Anda di halaman 1dari 5

TINEA CRURIS

No. ID dan Nama Peserta : dr. Sakina Usman


No. ID dan Nama Wahana: RSUD Barru
Topik: TINEA CRURIS
Tanggal (kasus) : 07 September 2018
Nama Pasien : An. F No. RM : 125763
Tanggal Presentasi : - Pendamping: dr. Srianti
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RSUD Barru
Obyek presentasi : Anggota Komite Medik & Dokter Intrensip RSUD Barru
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Kulit
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Laki-laki, 9 tahun, Terdapat bercak-bercak merah yang terasa gatal pada bokong
Tujuan: Melakukan penanganan pada pasien tinea cruris.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
bahasan: pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi
Data Pasien: Nama: An. F No.Registrasi: 125763
Poliklinik Poliklinik Kulit RSUD Barru
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran klinis:
Pasien datang dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada bokong
sejak 2 minggu SMRS. Keluhan muncul pertama kali pada daerah bokong, bercak awalnya berupa
bintil-bintil merah, kemudian lama kelamaan semakin melebar. Bapak pasien mengatakan bercak
tersebut terasa sangat gatal pada daerah pinggirnya sehingga pasien selalu menggaruk daerah
tersebut. Gatal dirasakan bertambah setelah pasien bermain yaitu jika dalam keadaan berkeringat.
Karena keluhan gatal dirasakan sangat mengganggu, orangtua pasien mengolesi minyak tawon di
daerah bercak, keluhan gatal dirasakan berkurang namun bercak kemerahan masih ada. Keluhan
panas dan nyeri sebelumnya disangkal oleh pasien..
2. Riwayat Pengobatan: Pasien sebelumnya tidak pernah memeriksakan diri ke tempat pelayanan
kesehatan lainnya dan untuk keluhannya, dan tidak mengkomsumsi obat atau ramuan apapun
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Menurut bapak pasien, pernah belum pernah menderita gejala seperti
sebelumnya. Penyakit yang pernah diderita pasien yaitu demam, batuk dan mencret-mencret.
4. Riwayat Keluarga: Saat ini tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
dengan pasien. Anggota keluarga yang tinggal serumah yaitu kakak pasien pernah mengalami
keluhan gatal-gatal tapi menurut orangtua pasien keluhan gatalnya adalah sarampa.
5. Riwayat Pekerjaan : -
6. Lain-Lain: riwayat alergi disangkal.
Daftar Pustaka:
1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.hal.89-100
Hasil pembelajaran:
1. Penanganan pada kasus tinea cruris
2. Edukasi pasien mengenai penyakit tinea cruris dan pencegahannya
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO

1. Subyektif:
Pasien datang dibawa oleh orangtuanya dengan keluhan bercak-bercak kemerahan pada
bokong sejak 2 minggu SMRS. Keluhan muncul pertama kali pada daerah bokong, bercak
awalnya berupa bintil-bintil merah, kemudian lama kelamaan semakin melebar. Bapak pasien
mengatakan bercak tersebut terasa sangat gatal pada daerah pinggirnya sehingga pasien selalu
menggaruk daerah tersebut. Gatal dirasakan bertambah setelah pasien bermain yaitu jika dalam
keadaan berkeringat. Karena keluhan gatal dirasakan sangat mengganggu, orangtua pasien
mengolesi minyak tawon di daerah bercak, keluhan gatal dirasakan berkurang namun bercak
kemerahan masih ada. Keluhan panas dan nyeri sebelumnya disangkal oleh pasien.
2. Obyektif:
a. Status Generalis:
Sakit Ringan /Gizi cukup/Compos mentis/GCS (E4M6V5)
- BB : 23 kg
b. Status Vitalis :
- N= 96 x/menit, regular, isi tegangan cukup
- P= 20 x/menit (Thoracoabdominal)
- S= 36,5 °C (axilla)
c. Kepala :
- Anemis (-/-),
- Ikterus (-/-),
- Sianosis (-),
d. Leher :
- Pembesaran kelenjar tiroid (-),
- Massa tumor (-),
- Nyeritekan (-),
- Deviasi trachea (-),
- Pembesaran kelenjar getahbening (-),
e. Thorax :
- I= Simetris (ki=ka), mengikuti gerak napas, ireguler, jejas(-)
- P= Nyeri tekan (-), massa tumor (-), krepitasi (-)
- P= Sonor ki=ka
- A= vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
f. Jantung :
- I= Ictus cordis Nampak di ICS IV linea midclavicularis sinistra
- P= Ictus cordis sulit teraba
- P= Batas jantung normal, pekak relative
- A= BJ I/II murni reguler.
g. Abdomen :
- Inspeksi : datar, ikut gerak napas, warna kulit sama sekitarnya
- Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
- Palpasi : massa (-), nyeri tekan tidak dapat dievaluasi
- Perkusi : tympani (+)
h. Ektremitas
- Akral dingin (+), sianosis (+), Edema (-/-), deformitas (-/-)
i. Anal perianal:
- Terdapat ujud kelainan kulit
- Tampak plak eritematous berbatas tegas dengan central healing dan makula
hiperpigmentasi berukuran numular hingga plakat berbentuk ireguler, disertai papul-papul
dan skuama dengan konfigurasi polisiklik, tampak ekskoriasi.
3. Assesment:
Berdasarkan anamnesis, Pasien datang dengan keluhan utama bercak-bercak merah yang gatal di
bokong sejak 2 minggu sebelum datang ke rumah sakit. Keluhan gatal bertambah ketika berkeringat.
Pasien memiliki kebiasaan mandi sekali sehari dengan sabun batangan yang digunakan bersama
keluarga, serta mengganti pakaian dalam 1 kali sehari. Pakaian pasien sering lembab karena sering
bermain hujan dan jarang menggantinya.
Temuan data berdasarkan anamnesis di atas menjadi salah satu dasar penegakan diagnosis untuk
terjadinya infeksi jamur. Pasalnya, jamur cenderung membutuhkan kelembaban untuk dapat tumbuh.
Adapun infeksi dengan predileksi pada daerah inguinal dipikirkan ke arah dermatofita, yaitu tinea kruris.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan plak eritematosa – hiperpigmentasi berukuran
nummular hingga plakat, berbentuk ireguler, dengan tepi lebih aktif dan batas tegas. Gambaran ini cukup
khas untuk infeksi jamur, dalam hal ini tinea kruris. Lesi umumnya menunjukkan gambaran tepi lebih
aktif dan batas tegas karena mengikuti pergerakan dermatofita dalam mencerna keratin. Di samping itu,
ditemukan pula efloresensi sekunder berupa skuama dan ekskoriasi. Skuama dalam hal ini terkait dengan
sisa keratin yang dicerna oleh jamur sedangkan eskoriasi menandakan lesi akibat garukan sebagai
respons pasien terhadap gatal yang dialami sebagaimana diungkapkan pula pada anamnesis.
Untuk penegakan diagnosis secara definitif, seharusnya dapat dilakukan berupa pemeriksaan
kerokan kulit dilanjutkan pemeriksaan KOH 20%, dengan tujuan mendapatkan temuan hifa panjang dan
artrospora merupakan bukti konkrit keterliatan dermatofita dalam proses lesi yang terjadi, sehingga
dengan demikian dapat ditegakkan diagnosis tinea kruris. Namun karena ketersediaan alat di puskesmas
terbatas yaitu tidak terdapat mikroskop, maka pemeriksaan tidak dilakukan. Begitupun dengan
pemeriksaan woodlamp tidak dilakukan, karena keterbatasan alat.
Tatalaksana yang dilakukan pada kasus ini dilakukan secara medikamentosa dan non
medikamentosa.
Secara non medikamentosa, pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya serta faktor yang
memudahkan terjadinya penyakit. Pada pasien ini, ditekankan mengenai pentingnya menjaga kebersihan
diri / hygiene, terutama dengan peningkatan frekuensi mandi serta mengeringkan bokong setelah buang
air kecil, kemudian sering mengganti pakaian dalam terutama jika terasa lembab, untuk menjaga area
tersebut tetap kering. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mencegah suasana lembab yang mendukung
pertumbuhan jamur.
Di samping itu, diedukasikan pula terkait menghindari penggunaan pakaian secara bergantian,
mencuci pakaian serta seprai secara rutin, serta menjemur pakaian pada tempat yang panas.
Secara medikamentosa, pada pasien diberikan terapi antifungal, yaitu Griseovulfin 3x125 mg..
Pemberian dilakukan selama 10-14 hari dan pasien diminta untuk datang kembali untuk kontrol dalam 2
minggu ke depan untuk evaluasi secara klinis dan laboratorium. Selain itu diberikan salep mikonazole,
yang diberikan 1-2 minggu.
Secara umum, prognosis pada pasien ini adalah bonam, baik untuk ad vitam, ad functionam,
maupun ad sanationam.
Untuk menegakan diagnosis tinea cruris, perlu perpaduan anamnesis dan pemfis yang tepat. Dan
sebaiknya di bantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang.
1. ANAMNESIS
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar
anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah.
Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah
pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab,
memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes
mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu
yang beresiko terkena dermatophytosis.
2. PEMERIKSAAN FISIS
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula eritematosa,
berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun
maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi. Manifestasi tinea
cruris :
• Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal
dari abdomen bawah dan pubis
• Daerah bersisik
• Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
• Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi
• Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan sedikit
skuama
• Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
• Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena
garukan
• Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit
eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler
• Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis.
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung
sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan memakai
scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu 10-
15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan
didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium.
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud dengan
ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan
kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu
c. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak merah muda
atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam
d. Penggunaan lampu wood
Bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah
bata
4. PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana medikamentosa.
Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /
kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar tidak terlalu
berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara bergantian, menghindari
kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.
b. Tatalaksana medikamentosa
Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat diberikan
administrasi obat topikal dan sistemik.
- Topikal
Obat topikal terpilih berasal dari golongan alilamin, diberikan sekali sehari selama 1-2
minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan golongan azol, siklopiroksolamin, asam
undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu.4
- Sistemik
Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas / ekstensif, atau
gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25
mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1
x 250 mg/hari.
o Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis
umumnya 0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui
pemberian dosis terbagi. Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila
dimakan bersama dengan makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat
memberikan efek samping sefalgia pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan
fungsi hati, keluhan gangguan traktus digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.
o Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi alternatif pilihan bila terjadi
resistensi pada griseofulvin. Pemberian dilakukan selama 10 hari – 2 minggu pada
pagi hari setelah makan. Obat ini bersifat hepatotoksik sehingga tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan hepar.3
o Pilihan obat lain yang cenderung kurang hepatotoksik adalah itrakonazol, akan tetapi
terdapat potensi interaksi yang cukup luas sehingga konsumsi obat lain pada pasien
juga harus dipertimbangkan.
o Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungisidal dan dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2 – 3 minggu dengan dosis 62,5
mg – 250 mg sehari bergantung pada berat badan pasien. Efek samping yang dapat
terjadi adalah gangguan gastrointestinal berupa nausea, vomitus, nyeri lambung,
diare, dan konstipasi. Di samping itu, dapat pula terjadi gangguan pengecapan
maupun gangguan fungsi hepar
Lamanya pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, serta keadaan imunitas
penderita. Pemberian obat dilakukan hingga secara klinis ditemukan perbaikan diikuti dengan hasil
negatif pada pemeriksaan laboratorium.4 Agar tidak residif, pengobatan dilanjutkan selama 2
minggu setelah terjadi kesembuhan secara klinis.3 Secara umum, prognosis penyakit ini baik.

Kriteria Rujukan
Pasien dirujuk apabila:
 Penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
 Terdapat imunodefisiensi.
 Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.

Edukasi kepada pasien di rumah :


1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian
yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak ketat
dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus
segera dicuci dan direndam air panas.

Barru, November 2018

Peserta Pendamping

dr. Sakina Usman dr. Srianti

Anda mungkin juga menyukai