Anda di halaman 1dari 18

Makalah Kelas

Pragmatik dan Pendidikan Bahasa

oleh:
Iman Santoso/NIM. 1201499

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pragmatik Lanjut


Dosen Pengampu : Prof. E. Aminuddin Azis, M.A., Ph.D.

Program Studi Linguistik (S3)


Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
2013

1
A. Pendahuluan
Pragmatik merupakan salah satu bagian dari kajian Linguistik yang relatif masih
muda usianya, namun telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pragmatik
secara ringkas dapat didefinisikan sebagai studi tentang tindak komunikasi dalam konteks
sosiokultural. Sebuah tindak komunikasi tentu melibatkan interaksi antara penutur dan
mitra tutur, sehingga pragmatik dapat dipahami sebagai meaning in interaction (Thomas,
23). Kajian pragmatik dapat digunakan sebagai kerangka untuk memahami penggunaan
bahasa, yang tidak hanya meliputi tindak tutur, namun juga partisipasi dalam percakapan,
keterlibatan dalam berbagai jenis wacana dan upaya mempertahankan interaksi dalam
peristiwa tuturan yang kompleks (Kasper, 1997).
Dalam perjalanannya studi pragmatik telah memberi sumbangan yang tidak kecil
pada berbagai bidang lain, seperti dalam bidang klinis. Pragmatikpun telah diperhitungkan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran bahasa. Granger (via Bardovi-Harlig,
2005) mengatakan
Pragmatics has become a major field of study in its own right, in linguistics, and
now in language learning and teaching. Pragmatic competence has come to be
viewed as an essential part of learners’ competence.

Kompetensi pragmatik menjadi hal yang penting dalam pembelajaran bahasa,


karena seringkali dijumpai seorang pembelajar yang memiliki pengetahuan tatabahasa dan
kosakata yang baik, tidak dapat (kurang mampu) berkomunikasi dengan baik dalam
bahasa yang dipelajarinya. Tuturan yang dihasilkan seringkali tidak memenuhi kaidah
keberterimaan terkait dengan konteks tuturan. Salah satu penyebabnya diduga karena
dalam proses pembelajaran bahasa aspek pragmatik diabaikan.
Berkenaan dengan itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai peran
pragmatik dalam pembelajaran bahasa yang akan diperinci dalam beberapa aspek berikut:
(1) latar belakang munculnya pemikiran untuk mengintegrasikan pragmatik dalam
pembelajaran bahasa, (2) pentingnya pragmatik dalam pembelajaran bahasa, (3) bahan
ajar pragmatik dan (4) bagaimana aspek pragmatik dapat diajarkan. Makalah ini
merupakan hasil refleksi dari diskusi kelas dengan tema pragmatik dan pendidikan bahasa.
Dan disusun dengan mengacu pada beberapa referensi baik berupa buku maupun artikel
hasil pemikiran dan penelitian. Referensi utama berasal dari tulisan Kasper (1997), Cohen
(2008), Taguchi (2011), Roever (2009) dan Purwo (1990).

2
B. Pembahasan
1. Latar Belakang Kemunculan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa
Diperhitungkannya kompetensi pragmatik sebagai bagian tak terpisahkan dari
pengajaran bahasa dapat ditelusuri dari perkembangan paradigma dan metode
pembelajaran bahasa mulai akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke 20. Di abad 19
hingga awal abad 20 pembelajaran bahasa didominasi oleh metode tatabahasa
terjemahan (Grammar translation Method) yang menekankan pada pengenalan rasa
bahasa dan penguasaan tatabahasa. Dalam perkembangannya, metode ini ditentang oleh
penganut metode langsung (direct method). Mereka beranggapan hal yang terpenting
dalam pembelajaran bahasa adalah penguasaan bahasa lisan, bukan tulis. Dalam hal ini,
pembelajar dipajankan langsung pada bunyi-bunyi bahasa, dan penjelasan mengenai
kata-kata baru tidak melalui penerjemahan melainkan dengan keterangan dari bahasa
aslinya atau peragaan alat visual. Melalui metode ini pengajaran tata bahasa tidak
diajarkan secara deduktif seperti metode sebelumnya (Purwo, 1990:44-45).
Menjelang perang dunia ke 2, muncul metode audiolingual. Metode ini sejalan
dengan pandangan linguistik struktural dari Bloomfield, serta dipengaruhi oleh aliran
behaviourisme dari Skinner yang mengajukan teori stimulus-respon. Proses pembelajaran
bahasanya didominasi oleh latihan mendengarkan dan mengucapkan pola-pola kalimat
terus menerus (drill dan pattern practice) sehingga pola-pola kalimat yang dilatihkan akan
terekam dan menjadi kebiasaan pada diri pembelajar. Selanjutnya, pada tahun 1965,
Noam Chomsky mengkritik pemerolehan bahasa menurut kaum behavioris tersebut.
Menurutnya belajar bahasa bukanlah soal pembentukan kebiasaan, melainkan merupakan
proses kreatif: suatu kegiatan yang rasionalistis dan kognitif, dan bukan merupakan hasil
dari suatu respon terhadap stimulus dari luar (Purwo, 1990:47). Chomsky yang
merupakan pelopor aliran linguistik tatabahasa transformasional, memperkenalkan konsep
kompetensi (pengetahuan tentang tatabahasa yang diperlukan untuk mengkodekan dan
memproduksi bahasa) dan performansi (realisasi kode bahasa dalam pemakaian bahasa
yang sebenarnya). Dalam konteks pembelajaran bahasa pembentukan kompetensi
menjadi penting. Caranya dengan memberikan kesadaran pada pembelajar mengenai
kaidah-kaidah tatabahasa bahasa target.
Keempat aliran tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama yaitu menekankan
pada struktur bahasa dari bahasa target. Perbedaannya hanya terletak pada cara

3
penyajiannya. Keempatnya sama sekali tidak memperhitungkan aspek sosiokultural dari
sebuah peristiwa tuturan, dan hal itu berarti lepas dari konteks komunikatifnya. Reaksi
terhadap berbagai pendekatan dan metode tersebut muncul dari Dell Hymes yang
mengkritik pandangan Chomsky. Hymes berpandangan bahwa ada kaidah-kaidah
penggunaan bahasa yang tanpa itu kaidah-kaidah tata bahasa tidak akan ada gunanya.
Pembelajaran bahasa tidak hanya menyangkut persoalan kegramatikalan. Yang lebih
penting dari itu adalah persoalan kecocokan (appropriateness) penggunaan suatu tuturan
pada konteks sosiokulturalnya. Lebih jauh Hymes menegaskan bahwa pengertian
kompetensi perlu diperluas hingga mencakup pula kecocokan kontekstual. Pandangan
Hymes memperoleh dukungan dari Halliday yang menolak dikotomi kompetensi dan
performansi. Menurutnya kompetensi dari Chomsky hanya mencakup „apa yang diketahui
oleh si penutur“, dan bukan „apa yang dapat ditindakkan oleh si penutur“ (Purwo,
1990:49). Dari pandangan kedua ahli tersebut kemudian muncullah pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa.
Pendekatan komunikatif menurut Richards & Schmidt (2002) adalah
an approach to foreign or second language teaching which emphasizes that the
goal of language learning is communicative competence and which seeks to
make meaningful communication and language use a focus of all classroom
activities.

Berdasarkan pendapat tersebut terlihat jelas bahwa tujuan utama dari pendekatan
komunikatif adalah pemerolehan kompetensi komunikatif. Dalam payung kompetensi
komunikatif inilah, kompetensi pragmatik menemukan tempatnya. Hal ini bisa dilihat dari
unsur-unsur yang tercakup dalam kompetensi komunikatif menurut Canale dan Swain
seperti tergambar dalam bagan 1. Dari bagan tersebut diketahui bahwa kompetensi
komunikatif tidak hanya berupa kompetensi gramatikal, namun juga mencakup
kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis. Rincian tersebut juga menunjukan
bahwa pendekatan komunikatif sudah memperhitungkan aspek sosiokultural, meski belum
secara jelas menyebutkan pengetahuan pragmatik.

4
Communicative Competence (Canale and Swain, 1980)

Sociolinguistic Competence

Sociocultural Discourse
Competence Competence Strategic Competence
Grammatical Competence
(knowledge (knowledge of (verbal and non-verbal
verbal communi-
communi
(knowledge of lexical items of the rules governing cation strategies that may be called
and of rules of morphology, relation of cohesion and into action to compensate for break-
break
syntax, sentence- grammar language coherence) downs in communication
communica due to
semantics, and phonology) performance variables or to
use to its
insufficient competence)
non-
linguistic
context)

Bagan 1. Kompetensi Komunikatif menurut Canale dan Swain


(sumber: http://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html)
http://www.auburn.edu/~nunnath/engl6240/clt.html

Model yang diajukan oleh Canale dan Swain selanjutnya dimodifikasi oleh
Bachman.. Kompetensi berbahasa menurut Bachmann terbagi atas dua yaitu kompetensi
organisasi dan kompetensi pragmatik. Kompetensi organisasi meliputi pengetahuan unit-
unit
unit linguistik dan aturan untuk merangkainya dalam tataran kalimat (kompetensi
gramatikal) dan dalam
alam tataran wacana (kompetensi tekstual).
te . Sedang kompetensi
pragmatik dapat dibagi atas kompentensi ilokusi, yaitu pengetahuan tentang tindak
komunikasi dan bagaimana merealisasikannya, serta kompetensi sosiolinguistik yaitu
kemampuan untuk menggunakan bahasa
bahasa secara tepat berdasarkan konteks yang ada
(Kasper, 1997). Secara ringkas model yang diajukan Bachman tersajikan dalam bagan 2.

Bagan 2.. Kompetensi Berbahasa menurut Bachman


(sumber: http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94)
http://foreign.jiangnan.edu.cn/yyzx/Detail.aspx?uid=94)

5
Berdasarkan model yang diajukan oleh Bachman, terlihat bahwa kompetensi
pragmatik memiliki kedudukan sejajar dengan kompetensi gramatikal yang selama ini
memperoleh perhatian lebih banyak dari pengajar bahasa. Dalam realisasinya, kompetensi
pragmatik akan berinteraksi dengan kompetensi organisasi untuk mewujudkan
kemampuan berbahasa yang komprehensif seseorang.
Meski dalam model Bachman ini sudah tergambar secara jelas bahwa kemampuan
berbahasa yang komprehensif meliputi penguasaan atas kompetensi organisasi dan
pragmatik, tetap timbul pertanyaan apakah kompetensi pragmatik perlu diajarkan dalam
pembelajaran bahasa? Pertanyaan ini muncul, karena beberapa alasan. Pertama, ada
sebagian orang beranggapan bahwa kemampuan pragmatik akan muncul dengan
sendirinya seiring meningkatnya penguasaan kompetensi organisasi, terutama
pengetahuan gramatikal dan leksikal. Hal itu kemudian menjadi terbantahkan, karena
penguasaan gramatikal dan leksikal yang baik tidak selalu ekuivalen dengan kompetensi
pragmatik yang baik pula. Boxer dan Pickering (via Salemi, Rabiee dan Ketabi, 2012)
mengatakan pembelajar yang menguasai tatabahasa dengan baik, bisa saja tidak
mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang tepat dalam situasi yang berbeda-
beda dan yang melenceng dari norma pragmatik bahasa target. Mereka seringkali
menerjemahkan secara langsung tindak tutur bahasa pertama ke dalam bahasa target
ketika mencoba untuk menyampaikan makna yang dimaksud. Hal ini bisa menimbulkan
kesalahan pragmatik. Di sinilah letak persoalannya, karena kesalahan pragmatik
(pragmatic failure) sering tidak menjadi perhatian para guru bahasa, dibandingkan
dengan kesalahan gramatikal.
Kedua, aspek-aspek dalam pragmatik dipercayai oleh sebagian orang bersifat
universal. Ketika seseorang mempelajari bahasa ke dua (L2), pada dasarnya ia telah
mengenal aspek-aspek pragmatik dalam bahasa ibunya (L1), seperti adanya tuturan tak
langsung atau langsung, pengetahuan bahwa dalam berkomunikasi terdapat jarak sosial
dan psikologis, perlunya memahami strategi komunikasi, serta adanya berbagai jenis
tindak tutur. Kompetensi pragmatik dalam bahasa pertama itu kemudian akan ditransfer
ke dalam bahasa target saat pembelajar akan berkomunikasi menggunakan bahasa
target. Hal ini tentu tidak menjadi masalah ketika transfer yang terjadi bersifat positif,
terutama ketika bahasa target dan bahasa pertama dari pembelajar memiliki latar
belakang budaya yang tidak jauh berbeda. Walaupun begitu transfer negatif tetap saja

6
bisa terjadi, apalagi jika latar belakang budaya antara bahasa target dan bahasa pertama
jauh berbeda. Transfer pengetahuan pragmatik yang negatif berpotensi menimbulkan
kesalahan pragmatik. Munculnya kesalahan pragmatik beresiko mengganggu kelancaran
proses komunikasi. Bardovi-Harlig (via Chen, 2009) menyatakan bahwa seorang penutur
yang secara pragmatik tidak tepat dalam menyampaikan tuturannya setidaknya akan
tampak tidak kooperatif, bahkan bisa dianggap kasar dan menghina. Berdasarkan paparan
tersebut dapat ditegaskan bahwa pembelajar bahasa sudah selayaknya difasilitasi untuk
memiliki kompetensi pragmatik yang baik.
Perlunya pembelajaran pragmatik yang bisa memfasilitasi pembelajar untuk meraih
kompetensi komunikatif ditekankan oleh V.G dan Rajan (2012). Dengan mengambil kasus
di India, mereka menyatakan bahwa banyak pembelajar tidak dapat memproduksi ujaran-
ujaran untuk mengkomunikasikan maksud khusus yang ingin disampaikan dalam bahasa
kedua (bahasa Inggris). Hal ini disebabkan karena pembelajaran bahasa kedua di India
jarang memperhatikan aspek tersebut. Padahal menurut mereka tidak dimilikinya
kompetensi pragmatik bisa menghambat pembelajar untuk memperoleh pekerjaan yang
lebih baik. Hal ini didukung oleh Campbel dan Robert (via Louw, Derwing dan Abbot,
2010) yang berpendapat bahwa kompetensi pragmatik merupakan salah satu variabel
penting dalam dunia kerja, karena kompetensi tersebut mendukung keberhasilan
berkomunikasi.
Zhang dan Yan (2012) menunjukan bahwa pembelajaran pragmatik dapat mulai
diajarkan sejak anak-anak, terutama untuk menumbuhkan kesadaran akan aspek
sosiopragmatik. Dengan membandingkan kelas imersi dan non-imersi, hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pengajaran tipe imersi lebih efektif dalam mengembangkan kesadaran
sosiopragmatik bahasa Inggris dalam strategi permintaan sebagai lawan dari strategi
menjawab. Kesimpulan lain yang diperoleh adalah tindak tutur merupakan salah satu
variabel penting yang mempengaruhi kompetensi sosiopragmatik dari bahasa kedua
selama masa kanak-kanak. Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat ditegaskan sekali lagi
bahwa kompetensi pragmatik perlu dibangun pada pembelajar melalui sebuah
pembelajaran yang terencana.
2. Kompetensi Pragmatik dan Tujuan Pembelajaran Pragmatik
Kompetensi pragmatik menurut Taguchi (2011:289 - 291) adalah kemampuan
untuk berkomunikasi dan menginterpretasi makna dalam interaksi sosial, serta mencakup

7
kemampuan untuk mengatur keterkaitan yang kompleks antara bahasa, pengguna bahasa
dan konteks interaksi. Penjelasan dari Taguchi ini memperlihatkan bahwa ihwal
kompetensi pragmatik merupakan hal yang kompleks, terlebih bila dilakukan tilikan
terhadap unsur-unsur kompetensi pragmatik menurut Bachman. Begitu banyaknya unsur
yang saling terkait di dalamnya membuat penyelenggaraan program pembelajaran yang
bisa memfasilitasi pembelajar untuk meraih kompetensi pragmatik tidak mudah untuk
dilakukan.
Guna mencapai kompetensi pragmatik yang baik, pembelajar dan pengajar harus
memperhatikan dua unsur pragmatik yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik (Brown &
Levinson dalam Tan dan Farashaiyan, 2012:189). Pragmalinguistik berkaitan dengan
pengetahuan mengenai unsur-unsur linguistik yang dapat digunakan untuk melakukan
komunikasi atau merealisasikan tindak tutur tertentu. Pragmalinguistik antara lain meliputi
strategi pragmatik seperti tuturan langsung atau tidak langsung, aspek kebahasaan yang
bersifat rutin, dan serangkaian bentuk linguistik yang dapat memperkuat atau
memperhalus tindak komunikatif. Sedang sosiopragmatik berkaitan dengan penggunaan
bentuk-bentuk linguistik yang tepat sesuai konteks, peran partisipan dalam konteks
tersebut, faktor kesopanan yang terkait dengan jarak sosial antara penutur dan mitra
tutur, kekuasaan secara sosial, hak dan kewajiban dari peserta tutur dan tingkat beban
(Kasper, 1997). Sosiopragmatik merupakan perjumpaan antara faktor-faktor sosiologis
dengan pragmatik. Secara sederhana sosiopragmatik dapat dikatakan sebagai
kemampuan untuk menilai konteks sosial yang meliputi peristiwa tutur termasuk peran
penutur dan mitra tutur di dalamnya.
Dua unsur tersebut – yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik - harus dijadikan
pijakan awal dalam merancang pembelajaran pragmatik, mulai dari penetuan tujuan
pembelajaran, penyusunan bahan ajar, cara mengajarkan pragmatik hingga prosedur
untuk menakar kompetensi pragmatik.
Secara umum tujuan pembelajaran pragmatik menurut Bardovi-Harlig dan Mahan-
Taylor (2009) adalah untuk meningkatkan kesadaran pragmatik pembelajar dan memberi
mereka pilihan mengenai interaksi-interaksi dalam bahasa target. Dengan demikian
pembelajar diharapkan menjadi tidak asing dengan jangkauan perangkat pragmatik dan
mampu mempraktikannya dalam bahasa target. Sejalan dengan itu, Kasper (1997)
menjelaskan bahwa intervensi secara pedagogis pada pembelajar bertujuan untuk

8
menyadarkan pengetahuan pragmatik yang telah dimiliki pembelajar, mengingat bahwa
sebenarnya pengetahuan pragmatik dalam bahasa pertama sudah dimiliki, serta untuk
mendorong mereka menggunakan pengetahuan pragmatik tersebut dalam konteks
bahasa target.
3. Materi Pembelajaran Pragmatik
Dalam penyusunan materi pembelajaran ada 3 aspek yang perlu pertimbangkan,
yaitu konteks sosial, penggunaan bahasa secara fungsional dan interaksi (Taguchi, 2011).
Jika ketiga faktor tersebut dipergunakan dalam rangka penyusunan bahan ajar pragmatik,
pembelajar akan mengetahui strategi dan bentuk linguistik yang bisa direalisasikan dalam
tindak tutur, serta bagaimana strategi tersebut dipergunakan dalam berbagai konteks
yang beragam. Secara lebih rinci, Kasper (1997) memberikan penjelasan mengenai bahan
ajar yang dapat diberikan pada pembelajar diantaranya adalah: (1) penanda wacana dan
strategi wacana, serta pragmatik rutin; (2) tindak tutur khusus seperti tuturan untuk
menyatakan penghargaan/pujian, permintaan maaf, keluhan, penolakan, salam; (3)
kesopanan dan (4) implikatur.
Bentuk-bentuk tuturan yang akan dijadikan bahan pembelajaran pragmatik
hendaknya merupakan tuturan-tuturan yang otentik. Bahan tersebut dapat diperoleh dari
rekaman pembicaraan telepon, acara bincang-bincang di televisi, film, surat elektronik
atau dari internet (Bardovi-Harlig dan Mahan-Taylor, 2008). Bahan ajar yang otentik
tersebut disampaikan dengan mengikutsertakan kegiatan menginterpretasi tuturan yang
disajikan dan aktivitas yang bersifat produktif, seperti bermain peran. Penelitian dari
Jernigan (2012:7) berhasil membuktikan bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan
video efektif untuk meningkatkan kemampuan pragmatik interkultural pembelajar bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua, yang ditunjukan dari peningkatan hasil tes tulis penilaian
keberterimaan pragmatis (pragmatic acceptability judgment task).
Cohen (2008) berpendapat aspek terpenting dari pragmatik bila dikaitkan dengan
pembelajaran bahasa ke dua adalah tindak tutur khusus. Oleh karena itu, tindak tutur
merupakan aspek utama yang harus diajarkan. Pandangan Cohen tersebut kemudian
direalisasikan dalam sebuah situs internet yang menyajikan hal-ihwal pembelajaran
pragmatik dengan tindak tutur sebagai titik pijaknya. Situs tersebut merupakan bagian
dari program yang disebut CARLA (The Center for Advance Research on Language
Acquisition). Khusus bidang pragmatik dapat dilihat di alamat web berikut:

9
http://www.carla.umn.edu/speechacts/index.html. Situs ini sekiranya dapat digunakan
sebagai bahan tilikan dalam menyusun program pembelajaran pragmatik, khususnya bagi
pembelajaran bahasa kedua.
Situs ini juga menyediakan program khusus pembelajaran pragmatik bagi
pembelajar bahasa Spanyol sebagai bahasa kedua, yang diberi nama Dancing with Words.
Tindak tutur yang disajikan dalam Dancing with Words meliputi pujian, penyampaian
terima kasih dan perpisahan, permintaan maaf, penyampaian undangan, pemberian
pelayanan, nasihat, saran, pernyataan ketidaksetujuan, dan teguran. Setiap tindak tutur
tersebut dikemas dalam satu modul yang terdiri atas pengantar, memasuki tindak tutur,
strategi performansi pragmatik, strategi sosiopragmatik dan pragmalinguistik, faktor-faktor
sosiokultural, variasi bahasa dan kesimpulan. Dari paparan mengenai bahan ajar tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa aspek pragmatik yang utama untuk diajarkan adalah
tindak tutur khusus, disamping juga pengetahuan sosiopragmatik.
Salah satu tindak tutur khusus adalah penolakan (refusal). Penelitian yang
mengkaji pembelajaran pragmatik dan tindak tutur penolakan dilakukan Soler dan Pitarch
(2010). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) intervensi pedagogis memiliki
pengaruh terhadap jumlah informasi yang perlu dihadirkan selama merencanakan dan
mengeksekusi tindak tutur penolakan; (2) pembelajaran yang diberikan dalam penelitian
ini terbukti efektiv untuk mengarahkan perhatian pembelajar terhadap pengetahuan
eksplisit dari strategi penolakan (pengetahuan pragmalinguistik) dalam relasinya dengan
konteks (pengetahuan sosiopragmatik). Penelitian ini sekaligus juga menghasilkan
kesimpulan bahwa tugas peningkatan kesadaran (awareness-raising task) sebagai salah
satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengajarkan pragmatik.
4. Strategi Pembelajaran Pragmatik
Persoalan berikutnya yang terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik
pada pembelajar bahasa adalah strategi pembelajarannya. Persoalan ini tentu tidak
mudah untuk diuraikan, karena hal-ihwal yang terkait dengan pragmatik cukup kompleks.
Bagi guru bahasa kedua (bahasa asing) yang mengajarkan bahasa target di luar
masyarakat penutur bahasa target tersebut, tantangan untuk mengintegrasikan pragmatik
dalam pembelajaran yang diampunya semakin berat. Salah satunya adalah kesulitan
untuk menemukan konteks sosial yang nyata, yang bisa digunakan oleh pembelajar untuk
mempraktekan tindak komunikasi yang telah dipelajari. Selain itu, pengajar bahasa kedua

10
(asing) harus menguasai bahasa target secara gramatikal dan leksikal yang baik dan
mampu berkomunikasi secara tepat dalam bahasa tersebut. Dia juga harus mengenal
dengan baik latar belakang budaya dari bahasa target, serta mampu memperhitungkan
adanya transfer negatif dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua.
Berbagai aspek yang terlibat dalam proses belajar pragmatik dapat dilihat pada
bagan 3 (dikutip dari Roever, 2009:562).

Bagan 3. Model Proses Belajar Pragmatik menurut Roever (2009)

Dari bagan tersebut terlihat bahwa dua unsur pragmatik, yaitu sosiopragmatik dan
pragmalinguistik perlu dikembangkan bersamaan. Pada sisi sosiopragmatik, pembelajar
perlu menghadirkan fitur-fitur sosiopragmatik berdasarkan input yang terkait seperti
ekspresi dari interlokutor, bentuk relasi dan konteks. Pemrosesan fitur sosiopragmatik
tersebut akan menjadi dasar untuk membangun pengetahuan mengenai karakteristik
interlokutor seperti apa yang relevan dan bagaimana konteks bisa mempengaruhi
penggunaan bahasa. Input yang bersifat sosiopragmatik dapat diperoleh dari kontak
interpersonal, interaksi ataupun dari observasi. Pada sisi pragmalinguistik, pembelajar

11
harus dapat menghadirkan aspek pragmatik dari input kebahasaan yang bersifat umum,
misalnya penggunaan modalitas dan pertanyaan untuk mengekspreksikan tindak tutur
permintaan maaf secara tak langsung, sebagai alternatif penggunaan pernyataan
deklaratif. Input yang secara pragmalinguistik berhasil diidentifikasi relevan dengan
konteks sosial akan menjadi masukan bagi pembelajar untuk membangun pengetahuan
pragmalinguistiknya. Pengetahuan ini sewaktu-waktu dapat digunakan (dikodekan)
kembali ketika menemui situasi tutur yang cocok. Peran pengajar di sini adalah membantu
pembelajar untuk menghubungkan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan
sosiopragmatik.
Dalam konteks pembelajaran bahasa kedua, aspek lain yang juga perlu mendapat
perhatian adalah adanya transfer dari bahasa pertama, karena berpengaruh terhadap
perkembangan pengetahuan sosiopragmatik, pragmalinguistik dan kebahasaan bahasa
target, terutama pada pembelajar tingkat pemula. Bagi pembelajar tingkat lanjut,
permasalahan tersebut relatif bekrkurang. Bu (2012) menemukan bahwa pembelajar
bahasa kedua yang cakap akan semakin sedikit melakukan transfer norma pragmatik dari
bahasa pertama karena mereka telah memiliki kontrol yang cukup terhadap bahasa
kedua.
Pragmatik yang terdiri atas pragmalinguistik dan sosiopragmatik dapat
direalisasikan dalam pembelajaran bahasa dengan berbagai cara. Strategi pembelajaran
pragmatik yang cukup dikenal dan juga diteliti adalah pendekatan eksplisit yang
dilawankan dengan pendekatan implisit. Pada pendekatan yang pertama fitur-fitur
pragmatik dideskripsikan, dijelaskan guru serta didiskusikan untuk melengkapi input
kebahasaan dan latihan. Pada pendekatan implisit, input-input linguistik dan latihan
disajikan namun tidak disertai penjelasan tentang komponen metapragmatik (Kasper,
1997). Taguchi (2011:291) menambahkan, bahwa dalam pembelajaran pragmatik yang
bersifat eksplisit fitur-fitur pragmatik dari bahasa target dijelaskan secara langsung dan
diikuti dengan latihan. Sebaliknya, pada pendekatan implisit, penjelasan langsung
ditiadakan (atau setidaknya ditunda). Dengan demikian pembelajar hanya diberi input dan
kesempatan untuk berlatih. Melalui latihan-latihan tersebut, pembelajar diharapkan dapat
mengembangkan pemahaman secara implisit terhadap bentuk-bentuk pragmatik dan
penggunaannya.

12
Beberapa penelitian yang mengkaji penerapan pendekatan eksplisit dan implisit
dalam pembelajaran pragmatik antara lain dilakukan oleh Fukuya dan Martinez-Flor
(2008), Farrokhi dan Atashian (2012), Tan dan Farashaiyan (2012), serta oleh Salemi,
Rabiee dan Ketabi (2012).
Fukuya dan Martinez-Flor (2008) meneliti efek interaksi antara dua bentuk tugas
penilaian (e-mail dan telepon) dengan dua tipe pengajaran (eksplisit dan implicit)
dikaitkan dengan bentuk tuturan penyampaian saran yang secara pragmatik dan linguistik
akurat. Kelompok yang memperoleh pembelajaran secara eksplisit diberi informasi
metapragmatik tentang penggunaan head acts dan Hedge dalam tindak tutur saran,
sementara kelompok yang lain tidak memperoleh informasi tersebut, namun memperoleh
aktivitas penataan kembali (recast) dan input peningkatan (enhancement input). Hasil
penelitian menunjukan bahwa kelompok eksplisit setelah pembelajaran memiliki
perkembangan yang signifikan pada tugas pembicaraan telepon dibanding kelompok yang
memperoleh pembelajaran pragmatik secara implisit. Namun dalam tugas menulis e-mail,
perkembangan kedua kelompok tersebut berjalan setara. Dari hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa keberhasilan penerapan pembelajaran yang bersifat eksplisit
dan implisit dipengaruhi oleh bentuk tugas yang diberikan.
Penelitian quasi-experimental dari Farrokhi dan Atashian (2012) mengkaji tindak
tutur penolakan (refusal) dikaitkan dengan pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit
dan implisit. Responden dari penelitian ini ditempatkan dalam tiga kelompok, yaitu
kelompok yang menerima pembelajaran secara eksplisit, implisit dan kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pembelajaran pragmatik yang bersifat eksplisit
terbukti lebih efektif dibanding yang bersifat implisit dalam meningkatkan performansi
pragmatik pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Iran, terutama dalam tindak
tutur penolakan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Salemi, Rabiee dan Ketabi (2012)
membandingkan pengaruh pembelajaran implisit dengan eksplisit, serta pemberian umpan
balik dalam perkembangan kompetensi pragmatik pada pembelajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing di Iran khususnya tindak tutur pemberian saran. Subjek penelitian
dibagi ke dalam empat kelompok eksperimental dan satu kelompok kontrol. Kelompok
eksperimen pertama menerima pembelajaran dan umpan balik yang eksplisit, kelompok
kedua memperoleh pembelajaran eksplisit dan umpan balik yang implisit, kelompok ketiga
memperoleh pembelajaran implisit dan umpan balik eksplist, dan kelompok keempat

13
mendapatkan pembelajaran dan umpan balik implisit. Hasil studi ini menunjukan bahwa
pembelajaran dan pemberian umpan balik yang eksplisit memberikan pengaruh yang lebih
baik pada kompetensi pragmatik pembelajar, meskipun di sisi lain penelitian ini juga
menunjukan bahwa pembelajar cenderung melupakan materi pembelajaran setelah empat
minggu. Hasil penelitian Tan dan Farashaiyan (2012) juga mendukung penelitian
sebelumnya. Mereka menemukan bahwa pembelajaran yang berbasis pendekatan eksplisit
efektif membantu pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dalam memahami dan
memproduksi tindak tutur permintaan.
Taguchi (2011:296) lalu menawarkan bentuk tugas yang dapat mengintegrasikan
aspek konteks sosial, penggunaan bahasa secara fungsional dan interaksi. Tugas pertama
merupakan tugas untuk meningkatkan kesadaran pembelajar (consciousness-raising task).
Bentuk kegiatannya berupa kegiatan menyimak dan memperhatikan variabel pragmatik
dan sosiolinguistik dari suatu peristiwa tuturan khusus. Tugas berikutnya adalah tugas
untuk mengasah keterampilan reseptif, dimana pembelajar memperoleh input-input
pragmatik lalu mengevaluasi dan memilih bentuk pragmatik yang cocok. Tugas terakhir
adalah tugas yang bersifat produktif yaitu dengan melibatkan pembelajar untuk
melakukan role-play, membuat percakapan terstruktur atau diberi kesempatan untuk
menjawab tes melengkapi wacana (discourse completion test) atau tes rumpang (cloze
test).
Strategi lain yang bisa digunakan untuk pengembangan kompetensi pragmatik dan
interkultural adalah dengan menggunakan model 6R yang diajukan oleh Martinez-Flor dan
Uso’-Juan (via Shively, 2010:110). Model, yang pada dasarnya berbasis pendekatan
eksplisit ini terdiri atas enam tahapan yaitu researching, reflecting, receiving, reasoning,
rehearsing dan revising. Pada tahap pertama, pembelajar diberi penjelasan mengenai
konsep pragmatik dan tindak tutur tertentu seperti permohonan, permintaan maaf dan
penolakan. Pembelajar kemudian mengumpulkan data pragmatik dalam bahasa pertama.
Pada tahap kedua, pembelajar menganalisis data tersebut dibawah bimbingan guru.
Tahap ini akan meningkatkan kesadaran pembelajar mengenai faktor-faktor sosial dan
situasi yang mempengaruhi perilaku pragmatik. Pada tahap ketiga, pembelajar
memperoleh petunjuk yang eksplisit tentang bagaimana fitur-fitur pragmatik dapat
direalisasikan dalam bahasa kedua (bahasa target). Sebagai contoh pembelajar ditunjukan
serangkaian strategi yang mungkin digunakan untuk menyatakan tindak tutur permintaan

14
dalam bahasa target dan membandingkannya dengan tindak tutur bahasa pertama. Pada
tahap keempat, pembelajar menganalisis data pragmatik bahasa kedua dan
mengidentifikasi faktor sosial dan situasional, serta intensi penutur. Aktivitas ini
merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran. Tahap kelima, pembelajar
mempraktekan pengetahuan pragmatiknya dengan berpartisipasi dalam aktivitas
komunikatif, dimulai dari yang agak terkontrol hingga lebih bebas. Tahap terakhir,
pembelajar menerima umpan balik dan petunjuk lebih lanjut untuk mengembangkan
performansi pragmatiknya dalam aktivitas berkomunikasi.

C. Penutup
Pragmatik sebagai bagian dari linguistik yang mengkaji penggunaan tindak
komunikasi dalam konteks sosiokultural saat ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari pembelajaran bahasa, termasuk pembelajaran bahasa untuk anak-anak. Kemunculan
aspek pragmatik dalam pembelajaran bahasa bersamaan dengan munculnya pendekatan
komunikatif. Pendekatan ini merupakan reaksi atas beberapa metode dan pendekatan
sebelumnya yang mementingkan penguasaan tatabahasa dan mengesampingkan aspek
sosiokultural, seperti metode tatabahasa terjemahan, metode langsung, metode
audiolingual dan pendekatan yang berbasis pada tatabahasa generatif dari Chomsky.
Sebaliknya, pendekatan komunikatif yang menonjolkan aspek fungsi dan makna bahasa
mulai melibatkan aspek sosiokultural. Hal ini sesuai dengan pendapat Hymes, bahwa
belajar bahasa tidak hanya persoalan kegramatikalan tetapi yang tak kalah penting adalah
aspek kecocokan sebuah tuturan dengan konteks sosiokulturalnya. Atas dasar itulah,
pragmatik perlu diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa. Ada dua alasan yang
mendukung pembelajaran pragmatik, yaitu (1) memfasilitasi pembelajar untuk mampu
mengenali aspek-aspek sosial dan interpersonal yang terkait dalam sebuah peristiwa
tutur, sehingga ia dapat merangkai sebuah tuturan yang tepat (cocok), dan (2) untuk
menghindari adanya kesalahan pragmatik (pragmatic failure) saat melakukan tindak
komunikasi.
Pragmatik terdiri atas dua bagian yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik.
Kedua aspek tersebut harus dijadikan landasan dalam penyusunan bahan ajar serta
penentuan strategi pembelajaran pragmatik. Materi pembelajaran utama yang perlu
diajarkan terkait dengan pembentukan kompetensi pragmatik adalah tindak tutur khusus,
selain aspek implikatur, kesopanan, penanda dan strategi wacana, serta pragmatik rutin.

15
Materi tersebut dapat diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa dengan menggunakan
berbagai strategi dan pendekatan.
Pendekatan yang populer dipakai adalah pendekatan eksplisit dan implisit. Melalui
pendekatan eksplisit, pembelajar akan diberi penjelasan mengenai fitur dan norma
pragmatik yang disertai latihan. Sebaliknya dalam pendekatan implisit, pembelajar hanya
diberi latihan dan input pragmatik tanpa penjelasan. Kedua pendekatan tersebut bukan
merupakan hal yang bersifat diskrit, namun bersifat kontinyu. Hal ini berarti keduanya
dapat dipakai secara bergantian. Pendekatan eksplisit lebih tepat digunakan bagi
pembelajar bahasa kedua tingkat awal. Seiring peningkatan kemampuan berbahasa
pembelajar pendekatan yang bersifat implisit dapat diberikan. Strategi lain yang bisa
digunakan adalah strategi pembelajaran 6R yang terdiri atas researching, reflecting,
receiving, reasoning, rehearsing dan revising. Strategi ini mencakup proses penyadaran
terhadap konsep pragmatik, pemberian input dalam bahasa pertama dan bahasa target,
latihan menerapkan pengetahuan pragmatik dalam tindak komunikatif, dan umpan balik
dari pengajar.

Daftar Pustaka
Bardovi-Harlig, Kathleen. 2005. On the Role of Formulas in the Acquisition of L2
Pragmatics. Indiana University. Diakses dari
http://www.slate.illinois.edu/events/lecture/documents/kbhuiuctalk.ppt
pada tanggal 4 Mei 2013.

Bardovi-Harlig, Kathleen, dan Mahan-Taylor, Rebecca. 2009. “Introduction” dalam


Teaching Pragmatics. Diakses dari
http://www.indiana.edu/~dsls/publications/introms.pdf pada tanggal 14
April 2013.

Bu, Jiemin. 2012. ”A Study of Relationships between L1 Pragmatic Transfer and L2


Proficiency” dalam English Language Teaching, Vol. 5. No. 1; January 2012.
Doi:10.5539/elt.v5n1p32, diakses dari
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/13874 pada
tanggal 28 Maret 2013.

Chen, Yuanshan. 2009. “Learner Perceptions of Instruction in L2 Pragmatics” dalam


English Language Teaching. Vol. 2, No. 4 Desember 2009, diakses dari
http://ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/view/4465 pada tanggal 16
April 2013.

Cohen, Andrew D. 2008. “Teaching and Assesing L2 Pragmatics: What can we expect
from learners?” dalam Language Teaching, 41:2, pp. 213 – 235.

16
Doi:0.1017/S0261444807004880. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/217739849/13E0791E0E06D4E2
306/1?accountid=31324 pada tanggal 28 Pebruari 2013.

Farrokhi, Farahman, dan Atashian, Soheil. 2012. „The Role of Refusal Instruction in
Pragmatic Development” dalam World Journal of Education Vol 2, No. 4:
August 2012. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/1035265911/fulltextPDF/13E11E78CB
B35DDE24C/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Februari 2013.

Fukuya, Yoshinori J., dan Martinez-Flor, Alicia. 2008. “The Interactive Effects of Pragmatic-
Eliciting Tasks and Pragmatic Instruction” dalam Foreign Language Annals,
Fall 2008, 41, 3. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/216007140/fulltextPDF/13E11DA26EA
3ED11B5/1?accountid=31324, pada tanggal 5 Februari 2013.

Jerniga, Justin. 2012. “Output and English as a Second Language Pragmatic Development:
The Effectiveness of Output-focused Video-based Instruction” dalam
English Language Learning Vol. 5, No. 4, April 2012. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/1009897754/fulltextPDF/13E1CF61765
3176B1AB/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.

Kasper, G. 1997. Can pragmatic competence be taught? (NetWork #6) [HTML document].
Honolulu: University of Hawai'i, Second Language Teaching & Curriculum
Center. Diakses dari http://www.nflrc.hawaii.edu/NetWorks/NW06/ pada
tanggal 16 April 2013.

Louw, Kerry J., Derwing, Tracey M., dan Abbot, Marilyn L, 2010. “Teaching Pragmatics to
L2 Learners for the Workplace: The Job Interview” dalam The Canadian
Modern Language Review, 66, 5 (August) 739–758.
Doi:10.3138/cmlr.66.5.739. Diakses dari
http://utpjournals.metapress.com/content/l4621831326406q1/fulltext.pdf
pada tanggal 5 Pebruari 2013.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Menyibak Kurikulum
1984. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Richards, Jack C., Schmidt, Richard. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and
Applied Linguistics. London: Pearson Education Limited.
Roever, Carsten. 2009. “Teaching and Testing Pragmatics” dalam Handbook of Language
Teaching. West-Sussex: Blackwell Publishing Limited
Salemi, Azin., Rabiee, Mika dan Ketabi, Saeed. 2012. “The Effects of Explicit/Implicit
Instruction and Feedback on the Development of Persian EFL Learners’
Pragmatic Competence in Suggestion Structures“. Dalam Journal of
Language Teaching and Research, Vol 3, No 1 (2012), 188-199, Jan 2012,
doi:10.4304/jltr.3.1.188-199, diakses dari
http://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/view/6467 pada
tanggal 16 April 2013.

17
Shively, Rachel L. 2010. “From the VirtualWorld to the Real World: A Model of Pragmatics
Instruction for Study Abroad” dalam Foreign Language Annals Vol Diakses
dari
http://search.proquest.com/docview/871903263/fulltextPDF/13E12FAC1BD
996A4B0/1?accountid=31324 pada tanggal 16 Mei 2013.

Soler, Eva Alcon., dan Pitarch, Joseph-Guzman. 2010. “The Effect of Instruction on
Learners’ Pragmatik Awareness: a Focus on Refusals” dalam International
Journal of English Studies. 10 (1), 2010, pp. 65 – 80. Diakses dari
http://revistas.um.es/ijes/article/view/113981/107971 pada tanggal 14
Maret 2013.
Taguchi, Naoko. 2011. Teaching Pragmatics: Trends and Issues. Dalam Annual Review of
Applied Linguistics (2011). 31, 289 – 310. Cambridge: Cambridge University
Press. Doi: 10.1017/S0267190511000018, diakses dari
http://search.proquest.com/docview/887087627/fulltextPDF/13DFE8EE40D
7CC15DE1/1?accountid=31324.
Tan, Kim Hua., dan Farashaiyan, Atieh. 2012. „The Effectiveness of Teaching Formulaic
Politeness Strategies in Making Request to Undergraduates in an ESL
Classroom”. Dalam Asian Social Sciences. Vol. 8, No. 15. Doi:
10.5539/ass.v8n15p189, diakses dari
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ass/article/view/22661 pada
tanggal 15 April 2013.
Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: Introduction to Pragmatics. London:
Longman Group Limited.
V.G, Latha, dan Rajan, Premalatha. 2012. “Non-native Student’s Communication is
Affected Due to the Lack of Pragmatic Competence” dalam English
Language Teaching. Vol. 5, No. 2; February 2012. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/964018740/fulltextPDF/13E1B40AA8E
30EF498D/1?accountid=31324, pada tanggal 14 Maret 2013
Zhan, Lei dan Yan, Rong. 2012. „Impact of Immersion Teaching on English
Sociopragmatic Awareness of Chinese Kindergarten Childern: A Polite
Study” dalam International Education, Spring 2012; 41, 2. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/1022057329/fulltextPDF/13E1BECCA9
2670D3579/1?accountid=31324 pada tanggal 5 Pebruari 2013.

18

Anda mungkin juga menyukai