Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsep suatu harta bersama atau disebut juga persatuan harta, muncul akibat adanya
suatu perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Konsep harta
bersama ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harta bersama memiliki peran yang besar
dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup suatu keluarga seperti kebutuhan pangan,
sandang, papan dan lain sebagainya, dan ada kalanya kebutuhan hidup suatu keluarga
tersebut tidak cukup dapat dipenuhi dengan penghasilan yang didapatkan setiap
bulannya. Oleh karena itu muncul suatu keinginan untuk mengajukan peminjaman
melalui lembaga pembiayaan baik perbankan maupun non perbankan dengan
memberikan jaminan berupa aset fisik yang juga merupakan harta bersama pasangan
suami istri tersebut, misalnya saja sebidang tanah berikut bangunan rumah tinggalnya.
Namun seiring berjalannya waktu dan semakin meningkatnya kebutuhan hidup,
adakalanya pasangan suami istri tersebut tidak ragu untuk meminjam dana tunai tidak
hanya dari satu lembaga pembiayaan saja, tetapi ke beberapa pembiayaan. Apabila
pasangan tersebut tidak mampu mengatur keuangan dengan baik, dapat mengakibatkan
pasangan tersebut tidak mampu lagi untuk melaksanakan kewajiban pembayaran
terhadap para pemberi pinjaman atau disebut juga Kreditur, sehingga salah satu jalan
adalah dengan cara menjual atau melelang aset yang dijadikan jaminan tersebut.
Permasalahan akan muncul pada saat nilai jaminan yang ada tidak meng-cover
jumlah kewajibannya kepada para kreditur, dan suami dan istri ini tidak mampu lagi
untuk membayar kewajibannya. Pada kondisi seperti ini, suami istri tersebut dapat
dinyatakan pailit oleh Putusan Pengadilan. Kepailitan adalah suatu penyitaan
berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang untuk kepentingannya
bersama para yang mengutangkan. 1

1.2 Identifikasi Masalah


Pada pembuatan makalah ini, akan dikaji permasalahan mengenai :

1
R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta : 1983, hal. 264.

1
a. Bagaimanakah konsep harta bersama dalam perkawinan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
b. Bagaimanakah akibat hukum kepailitan suami istri terhadap harta bersama
perkawinan, serta pemenuhan perjanjian kredit kreditur ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Harta Bersama dalam Peraturan Perundang-undangan.


Di Indonesia, Konsep mengenai harta bersama diatur dalam undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Adanya harta bersama timbul akibat adanya suatu perkawinan, dimana dalam suatu
perkawinan terjadi suatu proses percampuran harta bersama. Percampuran kekayaan
adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva baik yang dibawa masing-masing pihak ke
2
dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh kemudian hari selama perkawinan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, konsep Harta Bersama diatur dalam Pasal
119 yang menyatakan bahwa “Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu
dengan perjanjian kawin tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan
antara suami dan istri”.
Konsep Harta bersama dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bersumber
pada hukum Barat ini merupakan penyatuan harta secara mutlak diperoleh maupun
dibawa suami istri sebelum dan selama perkawinan, hal ini terjadi apabila tidak
ditentukan lain dalam suatu perjanjian kawin yang merupakan bukti satu-satunya atas
keberadaan harta dalam perkawinan yang pengurusannya dilakukan oleh pihak suami.
Hal ini disebabkan karena pihak suami memiliki hak marital untuk mengurus serta
memelihara seluruh harta dalam perkawinan yang akan berlangsung hingga putusnya
perkawinan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kawin.
Sedangkan, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Konsep Harta Bersama
diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama”. Harta Bersama yang diatur dalam Undang-
undang Perkawinan bersumber dari Hukum Adat, dimana dalam Hukum Adat tidak
dikenal istilah perjanjian kawin. Persatuan harta dalam hal ini hanyalah meliputi harta
benda yang diperoleh selama perkawinan saja, sehingga harta bawaan yang dibawa
masing-masing suami istri dalam perkawinannya tetap menjadi atau tetap berada

2
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa : Jakarta, 1994, hal. 32.

3
dibawah kekuasaan masing-masing., kecuali diperjanjikan sebaliknya diantara keduanya.
Suami istri memiliki kedudukan yang sejajar dalam mengurus harta bersama, karena
kesepakatan antara kedua belah pihak menjadi hal yang wajib ada apabila para pihak
yang ingin melakukan perbuatan hukum atas harta bersama mereka, sehingga hal ini
menciptakan keterbukaan para pihak dalam menggunakan harta bersama.

2.2 Dampak Hukum kepailitan terhadap Harta Bersama.


2.2.1 Tinjauan Umum Kepailitan.
Istilah “Pailit” sudah ada sejak zaman Romawi, atau dikenal juga
dengan istilah kata “bangkrut” atau “bankrupt” atau “banca rupta”. Menurut
Poerwadarminta, pengertian Pailit sama dengan bangkrut, yaitu menderita
kerugian besar hingga jatuh. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.
Kepailitan merupakan perwujudan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUHPerdata, dimana Pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa “ Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang akan ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 KUHPerdata
menyatakan bahwa “ Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama
bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan
benda-benda tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut
besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara pihak
berpiutang tersebut ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Syarat-
syarat suatu debitur dapat dinyatakan pailit yaitu :
a. Mempunyai dua atau lebih kreditur;
b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih;

4
Yang dimaksud dengan sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih adalah bahwa utang tersebut harus lahir dari perikatan yang
sempurnam sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
c. Dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan;
d. Atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
krediturnya.
Seorang debitur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit atas
dirinya sendiri, jika debitur masih terikat dalam suatu perkawinan yang
sah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami
atau istri.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan seorang kreditur atau lebih adalah
kreditur konkuren, kreditur preferen, kreditur separatis.
2.2.2 Akibat Kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit.
Pada saat seorang debitur dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan,
maka secara hukum debitur kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu
terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaannya sejak tanggal
kepailitan tersebut. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta benda debitur
menjadi berada dalam sitaan umum, kecuali3:
a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu
yang diatur dalam Pasal 22a Undang-Undang Kepailitan.
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang
tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas, yang
diatur dalam Pasal 22b Undang-undang Kepailitan.
c. Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu
kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-undang yang diatur
dalam Pasal 22c Undang-undang Kepailitan.

2.2.3 Akibat Kepailitan terhadap Pasangan(suami istri) debitur Pailit.

3
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika : Jakarta, 2008. Hal. 107.

5
Pasal 23 Undang-undang Kepailitan menentukan bahwa apabila
seseorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juga istri
atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Artinya bahwa seluruh
harta istri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga
terkena sita kepailitan dan otomatis masuk dalam boedel pailit4. Hal ini tidak
berlaku bagi harta bawaan suami atau istri yang dinyakan pailit. Dalam hal
suami atau istri yang dinayatakan pailit, istri atau suami berhak mengambil
kembali semua benda bergerak atau benda tidak bergerak yang merupakan
harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual
oleh istri atau suami dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan
belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak untuk
mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut yang diatur di dalam Buku
ke III KUHPerdata dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Sedangkan menurut Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Kepailitan, “
Kepailitan suami istri yang kawin dalam persatuan harta, diperlakukan
sebagai kepailitan persatuan harta”.

2.2.4 Akibat Kepailitan terhadap Pemenuhan Perjanjian Kredit Debitur Pailit.


Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, definisi “Perjanjian” yaitu suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih5. Rumusan ini memberikan akibat hukum bahwa
dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah
pihak yang memberikan prestasi atau disebut juga debitur, dan pihak lainnya
adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut atau disebut juga kreditur.

5
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet.33. Pradnya Paramita : Jakarta, 2003.

6
Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan
dapat juga e atas satu atau lebih badan hukum6.
Sedangkan, Kredit dilihat dari sudut bahasa berarti kepercayaan, dalam
arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari bank,
orang atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank
pemberi kredit7. Menurut O.P. Simorangkir (1988), kredit adalah pemberian
prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan
terjadi pada waktu mendatang. Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan sejumlah bunga8.
Jadi yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian
kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka
(kreditur dan debitur).
Menurut Ch. Gatot Wardoyo, dalam tulisannya mengenai Sekitar klausul
Perjanjian Kredit Bank, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi,
diantaranya yaitu :
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian-perjanjian pokok, artinya
perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau
tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian
pengikatan jaminan.
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.

Seperti sudah kita ketahui bersama, dalam proses pemberian kredit


kepada debitur, bank tidak begitu saja melepaskan kreditnya tetapi harus

6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Rajawali Pers : Jakarta,
2003. Hal. 92.
7
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005. Hal 123.
8
Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan.

7
melalui prosedur yang telah ditentukan baik oleh peraturan perundang-
undangan maupun ketentuan internal bank itu sendiri. Resiko dalam
pemberian kredit pasti akan ada, misalnya saja resiko terjadinya kredit
bermasalah atau kredit macet, yang harus dilakukan adalah dengan cara
meminimalisir atau melakukan mitigasi-mitigasi atas resiko tersebut.
Salah satu cara untuk me-mitigasi resiko yaitu diantaranya dengan
meminta jaminan yang dijadikan agunan dalam pemberian kredit tersebut.
Jaminan disini dapat berarti jaminan berupa materiel maupun immateriel.
Hal penting lainnya dalam pemberian kredit adalah bagaimana pengikatan
jaminan atas agunan yang diberikan. Pada saat ini, sistem hukum jaminan di
Indonesia mengenal 4 (empat) macam lembaga jaminan, yaitu :9
a. Hipotek
Hipotik diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Bab XXI
KUHPerdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut
yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar dan
pesawat terbang.
b. Gadai
Gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan 1160 Bab XX
KUHPerdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak.
c. Hak Tanggungan
Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu
berikut kebendaan yang melekat diatasnya.
d. Fidusia
Hak Fidusia diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak
dapat dijaminkan dengan gadai, hipotik dan hak tanggungan.
Pihak yang memegang hak atas jaminan tersebut diatas memiliki kedudukan
sebagai Kreditur Separatis. Selain itu, dalam KUHPerdata dikenal juga
Kreditur Preferen dan Kreditur Konkuren. Kreditur Preferen adalah kreditur
yang mendapatkan pelunasan terlebih dahulu semata-mata berdasarkan sifat

9
Jono, Op.Cit., hal. 121.

8
piutangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1133, 1134, dan 1149
KUHPerdata, sedangkan yang dimaksud dengan Kreditur Konkuren adalah
kreditur yang mempunyai kedudukan yang sama dan tidak mempunyai hak
untuk didahulukan dari kreditur lainnya.
Menurut Pasal 26 undang-undang kepailitan menyatakan bahwa “
tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus
diajukan oleh atau terhadap Kurator, dan apabila tuntutan tersebut diajukan
atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan
tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit,
penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.
Dengan demikian, putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala
penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan
debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan
sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
dengan menyandera debitur. Pihak-pihak yang terkait dalam penguasaan dan
pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya Kurator, tetapi masih
terdapat pihak-pihak lain yang terlibat adalah Hakim Pengawas, Kurator dan
Panitia Kreditur.
Terkait dengan kreditur yang berkedudukan sebagai kreditur separatis,
dalam Pasal 55 Undang-undang Kepailitan, ditentukan bahwa setiap kredit
pemegang hak jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan atau fidusia atau hak
kebendaan lainnya, dapat meng-eksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan, kecuali dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 dan Pasal 137 Undang-undang Kepailitan, Kreditur
Separatis tersebut hanya dapat meng-eksekusi setelah dilakukan pencocokan
penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang
diakui dari penagihan tersebut.
Sementara itu dalam Pasal 56 Undang-undang Kepailitan, disebutkan
bahwa hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam
penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu
paling lama 90 (sembialn puluh) hari sejak tanggal putusan pailit.
Penangguhan mana tidak berlaku terhadap tagihan kreditur yang dijamin
dengan uang tunai dan hak kreditur untuk meperjumpakan utang, dan selama

9
jangka waktu penangguhan tersebut, kurator dapat menggunakan harta
berupa benda tidak bergerak maupun bergerak yang berada dalam
penguasaan kurator dalam jangka kelangsungan usaha debitur, dalam hal
telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak
ketiga

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konsep harta bersama dalam peraturan perundang-undangan diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Dalam KUHPerdata konsep harta bersama tertuang dalam Pasal
119 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “ Mulai saat perkawinan dilangsungkan
demi hukum berlakukan persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri,
sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Persatuan tersebut sepanjang perkawinan tidak boleh tidak diadakan atau diubah
dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri”. Harta bersama dalam ketentuan
KUHPerdata akan ada pabila dalam perkawinan tersebut tidak diadakanperjanjian
kawin atau perjanjian pisah harta, sehingga akan hanya ada satu jenis harta saja,
yaitu harta bersama saja, karena segala macam jenis harta akan melebur menjadi
satu ke dalam persatuan harta. Sedangkan dalan Undang-undang Perkawinan, Harta
Bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Harta benda
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Dalam konsep ini harta
bersama pasti akan ada karena undang-undang yang menentukan demikian.
Akibat kepailitan suami istri terhadap harta bersama mereka adalah dianggap
sebagai kepailitan bersama. Karena berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang
Kepailitan, “ Kepailitan suami istri yang kawin dalam persatuan harta, diperlakukan
sebagai kepailitan persatuan harta”. Sedangkan Pasal 23 Undang-undang Kepailitan
menyatakan bahwa “ Debitur pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
22 meliputi istri atau suami dari Debitur pailit yang menikah dalam persatuan harta”.
3.2 Saran
a. Agar lebih diperjelas mengenai konsep harta bersama sehingga tidak terjadi
kebingungan mengenai penerapan hukum manakah yang akan digunakan.
b. Dalam hal eksekusi jaminan harta bersama agar lebih diperhatikan mengenai hak-
hak dari pasangan suami istri yang dinyatakan pailit.

11
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Daeng Naja, H.R, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Rajawali Pers
: Jakarta, 2003.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa : Jakarta, 1994

Suryatin, R, Hukum dagang I dan II, Pradnya Paramita : Jakarta, 1983

Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia : Bogor, 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Cetakan ke empat puluh,


Terjemahan oleh Subekti R dan R. Tjitrosudibio, Pradnya Paramita : Jakarta, 2009.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban pembayaran Utang, Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 131
Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.

12

Anda mungkin juga menyukai