Anda di halaman 1dari 6

Penerapan Sistem IPAL Terpadu di Kawasan Industri Majalaya untuk

Pengelolaan Air Bersih yang Sehat dan Berkelanjutan

Majalaya, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung yang terkenal dengan


industri tekstilnya sejak dahulu yang dikenal sebagai pusat tenun rakyat. Pasca
kemerdekaan, ketenaran kota ini semakin melejit karena pemerintah
menjadikannya sebagai pusat tekstil nasional dalam rangka pemenuhan kebutuhan
sandang masyarakat, bahkan pada tahun 1960 Majalaya memperoleh puncak
kejayaannya dengan memenuhi 40% kebutuhan sandang di Indonesia dan disebut
sebagai “Kota Dollar”. Seiring berjalannya waktu dan pengaruh masuknya
teknologi baru tentang industri tekstil yang lebih maju, membuat masyarakat
dengan tenun tradisionalnya tersisihkan. Hal ini berbanding terbalik dengan
swasta yang memiliki modal besar dan mendirikan pabrik – pabrik industri tekstil
di Majalaya. Akan tetapi, adanya pabrik – pabrik tersebut membuat satu
permasalahan baru karena limbah industri yang ditimbulkan tidak mengalami
pengelolaan yang maksimal. Bahkan, limbahnya dialirkan ke selokan yang
bermuara di Sungai Citarum. Kondisi ini menyebabkan pencemaran sungai di
DAS Citarum dan menyebabkan fungsi dari sungai citarum yang seharusnya
mengalirkan air permukaan justru menjadi aliran limbah yang panjang dan
membahayakan kesehatan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Dinas
Lingkungan Hidup mengatakan bahwa kondisi baku mutu air Citarum di sekitar
pabrik tekstil sudah sangat buruk. Selain itu, penelitian lain yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa terdapat tingkatan konsentrasi bahan pencemar yang
melebihi ambang batas normal. Industri tekstil sendiri menghasilkan tiga jenis
limbah yaitu (1) limbah organik yang ditunjukkan oleh kandungan surfaktan
BOD, COD, (2) logam berat yang dihasilkan pada proses pencelupan dan
pencetakan, (3) limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dalam bentuk limbah
cair. Pencemaran industri tekstil yang dialirkan melalui Sungai Citarum membuat
masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih, air sungai yang mengalir kini
berwarna pekat dan menimbulkan bau. Bahkan, sejumlah warga juga kesulitan
dalam pengairan sawah karena air sungai yang seharusnya mengalirkan air dan
memberi kesuburan pada tanaman kondisinya justru berbalik dan membuat
tanaman mati. Selain itu, permasalahan ini diperparah oleh warganya yang padat
dan membuang limbah rumah tangga serta kotorannya dialirkan langsung ke
sungai. Pencemaran yang dihasilkan melalui industri tekstil da rumah tangga ini
memerlukan perlakuan yang intens agar tidak mencemari lingkungan dan
mengganggu fungsi ekologi sungai sendiri.

Menghadapi permasalahan pada pencemaran limbah industri di kawasan


Majalaya sendiri, pemerintah melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat
Nomor 39 Tahun 2002 telah megeluarkan peraturan mengenai pengelolaan limbah
industri agar sesuai dengan baku mutu yang aman bagi lingkungan. Akan tetapi,
penerapan kebijakan tersebut bisa dikatakan belum efektif karena para pelaku
industri cenderung malas dalam pengelolaan limbah dan hanya menjadikan
rencana pengelolaan limbah dan lingkungan sebagai persyaratan saja untuk
memperoleh izin pembangunan industri tanpa penerapannya yang berkelanjutan,
sedangkan pemerintah sendiri belum melakukan tindakan dan sanksi yang tegas
bagi pelaku industri yang melakukan pelanggaran. Padahal, limbah industri yang
dihasilkan di Kabupaten Bandung bisa mencapai 1.320 liter per detik atau setara
dengan 270 ton per hari limbah yang dibuang begitu saja di aliran Sungai
Citarum. Dari keseluruhan limbah tersebut 35% diantaranya merupakan limbah
yang dihasilkan dari proses pencelupan kain. Dan dari keseluruhan industri, hanya
10% yang sudah menerapkan pengelolaan limbah dengan berkelanjutan.
Permasalahan terkait pencemaran limbah rumah tangga juga menjadi
permasalahan yang pelik karena warga yang bermukim di sektar sungai cenderung
langsung membuang sampah yang ada ke sungai, selain itu ug anyaknya warga
yang tinggal di bantaran sungai menyebabkan ekologi sungai menjadi terganggu.
Pemerintah sebenarnya juga telah mengeluarkan peraturan untuk tidak membuang
sampah di sungai dan melarang warganya untuk tinggal di bantaran sungai,
namun hal ini kurag efektif mengingat kenaikan penduduk yang tinggi sedangkan
lahan yan disediaka terlalu terbata sehingga memaksa mereka tetap tinggal di
bantaran sungai dengan segala resikonya. Selain itu, pemerintah juga telah
menerapkan program kali bersih (PROKASIH) melalui promosi Instalasi Air
Limbah Industri dan pengolahan sampah domestik komunal. Program ini
direncanakan dapat mengurangi tingkat pencemaran air limbah industri. Namun,
faktanya Sungai Citarum sejak tahun 1989 belum pernah mendapat baku mutu
yang sesuai dengan standar. Melihat tidak adanya perkembangan, pemerintah
kemudian membuat program baru yaitu suatu pemulihan terpadu yng tersusun
dalam suatu roadmap bernama ICWRMIP (Integrated Citarum Water Resources
Management) yaitu suatu program investasi manajemen sumber daya air citarum
terpadu yang diorganisir secara langsung oleh BAPPENAS bersama dengan
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, sektor swasta, dan organisasi masyarakat
sipil. Hingga saat ini, program tersebut masih berlangsung namun
perkembangannya belum signifikan, bahkan keadaan sungai Citarum cenderung
semakin memprihatinkan.

Di Majalaya sendiri yang terletak di kawasan hulu Sungai Citarum,


terdapat beberapa pelaku industri yang dengan entengnya membuang limbah
industri tanpa pengelolaan yang maksimal. Keadaan ini menyebabkan masyarakat
yang tinggal di sekitar sungai merasa geram karena air sungai yang mengandung
limbah industri dapat menyebabkan gatal – gatal. Hal ini menyebabkan
munculnya wacana tentang relokasi kawasan industri di Majalaya untuk dipindah
di Kabupaten Majalengka yang akan dijadikan pemerintah provinsi sebagai
kluster industri di Jawa Barat. Akan tetapi, dalam penerapannya hal tersebut
belum juga dilakukan karena berdampak pada masyarakat yang bekerja sebagai
buruh di industri tersebut dan banyaknya industri tekstil yang ada di Majalaya.
Tercatat terdapat 600 industri tekstil yang berada di sekitar aliran sungai, dan
akibat pencemaran dari industri tersebut menyebabkan pendangkalan yang
mengakibatkan bencana banjir karena daya tampung air berkurang, dari segi
lingkungan relokasi industri ini dianggap sangat perlu untuk dilakukan, namun
dari segi ekonomi dan sosial perlu pengkajian yang mendalam agar tidak
menimbulkan konflik sosial serta tidak merugikan pelaku industri terdahulu.
Upaya meminimalkan limbah B3 yang disebabkan oleh industri tekstil juga
dilakukan oleh lembaga pengelola lingkungan, dilansir dari Greenpeace yang
telah tercatat melakukan advokasi pada pengusaha industri tekstil dengan skala
cukup besar agar menggunakan bahan – bahan alami dalam produksinya dengan
tujuan mengurangi pencemaran. Akan tetapi, hal tersebut susah untuk diterapkan
karena para pelaku industri lebih mengutamaka efisiensi dan efektivitas
produksinya dan penggunaan bahan organik dianggap kurang efektif karena
perlakuannya yang susah serta saat ini untuk memperoleh bahan kimia lebih
mudah dibanding dengan bahan organik. Selain itu, peneguran terhadap para
pelaku industri yang tidak sesuai dengan membawa ke meja hijau juga belum
efektif karena saat dilakukan sidak mereka dengan pintar melakukan berbagai cara
agar lolos uji salah satu upaya yaitu dengan memasang CCTV dan memantau
keadaan sekitar, dan jika akan terjadi pengecekan maka mereka akan mengubah
pola pembuangan limbah sesuai dengan standar. Meninjau permasalahan industri
tekstil Majalaya yang cukup pelik, maka perlu adanya solusi yang dapat
menjawab permasalahan air dan lingkungan tersebut dengan tetap memperhatikan
aspek sosial, ekonomii, dan budaya masyarakat sekitar agar dampak yang dirasaka
masyarakat dapat dirasakan secara optimal tanpa ada salah satu aspek yang
tersisihkan.

Air sendiri merupakan komponen yang sangat penting bagi


berlangsungnya makhluk hidup baik manusia, hewan, tumbuhan, ataupun
mikrobia yang ada di dalam sungai. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka dapat
diperkiraan bahwa warga Majalaya tidak akan dapat menikmati air bersih dan
kesehatannya akan terganggu, serta dari segi ekonomi juga terbelakang karena
mereka harus membeli air bersih untuk pemenuhan hidupnya. Meninjau hal
tersebut, dapat diketahui bahwa permasalahan air mencakup keseluruhan aspek
kehidupan baik dari kesehatan, ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Oleh karena
itu dalam pengelolaannya juga tidak bisa sembarangan. Melihat dari keadaan
Majalaya yang berada di sekitar Sungai Citarum pengelolaan limbah yang
berkelanjutan dapat menjadi solusi yang tepat agar limbahnya tidak terbuang dan
mencemari DAS Citarum. Menilik pelajaran dari Singapura dengan pengelolahan
airnya yang baik sehingga berhasil memenuhi kebutuhan air bersih yang dahulu
harus mengimpor dari Malaysia, kita seharusnya dapat mencontoh pengelolaan
dan pendekatan apa yang telah mereka lakukan. Di Singapura sendiri dapat
diketahui bahwa tidak terdapat air tanah yang dimiliki, namun mereka bisa
memanfaatkan air yang ada dengan baik dengan sungai yang tetap bersih dan
jernih. Di Indonesia sendiri, sudah terdapat pengelolaan limbah dengan Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL). Pemanfaatan IPAL dapat digunakan untuk
menjernihkan air dengan memfiltrasi bakteri – bakteri atau zat yang ada agar
kembali menjadi air jernih yang bersih. Dalam pengelolaannya, IPAL dapat
digunakan untuk (1) mengolah limbah organik yang berupa kotoran hewab taupun
sisa aktivitas pertanian, (2) mengolah limbah perkotaan yang berupa kotoran
manusia dan limbah rumah tangga serta (3) limbah industri termasuk di dalamnya
pada limbah kimiawi maupun limbah pertambangan. Dalam pelaksanaan yang
berada di perkotaan sendiri yaitu Majalaya dapat diterapkan IPAL Perkotaan dan
IPAL Industri. Penerapan IPAL sendiri saat ini sudah banyak diterapkan di
beberapa daerah misalnya di Yogyakarta tepatnya di Dukuh Kalipucang, terdapat
pengelolaan limah dengan IPAL yang dapat menambah nilai ekonomis karena
bisa dijadikan sebagai kawasan edu-wisata. Selain itu, di Imogiri, Yogyakarta
pengembangan hasil IPAL justru menambah nilai plus yang lebih karena selain
menjadi kawasan edu-wisata juga hasil pengelolaan IPAL dimanfaatkan sebagai
pupuk pertanian dan terbukti pada tanaman rumput gajah yang tumbuh dengan
subur. Selain itu, penerapa IPAL Industri juga patut untuk dilakukan mengingat
banyaknya industri tekstil yang tersebar di kawasan Majalaya. Berdasarkan
penelitian telah dilakukan oleh suatu lembaga menunjukkan adanya keuntungan
ekonomis bagi penerapan IPAL yang ditunjukkan dengan tingginya nilai bersih
sekarang (Net Present Value) maupun rasio pemanfaatannya, sehingga IPAL
merupakan solusi yang tepat bagi pengelolaan limbah industri untuk mengurangi
pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah industri itu sendiri. Namun,
dalam penerapnya IPAL memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk dilakukan,
sehingga perlu adanya kerjasama dengan industri sekitar agar biaya awal maupun
biaya perawatanya dapat diminimalisir. Selain itu, dengan penerapa IPAL yang
terintegrasi satu dengan lain maka nilai efektifitasnya lebih tinggi karena
mengelola langsung dalam skala yang besar. Melalui penerapan ini, Majalaya
dapat terbebas dari limbah yang mengancam kesehatan serta hasil dari IPAL
perkotaan tadi dapat dimanfaatkan sebagai pertanian, serta masyarakat tidak lagi
kekurangan air bersih.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk


memperoleh air bersih di Kabupaten Majalaya dapat diterapkan instalasi
pengolahan air limbah (IPAL) terpadu yang diterapkan pada masyarakat dan
pelaku industri yang berkelanjutan sehingga dapat memenuhi kebutuhan air bersih
di Majalaya, mengembalikan fungsi sungai sebagaimana mestinya, serta memiliki
nilai ekonomis.

REFERENSI

Ahmad Ashov Birry dan Hilda Meutia. 2012. Bahan Beracun Lepas Kendali,
Sebuah Potret Pencemaran Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun di
Badan Sungai Serta Beberapa Titik Pembuangan Industri Tak Bertuan,
Studi Kasus Sungai Citarum. GREENPEACE ASIA TENGGARA:
WALHI JAWA BARAT.

Dachlan, Diella. 2015. Dilema Industri dan Limbah Majalaya. Tersedia pada
http://citarum.org/info-citarum/berita-artikel/1320-dilema-industri-dan-
limbah-majalaya.html

Kompas. 2011. EKSPEDISI CITARUM Laporan Jurnalistik Kompas. PT Kompas


Media Nusantara: Jakarta.

Hardiyanto, Tris. 2008. Penerapan Pengolahan Air Limbah Industri di Indonesia


Tidak Optimal .Tersedia pada http://www.kabarindonesia.com/

Anda mungkin juga menyukai