adalah menyusun al-
quran standar, yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan Al-Quran.Untuk
mengisi baitul mal diperoleh dari alfarz, usyri, usyur, zakat dan jizya.
Umar juga melengkapinya dengan beberapa jawatan. Utsman
paling berjasa dalam membangun bendungan untuk menjaga arus
banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan
memperluas masjid Nabi di Madinah. (Hasan,1989:167)
b. Militer ( perluasan wilayah, pembangunan kapal dan armada
laut)
Masa pemerintahan khallifah Utsman tidak terputus dengan
rangkaian penaklukan yang dilakukan kaum Muslimin pada masa
pemerintahan khalifah Umar. Ketika itu Armenia, Afrika, dan Cyprus
telah dikuasai. Kaum muslimin terus memperkokoh kekuatan di Persia
yang telah takluk ditangan mereka sebelumnya.Perluasan itu meliputi
bagian pesisir pantai atau kelautan, karena pada saat itu kaum
muslimin telah memiliki armada laut. (Harun,1985:255)
Pada pemerintahan Utsman negri Tabaristan berhasil
ditaklukan oleh Sa`id bin Ash. Dikatakan , bahwa tentara Islam dalam
penaklukan ini telah meyertakan Al-Hasan dan Al-Husain, kedua putra
Ali, begitu pula Abdullah bin Al-Abbas, `Amr bin Ash, dan zubair bin
Awwam. Pada masa pemerintahan usman pun kaum muslimin berhasil
memaksa raja Jurjun untuk memohon berdamai dari Sa`ad bin Ash dan
untk ini ia bersedia menyerahkan upeti senilai 200.000 dirham setiap
tahun kepadanya.
Termasuk juga menumpas pendurhakaan dan pemberontakan
yang terjadi dibeberapa negri yang telah masuk kebawah kekuasaan
Islam dizaman Umar. Pendurhakaaan itu ditimbulkan oleh pendukung-
pendukung pemerintah yang lama atau dengan kata lain pemerintahan
sebelum daerah itu berada dalam kekuasaan Islam, mereka hendak
mengembalikan kekuasaannya. Daerah tersebut antara lain adalah
Khurasan dan Iskandariah.
Pada tahu 25 H. Penguasa di Iskandariyah mengingkari
perjanjiaan dengan Islam, karena mereka dihasut oleh bangsa Romawi
yang menjanjikan mereka bermacam-macam janji yang muluk-muluk.
Maka Utsman memerintahkan gubernur Amru bin Ash yang ketika itu
menjabat sebagi penguasa di Mesir untuk memerangi Iskandariyah,
sehingga Akhirnya penguasanya mengutus dutanya untuk membuat
perjanjain dan kembali tunduk kepada kerajaan Islam di Madinah.
Pada tahun 31H penduduk Khurasan mendurhaka sehingga
Utsman mengirim Abdullah bin Amir, gubernur Basrah, bersama
sejumlah besar tentara untuk menaklukkan kembali mereka. Terjadilah
perang antara tentara Islam dengan penduduk Merw, Naisabur, Nama,
Hirang, Fusang, Bigdis, Merw As-Syahijan, dan lain-lain dari
penduduk wilayah Khurasan. Dalam perang ini kaum muslimin
berhasil menaklukan kembali wilayah Khurasan.Secara singkat
daerah-daerah selain dari dua ini yang telah dikuasai pada masa
Utsman adalah: Azerbaijan, Arminiyah, Sabur, Afrika Selatan,
Undulus ( Spain), Cyprus, Persia, dan Tabristan. (Gib, 1961:467)
Menurut para ahli sejarah mereka berpendapat bahwa zaman
pemerintahan khalifah Utsman bin Affan sebagai Zaman keemasan
dimana tentara Islam mendapat kemenagan yang luar biasa, satu demi
satu, dan mereka dapat mengusai banyak dari negri-negri yang
dahulunya berada dibawah kekuasaan Romawi Persia dan juga Turki.
Secara singkat umat Islam pada saat itu telah sampai pada puncak
kekuasaan dan kekuatan dibidang kemiliteran, yang tidak diraih oleh
zaman-zaman sesudahnya. (Jaih, 2005:255)

c. Sosial Kemasyarakatan
Dalam hal ini Ustman berkata : “Pada saat pencapaianku
menjadi khalifah, aku adalah pemilik kambing dan unta yang paling
banyak di Arab. Hari ini aku tidak ada unta kecuali yang digunakan
dalam ibadah haji. Tentang penyokong mereka, aku memberikan
kepada mereka apapun yang dapat aku berikan dari milikku pribadi.
Tentang harta kekayaan negara, aku menganggapnya tidak halal, baik
bagi diriku sendiri maupun orang lain. Aku tidak mengambil apa pun
dari kekayaan negara, apa yang aku makan adalah hasil nafkahku
sendiri.
Al-Hakim mengeluarkan hadis dari Abdurrahman bin Samurah,
dia berkata, Ustman bin Affan menemui Nabi untuk menyerahkan
seribu dinar, ketika beliau sedang mempersiapkan pasukan perang
yang sedang menghadapi masa paceklik. Ustman menyerahkan uang
itu dirumah beliau. Sambil membolak-balikkan uang itu, beliau
bersabda, Ustman tidak akan melarat karena apa yang dikerjakannya
setelah hari ini. Beliau mengucapkannya hingga beberapa kali.
(Gibb,1961:470)

d. Pembukuan Al-Quran (Mush-haf Ustmani)


1) Motif Pengumpulan Al-Quran Pada Zaman Ustman.
Pada masa Abu Bakar, tugas pengumpulan Al-Quran telah
selesai dengan baik dikerjakan oleh tim Zaid bin Sabit. Kekuatiran
bahwa Al-Quran akan lenyap dengan wafat atau syahidahnya para
sahabat yang hapal Al-Quran tidak ada lagi. Umat Islam merasa
tentram terhadap kitab sucinya dan terpelihara dengan baik.
Pada masa Umar bin Khattab, tugas pengumpulan dan
penyempurnaan Al-Quran itu tidak dilanjutkan. Boleh jadi Khalifah
menganggap masih banyak persoalan penting lainnya yang harus
diselasaikan. Fokus perhatian khalifah waktu itu adalah bidang
penyiaran agama Islam dengan sendirinya mengurangi waktu dan
enersi. Berturut-turut dalam waktu 10 tahun seluruh semenanjung
Arabia, Suriah, Irak, Parsi (Iran sekarang), Pelestina, Mesir, Khurasan,
dan lain-lain, sudah berada di bawah panji-panji Islam.
(Hasan,1989:177)
Umar wafat, sedangkan Al-Quran masih belum sempurna
dibukukan, sekalipun tidak ada kekuatiran ayat-ayat suci tersebut akan
hilang karena tersimpan dengan rapih di rumah Khalifah.
Pada masa Ustman, wilayah kekuasaan khalifahsemakin luas.
Selain yang sudah diselasaikan pada masa Umar, Ustman melanjutkan
tugas penyiaran agama Islam. Daerah-daerah Afrika Utara, Asia
Tengah, dan lain-lain dimasuki oleh para juru dakwah Islam. Karena
semakin luasnya daerah Islam dan semakin beraneka ragam bangsa-
bangsa non Arab yang memeluk agama Islam. Persoalan yang
berhubungan dengan kitab suci Al-Quran muncul kembali, menurut
keadaan waktu itu.
Diceritakan oleh Bukhari dari sahabat Huzaifah ibnu Yaman
yang dapat dianggap sebagai motif yang mendorong khalifah Ustman
mengumpulkan dan menyeragamkan penulisan Al-Quran. Abu
Huzaifah kebetulan ikut berperang bersama prajurit Islam lainnya pada
pertempuran Armenia dan Azerbaijan, dan kemenangan diperoleh
umat Islam. Selesai pertempuran Abu Huzaifah menghadap khalifah.
Dia menceritakan pengalamannya sehubungan dengan Al-Quran. Dia
melaporkan bahwa dewasa ini mulai timbul gejala-gejala perbedaan
pendapat mengenai soal qira’at Al-Quran dikalangan umat Islam.
Hal ini segera ini ditanggapi oleh khalifah. Ia mengirim utusan
kepada Hafsah binti Umar (istri Rasulullah SAW) untuk meminta
mushaf yang disimpan dirumahnya. Hafsah memenuhi permintaan itu,
dan berdasarkan mushaf yang asli dan otentik itulah, Ustman mulai
bekerja. Zaid yang waktu itu masih hidup, ditunjuk oleh Ustman
sebagai ketua tim pembukuan Al-Quran dengan anggota-anggotanay.
Ustman menggariskan kerja tim Zaid ini sebagai tersebut dalam
amanahnya :
ٍ ‫سان قُ َر‬
‫يش فإنه إَنما نُز َل‬ ِ ‫ابت فِي شيئ ِمنَ القُرآن فالكتُبوه ِب ِل‬
ْ َ ‫إذا اختلفتم اَنت ْم َوزَ ْيد ُ ْبنُ ث‬
‫ِب ِلسانه ْم‬
Artinya : “Apabila kalian berbeda pendapat denganZaid bin Sabit
mengenai sesuatu yang menyangkut Al-Quran,
hendaklah kalian tulis ia dengan bahasa Quraisy, sebab
sesungguhnya ia diturunkan dengan bahasa mereka.
Dengan demikian, Ustman menetapkan bahasa Quraisy sebagai
bahasa standar dalam soal penulisan, dan perbedaan. Dalam
penyusunan ini dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perebedaan
serius dalam bacaan Alquran.
2) Beberapa Hal Tentang Mushaf Ustman
Hasil usaha tim Zaid yang diserahkan kepadakhalifah itu
selanjutnya disebut mushaf Al Imam atau lebih dikenal sebutan
“Mushaf Ustmani”
Ada lima persoalan tentang tuduhan orientalis terhadap
penyusunan Mushaf Ustmani ini, yaitu :
a) Perbedaan qiraat yang mulai muncul di kalangan Islam waktu itu,
merupakan motif utama yang mendorong Ustman melaksanakan
tugas ini. OrientalisSchwally atau Blachare berusaha menyoroti
pekerjaan Ustman ini secara tidak wajar.
Dia berpendapat bahwa yang mendorong ustman menyalin Al-
Quran dan meminjamnya dari Hafsah adalah factor
kebangsawannya dan kedudukannya sebagai khalifah yang berasal
dari kalangan golongan elite mekkah, yang merasa sebagai
keluarga yang baik waktu itu. Sangat disayangkan sumber dari
pandangan orintalis ini adalah sebuah karya yang ditulis oleh Abu
Daud yang menamakan tim Zaid ini dengan “komisi empat” atau
Komisi Dua (Zaid dan Sa’id ibn ‘As), atau Komisi Sepuluh.
Blachere menetapkan pekerjaan Zaid ini dimulai pada tahum 30 H,
padahal menurut riwayat yang kuat dimulai pada tahun 25 H. lagi
pula Blachere memasukkan nama sahabat Ubay bin Ka’ab dalam
tim ini, sedangkan Ubay, ketika Ustman mulai memerintah, sudah
meninggal dunia. Jelasnya kita tetap beranggapan bahwa maksud
baik Ustman dengan pekerjaan yang mulai ini adalah sama dengan
maksud Abu Bakar, bukan karena motif politik, kebangsawanan,
dan sebagainya.
b) Bahwa tim yang dibentuk Ustman terdiri dari empat orang. Zaid
memaang berasal dari Madinah (Sahabat Ansor), sedangkan tiga
orang lainnya sebagai anggota tim berasal dari Mekah (Abdullah
bin Zubeir, Sa’ad bin ‘As, Abdurrahman bin Haris). Sekalipun
Zaid bukan orang Mekah (Quraisy) melainkan sahabat Ansar,
namun ketelitian, kejujuran dan I’tikad baiknya terhadap pekerjaan
yang sudah bertahun-tahun dilakukannya tidak diragukan lagi.
Apalagi Ustman telah menginstruksikan, kalau timbul perbedaan
qira’at atau cara penulisan antara ketiga tim itu dengan dengan
ketuanya (Zaid), maka Al-Quran harus ditulis dengan dialek dan
ejaan bahasa Arab Quraisy. Tentu saja perintah khalifah itu
bertujuan memelihara kemurnian Al-Quran dalam segala aspeknya.
Andaikata Ustman memang terpengaruh oleh sifat
ekslusifismennya sebagai keturunan Quraisy sebagaimana
dituduhkan oleh orientalis Blachere, tentulah dia tidak akan
mengangkat Zaid sebagai tim ketua tim penulisan Al-Quran sebab
Zaid bukan keturunan Quraisy.
c) Tim yang empat orang ini bekerja menyalin mushaf yang ada
ditangan Hafsah. Mushaf inilah yang telah disusun pada zaman
Abu Bakar. Abu bakar menunjuk Zaid sebagai ketua tim penulisan
Al-Quran yang memang sudah menekuni bidang ini semenjak
masa Rasulullah SAW. Jadi sedikitpun tidak diragukan lagi
kebenaran naskah yang disusun atas perintah Ustman ini.
d) Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab Quraisy. Bahasa itulah
yang paling tepat untuk penulisan Al-Quran menurut jalan pikiran
Ustman. Itulah yang tepat dan benar. Oleh karena itu kalau terjadi
perbedaan pendapat antara Zaid sebagai ketua tim dengan tiga
orang anggotanya yang keturunan Quraisy, makaperbedaan itu
harus diakhiri dengan menulis Al-Quran menurut kaidah bahasa
Quraisy.
e) Ustman memerintahkan menyalin mushaf Abu Bakar (yang
adapada Hafsah) sebanyak 5 kopi. Empat kopi dikirim kepada
penguasa di Mekah, Kufah, Basrah, dan Suriah, aslinya dipegang
oleh Ustman sendiri. Setelah itu beliau memerintahkan kaum
muslimin membakar semua catatan-catatan yang ada selain
mushaf dan beliau memerintahkan agar Al-Quran dibaca menurut
qira’at yang terdapat dalam materi mushaf Ustmani atau Mushaf
Imam. (Departemen Agama, 1987:151)
Dari keterangan di atas jelas bahwa meskipun Ustman telah
berusaha mengumpulkan Alquran dengan niat yang baik, namun masih
ada juga tanggapan buruk dari mereka yang mau mengacaukan
kebenaran Islam. Kemudian khlalifah Ustman ingin menegaskan
bahwa Mushaf Ustman adalah salinan dari mushaf yang asli secara
sah, digunakan sebagai pegangan bagi umat dengan mushaf yang
sudah teratur dan sempurna, sehingga segala perbedaan yang
timbul dalam soal qira’at dan lain-lain dapat dikendalikan.
(Departemen Agama, 1987:151)
3. Akhir Pemerintahan Ustman: Tuduhan Nepotisme dan
Terbunuhnya Ustman.
Ustman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah
orang yang baik dan soleh. Namun, dalam banyak hal kurang
menguntungkan, karena Ustman terlalu terikat dengan kepentingan-
kepentingan orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan
Bani Umayyah. Kemenangan Ustman sekaligus adalah suatu
kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani
Umayah. Oleh karena itu, Ustman berada dalam pengaruh dominisi
seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki
oleh anggot-anggota keluarga itu.
Kelemahan dan nepotisme telah membawa khalifah kepuncak
kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi
pertikaian yang mengerikan di kalangan umat Islam.
Ketika Ustman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu
khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri
dan intrik menjadi sekretaris utamanya, segera timbul mosi tidak
percaya dari rakyat. Begitu pula dengan penempatan Muawiyah, Walid
bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur
Suriah, Irak dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi
tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat khalifah memperoleh harta
pribadi dengan memngorbankan kekayaan umum dan tanah negara.
Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan
sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih
tanah negara Suriah dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk
mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli untuk dirinya
dan lain-lain.
Dari berbagai kecaman tersebut, khalifah telah berupaya untuk
membela diri dan melakukan tindakan politis sebatas kemampuan.
Tentang pemborosan uang negara misalnya, Ustman menepis keras
tuduhan keji itu. Benar jika dikatakan ia banyak membantu saudara-
saudaranya dari Bani Umayah, tetapi itu diambil dari kekayaan
pribadinya.
Sama sekali bukan dari kas negara, bahkan khalifah tidak
mengambil gaji yang menjadi haknya. Pada saat menjadi khalifah
justru Ustman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki
digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh
waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin,
sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mengumpulkan harta seperti
di masa sebelum menjadi khalifah.
Rasa tidak puas terhadap khalifah Ustman seamkin besar dan
menyeluruh. Pemberontakan pun terjadi dan berhasil mengusir
gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600
orang Mesir itu berarak-arakan menuju ke Madinah. Para pemberontak
dari Basrah dan Kufah bertemu dan menggabungkan diri dengan
kelompok dari Mesir.
Khalifah pun menuruti kemauan mereka dengan mengangkat
Muhammad bin abu Bakar sebagai gubernur di Mesir. Mereka puas
dengan keputusan khalifah tersebut dan pulang ke negeri mereka
masing-masing.
Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak menemukan surat
yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil
itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu
ditulis oleh sekretaris khalifah yaitu Marwan bin Hakam, sehingga
mereka meminta kepada khalifah untuk menyerahkan Marwan bin
Hakam. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah, tetapi mereka tidak
menerimanya. Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya
ketika Ustman membaca Alquran pada tahun 35 H/17 Juni 656 M.
Dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan khalifah
Ustman bin Affan,setelah itu kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi
Thalib, menjadi khalifah yang keempat setelah Abu Bakar, Umar dan
Ustman. (Gibb, 1961:481)

B. Khalifah Ali Ibn Abi Thalib


1. Latar Belakang Pengangkatan Ali ibn Abi Thalib
Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah
keponakan dan menantu nabi. Ali adalah putra Abi Thalib bin Abdul
Muthalib. Selang beberapa hari pembunuhan Ustman, stabilitas
keamanan kota Madinah menjadi rawan. Gafiqy bin Harb memegang
keamanan ibu kota Islam itu selama kira-kira lima hari sampai
terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib tampil
menggantikan Ustman, menerima baiat dari sejumlah kaum muslimin.
Kota Madinah saat itu sedang kosong, para sahabat banyak
yang berkunjung kewilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Sehingga
hanya beberapa sahabat yang masih berada di Madinah, antara lain
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan tidak
semua sahabat tersebut menyokong Ali, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas
dan Abdullah bin Umar.
Oleh karena itu, Ali pun menanyakan keberadaan mereka
karena merekalah yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi
khalifah lantaran keseniorannya dan mengikuti perang Badar. Maka
muncullah Thalhah, Zubair, dan Sa’ad membai’at Ali yang kemudian
diikuti oleh banyak orang, baik dari kalangan Anshar maupun
Muhajirin.
Dengan demikian penyebab dari pengangkatan Ali bin Abi
Thalib diangkat menjadi khalifah karena khalifah Ustman telah wafat
akibat dari kasus pembunuhan, dan keamanan kota Madinah pun
menjadi rawan. Oleh karena itu diangkatlah Ali untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ada . selanjutnya sebagaimana
diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib adalah kemenakan dan menantu
Nabi. Untuk selanjutnya partai Syiah selalu mengklaim bahwa mereka
merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad. Oleh karenanya
merekalah yang berhak atas semua kepemimpinan Islam sampai akhir
zaman. (Jaih,2005:223)
2. Peradaban Islam Masa Ali Ibn Abi Thalib
a. Politik dan pemerintahan
Tugas pertama yang dilaukukan oleh khalifah Ali ialah
menghidupkan cita-cita abu Bakar dan Umar, menarik semua tanah
dan hibah yang telah dibagikan oleh Ustman kepada kaum kerabatnya
ke dalam kepemilikannegara. Ali juga segera menurunkan semua
gubernur yang tidak disenangi rakyat. Ustman bin Hanif diangkat
menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir,dan Qais bin Sa’ad
dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur oleh Abdullah.
(Departemen Agama, 1987:222)
Ketika kekhalifahan dipegang oleh khaliafh Ali, pusat
pemerintahan tetap berpusat di Madinah. Namun keluarga Ustman
telah memulai tradisi baru dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu
mendirikan kekhalifahan Umayah sebagai tandingan, yang berpusat di
Damaskus. Ini adalah awal munculnya gejela ashobiyah atau
pemerintahan dinasti. Di samping itu, sebuah tradisi baru dalam proses
suksesi telah dimulai pula, yaitu dengan makar dan pembunuhan
politik.
Tampaknya kondisi politik dan pemerintahan pada masa Ali
banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, seperti proses
pergantian khalifah dengan cara makar dan pembunuhan politik.
Sementara itu para amir di daerah pendudukan telah memilih berdiri
sendiri dan menegakkan pemerintahan sendiri lepas dari kontrol
pemerintahan pusat di Madinah maupun Damaskus, sehingga timbul
pulalah aliran-aliran politik dalam Islam yaitu Syiah, Khawarij,
Mu’tazilah dan sebagainya. (Harun,1985:291)
b. Kelompok oposisi/ peperangan dan tahkim
Segera setelah Ali dibaiat di Mesjid Madinah sebagai khalifah
pada tahun 658 M, golongan Muawiyah yang dipimpin Muawiyah bin
Abu Sufyan bin Harb bin Umayah (602-680 M), melakukan makar,
pertempuran besar segera terjadi antara pendukung Ali melawan
pendukung Muawiyah, di Siffin. Dalam literature Islam peristiwa itu
dikenal sebagai Fitnatul Qubra (bencana besar), yang tidak lain adalah
perang saudara besar. Kekuatan kedua pasukan tersebut relatif sama,
hingga tidak segera terlihat tanda-tanda perang akan usai. (Departemen
Agama, 1987:256)
Pada suatu saat terlihat kekuatan golongan Umayah mulai
melemah. Di saat itulah pihak kelompok Umayah memainkan tipu
muslihat licik. Tiba-tiba di tengah berkecamuknya perang saudara itu
seorang prajurit Umayah menaikkan mushaf Al-Quran di ujung
tombak yang diacungkan ke atas, sebagai tanda gencatan senjata.
Menyaksikan isyarat itu khalifah Ali memerintahkan untuk
menghentikan pertempuran. Segera setelah itu dilakukan perundingan
yang dipandu oleh para penengah (arbitrase). Pihak Ali memilih Musa
bin al-Asyari sebagai wakil Ali, sementara Amr bin al-As murupakan
tokoh pilihan Muawiyah. Ternyata penengah pihak Muawiyah tidak
jujur, dan berpihak pada Umayah.
Sejak itu peperangan Siffin yang diakhiri melaluitahkim tidak
dapat menyelesaikan masalah, dan mengakibatkan lahirnya golongan
Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali, yang
berjumlah kira-kira 12.000 orang. (Departemen Agama, 1987:258)
c. Sosial kemasyarakatan
Ahmad mentakhrij hadis dari Abdullah bin Ruzain, dia
berkata,”aku pernah masuk ke rumah Ali para hari Idul Adha. Dia
menyuguhkan daging angsa kepadaku. Aku berkata,“ Semoga Allah
melimpahkan kebaikan kepadamu. Karena engkau bisa menyuguhkan
makanan ini, berarti Allah memang telah melimpahkan kebaikan
kepadamu.”
Dia berkata, “Wahai Ibu Ruzain, aku pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak dibenarkan harta Allah bagi
seseorang khalifah kecuali sebanya dua takaran saja, satu takaran yang
dia makan bersama keluarganya, dan satu takaran lagi yang harus dia
berikan kepada orang-orang.”
Tampaklah bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib selalu
menginfakkan hartanya dan mengabaikan kepentingan diri sendiri, dan
lebih mengutamakan kebutuhan rakyatnya. (Hasan,1986:376)
d. Paham keagamaan
Sikap yang diambil oleh Ali dapat dilihat dari ujian yang
dihadapinya selama 25 tahun. Semua kepahitan dihadapinya dengan
penuh kesabaran dengan harapan ia dapat membantu terwujudnya
persatuan di kalangan umat Islam dan tidak adanya bentrokan negara
muda yang telah dirintis pendiriannya oleh Nabi Muhammad SAW. Itu
semua dilakukan dengan membiarkan haknya terambil untuk
sementara.
Ia menjadi konsultan bagi para khalifah sekaligus penasehat
mereka. Di samping itu, beliau tidak lupa untuk melakukan hal-hal lain
yang lebih penting seperti; mengumpulkan Al-Qur’an sekaligus
menafsirkannya. Beliau juga memberikan pencerahan kepada umat
dengan menjelaskan makna-makna Al-Quran dan hakikatnya. Semua
itu dilakukan tanpa meninggalkan upaya menyingkap konspirasi yang
dilakukan oleh beberapa kelompok dari kaum muslimin.
Beliau juga sering meluruskan pemahaman-pemahaman yang
salah tentang Islam dan praktek-praktek yang mengatasnamakan Islam.
Pada saat yang sama beliau juga mengkader sejumlah sahabat yang
masih beriman dan meyakini rancangan Nabi tentang kepemimpinan
Islam, dan berusaha agar ini dapat menyebar dan tidak lupa
mengingatkan untuk berkorban demi terwujudnya rancangan Nabi.
Mengenai masalah ini, bisa diketahui tahu bahwa Ali bin Abi
Thalib a.s. adalah yang layak untuk menjadi khalifah sepeninggal
Nabi. Hanya Ali bin Abi Thalib satu-satunya yang mampu untuk
memperbaharui apa yang telah rusak selama ini. Sebuah kondisi yang
sangat sulit dan kompleks sementara keberpisahan mereka dari
kebenaran telah semakin jauh.(Jaih,2005:344)

3. Akhir pemerintahan Ali Bin Abi Thalib (terbunuhnya ali dan


pengangkatan hasan ibn ali.
Di saat tidak ada lagi penguasa resmi yaitu ketika Ali dan
Muawiyah menyerahkan diri pada pihak penengah. Dan Abu Musa
pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah, akan tetapi Amr bin
Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawiyah tetapi justru
mengangkat Muawiyah sebagai khalifah resmi. (Badri,2000:187)
Tak urung perang pun berkobar lagi, sampai pada suatu waktu
di tahun 661 M khalifah Ali tewas terbunuh dengan pedang beracun.
Pelakunya bernama Abdul Rahman bin Muljam, seorang pengikut
fanatik kelompok Khawarij, yang menganggap Ali bersikap lemah
menghadapi lawan.
Segera setelah itu kelompok Syiah membaiat Hasan, putra
tertua Ali menjadi khalifah. Ternyata Hasan menolak jabatan itu
dengan maksud untuk mencegah berkecamuknya.
Ada lima butir persyaratan yang harus disetujui Muawiyah
untuk menduduki jabatan itu sebagai berikut.
a. Muawiyah tidak akan membenci bangsa Irak yang
merupakan pendukung Ali
b. Muawiyah akan menjamin keamanan pengikut Ali dan
memaafkan kesalahan mereka.
c. Pajak negeri Ahwaz di kawasan Persia diserahkan
kepada pihak Ali.
d. Pihak Umayah harus member uang kompensasi kepada
Husen, adik Hasan sebesar dua juta dirham.
e. Hak Bani Hasyim dalam penghasilan Negara lebih besar
disbanding untuk Bani Syam. Muawiyah tidak keberatan
atas persyaratan itu. (Ahmad,1984:189)
Muawiyah tidak keberatan atas persyaratan itu. Jadi, kasus
terbunuhnya khalifah Ali ini adalah faktor ketidakpuasan pengikutnya
atas sikap Ali yang lemah menghadapi lawan, dan kurang bijaksana
dalam mengambil tindakan. Sedangkan Hasan putra sulung beliau
lebih memilih mundur dalam menjabat sebagai penguasa dengan
maksud untuk menyurutkan konflik yang ada. (Ahmad,1984:189)
III. Daftar Pustaka

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, Yogyakarta, Pustaka Progresif,


1984.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta, Rajawali
Press, 2000.
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta, Departemen Agama
RI, 1987.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta, Kota Kembang,
1989.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I, Jakarta, UI Press,
1985.
H.A.R. Gibb dan JH. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E. J. Brill,
1961.
Jaih Mubarok, Sejaran Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2005.

Anda mungkin juga menyukai