Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara baik rutin maupun pembangunan adalah pajak. Undang-Undang Dasar
1945 pasal 23 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “Segala pajak dipungut berdasarkan
undang undang demi kepentingan negara dan ditunjukan kesejahteraan rakyat”. Di Indonesia
sendiri, pemerintah menggunakan sistem self assessment system. Sistem pemungutan pajak
yang menuntut Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan (tax compliance) dengan
secara pro aktif mengelola administrasi perpajakannya. Self assesment system memberikan
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang mulai dari
menghitung, melapor dan menyetor jumlah pajak terutang, sedangkan sistem pembayaran
(payment) berlaku dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak maupun melalui pemotongan
pihak ketiga (witholder system).
Untuk memaksimalkan penerimaan pajak penghasilan, negara mengeluarkan UU No.36
Tahun 2008 yang merupakan perubahan keempat dari UU No. 7 Tahun 1983 yang mengatur
tentang pajak penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan. Dalam
pelaksanaannnya terdapat perbedaan kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah.
Wajib pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin sedangkan pemerintah
memerlukan dana sebesar-besarnya dari penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran
negara. Karena adanya perbedaan kepentingan ini, maka dengan self assesment system wajib
pajak cenderung berusaha meminimalkan jumlah pembayaran pajak. Upaya untuk
meminimalisi pembayaran pajak ini disebut dengan perencanaan pajak (tax planning).
Di Indonesia, pajak menjadi sumber penerimaan utama untuk kegiatan pembiayaan
negara. Bagi negara besarnya jumlah pajak yang diterima maka kondisi keuangan negara
akan semakin baik. Bagi wajib pajak, membayar pajak malah dijadikan sebuah beban.
Akibatnya semakin sedikit pajak yang dibayar akan semakin menguntungkan. Bagi suatu
badan usaha, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih. Kemudian,
muncullah cara atau usaha untuk meminimalisasi beban pajak yang ditanggung badan usaha
tersebut. Hanya ada dua cara untuk meminimalisasi beban pajak, secara legal yaitu masih
dalam bingkai undang-undang perpajakan maupun dengan cara melanggar undangundang
yang berlak Menurut Noviandi Librata (2013) meminimalisasi beban pajak dengan baik
secara legal, dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan dikenal
dengan perencanaan pajak (tax planning). Tujuan yang diharapkan dengan adanya tax
planning ini adalah mengefisiensikan pembayaran pajak terutang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Perencanaan pajak merupakan langkah awal
dalam manajemen pajak. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi
kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan
seminimal mungkin untuk memperolah laba dan likuiditas yang diharapkan. Selanjutnya
tinggal melaksanakan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak
(tax control).
Sebelum perencanaan pajak, pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan
perpajakan harus dilakukan. Wajarnya, tax planning bertujuan untuk meminimumkan
kewajiban pajak yang berdasarkan harus memenuhi syarat- syarat, diantaranya tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis mampu diterima dan bukti-bukti
pendukungnya memadai
Mencari keuntungan semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin yang
sesuai dengan prinsip ekonomi, maka untuk pelaksanaan perencanaan pajak pada suatu badan
usaha sangat dibutuhkan dalam mengurangi beban pajak yang mengurangi laba bersih yang
akan diperoleh.
Berdasarkan hal-hal diatas tax planning bisa diartikan sebagai proses pengambilan tax
factor yang relevan dan non tax factor yang material untuk melakukan menentukan apakah,
kapan, bagaimana, dan dengan siapa (pihak mana) untuk melakukan transaksi, operasi dan
hubungan dagang yang memungkinkan tercapainya beban pajak pada tax event yang se-
efisien mungkin dan sejalan dengan tujuan perusahaan
Pengukuran beban pajak pada perusahaan sangat berpengaruh terhadap efektifitas
kinerja keuangan perusahaan. Kinerja keuangan perusahaan merupakan ukuran seberapa
berhasil suatu perusahaan dalam memanfaatkan modal dan aset perusahaannya untuk
menghasilkan keuntungan. Penilaian kinerja keuangan terhadap perusahaan sangatlah penting
karena dengan adanya penilaian kinerja keuangan perusahaan tersebut maka akan dapat
diketahui seberapa besar keberhasilan perusahaan dalam menjalankan usahanya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Menurut Mardiasmo (2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) yang langsung ditunjukan dana
yang digunakan untuk membayar pengeluran umum.
Definisi Penghasilan menurut Undang – undang PPh Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7
tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – undang Nomor 36 tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun. Sesuai dengan Undang – undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Terutang Tarif PPh Pasal 31 huruf e
2.1.2 Fungsi Pajak
Ada dua fingsi pajak yaitu fungsi pendanaan; sebagai salah satu sumber penerimaan
negara yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran
rutin maupun pengeluaran untuk pembangunan, dan fungsi mengatur; pajak yang tinggi akan
dikenakan untuk konsumsi sesuatu yang kurang bermanfaat agar dapat mengurangi gaya
hidup konsumtif, dan tarif pajak untuk ekspor 0%, untuk mendorong ekspor produk indonesia
dipasar dunia
Menurut Resmi (2011:3) ada dua fungsi pajak, yaitu sebagai berikut:
a. Pajak mempunyai fungsi budgetair
b. Pajak mempunyai fungsi pengatur
2.1.3 Jenis-Jenis Pajak
Menurut Resmi (2011:7) terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi
tiga,yaitu:
a. Menurut golongan: pajak langsung dan Pajak tidak langsung
b. Menurut Sifatnya: pajak subjektif dan pajak Objektif.
c. Menurut Lembaga Pemungut: Pajak Negara (Pajak Pusat) dan Pajak Daerah
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Resmi (2011:11) terdapat berbagai sistem pemungutan pajak, yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a) Official Assessment System
b) Self Assessment System
c) With Holding System
2.1.5 Tarif Pajak
Menurut Purwono (2010:14), penentuan besarnya pajak didasarkan pada tarif yang
telah ditetapkan dengan peraturan perpajakan. Secara umum, dikenal 4 tarif perpajakan,
yaitu:
a) Tarif Proporsional disebut tarif dengan istilah tarif sebanding atau tarif sepadan
b) Tarif Progresif berupa persentase yang meningkat apabila jumlah yang dikenai pajak
juga meningkat.
c) Tarif Degresif berupa persentase yang semakin kecil apabila jumlah yang dikenai
pajak semakin besar Tarif Tetap berupa jumlah yang tetap (sama) untuk berapapun
jumlah yang dikenai pajak
2.1.6 Manajemen Pajak
Menurut Suandy (2009:6), Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi
kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Tujuan manajemen pajak
yaitu menerapkan peraturan perpajakan secara benar sebagai usaha efisiensi untuk mencapai
laba dan likuiditas yang diharapkan.
Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi – fungsinya yaitu :
1. Perencanaan pajak
2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan
3. Pengendalian pajak
2.1.7 Pengertian Perencanaan Pajak
Menurut Zain (2008:43), Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses
mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga
utang pajaknya, baik pajak penghasilan atau pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi
minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan maupun secara komersial
Menurut Suandy (2010:6), perencanaan pajak adalah analisis sistematis dari berbagai
pemilihan pajak yang berbeda, yang bertujuan meminimalkan kewajiban dalam tahun
berjalan untuk periode yang akan datang
2.1.8 Tujuan Perencanaan Pajak
Tujuan implementasi tax planning dalam kegiatan usaha wajib pajak adalah untuk
mencapai sasaran perusahaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, dengan cara
menggunakan tax planning secara lengkap, benar dan tepat waktu yang sesuai dengan
Undang- undang Perpajakan, sehingga tidak terkena sanksi administratif (denda, bunga,
kenaikan pajak) dan sanksi pidana
2.1.8 Motivasi Perencanaan Pajak
Motvasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya
bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu :
1. Kebijakan Perpajakan
2. Undang – undang Perpajakan
3. Administrasi Perpajakan
2.1.9 Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak
Dalam arus globalisasi, seorang manajer harus memperhitungkan adanya kegiatan
bersifat lokal untuk membuat suatu perencanaan pajak, kaerna itu perusahaan hasus
mempunyai strategi perencanaan secara menyeluruh. urutan tahap – tahap berikut ini :
1. Menganalisis Informasi yang ada
2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.
3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak.
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak.
5. Memutakhirkan rencana pajak
2.1.10 Strategi Dalam Perencanaan Pajak
A. Tax Saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
B. Tax Avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan
pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak.
C. Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan Dengan menguasai peraturan
pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan
D. Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa
melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran
PPN
E. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan Wajib Pajak sering kurang
memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang
merupakan pajak dibayar dimuka.
2.1.11 Jenis-Jenis Perencanaan Pajak
Menurut Suandy (2009:25) jenis-jenis perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan Pajak Domestik (National Tax Planning)
2. Perencanaan Pajak Internasionl (International Tax Planning)
2.1.12 Tahapan Pembuatan Perencanaan Pajak
Menurut Suandy (2008:13) agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang
diharapkan, maka rencana itu dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Menganalisis Informasi Yang Ada
2. Buat Satu Model atau Lebih Rencana Besarnya Pajak
3. Evaluasi Atas Perencanaan Pajak
4. Mencari Kelemahan dan Kemudian Meperbaiki Kembali Rencana Pajak
5. Mutakhirkan Rencana Pajak
2.1.13 Strategi untuk Mengefisienkan Beban PPh Badan
1. Pemilihan alternatif dasar pembukuan, basis kas atau basis akrual.
2. Pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberi kesejahteraan kepada
karyawan.
3. Pemilihan metode penilaian persediaan.
4. Pemilihan sumber dana dalam pengadaan asset tetap.
5. Pemilihan metode penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tidak berwujud.
6. Transaksi yang beraitan dengan pemungutan pajak (withholding tax).
7. Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar.
8. Permohonan penurunan pembayaran angsuran masa (PPh Pasal 25
bulanan).
9. Pengajuan surat keterangan bebas (SKB) PPh Pasal 22 dan Pasal 23
10. Rekonsliasi SPT.
11. Penyertaan modal pada perseroan terbatas dalam negeri
2.1.14 Bentuk-Bentuk Perencanaan Pajak
Menurut Suandy (2009: 113) bentuk-bentuk perencanaan pajak yaitu:
1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entity) yang
tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha.
2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan.
3. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai
pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang
diperbolehkan oleh undang-undang.
4. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha (corporate company) sehingga diatur
mengenai penggunaan tarif pajak yang paling menguntungkan antara masing-masing
badan usaha (business entity).
5. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai profit center dan ada yang hanya berfungsi
sebagai cost center.
6. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura dan
kenikmatan (fringe Benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk menghindari
lapisan tarif maksimum (shif to lower bracket).
7. Pemilihan metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian yang dizinkan oleh
peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata (average) dan metode masuk pertama
keluar pertama (first in first out).
8. Untuk pendanaan aktiva tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha dengan hak
opsi (finance lease) di samping pembelian langsung karena jangka waktu leasing
umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan pembayaran leasing dapat dibiayakan
seluruhnya.
9. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang
berlaku.
10. Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi yang
bukan objek pajak.
11. Mengoptimalkan kredit pajak yang di perkenankan, untuk ini wajib pajak harus jeli
untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan.
12. Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan
pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo.
13. Menghindari pemeriksaan pajak, periksaan pajak oleh Direktorat jenderal pajak
dilakukan terhadap wajib pajak yang SPT lebih bayar, SPT rugi, tidak memasukkan
SPT atau terlambat memasukkan SPT, terdapat informasi pelanggaran, dan memenuhi
kriteria tertentu yang ditetapkan oleh dirjen pajak
2.1.15 Koreksi Fiskal
1. Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/ penyesuaian yang akan mengakibatkan
meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan
terhutangnya juga akan meningkat.
2. Koreksi Fiskal Negatif adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya
laba kena pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan menurun
2.1.16 Laporan Keuangan Komersil dan Fiskal
Pedoman penyusunan laporan keuangan di Indonesia diatur dalam Standar Akuntansi
Keuangan, sedangkan perhitungan pajak terutang berpedoman pada undang-undang republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2008. Oleh karena itu, laporan laba/rugi akan menghasilkan dua
informasi, yaitu:
1. Laba/rugi komersial, menghasilkan laba sebelum pajak (pre tax financial income),
yaitu laba yang diperoleh dari hasil perbandingan antara pendapatan dengan beban
pada Laporan Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
2. Laba/rugi fiskal, menghasilkan informasi laba kena pajak (taxable income), yaitu
jumlah yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak penghasilan terutang
2.1.17 Pengaruh Pajak Terhadap Kegiatan Perusahaan
Pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dapat
dianggap sebagai biaya/beban dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan maupun
distribusi laba kepada pemerintah (Smith dan Skousen,2009). Oleh karena itu, besar kecilnya
beban pajak akan mempengaruhi kegiatan perusahaan dalam hal cash flow perusahaan,
karena menyangkut bagaimana cara perusahaan menyediakan dana untuk membayar pajak
yang terutang
2.1.18 Kinerja Perusahaan
Menurut Soemohadiwidjojo (2015:10), kinerja perusahaan adalah tingkat pencapaian
hasil kerja perusahaan dalam suatu periode waktu tertentu dalam mencapai tujuan
perusahaan, dan dilakukan secara legal, tidak melanggar hukum
Sedangkan menurut Moerdiyanto (2010), kinerja perusahaan merupakan hasil dari
serangkaian proses bisnis dengan mengorbankan berbagai sumber daya, baik sumber daya
manusia maupun keuangan perusahaan
2.1.19 Pengukuran Kinerja Perusahaan
Pengukuran kinerja perusahaan merupakan analisis data serta pengendalian bagi
perusahaan. Pengukuran kinerja dilakukan perusahaan untuk melakukan perbaikan atas
kegiatan operasionalnya agar dapat bersaing dengan perusahaan lain.
Menurut Soemohadiwidjojo (2015:14): Pengukuran kinerja adalah alat manajemen
yang digunakan untuk menilai kemajuan atas pencapaian tujuan dan sasaran organisasi,
sekaligus sebagai referensi dalam meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan
akuntabilitas.
Kinerja perusahaan lebih banyak diukur berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu
periode tertentu. Rasio keuangan atau financial ratio sangat penting gunanya untuk
melakukan analisa terhadap kondisi keuangan perusahaan. Menurut kasmir (2013:104), rasio
keuangan adalah kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan
dengan cara membagi satu angka dengan angka lainnya.
Menurut Harahap (2011:301), ada beberapa rasio keuangan yang sering digunakan
untuk melihat kondisi kinerja suatu perusahaan, yaitu: Rasio Likuiditas, Rasio solvabilitas,
Rasio Profitabilitas, Rasio Revelage, Rasio Aktivitas, Rasio Pertumbuhan, Rasio Penilaian
Pasar, Rasio Produktivitas
2.1.20 Peran Perencanaan Pajak Terhadapa Kinerja Keuangan
Pada dasarnya tujuan manajemen pajak serupa dengan tujuan manajemen keuangan
yaitu sama-sama untuk memperoleh likuiditas dan laba yang diharapkan oleh perusahaan.
Suandy (2008:6) menyatakan bahwa ada dua tujuan pajak yaitu menerapkan peraturan
perpajakan secara benar dan usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang
seharusnya
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan Industri Kelapa Sawit
Melihat fenomena ditahun 2018 ini di mana harga minyak sawit mentah akan terus
naik akibat kebutuhan dunia yang meningkat sementara Indonesia adalah salah satu penghasil
minyak sawit terbesar di dunia, maka kebutuhan pengetahuan dasar perpajakan perlu
diketahui oleh pelaku industri kelapa sawit di Indonesia. Kali ini penulis mencoba melihat
dan mengulas dari perspektif jenis pajak Pajak Pertambahan Nilai, karena untuk jenis pajak
lainnya telah banyak diulas oleh para praktisi maupun fiskus itu sendiri dalam media blog
mereka. Semoga tulisan ini memberi informasi yang bermanfaat.
3.2 Proses Bisnis Industri Kelapa Sawit
Pada umumnya para pelaku industri kelapa sawit telah memahami dan melakukan
kajian terkait lokasi perkebunan yang sesuai untuk ditanami dengan kelapa sawit yang
meliputi :
1. Letak dan tinggi tempat
2. Bentuk wilayah (topografi)
3. Tanah (kedalaman/solum, bahan organik, struktur, tekstur, kedalaman air tanah, dan
pH)
4. Iklim (curah hujan, temperatur, lama penyinaran, kelembaban).
Selain pengkajian dari aspek teknis, juga dari aspek ekonomis yang berkaitan dengan
infrastruktur yang meliputi rekomendasi dari pejabat yang berwenang, proses hukum dan
perizinan dari berbagai instansi yang meliputi izin lokasi dari bupati/walikota, referensi dari
dinas perkebunan, dinas kehutanan, peta lokasi oleh BPN tingkat I dan proses memperoleh
Hak Guna Usaha.
Setelah proses persiapan lahan, hal yang penting berikutnya adalah perawatan
tanaman, sesuai norma yang berlaku seperti membersihkan dari gulma/rumput, memupuk
tanaman dengan dosis tertentu, mencegah maupun memberantas dari gangguan hama dan
penyakit tanaman.
Setelah semuanya, maka memanen produksi harus sesuai dengan kriteria panen pada
interval tertentu. Memanen sawit membutuhkan persiapan yang baik agar menjamin
tercapainya target produksi dengan biaya panen seminimal mungkin. Hal-hal yang perlu
dilakukan dalam mempersiapkan pelaksanaan panen meliputi :
1. Persiapan kondisi areal
2. Penyediaan tenaga kerja panen
3. Pembagian seksi tanaman yang akan dipanen
4. penyediaan alat-alat kerja.
Perlu juga diperhatikan bahwa sumber-sumber yang berpotensi dalam kerugian
produksi di lapangan dalam industri kelapa sawit adalah :
1. Potong buah mentah
2. Buah masak tinggal di pokok (tidak dipanen)
3. Brondolan tidak dikutip, buah atau brondolan dicuri
4. Buah ditempat penampungan hasil tidak terangkut ke PKS (Pabrik Kelapa Sawit).
Bahwa penjualan akhir produksi dari industri kelapa sawit adalah berupa CPO (Crude
Palm Oil) atau minyak kelapa sawit mentah. Maka industri kelapa sawit sudah terlebih
dahulu mempersiapkan pasar baik jenis dan jumlah maupun harga.
3.3 Pajak Pertambahan Nilai Atas Minyak Kelapa Sawit
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah harga jual,
penggantian, nilai impor, nilai ekspor atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar menghitung
pajak.
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
artinya bahwa Pajak Keluaran terjadi apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan penjualan
barang atau jasa.
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak artinya
bahwa Pajak Masukan terjadi apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian barang
atau jasa.
Bahan baku utama di dalam bidang pengolahan kelapa sawit menjadi minyak mentah
(CPO) adalah berupa tandan buah segar (TBS). Hasil dari perkebunan sawit adalah tandan
buah segar sehingga penyerahan bahan baku utama ini memiliki 2 (dua) kondisi, yaitu :
1. Kondisi pertama, apabila mempunyai perusahaan yang integrated, yaitu memiliki
perkebunan kelapa sawit dan sekaligus pabrik kelapa sawit.
2. Kondisi kedua, apabila mempunyai perusahaan yang tidak terintegrated, yaitu yang
tidak memiliki pabrik kelapa sawit di mana perusahaan melakukan titip olah hasil
TBS kemudian menjual hasilnya dalam bentuk CPO atau produk turunan lainnya
Beberapa ketentuan PPN terkait penyerahan tandan buah segar yang merupakan hasil
dari perkebunan kelapa sawit yang diserahkan kepada pabrik kelapa sawit adalah sebagai
berikut :
1. Pasal 16B ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga UU nomor 8
tahun 2983 tentang PPN dan PPnBM
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.011/2014 yang ditetapkan tanggal 30
Januari 2014 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan nomor
78/PMK.03/2010 tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi
pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan
penyerahan yang tidak terutang pajak
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.011/2014 yang ditetapkan tanggal 18
Juni 2014 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan nomor
78/PMK.03/2010 tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi
pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan
penyerahan yang tidak terutang pajak.
Kondisi Pertama
Dalam pasal 6 huruf b SE-90/PJ/2011 ditegaskan bahwa Pajak Masukan atas
perolehan BKP dan/ JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang
hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (dalam hal ini
TBS), tidak dapat dikreditkan. Artinya untuk kondisi pertama, atas Pajak Masukan (PM)
khusus untuk kebun kelapa sawit tidak dapat dikreditkan, sedangkan untuk Pajak Masukan
(PM) khusus untuk pabrik kelapa sawit dapat dikreditkan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kondisi pertama memiliki 2 (dua) penyerahan yaitu penyerahan TBS dari kebun
kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit (dibebaskan dari pengenaan PPN), dan penyerahan hasil
pengolahan TBS ke pembeli (terutang PPN). Lalu bagaimana apabila Pajak Masukan untuk
BKP dan/atau JKP yang digunakan secara bersama-sama baik itu untuk kebun dan pabrik?
Hal ini dihitung dengan pedoman penghitungan pajak masukan.
Namun, dengan pertimbangan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan
mendorong peningkatan nilai tambah komoditas primer, Peraturan Menteri Keuangan nomor
78/PMK.03/2010 tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi
pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang
tidak terutang pajak diubah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.011/2014
khususnya penyisipan Pasal 2A yang berintikan Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan
Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak
Terutang Pajak; dan mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut Barang Kena Pajak, baik
melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas
pengolahan Pengusaha Kena Pajak lainnya sehingga menjadi Barang Kena Pajak yang atas
seluruh penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak, seluruh Pajak
Masukan yang sudah dibayar (termasuk apabila penyerahan yang terutang tidak dapat
diketahui dengan pasti) dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan di
bidang perpajakan.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak ” PT. Nusa Sawit Semesta” menghasilkan TBS kelapa sawit, dan
memproses menjadi minya kelapa sawit (CPO), minyak inti sawit (PKO), dan minyak kelapa
sawit lainnya yang merupakan BKP, selanjutnya menjual kepada pihak lain. Misalkan pada
masa Maret 2018 PT. Nusa Sawit Semesta melakukan pembelian :
1. Berupa pupuk, bahan bakar untuk alat berat diperkebunan sawit, peralatan
administrasi kantor, dan pemanfaatan jasa berupa jasa kontraktor, sewa alat berat
untuk perkebunan, pemeliharaan, pembangunan sarana dan prasarana perkebunan
kelapa sawit serta administrasi kantor di kebun misalkan dengan total faktur pajak
(Masukan) sebesar DPP Rp. 475.000.000,- dan PPN sebesar Rp. 47.500.000,-.
2. Berupa bahan kimia dan bahan penolong lainnya untuk mengolah TBS kelapa sawit
menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) DPP sebesar Rp.
240.000.000,- dengan PPN sebesar Rp. 24.000.000,-
Maka besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PT. Nusa Sawit Semesta
pada masa Desember 2018 adalah sebesar Rp. 47.500.000 + Rp. 24.000.000,- yaitu sebesar
Rp. 71.500.000,-
Kondisi kedua
Perusahaan yang tidak terintegrated, yaitu yang tidak memiliki pabrik kelapa sawit di
mana perusahaan melakukan titip olah hasil TBS kemudian menjual hasilnya dalam bentuk
CPO atau produk turunan lainnya.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak “PT. Nusa Kebun Sawit” adalah perusahaan yang
menghasilkan TBS kelapa sawit, dan memproses TBS kelapa sawit tersebut menjadi minyak
kelapa sawit/CPO, minyak inti sawit/PKO, dan produk dari minyak kelapa sawit lainnya yang
merupakan Barang Kena Pajak dengan titip olah menggunakan fasilitas pengolahan
Pengusaha Kena Pajak “CV. Gema Sawit.” Selanjutnya, Pengusaha Kena Pajak PT. Nusa
Kebun Sawit hanya menjual minyak kelapa sawit (CPO), minyak inti sawit (PKO), dan
produk dari minyak kelapa sawit lainnya.
Pada bulan Maret 2018, Pengusaha Kena Pajak PT. Nusa Kebun Sawit melakukan
pembelian barang berupa pupuk, bahan bakar untuk alat berat di perkebunan sawit, peralatan
administrasi kimtor dan pemanfaatan jasa berupa jasa kontraktor, dan sewa alat berat untuk
perkebunan yang digunakan untuk pemupukan, pemeliharaan, pembangunan sarana dan
prasarana perkebunan kelapa sawit serta administrasi kantor di kebun sebesar
Rp300.000.000,00 dengan Pajak Pertambahan Nilai Rp30.000.000,00. Selain itu, Pengusaha
Kena Pajak PT. Nusa Kebun Sawit juga membayar jasa titip olah kepada Pengusaha Kena
Pajak CV. Gema Sawit sebesar Rp25.000.000,00 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar
Rp2.500.000,00. Maka, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha
Kena Pajak PT. Nusa Kebun Sawit pada masa Maret 2018 adalah sebesar Rp30.000.000,00 +
Rp2.500.000,00 = Rp32.500.000,00.
3.4 Tax Planning
Memaksimalkan Deductible Expense
Analisis yang bisa kita lakukan yaitu dengan menganalisis biaya-biaya (deductible
expense) umum dan operasional yang menjadi koreksi fiskal, dengan teknik analisis
perencanaan pajak sebagai berikut:
1. Penerapan Program Dana CSR (Corporate Social) Responsibility, Sebagai Biaya yang
Bisa Menjadi Pengurang (Deductable Expenses). Berdasarkan PMK
No.76/PMK.03/2011 tersebut terhadap pengahasilan bruto perusahaan.
Apabila perusahaan tidak mengurangkan biaya ini, maka penghasilan kena pajak
perusahaan menjadi besar dan pembayaran beban pajak menjadi besar juga, sehingga
perusahaan tidak akan mampu menghemat penggunaan kasnya.
2. Memanfaatkan Fasilitas Zakat, Hibah, Donasi, dan Sumbangan Sebagai Biaya yang
Dapat Menjadi Pengurang Penghasilan (Deductible Expense). Jika Perusahaan
mampu menerapkan sesuai PP Nomor 60 Tahun 2010, PMK No.254/PMK.03/2010
dan PER-15/PJ/2012 atas perubahan PER-33/PJ2011, maka seharusnya bisa menjadi
pengurang penghasilan fiskal dan perusahaan akan memperoleh penghematan
pembayaran beban pajaknya
3. Memaksimalkan Biaya Jaminan Kesehatan Sebagai Pengurang Penghasilan Fiskal.
Berdasarkan analisis perencanaan pajak, seharusnya program biaya kesehatan
karyawan yang terdiri dari biaya pengobatan, dan perawatan dapat diupayakan
menjadi pengurang penghasilan neto fiskal (Deductible Expense). Hal ini disebabkan
oleh sistem klaim biaya pengobatan dan kesehatan karyawan selalu menjadi tambahan
penghasilan karyawan pada periode bersangkutan dan telah diperhitungkan beban
pajaknya seiring dengan perhitungan beban pajak karyawan. Perusahaan seharusnya
menjadikan seluruh klaim biaya kesehatan tersebut sebagai pengurang penghasilan
fiskal agar perusahaan terhindar dari kerugian atas kelebihan pembebanan pajak
akibat dari biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan namun tidak diakui sebagai
biaya dalam pelaporan fiskal
4. Memberikan biaya pengembangan sumber daya manusia kepada karyawan untuk
lokasi perkebunan guna meningkatkan keamanan perusahaan. Dalam undang-
undang perpajakan pasal 6 ayat 1 huruf g yaitu biaya beasiswa, magang, dan
pelatihan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) diperkenankan
ditambahpada biaya perusahaan, karena dapat menunjang keamanan dilokasi dan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan serta SDM terebut mendapat bekal untuk
dapat melaksanaan tugas dan tanggung jawabnya secara lebih baik.
5. Memanfaatkan fasisiltas peraturan UU No 36 Tahun 2008 tarif pasal 31E
Yaitu:
1. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan
atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
2. Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
Selain memberikan keuntungan bagi pihak perusahaan dengan bertambahnya
Deductible Expense, kebijakan-kebijakan diatas juga dapat membenarkan praktik
pembebanan dan perhitungan pajak
DAFTAR PUSTAKA

Rumuy, Renita & Rizal Efendi. 2009. Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Badan
Sebagai Upaya Efisiensi Pembayaran. E-journal.

Saefi, Fendi Resti Ika & Agus Iwan Kusuma. 2017. Implementasi Tax Planning dalam Upaya
Peningkatan Kinerja Perusahaan. E-journal Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Mulawaeman
http://www.nusahati.com/2018/04/ppn-atas-industri-perkebunan-kelapa-sawit/

Anda mungkin juga menyukai