Abstrak
Pterygium merupakan penyakit mata bagian eksternal yang umum terjadi secara
global. Pterygium dapat menyebabkan terjadinya astigmatisme serta
menimbulkan gangguan lain seperti menurunnya tajam penglihatan, iritasi kronik,
inflamasi rekuren, penglihatan ganda, serta gangguan pergerakan bola mata
bahkan kebutaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor
risiko dengan kejadian Pterygium di Poliklinik Mata BLUD RSU Cut Meutia,
Kabupaten Aceh Utara tahun 2015. Jenis penelitian ini adalah observasional
analitik dengan pendekatan kasus kontrol. Penelitian ini dilaksanakan di bulan
September 2015-Maret 2016 dan jumlah sampel sebanyak 30 pasien pterygium dan
30 pasien non-pterygium. Analisis data menggunakan analisis univariat dan
bivariat dengan uji Chi Square ( ) dan uji fisher’s exact. Nilai p<0,05 dianggap
berhubungan secara statistik. Pasien pterygium memiliki pekerjaan terbanyak
yaitu di luar ruangan (83,3%), riwayat keluarga dengan pterygium (46,7%),
riwayat merokok (30%), riwayat tidak memakai topi (66,7%), riwayat tidak
memakai kacamata (86,7%) dan kategori usia terbanyak adalah lansia-manula
(66,7%). Tidak terdapat hubungan antara faktor risiko pekerjaan (p = 0,086 ; OR
3,33 (CI 95% 0,998-11,139)), merokok (p = 0,784; OR 0,74 (CI 95% 0,252-2,175)),
riwayat memakai topi (p = 0,778; OR 0,72 (CI 95% 0,240-2,206)), riwayat memakai
kacamata (p = 1,000; OR 0,72 (CI 95% 0,147-3,545)) dan usia (p = 1,529; OR 1,52 (CI
95% 0,536-4,361)) dengan kejadian pterygium. Terdapat hubungan antara faktor
risiko riwayat keluarga pterygium dengan kejadian pterygium (p = 0,000).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya faktor risiko riwayat keluarga
pterygium yang berhubungan dengan kejadian pterygium di Poliklinik Mata
BLUD RSU Cut Meutia, Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.
Kata Kunci : merokok; pekerjaan; pterygium, riwayat keluarga dengan pterygium, , riwayat
menggunakan topi dan kacamata
Abstract
Pterygium is a common eye disease that occurs globally. Pterygium may cause
astigmatism and also other disorders such as decreased visual acuity, chronic
irritation, recurrent inflammation, double vision, and eye movement disorders and
even blindness. This study aims to determine the relation between risk factors and
the occurrence of pterygium at eye policlinic BLUD RSU Cut Meutia, Kabupaten
Aceh Utara in 2015. This study used analytic observational method with case-
control design. This study was conducted on September, 2015-March, 2016 and the
number of sample in this study were divided into 30 patients with pterygium and
30 patients non-pterygium. The data was analyzed by using univariate and
bivariate analysis by using Chi Square test (x ) and fisher’s exact test. P value<0,05
was considered statistically significant. Most patients with pterygium have an
outdoor occupation (83.3%), family history with pterygium (46.7%), smoking habit
(30%), no hat (66.7%) and eyeglasses (86.7%) wearing, and elderly-very old age
category (66.7%). There were no relations between occupation (p = 0.086 ; OR 3.33
(CI 95% 0.998-11.139)), smoking (p = 0.784; OR 0.74 (CI 95% 0.252-2.175)), wearing
of hat (p = 0.778; OR 0.72 (CI 95% 0.240-2.206)) and eyeglasses (p = 1.000; OR 0.72
(CI 95% 0.147-3.545)) and age (p = 1.529; OR 1.52 (CI 95% 0.536-4.361)) with
pterygium. There was a relation between family history and pterygium (p = 0.000).
The study concluded that only family history with pterygium had relation with the
pterygium at eye policlinic BLUD RSU Cut Meutia, Kabupaten Aceh Utara in 2015.
Keywords: smoking; occupation; pterygium; family history; wearing of hat and eyeglasses
bagian eksternal yang umum terjadi dengan Kota Lhokseumawe yang merupakan
prevalensi berkisar antara 0,7% dan 33% salah satu kota di wilayah Provinsi Aceh
secara global. Penyakit ini digambarkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
seperti berbentuk sayap, terdapat lesi menjadi salah satu kota dengan insidensi
fibrovaskular yang melintasi bagian nasal ptergium yang cukup tinggi di Aceh.
atau temporal limbus.1 Pterygium dapat Lhokseumawe menempati urutan ketiga
menyebabkan terjadinya astigmatisme serta prevalensi pterygium nasional tertinggi
menimbulkan gangguan lain seperti setelah Bireuen dan Aceh Singkil. Aceh
menurunnya tajam penglihatan, iritasi Tenggara mempunyai prevalensi pterygium
kronik, inflamasi rekuren, penglihatan terendah yaitu 3,0%.6 Data Badan Layanan
ganda, serta gangguan pergerakan bola Umum Daerah Rumah Sakit Umum (BLUD
mata.2 Pterygium berpotensi menyebabkan RSU) Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara
kebutaan dan mengganggu kosmetik, pada pada tahun 2013 menunjukkan 375 orang
stadium lanjut memerlukan tindakan yang mendapat pelayanan kesehatan
operasi untuk perbaikan visus. dengan pterygium. Data pada tahun 2014,
Pertumbuhan pterygium dipengaruhi oleh menunjukkan 370 orang yang mendapat
faktor-faktor risiko, penyebab dan distribusi pelayanan kesehatan dengan pterygium.
penyakit yang berguna untuk memberikan Data dari bulan Januari sampai April 2015
strategi yang tepat dalam pencegahan menunjukkan 139 orang yang menderita
terjadinya pterygium.3 pterygium.
Pterygium lebih sering ditemukan di Data prevalensi pterygium nasional
daerah beriklim tropis dan subtropics.4 tahun 2013 dan Riskesdas Aceh 2013
Angka prevalensi pterygium di Amerika menunjukkan bahwa pterygium merupakan
Serikat berkisar 2% (bagian utara) sampai salah satu penyakit kelainan konjungtiva
7% (bagian selatan).3 Prevalensi pterygium dengan angka morbiditas yang tinggi dan
dilaporkan dalam studi yang berbeda Kota Lhokseumawe menduduki peringkat
bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, ketiga tertinggi insidensi pterygium di
ras, dan geografi. Pterygium ditemukan Provinsi Aceh. Data BLUD RSU Cut Meutia
sekitar 23,4% dari orang kulit hitam, 23,7% Kabupaten Aceh Utara juga menunjukkan
dari campuran (orang kulit hitam dan kulit tingginya angka prevalensi pterygium pada
putih), dan 10,2% dari orang kulit putih pasien yang mendapat pelayanan kesehatan.
dalam studi mata di Barbados. Prevalensi Tujuan umum dari penelitian ini
pterygium dalam berbagai penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor
didaerah Cina, mulai dari 2,9% di utara Cina, risiko dengan kejadian Pterygium di
14,49% di Tibet dan 33,01% di daerah Poliklinik Mata BLUD RSU Cut Meutia,
pinggiran di Cina selatan. Di Singapura, Kabupaten Aceh Utara tahun 2015.
6,9% dari etnis Tionghoa dewasa ditemukan
memiliki pterygium disalah satu matanya.5 Metode
Prevalensi pterygium nasional adalah Penelitian ini menggunakan metode
sebesar 8,3% dengan prevalensi tertinggi observasional analitik dengan pendekatan
ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku case control. Populasi dalam penelitian ini
(18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). adalah seluruh pasien di Poliklinik Mata
Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi BLUD RSU Cut Meutia Kabupaten Aceh
pterygium terendah yaitu 3,7%, diikuti oleh Utara tahun 2015. Sampel dalam penelitian
ini dibagi kedalam dua kelompok, yaitu pelindung), aktivitas lain, dan paparan asap
kelompok pasien pterygium di Poliklinik rokok, Kuesioner III yang berisi informasi
Mata BLUD RSU Cut Meutia Kabupaten tentang hasil pemeriksaan mata yang
Aceh Utara tahun 2015 (kelompok kasus) didapat dari data rekam medis pasien,
dan kelompok pasien yang tidak menderita terdiri dari: Grade dan Lokasi pterygium,
pterygium di Poliklinik Mata BLUD RSU Kuesioner IV yang berisi informasi tentang
Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara tahun ada atau tidaknya riwayat pterygium dalam
2015 (kelompok kontrol) pada periode keluarga.7
penelitian yang memenuhi kriteria Analisis univariat dalam penelitian ini
penelitian. Sumber data dalam penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
diperoleh dari data primer. Data primer karakteristik setiap faktor risiko pterygium
didapatkan dengan menggunakan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
kuesioner. Langkah-langkah pengumpulan Analisis bivariat dalam penelitian ini
data adalah menjelaskan tujuan penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan
kepada responden, meminta persetujuan setiap variabel dalam penelitian ini dengan
responden untuk diwawancarai, peneliti pterygium menggunakan uji chi square dan
melakukan wawancara responden untuk uji fisher’s exact dengan α 0,05. Setelah
mengisi kuesioner berdasarkan faktor risiko dilakukan uji chi square dan uji fisher’s exact,
terjadinya pterygium. maka analisis data dilanjutkan dengan
Instrumen yang digunakan dalam menghitung nilai Odds Ratio. Hasil
penelitian ini adalah Kuesioner yang terbagi perhitungan nilai Odds Ratio adalah untuk
dalam 4 kelompok yaitu Kuesioner I yang melihat seberapa besar proporsi pemaparan
berisi informasi tentang pengenalan tempat pada kelompok kasus dibandingkan dengan
yang terdiri dari: kabupaten atau kodya, kelompok kontrol.
kecamatan, desa atau kelurahan, daerah,
letak geografis, Kuesioner II yang berisi Hasil Penelitian
informasi tentang sosial dan demografi yang A. Karakteristik Faktor Risiko pada Pasien
terdiri dari: nama responden, umur, jenis Pterygium
kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan Distribusi faktor risiko dari 30
(meliputi lama bekerja, lokasi tempat kerja, responden yang mengalami pterygium di
jika diluar ruangan berapa jam sehari, Poliklinik mata BLUD RSU Cut Meutia,
apakah memakai topi dan kaca mata seperti yang tertera pada Tabel 1.
Kejadian Pterygium
Non-
Pterygium
% Pterygium % Total % p value OR
Luar
Ruangan 25 83,3 18 60 43 71,7
Pekerjaan 0,086 3,333
Dalam
Ruangan 5 16,7 12 40 17 28,3
Total 30 100 30 100 60 100
Kejadian Pterygium
Non-
Pterygium
% Pterygium % Total % p value OR
Pasien pterygium yang memiliki sebanyak 14 orang (46,7%) dan yang tidak
riwayat keluarga dengan pterygium yaitu memiliki riwayat keluarga dengan
pterygium yaitu sebanyak 16 orang (53,3%). Hal ini menunjukkan Ho ditolak dan Ha
Semua pasien non-pterygium tidak diterima yaitu terdapat hubungan antara
memiliki riwayat keluarga dengan faktor risiko riwayat keluarga pterygium
pterygium (100%). Hasil uji Chi Square (X2) dengan kejadian pterygium di poliklinik
didapatkan nilai p value sebesar 0,000 (p < α). mata BLUD RSU Cut Meutia Tahun 2015.
Kejadian Pterygium
Non-
Pterygium
% Pterygium % Total % p value OR
Pasien pterygium yang memiliki di poliklinik mata BLUD RSU Cut Meutia
riwayat merokok yaitu sebanyak 9 orang Tahun 2015.
(30,0%) dan yang tidak memiliki riwayat Hasil perhitungan didapatkan nilai
merokok yaitu sebanyak 21 orang (70,0%). Odds Ratio (OR) = 0,740. Nilai OR < 1 maka
Pasien non-pterygium yang memiliki dapat disimpulkan bahwa merokok bukan
riwayat merokok adalah sebanyak 11 orang merupakan faktor risiko terjadinya
(36,7%) dan yang tidak memiliki riwayat pterygium. Nilai OR tersebut memiliki
merokok adalah sebanyak 19 orang (63,3%). pengertian bahwa risiko untuk mengalami
Hasil uji Chi Square (X2) didapatkan nilai p kejadian pterygium 0,7 kali (42%) pada
value sebesar 0,784 (p > α). Hal ini pasien yang memiliki riwayat merokok
menunjukkan Ho diterima dan Ha ditolak daripada pasien yang tidak memiliki
yaitu tidak terdapat hubungan antara faktor riwayat merokok.
risiko merokok dengan kejadian pterygium
Kejadian Pterygium
Non-
Pterygium
% Pterygium % Total % p value OR
Pasien pterygium paling banyak tidak sebanyak 20 orang (66,7%). Pasien non-
memiliki riwayat memakai topi yaitu pterygium paling banyak tidak memiliki
riwayat memakai topi yaitu sebanyak 22 dapat disimpulkan bahwa riwayat memakai
orang (73,3%). Hasil uji Chi Square (X2) topi bukan merupakan faktor risiko
didapatkan nilai p value sebesar 0,778 (p > α). terjadinya pterygium. Nilai OR tersebut
Hal ini menunjukkan Ho diterima dan Ha menunjukkan bahwa risiko untuk
ditolak yaitu tidak terdapat hubungan mengalami kejadian pterygium 0,7 kali
antara faktor risiko riwayat memakai topi (42%) pada pasien yang tidak memiliki
dengan kejadian pterygium di poliklinik riwayat memakai topi daripada pasien yang
mata BLUD RSU Cut Meutia Tahun 2015. memiliki riwayat memakai topi.
Hasil perhitungan didapatkan nilai
Odds Ratio (OR) = 0,727. Nilai OR <1 maka
pterygium bahwa 70,0% pasien pterygium itu, sitokin dan mediator inflamasi lainnya
tidak merokok, sedangkan 30,0% lainnya juga menyebabkan peningkatan jumlah sel T
memiliki kebiasaan merokok. Terdapat yang diaktivasi, jumlah produksi substansi
63,3% pasien non-pterygium yang tidak inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan.14
merokok dan sisanya yaitu 36,7% mengaku
memiliki kebiasaan merokok. Penelitian D. Gambaran Faktor Risiko Pemakaian Topi
yang dilakukan Laszuarni (2010) juga dan Kacamata
menyatakan hasil yang sama bahwa lebih
Penelitian yang dilakukan di poliklinik
banyak responden pterygium yang tidak
mata BLUD RSU Cut Meutia mendapatkan
merokok dibandingkan dengan yang
hasil dari 30 responden yang mengalami
memiliki riwayat merokok. Hasil dari
pterygium berupa 66,7% responden tidak
penelitian tersebut didapatkan 12,4%
menggunakan topi saat beraktivitas di luar
responden pterygium memiliki riwayat
ruangan dan 33,3% responden mengaku
merokok dan 21,0% tidak memiliki riwayat
menggunakan topi sedangkan pada 30
merokok. Merokok dianggap sebagai salah
responden non-pterygium didapatkan
satu faktor risiko dalam pembentukan gejala
73,3% responden tidak menggunakan topi
mata kering dan asap rokok mengandung
dan sisanya 26,7% menggunakannya. Dari
banyak senyawa yang dapat mengiritasi
kajian di atas didapatkan bahwa lebih
mata dan bersifat racun. Selain dapat
banyak responden yang tidak menggunakan
mengiritasi mata, asap rokok juga berperan
topi saat beraktivitas di luar ruangan. Hal
dalam mekanisme iskemik atau oksidatif
tersebut juga terjadi pada penggunaan
yang melibatkan produksi radikal bebas dan
kacamata pada responden. Sebanyak 86,7%
penurunan mekanisme antioksidan.13
responden pterygium tidak menggunakan
Iritasi mata yang terjadi secara
kacamata saat beraktivitas di luar ruangan
berulang menyebabkan lengkung neural
dan hanya 13,3% yang mengaku
diaktivasi secara berlebihan dan
menggunakannya. Hal serupa juga terjadi
menyebabkan perubahan sekresi air mata.
pada pasien non-pterygium dengan 90,0%
Ditandai dengan sekresi sel T yang
responden mengaku tidak menggunakan
teraktivasi dan sitokin dalam air mata.
kacamata dan 10,0% sisanya menggunakan
Keberadaan sitokin dalam air mata
kacamata.
menyebabkan inflamasi pada permukaan
Menurut penelitian Mackenzie et al.,
okuler yang akan mengganggu
(1992) dalam Meseret, Bejiga & Ayalew
penyampaian sinyal sensoris dari
(2008), tingginya persentase jumlah pasien
permukaan mata sehingga sekresi basal air
yang tidak menggunakan topi ataupun
mata menurun. Pada kelenjar lakrimalis
kacamata berkaitan dengan adanya
baik secara langsung maupun tidak
hubungan yang kuat antara paparan sinar
langsung juga mengalami kerusakan.
UV dan pembentukan dari pterygium.
Keadaan ini menyebabkan penurunan
Penelitian juga mengidentifikasi adanya
sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak
persentase risiko yang lebih besar pada
dapat diatasi oleh sistem pertahanan mata
orang yang tidak pernah menggunakan
yang normal, walaupun secara fisiologis di
kacamata ataupun topi.
dalam air mata mengandung komponen anti
inflamasi. Inflamasi tersebut juga
E. Gambaran Faktor Risiko Usia
menyebabkan disfungsi dari sistem air mata
sehingga terjadi gangguan drainase yang Kejadian pterygium terkait faktor risiko
menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan usia dalam penelitian yang dilakukan di
peningkatan aktivasi dari limfosit T. Selain poliklinik mata BLUD RSU Cut Meutia
faktor risiko riwayat keluarga pterygium memiliki arti bahwa risiko untuk mengalami
dengan kejadian pterygium (p value = 0,005 kejadian pterygium 0,7 kali lebih besar pada
< α=0,05). Riwayat keluarga dengan pasien yang memiliki riwayat merokok
pterygium, kemungkinan diturunkan daripada pasien yang tidak memiliki
autosomal dominan. riwayat merokok.