Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TIJUAUAN PUSTAKA

2.1 Pelepah Sawit


Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak
masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Kelapa sawit termasuk
tumbuhan yang tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya berupa
tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila masak berwarna
merah kehitaman. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya
dapat digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya
dimanfaatkan untuk makanan ternak, khususnya sebagai salah satu bahan
pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan
Karbon.
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit
yang dibawa dari Maritius dan Amsterdam untuk ditanam di Kebun Raya Bogor.
Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial
pada tahun 1911. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur
Sumatra (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya saat itu sebesar 5.123 ha.
Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 sebesar 576 ton ke
negara-negara Eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit
sebesar 850 ton (Fauzi dkk,. 2012).

Gambar 2.1 Pohon Kelapa Sawit


Klasifikasi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut :
Kingdom : Tumbuhan (Plantae)
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis Guineensis
Pelepah sawit merupakan salah satu limbah perkebunan yang dapat
dijadikan sebagai bahan baku pakan. Pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22
buah pelepah sawit/tahun dan jika tidak dilakukan pemangkasan dapat melebihi
60 pelepah/tahun (Pahan, 2007). Tingginya kadar lignin dalam pelepah sawit
membuat banyak penelitian yang dilakukan untuk dapat menurunkan kadar
lignin, seperti perlakuan fisik, kimia maupun biologis. Tujuan perlakuan tersebut
supaya ikatan lignoselulosa bisa terpecahkan sehingga serat kasar yang berupa
selulosa dan hemiselulosa yang terikat pada ikatan lignoselulosa tersebut dapat
dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi (Imsya, 2013).
Tabel 2.1 Kandungan Senyawa Kimia Penyusun Serat pada Pelepah Kelapa Sawit
Unsur Kimiawi Pelepah Kelapa Sawit (%)
Selulosa 33,7
Hemiselulosa 35,9
Lignin 17,4
Silika 2,6
Abu 3,3
Nitrogen 2,38
Kalium 1,316
Magnesium 0,487
Posfor 0,157
Sulfur 0,40
Klorida 0,70
Sumber : (Ginting dan Elizabeth, 2013)
Pelepah kelapa sawit juga dapat dijadikan sebagai bahan dasar untuk
pembuatan kompos. Data dari Badan Pusat Statistik Riau (2010), luas perkebunan
kelapa sawit di Riau adalah 1.911 juta hektar. Luasnya perkebunan kelapa sawit
ini juga akan menghasilkan bahan sisa (bahan buangan) dalam jumlah yang sangat
besar diantaranya pelepah daun. Pelepah daun kelapa sawit yang selama ini
kurang dimanfaatkan oleh masyarakat dan lebih bersifat limbah karena biasanya
pelepah ini hanya ditumpuk disekitar pohon saja. Pelepah daun kelapa sawit ini
berpotensi untuk digunakan sebagai bahan kompos.

Gambar 2.2 Pelepah Sawit

Proses dekomposisi pelepah kelapa sawit secara alami membutuhkan waktu


yang lama yaitu sekitar 3-4 bulan. Kondisi seperti ini kurang baik dampaknya
terhadap lingkungan karena jumlah penumpukan tidak diimbangi dengan jumlah
penguraian. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan penambahan berbagai
macam dekomposer yang mengandung mikroorganisme pengurai seperti efektif
mikroorganisme, Trichoderma sp, orgadeg, stardec, dan mikroorganisme lokal
yang juga dapat memperbaiki kualitas kompos (Sundari, 2011).

2.2 Asam Formiat (HCOOH)


Asam semut adalah senyawa asam karboksilat yang paling sederhana
dengan nama lain asam format (atau sering disebut asam formiat). Rumus molekul
asam formiat adalah HCOOH dan rumus strukturnya. Asam formiat ini secara
alami terkandung didalam sengat lebah dan semut sehingga sering disebut asam
semut. Nama asam formiat sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu formica yang
berarti semut. Pada awalnya, senyawa asam formiat ini diisolasi melalui distilasi
semut, dan saat ini dapat dapat disintesis dengan cara yang lebih mudah di
laboratorium. Asam formiat juga merupakan senyawa intermediat (senyawa
antara) yang penting dalam banyak sintesis kimia.
Beberapa ilmuwan melakukan penelitian yang berhubungan dengan Asam
formiat dari semut tersebut. Brunfles pada permulaan abad ke-16 menyelidiki uap
dari semut gunung penyebab warna merah dari tumbuh-tumbuhan. Et-Muller pada
tahun 1684 telah mendistilasi sejumlah semut gunung yang menghasilkan suatu
“acid spirit” yang dapat merusak besi. Fisher mendistilasi sejumlah semut dengan
air dan ditemukan pada larutan distilatnya suatu asam menyerupai “spirit of
vinegar”. Pada umumnya, Asam formiat yang dijual dipasaran mempunyai kadar
85% dan 90% sedangkan dalam bentuk anhidrat tersedia dalam jumlah bebas.
Asam formiat banyak digunakan untuk koagulan karet, conditioner pada
pencelupan tekstil, industri kulit serta sintesa bahan-bahan farmasi dan bahan
kimia lain.
Asam formiat memiliki banyak kegunaan dan digunakan pada berbagai
macam industri dan reaksi- reaksi. Salah satu industri yang sering menggunakan
asam formiat adalah industri karet. Dalam industri karet, asam formiat digunakan
sebagai bahan koagulan untuk mengkoagulasi karet dari lateks. Kualitas karet
yang dihasilkan dengan asam formiat lebih baik dibandingkan dengan jenis
koagulan lainnya. Industri lain yang menggunakan asam formiat adalah industri
tekstil dan kulit. Pada industri tekstil, asam formiat digunakan untuk mengatur pH
pada proses pemutihan, pencelupan/ pewarnaan. Asam formiat merupakan asam
yang lebih kuat dari asam asetat sehingga menghasilkan produk yang lebih baik.
Pada industri kulit, asam formiat digunakan dalam proses penyamakan kulit yaitu
sebagai bahan pembersih zat kapur dan pengatur pH saat pencelupan. Asam
formiat digunakan untuk menetralkan kapur (deliming) agar kulit menjadi lebih
besar dan padat. Asam formiat merupakan bahan yang mudah menguap sehingga
tidak akan tertinggal pada serat kulit. Asam formiat juga sering digunakan pada
peternakan. Pada peternakan, asam formiat untuk mengawetkan membunuh
bakteri yang terdapat pada makanan ternak. Apabila disemprotkan pada jerami,
asam formiat dapat menahan proses pembusukan dan membuat makanan ternak
dapat mempertahankan nutrisinya lebih lama. Kegunaan-kegunaan lain dari asam
formiat adalah sebagai berikut:

1. Reagen pada reaksi kimia organik, sebagai sumber gugus formil dan ion
hidrogen
2. Cleaning / disinfection, sebagai bahan produk pembersih komersial dan
disinfektan tong kayu untuk membuat anggur atau bir.
3. Membersihkan logam asam (industri electroplating)
4. Desulfurisasi flue gas, digunakan dalam proses desulfurisasi SHU
(Saarberg-HoelterUmwelttlechnik)
5. Sebagai bahan baku dalam industri farmasi f. Sebagai bahan aditif pada
pengeboran minyak Asam format (nama sistematis: asam metanoat)
adalah asam karboksilat yang paling sederhana

2.3 Hidrogen Klorida (HCl)


Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen klorida (HCl). Ia
adalah asam kuat, dan merupakan komponen utama dalam asam lambung.
Senyawa ini juga digunakan secara luas dalam industri. Asam klorida harus
ditangani dengan wewanti keselamatan yang tepat karena merupakan cairan yang
sangat korosif.

2.4 Biomassa
Biomassa adalah keseluruhan makhluk hidup (hidup atau mati), misalnya
tumbuh tumbuhan, binatang, mikroorganisme, dan bahan organik (termasuk
sampah organik). Unsur utama dari biomassa adalah bermacam-macam zat kimia
(molekul) yang sebagian mengandung atom karbon. Bila kita membakar
biomassa, karbon tersebut dilepaskan ke udara dalam bentuk karbon dioksida
(CO2). Energi biomassa merupakan energi tertua yang telah digunakan sejak
peradaban manusia dimulai, sampai saat inipun energi biomassa masih memegang
peranan penting khususnya di daerah pedesaan (Daryanto, 2007).

Salah satu bahan bakar biomassa yang paling penting adalah kayu. Kayu
dapat dikumpulkan dari hutan dan hanya menebang pohon sesuai ukuran yang
dibutuhkan untuk dijadikan bahan bakar. Tapi kayu sering kali terlalu berharga
untuk dibakar, banyak industri memanfaatkannya sebagai bahan untuk kontruksi.
Banyak dari hasil limbah pertanian yang ahirnya dijadikan bahan bakar, seperti
misalnya jerami, biji-bijian, sekam padi, coklat, kopi, bagas tebu. Penggunaan
limbah biomassa untuk dijadikan bahan bakar secara tidak langsung membantu
menyelesaikan permasalahan lingkungan. Lahan-lahan kosong mulai ditanami
tumbuhan yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Setiap jenis
biomassa memiliki sifat tertentu yang menentukan kinerjanya sebagai bahan bakar
dalam proses pembakaran baik dengan menggunakan prisip gasifikasi. Sifat yang
paling penting yang berkaitan dengan konversi termal biomassa adalah kadar air,
kadar abu, kadar zat terbang, komposisi unsur, nilai kalor, kerapatan jenis (Quakk
et al., 1999).

Tabel 2.4 Komposisi Kimia Beberapa Biomassa

Biomassa Selulosa Hemiselulosa Lignin


(Lignoselulosa) (%-berat) (%-berat) (%-berat)
Kayu keras 38-49 19-26 23-30
Kayu lunak 40-45 7-14 26-34
Rumput esparto 33-38 27-32 17-19
Bambu 26-43 16-26 21-31
Batang jagung 35-45 20-28 14-34
Ampas tebu 32-44 27-32 19-24
Jerami gandum 29-35 26-32 16-21
Jerami padi 28-36 23-28 12-16
Sabut kelapa 30,6 19,9 38,9
Sabut sawit 34,3 27,2 31,9
Batang sawit 45,8 25,9 22,6
Pelepah sawit 37-45 23-25 18-20
Tandan kosong sawit 36-42 25-27 15-17
Sumber : (Tim Penyusun, 2017)

Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sangat


besar, diantaranya mini/mikro hydro sebesar 450 MW, biomass 50 GW, energi
surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6 m/det, dan energy nuklir sebesar 3 GW.
Pengembangan EBT mengacu pada Perpres No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan
energi nasional, yang disebutkan bahwa kontribusi EBT dalam bauran energi
primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi bahan
bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomassa, nuklir, air, surya, dan angina
5%, serta batu bara yang dicairkan sebesar 2 %. Upaya yang dikembangkan
pemerintah untuk mendorong pemanfaatan biomassa adalah memanfaatkan
limbah industri pertanian, dan kehutanan (Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2008).

2.5 Komponen Kimiawi Biomassa


Setiap biomassa mengandung komponen kimiawi utama yang terdiri atas
selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Oleh karena ketiga kandungan tersebut maka
biomassa disebut juga bahan berlignoselulosa (Smook 1994).
2.5.1 Selulosa
Selulosa merupakan salah satu polimer yang tersedia melimpah di alam.
Produksi selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahunnya. Sebagian dihasilkan
dalam bentuk selulosa murni seperti yang terdapat dalam rambut biji tanaman
kapas.Namun paling banyak adalah yang berkombinasi dengan lignin dan
polisakarida lain seperti hemiselulosa dalam dinding sel tumbuhan berkayu, baik
pada kayu lunak dan keras, jerami atau bambu. Selain itu selulosa juga dihasilkan
oleh bakteri Acetobacter xylinum secara ekstraseluler (Klemm et al, 1998).
Senyawa ini juga dijumpai dalam plankton bersel satu atau alga di lautan, juga
pada jamur dan bakteri (Potthast et al., 2006). Sebagai bahan baku kimia,
selulosa telah digunakan dalam bentuk serat atau turunannya selama
sekitar 150 tahun (Habibi et al., 2010).
Selulosa pertama kali dijelaskan oleh Anselme Payen pada 1838 sebagai
serat padat yang tahan dan tersisa setelah pemurnian jaringan tanaman dengan
asam dan amonia (Brown dan Saxena, 2007). Payen mengamati bahwa bahan
yang telah dimurnikan mengandung satu jenis senyawa kimia yang seragam, yaitu
karbohidrat. Hal ini berdasarkan residu glukosa yang mirip dengan pati. Payen
juga mengatakan bahwa selulosa adalah isomer dari bahan penyusun pati
(Zugenmaier, 2008).
Selulosa tersusun dari unit-unit anhidroglukopiranosa yang tersambung
dengan ikatan β-1,4-glikosidik membentuk suatu rantai makromolekul tidak
bercabang. Setiap unit anhidroglukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil
(Potthast et al., 2006). Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10 O5)n dengan
n ~ 1500 dan berat molekul ~ 243.000 (Rowe et al., 2009).

Gambar Struktur selulosa (Zugenmaier, 2008)

Untuk mendapatkan sifat fisik dan kimia yang lebih baik dan memperluas
aplikasinya, selulosa dibuat dalam berbagai turunannya diantaranya turunan ester
dan eter. Ester selulosa banyak digunakan sebagai serat dan plastik, sedangkan
eter selulosa sebagai pengikat dan bahan tambahan untuk mortir khusus atau
kimia khusus untuk bangunan dan konstruksi juga stabilisator viskositas pada cat,
makanan, produk farmasetik, dan lain-lain. Selulosa juga merupakan bahan dasar
dalam pembuatan kertas. Seratnya mempunyai kekuatan dan durabilitas yang
tinggi. Jika dibasahi dengan air, menunjukkan pengembangan ketika jenuh dan
juga higroskopis. Bahkan dalam keadaan basah, serat selulosa alami tidak
kehilangan kekuatannya (Zugenmaier, 2008).

2.5.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polimer polisakarida heterogen tersusun dari unit D-
glukosa, D-manosa, L-arabiosa dan D-xilosa. Hemiselulosa pada kayu berkisar
antara 20-30%. Dilihat dari strukturnya, selulosa dan hemiselulosa mempunyai
potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus OH yang
terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat Adanya gugus OH, pada
selulosa dan hemiselulosa lebih kuat menjerap zat yang bersifat polar dari pada
zat yang kurang polar. Mekanisme jerapan yang terjadi antara gugus –OH yang
terikat pada permukaan dengan ion logam yang bermuatan positif (kation)
merupakan mekanisme petukaran ion sebagai berikut (Padil, 2010).
Gambar 2.3 Struktur Hemiselulosa (

2.5.3 Lignin
Lignin merupakan senyawa aromatik dan material amorf yang terbentuk
dalam dinding sel dan middle lamela (lamela tengah) dalam kayu. Sebagai suatu
polimer kompleks, lignin memiliki berat molekul tinggi yang terbentuk selama
kondensasi dari unit-unit struktural yang mempunyai beberapa tipe yang sama.
Unit-unit struktural tersebut adalah fenilpropana (C6C3) yang tersubstitusi pada
dua atau tiga posisi dalam cincin benzenanya (Browning 1967).
Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga yang berikatan
secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa. Struktur molekul lignin sangat
berbeda bila dibandingkan dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik
yang tersusun atas unit-unit fenil propana. Selama perkembangan sel, lignin
dimasukkan sebagai komponen terakhir dalam dinding sel, menembus diantara
fibril-fibril sehingga memperkuat dinding sel. p-hidroksinamil alkohol p-koumaril
alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol merupakan senyawa induk
(prekursor) primer seperti pada Gambar 1 dan prekursor tersebut merupakan unit
pembentuk lignin (Fengel dan Wegener, 1995).
Menurut Kirk dan Othmer (1952), lignin terdiri dari 61-65% karbon, 5,0-
6,1% hidrogen dan oksigen dengan panas pembakarannya sebesar 11.300 Btu/lb
(6.280 kal/gram). Secara fisis lignin berwujud amorf (tidak berbentuk), berwarna
kuning cerah dengan bobot jenis berkisar antara 1,3 – 1,4 bergantung pada sumber
ligninnya dan indeks refraksi sebesar 1,6.
Gambar 2. Struktur Lignin (
Lignin bersifat tidak larut dalam air, larutan asam dan larutan hidrokarbon.
Dikarenakan lignin tidak larut dalam asam sulfat 72%, maka sifat ini sering
digunakan untuk uji kuantitatif lignin. Lignin tidak dapat mencair, tetapi akan
melunak dan kemudian menjadi hangus bila dipanaskan. Lignin yang
diperdagangkan larut dalam alkali encer dan dalam beberapa senyawa organik.
Lignin umumnya tidak larut dalam pelarut sederhana, namun lignin alkali dan
lignin sulfonat larut dalam air, alkali encer, larutan garam dan buffer. Faktor-
faktor yang mempengaruhi bobot molekul lignin, yaitu keragaman prosedur
isolasi, degradasi makromolekul selama isolasi, efek kondensasi terutama pada
kondisi asam. Bobot molekul rata-rata lignin kraft dan lignin sulfonat berkisar
2000-1000.000. Pada suasana asam lignin cenderung melakukan kondensasi.
Peristiwa ini menyebabkan bobot molekul lignin bertambah, dan dalam keadaan
yang sangat asam, lignin terkondensasi ini akan mengendap (Achmadi,1990).
2.6 Fraksionasi Biomassa
Fraksionasi biomassa merupakan proses pemilahan biomassa menjadi
komponen utama penyusunnya, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Komponen tersebut dapat dikonversi menjadi berbagai produk seperti pulp,
perekat, bahan kimia dan bahan peledak (Dapia et al., 2002; Zhang et al., 2010).
Metode fraksionasi biomassa lebih efektif dan ekonomis dibandingkan konversi
termal dan biologi. Konversi termal membutuhkan energi yang lebih besar untuk
mengkonversi biomassa menjadi produk yang bernilai ekonomis, sedangkan
konversi biologi membutuhkan waktu yang lebih lama (Lee et al., 2014).
2.7 Proses Organosolv
Proses organosolv adalah proses pemisahan serat dengan
menggunakan bahan kimia organik seperti metanol, etanol, aseton, asam asetat,
asam formiat dan lain-lain. Proses ini telah terbukti sangat efisien dalam
pemanfaatan sumber daya hutan dan tidak merugikan lingkungan dibandingkan
dengan proses sulfit dan kraft yang memberikan masalah bagi lingkungan yaitu
bau yang disebabkan oleh senyawa belerang. Oleh karena itu, permasalahan yang
dihadapi oleh industri pulp dan kertas dapat diatasi oleh proses organosolv. Selain
itu proses organosolv memberikan beberapa keuntungan, antara lain yaitu
rendemen pulp yang dihasilkan tinggi, daur ulang lindi hitam dapat dilakukan
dengan mudah, tidak menggunakan unsur sulfur sehingga lebih aman terhadap
lingkungan, dapat menghasilkan by-products (hasil sampingan) berupa lignin dan
hemiselulosa dengan tingkat kemurnian tinggi (Zhang et al.,2008).
Pembuatan pulp dengan organosolv (berdasarkan pemanfaatan pelarut
organik sebagai media delignifikasi) dapat digunakan sebagai teknologi
pemurnian biomassa, karena produk yang dihasilkan terdiri dari selulosa serta
liquor yang terdiri dari hemiselulosa dan lignin yang bebas dari belerang. Asam
hidrolisis dapat digunakan untuk menghidrolisis hemiselulosa menjadi monomer
pembentuk hemiselulosa (Isroi, 2012).
Ada berbagai macam jenis proses organosolv, namun yang telah
berkembang pesat pada saat ini adalah proses alcell (alcohol cellulose) yaitu
proses pulping dengan menggunakan bahan kimia pemasak alkohol, proses
acetocell (menggunakan asam asetat), dan proses organocell (menggunakan
metanol) (Zhang et al.,2008).

Anda mungkin juga menyukai