Anda di halaman 1dari 23

Nyeri Perut Kanan Bawah

Roy 25 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari

yang lalu. Nyeri perut muncul namun Roy tidak dapat menunjukkan dengan tepat

bagian yang paling sakit. 3 jam sebelum masuk RS, pasien mengeluh nyeri menetap

pada perut kanan bawah disertai demam, nyeri makin bertambah disertai rasa seperti

tertusuk-tusuk, pasien juga merasa mual dan muntah beberapa saat yang lalu. BAB

belum sejak kemarin.

Step 1

Identifikasi Kata Sukar dan Kata Kunci

1. Identifikasi Kata Sukar :


Pada skenario ini kelompok satu tidak menemukan dan mendapati adanya kata
sukar.

2. Identifikasi Kata/Kalimat kunci :


1. Roy 25 tahun dating ke UGD RS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.
2. Nyeri sejak 2 hari yang lalu dan Roy tidak dapat menunjukkan dengan tepat
bagian yang paling sakit.
3. Nyeri disertai rasa seperti tertusuk-tusuk.
4. Pasien merasa mual dan muntah.
5. Pasien belum BAB sejak kemarin.

Appensitis 1
Step 2

Identifikasi Masalah dan Pertanyaan

1. Apa etiologi terkait pada kasus diatas?


2. Bagaimana alur diagnosis yang dapat dilakukan terkait kasus tersebut?
3. Bagaimana penanganan awal terhadap pasien pada kasus tersebut?
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis terkait kasus tersebut?
5. Mengapa nyeri yang dirasakan di perut kanan bawah?
6. Apa sajakah diagnosis banding yang dapat diambil terkait kasus tersebut?
7. Apa sajakah manifestasi klinik dari kasus tersebut?
8. Bagaimana epidemiologi terkait kasus tersebut?
9. Apa sajakah factor risiko yang dapat menyebabkan keluhan seperti pada kasus
tersebut?
10. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan terkait kasus tersebut? Baik secara
farmakologi maupun non farmakologi.
11. Apa sajakah komplikasi yang dapat timbul dari kasus tersebut?
12. Bagaimana prognosis terkait kasus tersebut?
13. Apa sajakah edukasi yang dapat diberikan kepada pasien terkait penyakit yang
dialaminya tersebut?

Appensitis 2
Step 3

Jawaban Atas Pertanyaan Step 2

1. Nyeri karena inflamasi peritoneum, perforasi, pankreatitis, diverticulosis;


kelainan mukosa visceral akibat tukak peptic, colitis, esophagitis; Obstruksi
visceral karena ileus obstruksi; regangan kapsul organ karena hepatomegaly,
pankreatitis; gangguan vascular karena infark atau iskemik; gangguan motilitas
karena irritable bowel syndrome (IBS), dyspepsia; serta dari ekstraabdominal
seperti herpes dan trauma.

2. Secara umum, alur diagnosis yang dilakukan yaitu anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, ditanyakan identitas,
keluhan utama serta kebiasaan pasien yang kemungkinan menjadi factor resiko
penyakit yang diderita pasien. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi pada
perut kuadran bawah; palpasi untuk mengetahui apakah terdapat nyeri tekan
atau tidak, terutama pada 1/3 Mc Burney, pemeriksaan rovsing sign, psoas sign,
rebound tendeness, defans muscular disepanjang M. rectus abdominus.

3. Untuk penanganan awal yang diberikan kepada pasien tersebut, diberikan


antibiotic seperti kloramfenikol dan sefalosporin yang mempunyai spectrum
luas; kemudian juga dapat diberikan OAINS seperti ibuprofen. Kemudian
minta pasien untuk control kembali 3 hari setelah itu, tidak boleh lebih.

4. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah USG, foto polos abdomen
untuk melihat tanda perforasi, ileus dan obstruksi usus; kemudian juga dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang pemeriksaan leukositosis, CPR,

Appensitis 3
pemeriksaan colok dubur, serta pemeriksaan urin untuk menyingkirkan
diagnosis banding terkait infeksi saluran kemih.

5. Nyeri pada perut kanan bawah dapat disebabkan karena adanya nyeri visceral,
atau juga karena posisi appendix yang terletak di kuadran kanan bawah.

6. Diagnosis banding yang didapatkan berdasarkan keluhan pasien pada scenario


terkait nyeri pada perut kanan bawah adalah appendicitis, infeksi saluran
kemih, colitis, ileus obstructive, diverticulitis, kolik bilier, kolik renal, serta
Inflamatory Bowel Disease (IBD).

7. Manifestasi klinis terkait scenario tersebut adalah terdapat nyeri tekan di


kuadran inguinal kanan dirasakan sampai kuadran inguinal kiri serta dapat
menyebar di seluruh permukaan abdomen; kemudian pasien juga dapat
mengalami demam, mual, muntah, konstipasi, dan kalua terjadi perforasi dapat
menyebabkan peritonitis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bahwa obturator
sign (+), psoas sign (+), rovsing sign (+), defans muscular (+) disepanjang M.
rectus abdominus.

8. Jawaban dimasukkan dalam learning objective.

9. Faktor resiko yang dapat menyebabkan keadaan tersebut pada scenario yaitu
karena factor kebiasaan. Kebiasaan makan rendah serat, jarang minum air,
sering menahan BAB, makanan tidak sehat yang mengandung bakteri, serta
mengonsumsi biji-bijian.

10. Jawaban dimasukkan dalam learning objective.

Appensitis 4
11. Komplikasi yang dapat timbul terkait penyakit yang diderita pasien sesuai
scenario diatas adalah peritonitis, sepsis, perforasi, abses, nekrosis appendix,
dan appendicitis kronik eksaserbasi akut.

12. Prognosis terkait kasus ini adalah dubia. Hal ini tergantung pada penanganan
yang dilakukan terhadap pasien.

13. Edukasi yang diberikan kepada pasien yaitu terkait kebiasaan pasien untuk
mengubah kebiasaan makan makanan rendah serat, makanan tidak sehat, biji-
bijian, jarang minum air serta sering menahan BAB.

Appensitis 5
Step 4
Mind Mapping

Roy 25 tahun Keluhan Utama :

1. Nyeri perut kanan


bawah 2 hari yll
2. Demam
3. Nyeri seperti tertusuk-
- Anamnesis
tusuk
- Pemeriksaan Fisik 4. Mual dan muntah
- Pemeriksaan Penunjang 5. Belum BAB sejak

Diagnosis Banding

Diagnosis kerja Komplikas

Penatalaksanaan

Prognosis

Edukasi

Appensitis 6
Step 5

Learning Objectives

1. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis-diagnosis banding berdasarkan

keluhan yang ditemukan pada skenario.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi terkait diagnosis kerja yang

diambil.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan factor-faktor resiko yang dapat mempengaruhi

terkait diagnosis kerja tersebut.

4. Mahasiwa mampu menjelaskan patomekanisme dari diagnosis kerja tersebut.

5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan yang dilakukan terkait

diagnosis kerja tersebut, baik secara farmakologi maupun non farmakologi.

6. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi.

Appensitis 7
Step 6

Belajar Mandiri

( Hasil belajar mandiri akan dibahas pada step 7 yaitu Jawaban Atas Learning

Objektif )

Step 7

Jawaban Atas Learning Objectives

Diskusi dan Presentasi Hasil Belajar Mandiri

Appensitis 8
1. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis-diagnosis banding berdasarkan

skenario.

1.1.Apendisitis

Etiologi
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab
obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada
sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid, Carcinoid atau tumor
lainnya Benda asing (pin, biji-bijian), Kadang parasit, serta penyebab lain
yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix
oleh parasit E. histolytica.1

Manifestasi klinis
1) Tanda awal
nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan
anorexia. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5o
C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi
2) Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc Burney nyeri tekan. Nyeri lepas defans
muskuler
3) Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada
tekanan kiri (Rovsing’s Sign) nyeri kanan bawah bila tekanandi
sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign)

Appensitis 9
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah peritonitis, abses subfrenikus,
infiltrat dan fokal sepsis intraabdominal lain.2

1.2.Ileus Obstruktif

Etiologi

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun


penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus.

Manifetasi klinis

Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,
muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual
muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi
di bagian distal maka gejala yang dominant adalah nyeri abdomen. Distensi
abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus
menjadi sangat dilatasi.

a) Obstruksi sederhana

Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah


yang banyak, yang jarang menjadi muntah fekal walaupun
obstruksi berlangsung lama. Nyeri abdomen bervariasi dan sering
dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas.
Obstruksi bagian tengah atau distal menyebabkan kejang di daerah
periumbilikal atau nyeri yang sulit dijelaskan lokasinya. Kejang
hilang timbul dengan adanya fase bebas keluhan. Muntah akan
timbul kemudian, waktunya bervariasi tergantung letak sumbatan.
Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin
fekulen. Obstipasi selalu terjadi terutama pada obstruksi komplit.

Appensitis 10
b) Obstruksi disertai proses strangulasi

Kira-kira sepertiga obstruksi dengan strangulasi tidak diperkirakan


sebelum dilakukan operasi. Gejalanya seperti obstruksi sederhana
tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri hebat. Hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila
dijumpai tanda-tanda strangulasi maka diperlukan tindakan operasi
segera untuk mencegah terjadinya nekrosis usus

Komplikasi

Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang
berakhir dengan perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut
dengan akibat peritonitis umum.3

1.3.Kolitis Ulseratif

Etiologi

Inflamasi yang terjadi pada usus besar atau colon dan rectum. Etiologi
colitis ulseratif masih belum diketahui penyebabnya. Namun berdasarkan
penelitian ditemukan adanya hubungan dengan faktor genetic, infeksi, dan
imunologik.

Manifetasi klinis

Beberapa keluhan yang sering dikeluhkan adalah :

1) diare berdarah

2) nyeri abdomen

3) demam

4) penurunan BB

Appensitis 11
Komplikasi

1) Pendarahan hebat.

2) Megakolon toksik atau pembengkakan usus besar. Komplikasi ini bisa


menyebabkan septikemia dan pecahnya usus besar.

3) Kanker kolon. Setelah menjalani proses pengobatan, pengidap kolitis


ulseratif dianjurkan untuk lebih sering menjalani pemeriksaan untuk
mendeteksi kanker kolon karena risiko mereka lebih tinggi.4

1.4.Kolik Renal

Etiologi

Sumbatan akibat batu ginjal atau batu ureter, namun dapat juga disebabkan
oleh sumbatan bekuan darah. Nyeri ginjal (renal colic), yang terasa di
pinggang, tidak menjalar, terjadi akibat regangan kapsul ginjal, sering
berhubungan dengan mual dan muntah. Nyeri kandung kemih (buli-buli),
terasa di bawah pusar.

Manifestasi klinis

Fase pertama adalah fase akut, dimana nyeri umumnya dimulai pada pagi
atau malam hari yang dapat membangunkan penderita dari tidur. Jika nyeri
dimulai pada siang hari, nyeri umumnya mulai perlahan. Nyeri pada kolik
renal umumnya semakin memburuk seiring waktu, terus menerus dan dapat
disertai serangan nyeri yang sangat hebat. Nyeri dapat mencapai intensitas
maksimum dalam 30 menit sampai 6 jam setelah timbul pertama kali (rata
– rata 1 – 2 jam). Fase kedua adalah fase konstan, dimana nyeri menetap
sampai nyeri diobati atau hilang dengan sendirinya. Fase ini umumnya
berlangsung 1 – 4 jam atau lebih lama. Fase ketiga adalah fase akhir yang
umumnya berlangsung selama 1,5 – 3 jam, dimana nyeri menghilang

Appensitis 12
dengan cepat. Kolik renal seringkali diikuti gejala lain seperti mual,
muntah, air seni berwarna cokelat kemerahan, sering merasa ingin buang
air kecil, dan tidak dapat menahan buang air kecil.5

2. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi terkait diagnosis kerja yang

diambil.

Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak dari suatu akut abdomen. Pada
tahun 2006 dicatat bahwa Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 321
juta kasus tiap tahun.6

Menurut Anderson dalam penelitiannya pada tahun 2012 bahwa penyakit ini
dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada usia 20-30
tahun, walaupun jarang ditemui diatas 65 tahun tetapi sering berakibat pada
apendisitis perforasi. Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang
hidupnya sekitar 6-9%, dimana di negara barat 7% dari penduduknya menderita
apendisitis akut dan memerlukan intervensi bedah.6

Kasus apendisitis akut paling banyak dijumpai di Amerika Utara, Inggris,


Australia, dan lebih jarang ditemui di Asia, Afrika Tengah dan masyarakat
Eskimo. Jika penduduk dari negara-negara ini bermigrasi ke negara barat atau
merubah pola diet seperti masyarakat barat, kejadian apendisitis akan
meningkat, oleh karena diperkirakan distribusi penyakit ini dipengaruhi oleh
lingkungan dan bukan genetik.6

Menurut hasil penelitian Bachoo dkk, apendisitis akut lebih banyak ditemukan
pada mereka yang lebih banyak mengkonsumsi daging dibandingkan dengan
masyarakat yang mengkonsumsi tinggi serat. Di Amerika Serikat kasus
apendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi dan perbandingan insiden pada laki-
laki dan wanita 3:1. Sekitar 70% kasus apendisitis terjadi pada usia dibawah 30

Appensitis 13
tahun khususnya terbanyak pada usia 15-30 tahun. Apendisitis akut sering
terjadi pada usia 20–30 tahun, dengan ratio laki- laki dibandingkan dengan
perempuan 1,4:1, resiko terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan
perempuan 6,7 % di USA. Simpson dan Scholefied, mengatakan insiden
terjadinya apendisitis akut di UK pada laki-laki 1,5% dan 1,9% pada perempuan
per 1000 populasi setiap tahunnya dengan angka kekambuhan 6-20%. Di USA
7- 9% dari penduduknya menderita apendisitis akut dan memerlukan intervensi
bedah.6

Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 20 – 35 juta kasus


apendisitis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Statistik
menunjukan bahwa setiap tahun apendisitis menyerang 10 juta penduduk
Indonesia. Menurut Lubis (2008), saat ini morbiditas angka apendisitis di
Indonesia mencapai 95 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan tertinggi
di antara Negara-negara di Assosiation south East Asia Nation (ASEAN).7

Menurut Depkes RI, jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis di


Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk di Indonesia, jumlah
pasien yang menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah
penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Berdasarkan hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, apendisitis akut merupakan
salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan
operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di Indonesia
menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya
(Depkes 2008). Kasus apendisitis di Jawa Tengah tahun 2009, dilaporkan
sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyebabkan kematian. Jumlah penderita
appendiksitis tertinggi ada di Kota Semarang, yakni 970 orang. Hal ini mungkin
terkait dengan diet serat yang kurang pada masyarakat modern (Dinkes Jateng,
2009). 7

Appensitis 14
Survey di 12 propinsi tahun 2008 menunjukan jumlah apendisitis yang dirawat
di rumah sakit sebanyak 3.251 kasus. Jumlah ini meningkat drastis
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 1.236 orang. Di awal
tahun 2009, tercatat 2.159 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat
apenditis, melihat data tersebut dan kenyataan bahwa masih banyak kasus
apendisitis yang tidak terlaporkan, Departemen Kesehatan mengatakan
apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional
karena mempunyai dampak pada kesehatan masyarakat.7

3. Mahasiswa mampu menjelaskan factor-faktor resiko yang dapat mempengaruhi

terkait diagnosis kerja tersebut.

1) Kebiasaan makan
a. Rendah Serat
Penilitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.
Konstipasi akan membuat naiknya tekanan intrasekal, yang
mengakibatkan timbulnya sumbatan fungsional appendix dan
meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon biasa, sehingga akan
menyebabkan terjadinya peradangan di appendix menjadi
appendicitis.8,9

b. Tinggi lemak
Apabila kadar kolesterol dalam darah meningkat, sedangkan
penyerapan serat makanan tertentu sangat kurang akibat konsumsi
lemak yang tinggi, maka tidak akan keluar dengan feses tetapi akan
menumpuk di usus dan mengakibatkan pembusukan dan terjadi

Appensitis 15
peradangan di kolon, peradangan mengakibatkan terjadinya
appendicitis.8,9

2) Umur
Semua orang dapat mengalami appendicitis, tetapi pada orang yang berusia
10-30 tahun bisa menyebabkan kegawatdaruratan abdomen. Dari hasil
penelitian, 1% dari hasil kasus bedah, sangat jarang terjadi pada infant,
kejadiannya bertambah dengan umur, dengan puncaknya umur 10-30 tahun
laki-laki dibanding perempuan di usia remaja 3:2 menjadi 1:1 sesudah usia
25 tahun.8,9

3) Jenis kelamin
Appendicitis terjadi 15-20% pada laki-laki, lebih sedikit daripada
perempuan. Hal ini disebabkan oleh appendix yang terletak berdekatan
dengan tuba fallopi dan kandungan.8,9

4) Pola Buang Air Besar


Penyebab fungsional konstipasi yang sering adalah kebiasaan buang air
yang tidak teratur, yang berkembang selama masa kehidupan akibat
penghambatan refleks defekasi normal.8,9

5) Riwayat keturunan
Hiraiwa dkk, menemukan dalam penilitian skala besar dikeluarga Jepang
bahwa 40% dengan dua orang anak dan 20% dengan satu orang anak dapat
terjadi appendicitis akut selama masa kanak-kanak. Tetapi kecenderungan
keluarga untuk mengalami appendicitis akut dapat juga terjadi oleh karena
faktor lingkungan seperti infeksi bakteri tertentu, kebiasaan makanan
tertentu, atau perbedaan genetik dalam resisten terhadap infeksi bakteri.8,9

Appensitis 16
4. Mahasiswa mampu menjelaskan patomekanisme berdasarkan diagnosis kerja

tersebut.

Appendiks secara fisiologis akan terus mengahasilkan sekresi mukosanya,


perharinya akan dihasilkan 1-2 ml. Normalnya hasil sekresi itu akan langsung
di salurkan menuju caecum sehingga tekanan intra-luminak appendiks akan
tetap normal. Namun lain ceritanya apabila terdapat hambatan atau obstruksi
pada aliran pengeluaran sekresi ini, dampak yang ditimbulkan adalah keadaan
patologis yang selama ini dikenal sebagai peradangan appendiks
(Appendisitis).10,11,12

Appendisitis akut diawali dengan adanya obstruksi pada lumen appendiks yang
dapat diperantarai oleh hyperplasia folikel lymphoid, fekalit, benda asing,
striktur karena fibrosis dan juga neoplasma. Karena hasil sekresi appendiks
tidak dapat di salurkan menuju caecum oleh adanya obstruksi maka akan terjadi
distensi dan peregangan appendiks. Normalnya kapasitas lumen appendiks
hanya sekitar 0,1 ml, namun apabila obstruksi terjadi maka dapat meningkat
menjadi 0,5, keadaan ini secara langsung dapat meningkatkan tekanan intra-
luminal appendiks. Jika keadaan ini terus berlangsung maka akan terjadi
gangguan drainase pembuluh limpatik sehingga edema akan meningkat dan
memungkinkan terjadinya infeksi. Pada akhirnya efek dari obstruksi ini akan
mengakibatkan terjadinya keadaan appendicitis akut yang di tandai oleh nyeri
epigastrium yang tumpul, difus dan samar akibat dari perangsangan visceral
N.T9 & T10. 10,11,12

Bila keadaan ini terus berlanjut dimana terjadi peningkatan sekresi mucus dan
tekanan intra-luminal maka dapat menyebabkan obstruksi vena sehingga edema
bertambah. Keadaan ini juga dapat meningkat peluang terjadi infeksi bakteri
pada dinding appendiks sehingga peradangan akan meluas dan dapat mengenai
peritoneum setempat. Efek yang ditimbulkan adalah rasa nyeri somatik yang

Appensitis 17
lokal dan jelas pada perut kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai
Appendisitis supuratif akut. Bila pada perkembangan tekanan luminal tetap
meningkat dan terjadi iskemia akibat gangguan vascular arteri, maka dapat
menimbulkan necrosis pada appendiks. Keadaan ini disebut sebagai
appendicitis gangrenosa yang jika dinding appendisitisnya rupture maka
disebut sebagai Appendisitis perforata. 10,11,12

5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan yang dilakukan terkait

diagnosis kerja tersebut, baik secara farmakologi maupun non farmakologi.

Penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:


Sebelum operasi:13,14
1) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2) Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3) Rehidrasi
4) Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara
intravena
5) Obat – obatan penurun panas, phe nergan sebagai anti mengigil, largaktil
untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai
6) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

Operasi: 13,14
1) Apendiktomi
2) Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
3) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil,
atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa

Appensitis 18
hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6
minggu sampai 3 bulan

Pasca Operasi: 13,14


1. Observasi Tanda - tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selam pasien
dipuasakan.
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikut nya
diberikan makanan lunak.
7. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2x30 menit.
8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
9. Hari ke -7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang
Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis
ditegakkan.

Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh,


resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan
beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan
jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup
organisme yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella,
dan pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena

Appensitis 19
adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan
klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24
jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum,
dan antibiotik diteruskan sampai 7 -10 hari. 13,14

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforata


ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforata diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih
bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu,
operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3
hari saja. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elekt if dapat
dikerjakan 2 -3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks.
Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,
dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 13,14

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak membaik
atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. 13,14

6. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi.

Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus


buntu dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang
terinfeksi) atau peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan
utama untuk perforasi appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan
perawatan. Secara umum, semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan

Appensitis 20
operasi, semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah
onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu, setelah didiagnosa radang usus
buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda. 15

Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus.


Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan
otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika
penyumbatan usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut,
mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin perlu untuk mengeluarkan
isi usus melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan dan ke dalam perut
dan usus.15

Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana


bakteri menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya.
Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudley,
1992): 15
1) Infeksi luka
2) Abses residual
3) Sumbatan usus akut
4) Ileus paralitik
5) Fistula tinja eksternal.

Appensitis 21
REFERENCES

1. D J Humes and J Simpson. Acute appendicitis. BMJ Volume : 333, H.530-534.


2006
2. Hiroshi ISHIKAWA. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis.
Department of Surgery, Sasebo Municipal Hospital. JMAJ 46(5): 217–221,
2003.
3. Margaretha Novi Indrayani. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA ILEUS
OBSTRUKTIF. [internet] [c.2015]. [19 juni 2016] Available from:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82529&val=970
4. Julianus. Kolik renal. [internet] [c.2015]. [19 juni 2016] Available from:
http://www.pebijulianto.co.vu/2009/06/kolik-renal-batu-sal-kemih.html
5. Gary Mann. Bowel Obstruction. [internet] [c.2015]. [19 juni 2016] Available
from:
http://depts.washington.edu/surgstus/Clerkship/Lectures/print/BowelObs_Ma
nn.pdf
6. H korner et all. Incidence of acute nonperforated and perforated appendicitis:
age-specific and sex-specific analysis. World J Surgery. 1997; 21(3):313-7.
7. Epidemiologi appendisitis. . [internet]. [cited on June, 8 2016] Available from:
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/0914028208-3-bab%202.pdf
8. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong, (2005) “Buku Ajar Ilmu Bedah” (Edisi kedua).
Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.
9. Almatsiar, S. (2010). Prinsip dasar ilmu gizi. (Edisi kesembilan). PT Gramedia
: Jakarta.
10. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Ed 3. EGC;
Jakarta: 2014
11. Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of
Surgery. Ed 18. Elsevier; India: 2008

Appensitis 22
12. Hasya MN. Appendisitis akut. USU Institutional Repository. Universitas
Sumatra Utara.[Internet] 2012 [Diambil pada 20 Juni 2016] Diambil pada:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf

13. Keshav S. The Gastrointestinal System at a Glance. London : Ashford Colour


Press. 2004
14.Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV . Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2014
15. Anonim. Appendisitis. [internet]. [cited on June 2016] Available
from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21908/4/Chapter%20II
.pdf

Appensitis 23

Anda mungkin juga menyukai