Anda di halaman 1dari 5

Setiap tumbuhan berbiji mengalami proses perkecambahan, air merupakan syarat terjadinya

perkecambahan biji karena air berperan dalam melunakkan kulit biji embrio dan endosperm
mengembang sehingga kulit biji robek. Pada perkecambahan tumbuhan tidak memulai
kehidupan akan tetapi meneruskan pertumbuhan dan perkembangan yang secara temporer
dihentikan ketika biji menjadi dewasa dan embrionya menjadi tidak aktif. Biji yang bersifat
dorman tidak akan berkecambah, meskipun disemaikan dalam tempat yang menguntungkan
sampai petunujuk lingkungan tertentu menyebabkan bij mengakhiri keadaan dormansi
tersebut (Campbell dkk., 2002)
Dormansi yaitu keadaan terbungkusnya lembaga biji oleh lapisan kulit atau senyawa
tertentu. Dormansi merupakan cara embrio mempertahankan diri dari keadaan lingkungan
yang tidak menguntungkan, tetapi berakibat pada lambatnya proses perkecambahan [2].
Lama waktu dimana biji dorman masih hidup dan mampu berkecamabah bervariasi dari
beberapa hari hingga beberapa dekad atau bahkan lebih lama lagi, bergantung pada spesies
dan kondisi lingkungan [Salisbury, 1995].
Penyebab dan mekanisme dormansi merupakan hal yang sangat penting diketahui untuk
dapat menentukan cara pematahan dormansi yang tepat sehingga benih dapat berkecambah
dengan cepat dan seragam. Ada beberapa penyebab dormansi pada biji yaitu eksternal dan
internal. Penyebab dormansi secara eksternal yaitu berasal dari lingkungan dari biji
sedangkan secara internal yaitu berasal dari biji itu sendiri. Salah satu penyebab internal dari
biji yaitu kulit biji yang keras yang menyebabkan imbibisi atau masuknya air ke dalam biji
sulit terjadi. Masa dormansi tersebut dapat dipatahkan dengan skarifikasi mekanik maupun
kimiawi (Dwijoseputro 1994).
Dormansi dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Menurut [Aldrich, 1984] dormansi
dibedakan menjadi dormansi primer dan dormansi sekunder. Dormansi primer merupakan
dormansi yang paling umum, yaitu dormansi pada benih yang terjadi sejak benih masih berada
pada tanaman induk, setelah embrio berkembang penuh [Copeland, 2001]. Dormansi sekunder
merupakan benih non dorman yang dapat mengalami kondisi yang menyebabkannya menjadi
dorman [Soejadidan, 2002].
Sedangkan menurut Sastamihardja (1996) dormansi dibedakan menjadi dormansi
fisik dan dormansi fisiologis. Dormansi fisik disebabkan oleh pembatasan struktural
terhadap perkecambahan biji, sepert kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi
penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas-gas ke dalam biji. Sedangkan
dormansi fisiologis dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, tetapi pada umumnya
disebabkan oleh zat pengatur tumbuh, baik yang berupa penghambat maupun perangsang
tumbuh.
Dormansi diklasifikasikan menjadi bermacam-macam kategori berdasarkan
beberapa faktor, yaitu (Salisbury dan Ross, 1995):
a. Berdasarkan faktor penyebab dormansi
1) Imposed dormancy (quiscence): terhalangnya pertumbuhan aktif karena keadaan
lingkungan yang tidak menguntungkan
2) Imnate dormancy (rest): dormansi yang disebabkan oleh keadaan atau kondisi di
dalam organ-organ biji itu sendiri

Dormansi benih berhubungan dengan usaha benih untuk menunda


perkecambahannya, hingga waktu dan kondisi lingkungan memungkinkan untuk
melangsungkan proses tersebut. Dormansi dapat terjadi pada kulit biji maupun pada
embryo. Biji yang telah masak dan siap untuk berkecambah membutuhkan kondisi
klimatik dan tempat tumbuh yang sesuai untuk dapat mematahkan dormansi dan memulai
proses perkecambahannya. Pretreatment skarifikasi digunakan untuk mematahkan
dormansi kulit biji, sedangkan stratifikasi digunakan untuk mengatasi dormansi embrio
(Salisbury and Ross, 1995).
Kemampuan benih untuk menunda perkecambahan sampai waktu dan tempat
yang tepat adalah mekanisme pertahanan hidup yang penting dalam tanaman. Dormansi
benih diturunkan secara genetik, dan merupakan cara tanaman agar dapat bertahan hidup
danberadaptasi dengan lingkungannya. Intensitas dormansi dipengaruhi oleh lingkungan
selama perkembangan benih. Lamanya (persistensi) dormansi dan mekanisme dormansi
berbeda antar spesies, dan antar varietas. Dormansi pada spesies tertentu mengakibatkan
benih tidak berkecambah di dalam tanah selama beberapa tahun. Hal ini menjelaskan
keberadaan tanaman yang tidak diinginkan (gulma) di lahan pertanian yang ditanami
secararutin (Yuniarti, 2015).
Perlakuan skarifikasi digunakan untuk mematahkan dormansi biji, sedangkan
skarifikasi adalah salah satu upaya perlakuan pada benih yang ditujukan untuk
mematahkan dormansi. Upaya ini dapat berupa pemberian perlakuan dengan cara fisik,
mekanis dan khemis. Larutan asam kuat seperti asam sulfat dengan konsentrasi pekat
membuat kulit biji menjadi lunak sehingga dapat dilalui air dengan mudah (Sitompul,
1995).
Biji yang telah masak dan siap berkecambah membutuhkan kondisi dan tempat
tumbuh yang sesuai untuk dapat memecahkan dormansi dan memulai proses
perkecambahannya. Beberapa upaya pretreatment atau perawatan awal pada biji
diperlukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya perkecambahan
biji yang seragam(Retno, 2012).
Upaya-upaya tersebut dapat berupa pemberian perlakuan secara fisis, mekanis,
maupun kimia. Proses dormansi dapat dipatahkan dengan beberapa proses diantaranya
proses pendinginan, pemanasan, kejutan atau goresan pada biji (proses fisika), zat
pengatur tumbuh, asam dan basa (secara kimiawi) ataupun dengan cara biologi dengan
menggunakan bantuan mikroba (Lita, 1985).
Kemampuan benih untuk menunda perkecambahan sampai waktu dan tempat yang tepat
adalah mekanisme pertahanan hidup yang penting dalam tanaman. Dormansi benih
diturunkan secara genetik, dan merupakan cara tanaman agar dapat bertahan hidup
danberadaptasi dengan lingkungannya. Intensitas dormansi dipengaruhi oleh lingkungan
selama perkembangan benih. Lamanya (persistensi) dormansi dan mekanisme dormansi
berbeda antar spesies, dan antar varietas. Dormansi pada spesies tertentu mengakibatkan
benih tidak berkecambah di dalam tanah selama beberapa tahun. Hal ini menjelaskan
keberadaan tanaman yang tidak diinginkan (gulma) di lahan pertanian yang ditanami
secararutin (Yuniarti, 2015).
Perlakuan selanjutnya yaitu secara kimia yaitu dengan merendam biji saga ke dalam
larutan asam sulfat pekat (H2SO4). Perendaman dengan asam sulfat efektif dalam mengurangi
kandungan dalam biji keras. Dengan kata lain perlakuan ini dapat menghilangkan sumbat
hilum dan mengurangi kandungan kulit biji yang keras sehingga biji dapat tumbuh dengan
baik. Skarifikasi kimia juga bertujuan untuk melunakkan kulit biji sehingga biji dapat
mengimbibisi air dan oksigen, juga dapat memudahkan embrio untuk tumbuh. Setelah
dilakukan pengamatan selama dua minggu biji saga tersebut hanya satu dari sepuluh biji saga
yang mulai berkecambah dan terus tumbuh hingga mempunyai daun. Sedangkan yang lainnya
hanya berkecambah tetapi belum memiliki daun.
Perlakuan kimia dengan merendam biji saga menggunakan larutan H2SO4 dengan
konsentrasi pekat membuat kulit biji saga menjadi lunak sehingga dapat dengan mudah dilalui
oleh air pada waktu imbibisi. Waktu perendaman juga mempengaruhi kelunakan kulit biji
saga. Semakin lama waktu perendaman maka semakin lunak kulit biji saga dan mempercepat
perkecambahan biji saga. Proses perendaman dalam larutan H2SO4 menyebabkan masuknya
air ke dalam endosperma biji dan mengakibatkan kulit biji lembab dan lebih lunak
memungkinkan pecah dan robek sehingga perkembangan embrio dan endosperm lebih cepat
terjadi, serta untuk memberikan fasilitas masuknya oksigen (larut dalam air) kedalam biji.
Menurut Dwidjoseputro (1985), menyatakan bahwa dormansi menunjukkan suatu keadaan
dimana benih-benih sehat (viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang
merata normal baik untuk perkecambahan, seperti kelembapan yang cukup dan cahaya yang
sesuai. Dormansi merupakan strategi untuk mencegah perkecambahan dibawah kondisi
dimana kemungkinan hidup kecambah atau anakan rendah.

Larutan asam sulfat pekat (H2SO4) menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan
dapat diterapkan baik pada legum dan non legum. Lamanya perlakuan larutan asam harus
memperhatikan dua hal yaitu kulit biji atau pericarp dapat diretakkan untuk
memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio. Perendaman selama 1
– 10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan dormansi, sedangkan perendaman
selama 60 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan (Loveless, 1998).
Pengamatan selanjutnya yaitu dengan perlakuan kontrol yaitu tidak diberi perlakuan
apapun dan juga perlakuan dengan cara merendam biji saga ke dalam air hangat. Selama dua
minggu ini semua biji saga tidak menunjukkan adanya kemampuan untuk berkecambah. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa kulit biji yang keras tersebut menghalangi masuknya air dan
oksigen kedalam biji dan menghalangi pertumbuhan embrio meskipun biji saga (Abrus
precatoriusi) di letakkan di dalam wadah yang selalu di beri air yang cukup.
Dari Praktikum ini dapat dilihat bahwa perlakuan-perlakuan yang lebih efisien dalam
mematahkan dormansi biji Abrus precatoriusi yaitu pada perlakuan kimia karena larutan
kimia (H2SO4) menjadikan kulit biji lebih mudah dimasuki air pada waktu proses imbibisi,
larutan asam kuat seperti asam sulfat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi
lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Secara alami, masa dormansi dapat
dipatahkan karena adanya perubahan suhu lingkungan, aktivitas mikroba tanah dan atau oleh
alat pencernaan burung dan hewan lainnya. Namun Biji yang telah mengalami dormansi yang
sangat lama juga dapat menyebabkan menurunya kualitas tumbuh embrio.
Menurut Yuniarti (2015), dormansi

Anda mungkin juga menyukai