Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

Asma Bronkiale

Disusun Oleh:
Windy Silvia 112017072

Pembimbing:
dr. Dono Endrarto,Sp.B

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Imanuel Way Halim Bandar Lampung
PERIODE 24 September – 1 Desember 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT BAYUKARTA

Nama Mahasiswa : Windy Silvia Tanda Tangan


NIM : 112017072
Dr. Pembimbing/Penguji : dr. Dwi Haryadi, Sp.A _________________

IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An DAJ Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat / tanggal lahir : Karawang, 01 Agustus 2012 Umur : 5 Tahun
Suku bangsa : Sunda Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah Alamat : Klari Indah Permata
Karawang

Hubungan dengan orang tua : anak kandung

ORANG TUA
Ayah & Ibu
Nama lengkap : Tn. JAT Nama Lengkap : Ny. IS
Agama : Islam Agama : Islam
Umur : 38 tahun Umur : 35 Tahun
Pendidikan : S1 Pendidikan : S1
Suku Bangsa : Sunda Suku Bangsa : Sunda
Pekerjaan : Karyawan Swata Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Klari Indah Permata Alamat : Klari Indah Permata Karawang
Karawang
ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis (Ibu),
Tanggal masuk RS: 25 Maret 2018 Jam 8.00 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 25 Maret 2018 Jam 8.30 WIB

Keluhan Utama:
Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke IGD RS Bayukarta dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari
yang lalu. Awalnya. Pasien mengaku kehujanan saat pulang sekolah dua hari yang
lalu, pasien merasa dada terasa berat dan batuk. Keesokan harinya, Pasien mengalami
sesak napas saat pagi hari diawali dengan batuk berdahak warna putih. Sesak napas
disertai bunyi ngik-ngik. Intensitas serangan kurang lebih 5 menit. Saat sesak, pasien
terasa gelisah, pasien lebih nyaman saat duduk, tidak disertai warna biru pada bibir.
Saat serangan ibu pasien tidak memberikan obat apapun. Pasien dibawa ke Rumah
Sakit Dewi Sri, dan diberi nebulisasi, pasien berangsur membaik lalu pasien
dipulangkan. Pagi harinya pasien mengeluh sesak lebih berat dari sebelumnya, sesak
ketika pasien batuk. Saat sesak pasien masih bisa berbicara tapi hanya sepenggal
kalimat, lebih nyaman saat duduk, merasa gelisah, dan disertai bunyi ngik-ngik.
Pasien juga mengeluh pilek dengan ingus berwarna kekuningan, mengeluh pusing,
mual dan muntah sebanyak 3 kali. Muntah berisi makanan, sekali muntah kira-kira ¼
aqua gelas, berlendir dan tidak ada darah. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Kemudian pasien dibawa ke RS Dewi Sri lalu dirujuk ke RS Bayukarta untuk dirawat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Dalam setahun ini sudah dirawat 3 kali karena keluhan yang sama. Pasien pernah
sakit seperti ini saat berumur 2 bulan, 5 tahun dan 9 tahun. Pasien juga memiliki
riwayat alergi terhadap suhu dingin.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Di keluarga ada riwayat asma dan alergi yaitu ibu dan kakek dari pasien.
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
1. Kehamilan
 Perawatan antenatal : Setiap bulan ibu pasien kontrol ke bidan.
 Penyakit kehamilan : Tidak ada.

2. Kelahiran
 Tempat kelahiran : Rumah sakit.
 Penolong persalinan : Dokter kandungan
 Cara persalinan : Sectio Secaria atas indikasi riwayat SC
 Masa gestasi : 38 Minggu
 Keadaan bayi
o Berat badan lahir : 3200 gram
o Panjang badan lahir : Tidak diketahui
o Lingkar kepala : Tidak diketahui
o Langsung menangis : Langsung menangis
o Pucat/Biru/Kuning/Kejang : Tidak ada
o Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesan: Neonatus cukup bulan, Sesuai masa kehamilan

RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN


Pertumbuhan gigi pertama : ± 8 bulan (normal 5-9 bulan)
Psikomotor
Tengkurap : ± 5 bulan (normal 4-6 bulan)
Duduk : ± 6 bulan (normal 6 bulan)
Berdiri : ± 10 bulan (normal 9-12 bulan)
Menyebut ”mama” : ± 11 bulan (normal 10-12 bulan)
Berjalan : ± 13 bulan (normal 13-18 bulan)
Membaca dan menulis : ± 5 tahun 6 bulan
Kesan: tidak ada gangguan pada tumbuh kembang anak

4
RIWAYAT IMUNISASI
Ibu pasien mengaku lengkap melakukan imunisasi wajib di posyandu.
 Hepatitis B 4x
 Polio 4x
 BCG 1x
 DPT 3x
 Campak 1x

RIWAYAT NUTRISI
0-80 hari : ASI
80 hari – 6 bulan : Susu formula
6-9 bulan : Susu formula dan bubur saring
9-12 bulan : Susu formula dan bubur tim
> 12 bulan : Susu formula dan makanan keluarga

PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggal 25 Maret 2018)


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 132 x/menit
Tekanan Darah : 100/80 mmhg
Frekuensi Napas : 34 x/menit
Suhu tubuh : 36,6 oC
SpO2 : 96 %

Data antropometri
Berat badan : 23,8 kg
Tinggi badan : 139 cm
IMT : 23,8 (1,392) = 12,4 (berat badan kurang)

5
Status gizi
Plot Tinggi Badan dan Berat Badan Menurut Umur

Tinggi badan/ umur : 75 %


Berat badan / umur : 60 %
Kesan : Status gizi kurang

6
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala
 Bentuk dan ukuran : Normocephali (LK 50cm), ubun ubun besar
tertutup
 Mata : Bentuk normal, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/- , kedua pupil bulat isokor diameter 3 mm.
 Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, sekret -/-
 Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret -/-,
perdarahan -/-, nafas cuping hidung (-)
 Mulut : mukosa bibir lembab, sianonis (-),stomatitis (-)
, T1-T1, faring hiperemis (-)

Leher : Trakea lurus ditengah, kelenjar getah bening tidak teraba membesar,
Retraksi Suprasternal (+).

Thoraks
1. Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun
dinamis, retraksi sela iga (-), pernafasan abdominotorakal
Palpasi : Vokal fremitus simetris
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing +/+
2. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba di ICS IV linea midclavicula kiri
Perkusi : Batas atas jantung di ICS II linea parasternal kiri.
Batas kiri jantung di ICS V, linea midclavicula kiri.
Batas kanan jantung di ICS IV, linea sternal kanan.
Auskultasi : BJ I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani di seluruh lapang perut

7
Genital : tidak ada keluhan
Extremitas
Atas : akral hangat, capilarry refill time < 2”, tonus baik
Bawah : akral hangat, capilarry refill time < 2”, tonus baik

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 25 Maret 2018
Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 12.3 g/dl 11.0 – 16.5
Hematokrit 36.6 % 35-45
Eritrosit 4.48 juta/uL 4-5
Leukosit 15.31 /mm3 5.000-14.500
Trombosit 328.000 /mm3 181.000-521.000

RINGKASAN

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Awalnya.
Pasien mengaku kehujanan saat pulang sekolah dua hari yang lalu, pasien merasa
dada terasa berat dan batuk. Keesokan harinya, Pasien mengalami sesak napas saat
pagi hari diawali dengan batuk berdahak warna putih. Sesak napas disertai bunyi
ngik-ngik. Intensitas serangan kurang lebih 5 menit. Saat sesak, pasien terasa gelisah,
pasien lebih nyaman saat duduk, tidak disertai warna biru pada bibir. Saat serangan
ibu pasien tidak memberikan obat apapun lalu pasien dibawa ke Rumah Sakit Dewi
Sri, dan diberi nebulisasi, pasien berangsur membaik lalu pasien dipulangkan. Pagi
harinya pasien mengeluh sesak lebih berat dari sebelumnya, sesak ketika pasien
batuk. Saat sesak pasien masih bisa berbicara tapi hanya sepenggal kalimat, lebih
nyaman saat duduk, merasa gelisah, dan disertai bunyi ngik-ngik. Pasien juga
mengeluh pilek dengan ingus berwarna kekuningan, mengeluh pusing, mual dan
muntah sebanyak 3 kali. Muntah berisi makanan, sekali muntah kira-kira ¼ aqua
gelas, berlendir dan tidak ada darah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. gelas,
berlendir dan tidak ada darah. BAB dan BAK tidak ada keluhan

8
Dalam setahun ini sudah dirawat 3 kali karena keluhan yang sama. Pasien
pernah sakit seperti ini saat berumur 2 bulan, 5 tahun dan 9 tahun. Pasien juga
memiliki riwayat alergi terhadap suhu dingin. Di keluarga ada riwayat asma dan
alergi yaitu ibu dan kakek dari pasien.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
frekuensi Nadi 132 x/menit, tekanan Darah 100/80 mmhg, frekuensi Napas 34
x/menit , suhu tubuh 36,6 oC dan SpO2 96 %. Pada pemeriksaan darah rutin
didapatkan Hb 12.3 g/dl, Ht 36.6, Leukosit 15.31, Trombosit 328.000

DIAGNOSIS KERJA
Asma Bronkial Serangan Sedang Episodik Sering ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.1
Pada anamanesis ditemukan adalah :
Serangan Pertama : Sesak napas saat pagi hari diawali dengan batuk berdahak
warna putih. Sesak napas disertai bunyi ngik-ngik. Intensitas serangan kurang
lebih 5 menit. Saat sesak, pasien terasa gelisah, pasien lebih nyaman saat
duduk, tidak disertai warna biru pada bibir.
Serangan kedua : Pagi harinya pasien mengeluh sesak lebih berat dari
sebelumnya, sesak ketika pasien batuk. Saat sesak pasien masih bisa berbicara
tapi hanya sepenggal kalimat, lebih nyaman saat duduk, merasa gelisah, dan
disertai bunyi ngik-ngik. Pasien juga mengeluh pusing, mual dan muntah 3
kali. Muntah berisi sisa makanan, tidak ada darah. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adalah


Tanda-tanda vital : RR: 34x/menit.
Leher : Retraksi suprasternal (+),
Paru : suara napas tambahan wheezing (+/+).

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Spirometri
 Peak Flow Meter/PFM
 Pemeriksaan IgE

9
TATALAKSANA

- O2 2 lpm
- Hidromal inf 16 tpm
- Ambroxol 3x1cth
- PCT tab 4 x 240 mg
- Nebu Ventolin ½ + Pulmicort ½

PROGNOSIS
ad. Vitam : ad. Bonam
ad. Fungsionam : ad.Bonam

Follow up
26 maret 2018
S : Sesak berkurang, batuk (+), dahak (-)
O : KU: tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD 110/70 mmHg, HR
100x/menit, RR 28 x/menit, T 35,8oC, Mata: CA -/-, SI -/-., Hidung: sekret (-), Mulut:
mukosa lembab, sianosis (-), Leher: retraksi suprasternal (-), KGB (-), Thorax :
Simetris, Retraksi sela iga (-), Cor: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-), Pulmo:
SNV, Rh -/-, Wh -/-, Abd: BU (+), NT (-)
A : asma bronkiale

27 maret 2018
S : Sesak (-), batuk (+) jarang, dahak (-).
O : KU: tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD 110/70 mmHg, HR
100x/menit, RR 28 x/menit, T 35,8oC, Mata: CA -/-, SI -/-., Hidung: sekret (-), Mulut:
mukosa lembab, sianosis (-), Leher: retraksi suprasternal (-), KGB (-), Thorax :
Simetris, Retraksi sela iga (-), Cor: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-), Pulmo:
SNV, Rh -/-, Wh -/-, Abd: BU (+), NT (-)
A : asma bronkiale

10
Tinjauan Pustaka

2.1 Pendahuluan
Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab
kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting.
Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak,
membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi
sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan
sektor pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali akan meningkatkan
pengeluaran biaya.1

Asma adalah mengi berulang/ batuk persisten dengan karakteristik yaitu timbul secara
episodik, cenderung malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik,
serta dapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarganya.2 Asma terjadi
karena inflamasi kronik, hiperresponsif dan perubahan struktur akibat penebalan
dinding bronkus (remodeling) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan
sudah ada sebelum munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada
saluran respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos,
edema mukosa, hipersekresi mucus.1

2.2 Epidemiologi

Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pada anak-anak di negara
maju, mengenai hampir 6 juta anak berusia kurang dari 18 tahun di Amerika Serikat.2
Kini diketahui bahwa penyakit asma sering ditemukan baik di negara dengan
pendapatan tinggi maupun rendah, dan prevalens asma ringan sedang dan asma berat
meningkat lebih cepat di negara dengan pendapatan rendah dan menengah.1

Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun
1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti menggunakan
kuesioner yang dirancang masing-masing sehingga hasilnya berbeda (Djajanto,
Rosmayudi, Dahlan). Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di
Indonesia dan berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama dari studi
ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun.

11
Tabel 1. Prevalensi asma di Indonesia

Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota menunjukkan hasil


yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB)
sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada kelompok usia 6-7 tahun. Sedangkan pada
kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung (Rosalina I) dan tertinggi di
Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang yang dibandingkan
dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta (12,5%), hampir 2 kali lipat di duga
di sebabkan karena tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari Gunung
Tangkuban Perahu (Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan
kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi peningkatan
2 kali lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil penelitian di
daerah rural kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil
prevalens asma sebesar 9,6% dari 332 subyek penelitian (Kartasamita dkk)1.

2.3 Etiologi

Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinophil, limfosit T, neutrofil), mediator kimia


(histamin, leukotriene, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor kemotatik
(sitokin, eotaksin) memerantarai proses inflamasi yang terjadi pada saluran respiratori
penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran respiratori,
yaitu derungan saluran respiratori mengalami konstriksi sebagai respons terhadap
alergen, iritan, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga menyebabkan terjadinya
edema, peningkatan produksi mucus di paru, masuknya sel-sel inflamasi ke saluran

12
respiratori dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik dapat menyebabkan terjadinya
remodeling saluran respiratori, akibat proliferasi protein matriks ekstraseluller dan
hiperplasia vaskular yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang
irreversible dan penurunan fungsi paru yang progesif.3

2.4 Faktor resiko

Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi genetik dan non
genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara,
asap rokok, makanan cepat saji, berat lahir, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi
rumah yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi.
Penelitian yang dilakukan di Padang memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang
bermakna untuk memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan
adalah atopi ayah atau ibu, di ikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu
serta pemberian obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan kontak dengan
ungas merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.1

2.5 Patogenesis

2.5.1 Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori

Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent.
Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40%
penderita asma anak. 1

Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th1 dan Th2), limfosit subtipe CD4
telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit
T mensekresi interleukin-3 (IL-3) dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF-γ dan
TNF-β. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam
asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh
Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat
ataupun cell-mediated.1

Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T


oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu proses

13
yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II
pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik
merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang,
membentuk jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel
saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel
limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh
aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen
ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit.
Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritic
menjadi matang sebagai APC yang efektif. Se dendritik juga mendorong
polarisasi sel T naïve-Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-
sitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33! (IL-4 genecluster). 1

Gambar 1. Patogenesis asma

2.5.2 Inflamasi akut dan kronik

Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan


respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan
respons fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang
sensitive terhadap allergen IgE-spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada
pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma,
basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi
biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin,

14
proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin serta mediator newly generated
seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersama-sama
dengan mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-
mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan
menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus vasodilatasi,dan kebocoran
mikrovaskuler. 1

Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari


mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama
berlangsung pajanan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratori
menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya
leukosit proinflamasi terutama eosinophil dan sel prekursornya dari sumsum
tulang ke dalam sirkulasi.1

2.5.3 Remodeling saluran respiratori

Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses yang


menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors
(TGF-β), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas
diyakini merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang
teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan
sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori,
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi
,neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul,
termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori, dapat
diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung
berhubungan dengan lamanya penyakit.1

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma

15
memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai
suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian
besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran
dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi,
beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang
dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini
menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori.1

gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis


hiperreaktivitas saluran respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien
yang waktu penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau
yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid hirupan.1

2.6 Patofisiologi

2.6.1 Obstruksi saluran respiratori

Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma


diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran
respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik
secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi

16
dihubungkan dengan gejala khas pada asma,yaitu batuk,s esak,wheezing, dan
hiperreaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk
sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran
respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat
menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan. 1

Gambar 3. patofisiologi asma bronkial. Di tandai dengan adanya inflamasi saluran respiratori
kornik dan remodeling. Hiperresponsivitas saluran respiratori diperberat oleh kerusakan epitel
saluran respiratori yang disebabkan oleh inflamasi

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab
utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos bronkus yang
diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang termasuk agonis
adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen
postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan
dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel
sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan
saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak, kental, dan
lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar melalui
mikrovaskular bronkus, dan debris selular.1

17
gambar 4. Remodeling saluran respiratori pada asma

2.6.2 Hiperreaktivitas saluran respiratori

Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan


patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau
hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi)
yang terjadi secara sekunder, yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratori terutama daerah peribronkial
dapat memperberat penyempitan saluran respiratori selama kontraksi otot
polos.

Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan


memberikan stimulus aerosol histamine atau metakolin yang dosisnya

18
dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi
paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis,
hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosine tidak
mempunyai efek langsung terhadap otot polos tidak seperti histamine dan
metakolin tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung
serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif
bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada
konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.1

2.7 Manifestasi Klinis

Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu
melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian
besar ditegakkan secara kinis.1

Anak asma mempunyai gejala batuk, mengi, dan sesak napas, napas cepat, rasa dada
tertekan dan produksi sputum. anamnesis harus mendapatkan data frekuensi, tingkat
keparahan dan faktor yang memperberat gejala pada anak. Faktor yang memicu
eksaserbasi antara lain infeksi virus, paparan alergen, dan iritan (rokok, bau bauan
yang menyengat, asap), olahraga, emosi, dan perubahan cuaca atau kelembaban.
Gejala malam hari sering dijumpai. Rinosinusitis, refluks gastroesofagus. Dan
sensitivitas terhadap obat antiinflamasi non steroid (khusus aspirin) dapat memicu
asma.1,3

Dalam episode akut, pemeriksaan fisis dapat menunjukkan adanya takipnea, takikardi,
batuk, mengi, dan ekspirasi yang memanjang. Temuan pada pemeriksaan fisik bisa
kurang jelas. Mengi yang klasik mungkin tidak terlalu terdengar apabila gerakan
udara minimal. Apabila serangan berlanjut berlanjut, sianosis, berkurangnya aliran
udara, retraksi, agitasi, ketidakmampuan untuk bicara. Posisi duduk tripod, diaforesis,
dan pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah >15mmhg pada saat inspirasi) dapat
dijumpai. Pemeriksaan fisis dapat memperlihatkan buki penyakit atopi lain seperti
eksema atau rhinitis alergi.3

19
2.8 Klasifikasi Asma
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas.
atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma :

Berdasarkan umur

 Asma bayi–baduta (bawah dua tahun)


 Asma balita (bawah lima tahun)

 Asma usia sekolah (5-11tahun) 

 Asma remaja (12-17 tahun) 


Berdasarkan fenotip (Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan


penampakan yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis)

 Asma tercetus infeksi virus



 Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma) 

 Asma tercetus alergen 

 Asma terkait obesitas 

 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma) 


Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala

 Asma intermiten
 Asma persisten ringan
 Asma persisten sedang
 Asma persisten berat

Dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan berdasarkan anamnesis :

Tabel 2. kriteria penentuan derajat asma

20
Berdasarkan derajat beratnya serangan (asma merupakan penyakit kronik yang
dapat mengalami episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang
disebut sebagai serangan asma.2


 Asma serangan ringan-sedang


 Asma serangan berat 

 Serangan asma dengan ancaman henti napas
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar
penentuan tata laksana. 


2.9 Pemeriksaan Penunjang


pengukuran objektif terhadap fungsi paru (spirometri) dapat membantu menegakkan
diagnosis dan tatalaksana asma. Spirometri digunakan untuk memonitor respons
terhadap pengobatan, menilai derajat reversibilitas dengan intervensi pengobatan yang
diberikan, dan mengukur beratnya eksaserbasi asma. Biasanya anak yang berusia
diatas 5 tahun dapat melakukan maneuver spirometri. Pemeriksaan spirometri lebih di
sukai dibandingkan pengukuran aliran puncak (peak flow measures). Untuk anak yang
lebih muda yang tidak dapat menjalani maneuver spirometri atau pengukuran aliran
puncak, pemberian terapi dengan obat-obatan pengontrol dapat membantu dalam
mendiagnosis asma.3
Pemeriksaan uji kulit alergi perlu di lakukan untuk mengevaluasi asma persisten
namun tidak dilakukan pada saat terjadinya eksaserbasi mengi. Ahli alergi
mempunyai keterampilan khusus dalam melakukan uji kulit dan menginterpretasi
hasilnya untuk menentukan reaksi hipersensitivitas tipe cepat terhadap aeroalergen
(allergen airborne seperti pollen pohon dan rumput, serta debu). Uji kulit yang positif
berkolerasi kuat dengan ujin provokasi allergen bronkus. Pemeriksaan serum in vitro,
seperti radioallergosorbent test (RAST) dan enzyme-linked immunosorbent assay,

21
biasanya kurang sensitive dalam menunjukkan allergen yang memberikan manifestasi
klinis. Biayanya lebih mahal, dan memerlukan waktu beberapa hari untuk
mendapatkan hasil dibandingkan waktu hanya beberapa menit untuk uji kulit.3

Uji kulit in vivo Imunnassay Antibody IgE serum in vitro


 Lebih murah  Tidak ada resiko pasien
 Lebih sensitive  Lebih nyaman bagi pasien/dokter
 Pilihan allergen lebih banyak  Tidak terpengaruh oleh
 Hasil segera tersedia antihistamin
 Dapat digunakan untuk :
dermatographism dermatitis luas
anak yang tidak kooperatif
Tabel 3. Perbandingan uji kulit in vivo dan antibody IgE serum in vitro untuk
diagnosis Alergi

Pemeriksaan rontgen dada harus dilakukan pada episode pertama asma atau pada
episode rekuren dengan batuk atau mengi atau keduanya, untuk menyingkirkan
kemungkinan kelainan anatomi. Pemeriksaan rontgen dada ulangan tidak perlu
dilakukan pada episode baru kecuali apabila ada demam yang menunjukkan
kemungkinan pneumonia, atau terdapat temuan yang terlokalisasi pada pemeriksaan
fisis.3
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan 
untuk mencari
kemungkinan diagnosis banding lainnya, misalnya uji tuberkulin, foto sinus
paranasalis, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi
imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi,
bronkoskopi).1


2.10 Diagnois Banding

Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding.

22
Saluran respiratori Saluran respiratori tengah Saluran respiratori bawah
atas

 Rhinitis alergi  Stenosis bronkus  Asma


 Hipertrofi  Pembesaran kelenjar  Bronkiektasis
adenoid/tonsil getah bening  Dysplasia
 Benda asing  Epiglottitis bronkopulmonar
 Rhinitis  Benda asing  Chlamydia
terinfeksi  Laringomalasia trachomatis
 Sinusitis  Laringotrakeobrinkitis  Aspirasi kronik
 Limfadenopati  Cystic fibrosis
mediastinum  Benda asing
 Pertussis  Refluks
 Inhalasi toksik gastroesophagus
 Fistula trakeoesofagus  Sindrom
 Stenosis trakea hiperventilasi
 Trakeomalasia  Bronkiolitis
 Tumor obliteratif

 Disfungsi pita suara  Hemodiserosis


pulmonar
 Inhalasi toksik
 Tumor
 Bronkiolitis virus

Tabel 4. Diagnosis banding batuk dan mengi pada bayi dan anak 1,4

2.11 Tatalaksana

Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat
pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka
pemakaian obat ini dihentikan.1 Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang

23
digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar
asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala
asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama,
bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap
pengobatan/penanggulangan.1

Obat pereda (reliever)

 β2-Agonis kerja pendek


β2-Agonis kerja pendek, seperti albuterol, lavalbuterol, dan pirbuterol,
merupakan bronkodilator efektif yang bekerja dengan merelaksasi otot polos
bronkus dalam waktu 5-10 menit setelah pemberian. Efek kerjanya
berlangsung selama 4-6 jam. Biasanya diberikan untuk gejala akut dan sebagai
profilaksis sebelum paparan allergen dan olahraga. Pemberian secara inhalasi
lebih disukai karena efek samping tremor, takikardi berkepanjangan dan
iritabilitas jarang terjadi. Penggunaan yang berlebihan menunjukkan control
yang tidak adekuat dan perlu dilakukan perubahan dalam obat-obat yang
diberikan.3

 Obat Antikolinergik
Ipratropium bromid merupakan bronkodilator antikolinergik yang mengatasi
bronkokontriksi, menurunkan hipersekresi mucus, dan meniadakan kerja
iritabilitas reseptor batuk dengan berikatan pada asetilkolin pada reseptor
muskarinik yang ditemukan pada otot polos bronkus. Tampaknya obat ini
mempunyai efek adiktif terhadap β2-Agonis apabila digunakan untuk
eksaserbasi serangan asma akut3

 Kortekosteroid oral
Kortekosteroid jangka pendek (3-10 hari) diberikan pada anak dengan
eksaserbasi akut. Dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari prednison dilanjutkan
dengan 1mg/kg/hari selama 2-5 hari berikutnya. Kortikosteroid oral tersedia
dalam berbagai kemasan sirup maupun tablet.3

24
Obat pengendali asma (controller)

 Steroid inhalasi

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan


penting dalam tatalaksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan
obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara
dosis budesonide 100-200 μg perhari dapat menurunkan angka kekambuhan
asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma
memerlukan dosis steroid inhalasi 400 μg perhari untuk mengendalikan asma
dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang
berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma,
menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit,
memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan
serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus. 1

Tabel 5. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma

25
 Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2-agonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal
melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang
dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada
anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis
rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-agonis β2
kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih
baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan
terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang
pada anak balita masih terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang-steroid
inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu
olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis β2 inhalasi
kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga
walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang, namun dapat
berfungsi sebagai obat pereda.1

 Antileukotrien

Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl- leukotriene 1(CysLT1)


seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoxygenase
seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek
bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk,
memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan
mengurangi eksaserbasi.1

Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih
unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali
tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi.
Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka
serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.
Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga
(exercise induced asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA).
Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada

26
anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada
asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis
sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif
dari pemberian steroid inhalasi.1

 Teofilin lepas lambat


Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai
preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi
pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas
lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid
inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih
dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan
bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar
individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma
perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah,
anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare.
Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis
tinggi, di atas 10mg/kgBB/hari.

 Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)

Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi


kadar IgE bebas dalam serum. Pada anak di atas usia 5 tahun, omalizumab
dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis
tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering mengalami
eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara
injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat
terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah
pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab
seharusnya di bawah pengawasan dokter spesialis. Anti-IgE (omalizumab)
terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang dan berat yang
disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan
kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian
anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal.

27
Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal.
Belum dilakukan penelitian jangka panjang (diatas satu tahun) untuk efikasi
anti-IgE.1

2.12 Jenjang pengendalian asma


Gambar 5. Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun

Jenjang 1

Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpaobat pengendali,


hanya mengalami gejala ringan <2 kali/minggu dan di antara serangan pasien tidak
mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya
mendapatkan obat pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami
serangan asma. Sebagai alternatife bisa diberikan obat inhalasi agonis β2 kerja pendek
kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin
kerja pendek oral. Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat
pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya,
menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata laksana jangka
panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala
asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien
yang memiliki faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis
rendah.1

28
Jenjang 2

Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis
rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan
pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada
pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang
disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek
samping.1

Jenjang 3

Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah kombinasi
steroid dosis rendah-agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan
dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur
dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di
orofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid
inhalasi dosis rendah-antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-
teofilin lepas lambat.1

Jenjang 4

Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk
kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini
pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult–to-treat asthma). Pilihan
pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengah-agonis β2
kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi
hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah
pemberian steroid inhalasi dosis sedang-agonis β2 kerja panjang diberikan selama 6-8
minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-
antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat. Pada
jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan anti-imunoglobulin E (omalizumab)
yang dapat memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan karena alergi.1

29
Jenjang 5

Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis respirologi
anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena itu tata laksana
pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini mulai
dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan
tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka
panjang dan berbagai alternative pilihan pengobatan.

2.13 Tatalaksana serangan asma

Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bermacam-macam, mulai dari serangan
ringan sedang hingga serangan yang disertai ancaman henti napas.1

Tabel 6. Derajat keparahan serangan asma

The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana serangan asma
menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes)/RS.

 Tatalaksana di rumah
1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila 
gejala (sesak
napas dan wheezing) menghilang, cukup
diberikan satu kali. 

2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi 
pemberian sekali

30
lagi.
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via
nebulizer

belum membaik, segera bawa ke fasyanke 


 Tatalaksana di fasilitas pelayanan kesehatan/RS

Gambar 7. Tatalaksana serangan asma pada anak di fayaske/ RS

31
2.14 Pencegahan

Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap


alergen sejak masa fetus,pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien
penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan
eksaserbasi asma.
Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan
alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran
pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang
harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoak, bulu hewan peliharaan
terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan harus dihindari
adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam rumah.4

2.15 Prognosis
untuk sebagian anak, gejala mengi pada infeksi saluran respiratori berkurang
pada usia prasekolah, sedangkan anak lain dapat mempunyai gejala asma yang
lebih persisten. Indikator prosnotik untuk usia anak dibawah 3 tahun untuk
mengalami asma adalah ekzema, asma pada orangtua atau adanya dua hal dari
berikut : rhinitis alergi, mengi pada saat dingin, atau eosinophilia lebih dari
4%.3

32
DAFTAR PUSTAKA

1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional asma anak. Jakarta; 2015


2. Rahajoe N, Supriyanto B, Setyanto D. Asma. Dalam: Buku ajar respirologi
anak.ed 1.Jakarta: Badan Penerbit IDAI,2012.h.71-146.
3. Marcdante dkk. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Nelson. Edisi keenam.
Jakarta.2014
4. Konsensus Nasional Asma Anak. Pediatri Sari.Vol 2 no 1.Jakarta:Unit kerja
koordinasi pulmonologi Ikatan dokter anak Indonesia:2000.h.50-66

33

Anda mungkin juga menyukai