Anda di halaman 1dari 6

OSEANOGRAFI DI AWAL MASA KEMERDEKAAN

REPUBLIK INDONESIA: PEMETAAN SALINITAS

K
etika Perang Dunia II meluas ke Pasifik tahun 1941, militer Jepang dalam
waktu singkat menggilas beberapa negara Asia Tenggara. Pada pertengahan
bulan Februari 1942, pasukan Jepang mendarat di Jawa. Belanda yang telah
menjajah Nusantara selama beratus tahun, pada tanggal 9 Maret 1942 akhirnya menyatakan
takluk menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Pernyataan menyerah itu ditandatangani di
Pangkalan Udara Kalijati, Subang (Jawa Barat) oleh Jenderal Ter Poorten dari pihak Belanda,
di bawah kesaksian Jenderal Imamura dari pihak Jepang. Gubernur Jenderal Belanda, van
Starkenborgh, ditawan oleh tentara Jepang, dan dengan demikian tamatlah sudah riwayat
kekuasaan Belanda di Nusantara.
Orang-orang Belanda yang dulu berkuasa di negeri ini, ada yang bisa meloloskan diri ke
Australia, tetapi kebanyakan dapat ditawan oleh Jepang, dijebloskan dalam kamp-kamp
interniran (tempat penahanan), melaksanakan kerja paksa dan siksaan yang menghinakan. Nasib
Laboratorium voor het Onderzoek der Zee (LOZ) atau Laboratorium Penelitian Laut, yang
dulu dirintis oleh Belanda sejak tahun 1905 di Pasar Ikan, Jakarta, pun ikut terpuruk bagai
menuju kehancurannya.
Karena lokasi LOZ yang langsung berdampingan dengan Pelabuhan Pasar Ikan (Sunda
Kelapa) yang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam situasi perang, maka LOZ pun
masuk dalam kawasan terlarang, sebagai zona militer. Segala kegiatan penelitian pun lumpuh,
tak ada lagi yang peduli dengan fungsi LOZ. Kondisi LOZ menjadi sangat menyedihkan.
Laboratorium, perpustakaan, dan akuarium air laut tak ada lagi yang mengurus. Sebagian besar
koleksi biota laut, arsip, buku-buku dan alat-alat optik hilang lenyap.
Agustus 1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dihantam bom atom oleh
pasukan sekutu, Jepang pun menyerah yang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Indonesia
pun menyatakan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh
Soekarno dan Hatta. Tetapi situasi damai tak kunjung tiba. Belanda berusaha untuk kembali
menguasai negeri ini, tetapi mendapat perlawanan sengit dari rakyat Indonesia yang telah
bangun untuk mempertahankan kemerdekaannya. Perjuangan revolusi fisik untuk

1
mempertahankan kemerdekaan dan eksistensi negara Republik Indonesia terus bergelora. Tetapi
nasib laboratorium penelitian laut di Pasar Ikan itu masih terus terpuruk dan terabaikan.
Belanda baru mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949
setelah penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Momen itu
mengantarkan Indonesia untuk mulai berbenah di segala bidang. Laboratorium voor het
Onderzoek der Zee (LOZ) di Pasar Ikan, Jakarta, yang telah terbengkalai semasa perang, mulai
akan dihidupkan kembali, dan namanya pun resmi menjadi Lembaga Penyelidikan Laut (LPL),
bernaung di bawah Kebun Raya Bogor, Kementerian Pertanian. Tetapi ironisnya, tak seorang
pun bangsa Indonesia yang pernah terlatih dan terdidik dalam bidang oseasongrafi. Belanda tak
pernah menyiapkan generasi penerus bagi orang Indonesia untuk bidang ini. Dr. Hardenberg,
seorang Belanda yang pernah menjadi direktur LOZ di zaman sebelum Perang Dunia II, kini
kembali lagi dan diangkat menjadi direktur di Laboratorium Penyelidikan Laut di Pasar Ikan,
Jakarta. Tetapi tentu saja ia kini berada dalam posisi yang sangat berbeda, suasana Indonesia
yang telah merdeka. Ia pun kini bekerja sebagai tenaga profesional untuk Republik Indonesia,
dibantu seorang oseanografer muda, P.C. Veen.
Masalah paling mendasar adalah bagaimana membangun LPL dalam keterbatasan
infrastruktur dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas kala itu. Ternyata pertanyaan yang
muskil ini dapat dijawab dengan solusi yang tepat lewat strategi memfokuskan segala upaya
hanya pada satu aspek kajian saja yakni salinitas (kadar garam). Hal ini sejalan dan mengacu
pula pada rekomendasi dari IPFC (Indo-Pacific Fisheries Council, Food and Agriculture
Organization) saat itu, bahwa kajian-kajian oseanografi masih sangat dibutuhkan untuk
menunjang pengembangan perikanan di kawasan Indo-Pasifik.
Pada saat program itu mulai diluncurkan tahun 1949, Indonesia belum mempunyai kapal
riset. Namun keadaan itu dapat diatasi dengan membina kemitraan berasas sukarela dengan
kapal-kapal niaga yang secara reguler melayari seluruh pelosok perairan Nusantara. KPM
(Koninklijke Paketvaart Maatschappij), yang saat itu merupakan perusahaan pelayaran terbesar
di Indonesia, bersedia mengerahkan kapal-kapalnya membantu mengambilkan sampel-sample
air laut permukaan di sepanjang jalur-jalur yang rutin dilayari kapal-kapalnya di seluruh
Nusantara. Sampel-sampel air laut itu akan diteruskan ke LPL di Pasar Ikan, Jakarta, untuk
ditentukan salinitasnya. Perusahan pelayaran lainnya juga ikut serta seperti KJCPL
(Koninklijke Java China Paketvaart Lijnen) yang secara reguler melayari jalur Hongkong-
Singapur-Jakarta-Makassar. Ada juga perusahan pelayaran Belanda, SMN (Stoomvaart
Maatschapij Nederland), dan perusahan pelayaran Denmark, Maersk Line yang terkenal
mengoperasikan kapal-kapal kargo. Jawatan Pelayaran RI, dibawah Kementerian Perhubungan,

2
juga mengikut-sertakan kapal-kapalnya dalam program ini. Selain itu para penjaga mercu suar
di pulau-pulau terpencil juga dilibatkan untuk secara rutin mengumpulkan sampel air secara
berkala, yang kemudian akan dijemput oleh kapal-kapal perambuan yang secara rutin
menyambangi mercu suar itu untuk pasokan kebutuhan hidup dan pergantian petugas jaga.
Dengan demikian terbentuklah jejaring (networking) yang cukup luas untuk mendapatkan data
salinitas di Nusantara, baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Program ini berjalan dari
tahun 1949 hingga 1954.

Gambar 1. Dalam kurun tahun 1949-1954 berbagai perusahan pelayaran ikut


serta mengerahkan kapal-kapalnya dalam program pengambilan sampel
salinitas di perairan Nusantara. Kapal-kapal negara dan mercu-mercu suar di
pulau-pulau terpencil juga dilibatkan.

3
Gambar 2. Sebaran rata-rata salinitas di permukaan perairan Nusantara dan
sekitarnya pada bulan Februari dan Agustus. Warna biru = air samudra; hijau =
air campuran; kuning = air pesisir; merah = air “sungai” (Wyrtki, 1956).

4
Lembaga Penelitian Laut di Pasar Ikan itu menjadi sangat sibuk menerima ribuan botol
sampel air laut setiap bulannya untuk ditetapkan salinitasnya. Dalam kurun 1950-1954
diperoleh total sekitar 147.000 sampel salinitas, yang menjadi dasar penyusunan peta-peta
sebaran dan karakteristiknya. Sampel air laut yang tiba di LPL, salinitasnya ditentukan dengan
titrasi kimia (metode Knudsen). Untuk itu sejumlah teknisi pribumi dilatih khusus untuk
melaksanakan tugas besar tersebut. Mengantisipasi jumlah sampel yang amat besar ini, maka
Arnold (1951) kemudian mengintroduksi metode mikro dalam titrasi kimia untuk penetapan
salinitas, yang memerlukan volume sampel air laut yang cukup 1 ml saja, dengan akurasi 0,1 ‰
(per mil, atau g/kg). Metode ini dipandang sangat cocok untuk menangani sampel yang
berjumlah sangat besar. Akurasi 0,1 ‰ ini dipandang sudah memadai untuk keperluan ini,
mengingat salinitas di perairan Nusantara mempunyai variasi musiman yang besar. Pada saat itu
belum zamannya komputer, data-base salintasnya dibangun berdasarkan sistem kartu. Data-
base ini kemudian banyak dimanfaatkan untuk berbagai kajian oseanografi Nusantara.
Dari data yang dapat dihimpun, dibuatlah peta-peta sebaran salinitas, bulan demi bulan,
yang dapat menggambarkan ciri-ciri persebaran salinitas di perairan Nusantara dan sekitarnya,
yang ternyata sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim (monsoon), limpahan air dari sungai-
sungai, dan perubahan karena presipitasi (hujan) dan evaporasi (penguapan). Musim barat
(Desember-Februari) merupakan musim hujan di kawasan Indonesia bagian barat, yang
menyebabkan banyak sungai-sungai mengalirkan airnya ke laut, dan menurunkan salinitas di
kawasan pantai. Sebaliknya pada musim timur (Juni-Agustus) yang kering, air samudra dari
Pasifik lebih banyak mewarnai ciri-ciri persebaran salintas di peraairan Nusantara. Gambar 2
menunjukkan rata-rata persebaran salinitas perairan Nusantara dan sekitarnya pada bulan
Februari yang basah, dan bulan Agustus yang kering sebagaimana yang disarikan oleh Wyrtki
(1956). Wyrkti menggolongkan salinitas di perairan Nusantara dalam empat golongan:
a. air samudra (oceanic water), dengan salinitas lebih dari 34 ‰;
b. air campuran (mixed water), dengan salinitas 32-34 ‰, yang merupakan campuran
air samudra dan air pesisir, daerah liputannya sangat luas;
c. air pesisir (coastal water), dengan salinitas 30-32 ‰;
d. air “sungai” ( “river” water), di bawah 30 ‰, yang terdapat di depan muara-muara
sungai besar.
Kajian mengenai salinitas ini bukan saja penting dilihat dari aspek oseanografinya tetapi
juga sangat bermanfaat bagi dunia perikanan. Beberapa jenis ikan di Nusantara ini diketahui
beruaya (migrasi) mengikuti pola perubahan persebaran salinitas. Ikan layang (Decapterus

5
russelli) di Laut Jawa misalnya, beruaya mengikuti pola sebaran selang salinitas yang
disukainya (Hardenberg, 1937; Burhanuddin et al. 1983).

PUSTAKA

Arnold, G. H. 1951. Simple method for determining the salinity in the large numbers of 1 ml
seawater samples based on the principles of the Knudsen method. Journal of Scientific
Research Indonesia, 2: 30-37.
Burhanuddin, A. Djamali, S. Martowewojo & R. Moeljanto. 1983. Evaluasi tentang potensi dan
usaha pengelolaan sumberdaya ikan layang (Decapterus spp.). Lembaga Oseanologi
Nasional LIPI, Jakarta.
Hardenberg, J. D. F. 1937. Preliminaary report on a migration of fish in the Java Sea. Treubia,
16: 295-300.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta, Cetakan keempat: 356 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
Veen, P. C. 1951. Surface salinities in the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Pub.
Org. Sci. Res. Indonesia. Pub. 33: 20 pp.
Veen, P. C. 1953. Preliminary charts of the mean salinity of the Indonesian Archipelgo and
adjacent waters. Bull. Org. Sci. Res. Indonesia. Pub. 17. 47 pp.
Wyrtki, K. 1956. Monthly charts of surface salinity in Indonesia and adjacent waters. J.
Conseil, 21 (3): 268-279.
Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA Report, volume
2. The University of California, Scripps Institutions of Oceanography, La Jolla,
California.

Anda mungkin juga menyukai