Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian

Kanker paru atau disebut karsinoma bronkogenik merupakan tumor ganas


primer sistem pernafasan bagian bawah yang bersifat epitelial dan berasal dari
mukosa percabangan bronkus. Penyakit ini jarang terjadi dan paling sering terjadi
di daerah industri. Menurut Susan Wilson dan june Thomson 1990, kanker paru
adalah suatu pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel anaplastik dalam paru.

a. Anatomi Paru-paru
Paru-paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut.
Selanjutnya pada Groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea.
Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary
lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-
cabangnya. Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu,
sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus
meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveol bertambah besar sesuai
dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru
berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti.
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui
paru-paru atau pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut.
Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli
dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler pulmunaris.
Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen
dan darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel
darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua
bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg
dan tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah
satu hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler
darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar
melalui hidung dan mulut.

Anatomi Paru-paru

b. Fisiologi Paru-paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti
yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama
inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut
besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103
mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara
inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan
dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama.
B. Etiologi
a. Merokok

Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling


penting yaitu 85% dari seluruh kasus (wilson, 2005). Rokok mengandung lebih
dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasikan dapat menyebabkan
kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok,
jumlah batang rokok yang di isap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan
lamanya berhenti merokok.

b. Perokok pasif

Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok


pasif, atau penghisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain didalam ruang
tertutup, dengan resiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah
menunjukan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap
dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali.

c. Polusi udara

Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat
kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak didaerah perkotaan dibandingkan
dengan daerah pedesaan.

d. Paparan zat karsinogen

Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium,


nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru.
Resiko kanker paru diantara pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali
lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak
dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.

e. Diet

Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap


betakarotone, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena
kanker paru.

f. Genetik

Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru risiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru.

g. Penyakit paru.

Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga
dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif
kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika
efek dari merokok dihilangkan.

C. Patofisiologi

Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/sub bronkus


menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan
karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi
pleura dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.

Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang
terbesar. Lesi ini menyebabkan obstruksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti
supurasi dibagian distal. Gejala-gejala yang timbul dapat berupa batuk,
hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat terdengar
pada auskultasi.

Pada usia stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan


adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke
struktur-struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium,
otak, tulang rangka.
D. Pathway Ca paru

E. Manifestasi klinis

Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala


klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti psien dalam stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat :
a. Lokal (tumor setempat)
1. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
2. Hemoptisis
3. Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
4. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
5. Aelektasis
b. Invasi local :
1. Nyeri dada
2. Dispnea karena efusi pleura
3. Invasi ke pericardium terjadi temponade atau aritmia
4. Sindrom vena cava superior
5. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
6. Suara sesak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
7. Syndrome Pancoasta karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf
simpatis servikalis
c. Gejala penyakit metastasis :
1. Pada otak, tulang, hati, adrenal
2. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis
3. Sindrom Paraneoplastik : Terdapat pada 10% kanker paru, dengan
gejala
4. Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
5. Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
6. Hipertrofi : osteoartropati
7. Neurologic : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
8. Neuromiopati
9. Endokrin : sekresi berlebihan hormone paratiroid (hiperkalsemia)
10. Dermatologi : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
11. Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
d. Asimtomatik dengan kelainan radiologist :
1. Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang terdeteksi
secara radiologis
2. Kelainan berupa nodul soliter
F. Pemeriksaan diagnostik
a. Radiologi.
1. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya
kanker paru.Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan
massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau
vertebra.
2. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
b. Laboratorium.
1. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe). Dilakukan untuk mengkaji
adanya/ tahap karsinoma.
2. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA dapat dilakukan untuk mengkaji
kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
3. Tes kulit, jumlah absolute limfosit. Dapat dilakukan untuk mengevaluasi
kompetensi imun (umum pada kanker paru).
c. Histopatologi.
1. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi
lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
2. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan
ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
3. Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan
cara torakoskopi.
4. Mediastinosopi.
Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening
yang terlibat.
5. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam – macam
prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
d. Pencitraan.
1. CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan pleura.
2. MR untuk menunjukkan keadaan mediastinum.

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :
a. Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup
klien.
b. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
c. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien
maupun keluarga.
d. Suportif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal seperti pemberian
nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan,
2000)
 Penatalaksanaan pada kanker paru dapat dilakukan dengan :
a. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain,
untuk mengangkat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan
sebanyak mungkin fungsi paru – paru yang tidak terkena kanker.
1. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkonfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks
khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsy.
2. Pneumonektomi (pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilamana dengan lobektomi tidak semua lesi bisa
diangkat.
3. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis
bleb atau bula emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak
tuberkulois.
4. Resesi segmental.
Merupakan pengangkatan satu atau lebih segmen paru.
5. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit
peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan
paru – paru berbentuk baji (potongan es).
6. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris.
b. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan
bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti
mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus. Terapi
radiasi dilakukan dengan indikasi sebagai berikut.
1. klien tumor paru yang operable tetapi risiko jika dilakukan
pembedahan.
2. klien adenokarsinoma atau sel skuamosa inoperable yang
mengalami pembesaran kelenjar getah bening pada hilus ipsilateral
dan mediastinal.
3. klien kanker bronkus dengan oat cell.
4. klien kambuhan sesudah lobektomi atau pneumonektomi.
Dosis umum 5000-6000 rad dalam jangka waktu 5-6 minggu. Pengobatan
dilakukan dalam 5 kali seminggu dengan dosis 180-200 rad/hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah :
a) Esofagitis, hilang 1 minggu sampai dengan 10 hari sesudah pengobatan.
b) Pneumonitis, pada rontgen terlihat bayangan eksudat di daerah
penyinaran.
c. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta
untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.
Kemoterapi merupakan pilihan pengobatan pada klien dengan kanker
paru, terutama pada SCLC karena metastasis. Kemoterapi dapat juga diberikan
bersamaan dengan terapi bedah. Obat-obat kemoterapi yang biasanya diberikan
untuk menangani kanker, termasuk kombinasi dari obat-obat berikut.
1. Cyclophosphamide, Dexorubicin, Methrotexate, dan Procarbazine.
2. Etoposide dan Cisplatin
3. Mitomycin, Vinblastine, dan Cisplatin.
d. Imunoterapi
Banyak klien kanker paru yang mengalami gangguan imun. Obat
imunoterapi (Cytokin) biasa diberikan.
e. Terapi Laser
f. Torakosentesis dan Pleurodesis
1. Efusi pleura dapat menjadi masalah bagi klien kanker paru.
2. Efusi timbul akibat adanya tumor pada pleura visceralis dan parietalis
serta obstruksi kelenjar limfe mediastinal.
3. Tujuan akhir dari terapi ini adalah mengeluarkan dan mencegah
akumulasi cairan.
H. PENCEGAHAN
Prinsip upaya pencegahan lebih baik dari sebatas pengobatan. Terdapat 3
Tingkatan pencegahan dalam epideemiologi penyakit kanker paru, yaitu :
1. Pencegahan Primordial (Pencegahan Tingkat Pertama)
Pencegahan terhadap etiologi (penyebab) penyakit. Pencegahan primer
dilakukan pada orang yang sehat (bebas kanker).
Langkah nyata yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi kepada
masyarakat tentang pencegahan kanker.
Upaya yang dapat dilakukan adalah Upaya Promosi Kesehatan, upaya
untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit kanker
paru tidak dapat berkembang karena tidak adanya peluang dan dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup maupun kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk
munculnya penyakit kanker paru. Misalnya : menciptakan prakondisi dimana
masyarakat merasa bahwa merokok itu merupakan kebiasaan yang tidak baik dan
masyarakat mampu bersikap positif untuk tidak merokok. Seseorang perokok
yang telah berhasil berhenti 10 tahun lamanya berarti telah dapat menurunkan
risiko 30 -50 persen untuk terkena kanker paru.
Selain itu, senantiasa menjaga daya tahan tubuh melalui pola hidup sehat
(olahraga teratur, tidur cukup, hidup bebas stress serta pola makan sehat), dan
makan suplemen secara teratur.
2. Pencegahan Tingkat Kedua
Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang dilakukan pada orang yang
sudah sakit. Tujuannya adalah untuk mencegah perkembangan penyakit lebih
lanjut dari penyakit serta membatasi terjadinya kecacatan. Upaya yang dilakukan
adalah
a) Diagnosis Dini : misalnya dengan Screening.
b) Pengobatan : misalnya dengan Kemotherapi, Pembedahan atau iradiasi.
3. Pencegahan Tingkat Ketiga
Pencegahan tersier adalah upaya meningkatkan angka kesembuhan,
angka survival (bertahan hidup), dan kualitas hidup dalam pengobatan kanker
berupa penatalaksanaan terapi rehabilitatif, paliatif, dan bebas rasa sakit. Misalnya
penderita kanker stadium lanjut membutuhkan terapi paliatif, yaitu terapi yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien penderita kanker, baik
dengan radioterapi atau dengan obat-obatan.
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Aktivitas/istrahat : kelemahan, ketidakmampuan, mempertahankan kebiasaan


rutin, dispnoe karena aktivitas, kelesuan biasanya tahap
lanjut.

b. Sirkulasi peningkatan vena jugularis, bunyi jantung : gesekan perikordial


(menunjukkan efusi), takikardia, disritmia.

c. Integrasi ego : ansietas, takut akan kematian, menolok kondisi yang berat,
gelisah, insomnia, pertanyaan yang diulang-ulang.

d. Eliminasi : diare yang hilang timbul (ketidakseimbangan hormonal),


peningkatan frekuensi/jumlah urine.

e. Makanan/cairan : penurunan berat badan, nafsu makan buruk, penurunan


masukan makanan, kesulitan menelan, haus/peningkatan
masukan cairan Kurus, kerempeng, atau penampilan kurang
bobot (tahap lanjut 0, edema wajah, periorbital
(ketidakseimbangan hormonal), glukosa dalam urine.

f. Ketidak nyamanan/nyeri : nyeri dada, dimana dapat dipengaruhi oleh perubahan


posisi. Nyeri bahu/tangan, nyeri tulang/sendi, erosi
kartilago sekunder terhadap peningkatan hormon
pertumbuhan. Nyeri abdomen hilang/timbul.

g. Pernafasan : batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya, peningkatan
produksi sputum, nafas pendek, pekerja terpapar bahan
karsinogenik, serak, paralisis pita suara dan riwayat merokok.
Dispnoe meningkat dengan kerja peningkatan fremitus taktil,
krekels/mengi yang menetap penyimpangan trakeal (area yang
mengalami lesi) hemoptisis.

h. Keamanan : demam mungkin ada/tidak ada, kemerahan, kulit pucat.


i. Seksualitas : ginekomastia, amenorea atau impoten.

j. Penyuluhan/pembelajaran : faktor resiko keluarga : adanya riwayat kanker paru,


TBC. Kegagalan untuk membaik.

2. Diagnosa Keperawatan yang muncul adalah :


a. Bersihan jalan nafas tidak efektif, b/d peningkatan jumlah/perubahan mukus
/viskositas sekret, kehilangan fungsi silia jalan nafas, meningkatnya tahanan jalan
nafas.

b. Nyeri b/d lesi dan melebarnya pembuluh darah.

c. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai O2 akibat perubahan sruktur


alveoli.

d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis b/d kurangnya


informasi.
3. Intervensi Keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif. Dapat dihubungkan :

Kehilangan fungsi silia jalan nafas

Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.

Meningkatnya tahanan jalan nafas

Kriteria hasil :

Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.

Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih

Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.

Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersihan jalan


nafas.

Intervensi :
Catat perubahan upaya dan pola bernafas.

Rasional : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal


menunjukkan peningkatan upaya bernafas.

Observasi penurunan ekspensi dinding dada

Rasional : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi
cairan, edema, dan sekret dalam seksi lobus.

Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi
dan karakteristik sputum.

Rasional: Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi


gagal perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, dan/ atau
purulen.

Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai
kebutuhan. Rasional: Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan
nafas pasien.

Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dan lain-lain

Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi,
tremor, insomnia.

Rasional: Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan


viskositas sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret.
Memerlukan perubahan dosis/ pilihan obat.

b. Nyeri Dapat dihubungkan :

Lesi dan melebarnya pembuluh darah.

Invasi kanker ke pleura, dinding dada


Kriteria hasil :

Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.

Tampak rileks dan tidur/ istirahat dengan baik.

Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/ dibutuhkan

Intervensi :

Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri. Buat rentang


intensitas pada skala 0 – 10.

Rasional: Membantu dalam evaluasi gejala nyeri karena kanker. Penggunaan


skala rentang membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan
alat untuk evaluasi keefektifan analgesik, meningkatkan kontrol nyeri.

Kaji pernyataan verbal dan non-verbal nyeri pasien.

Rasional: Ketidaksesuaian antar petunjuk verbal/ non verbal dapat memberikan


petunjuk derajat nyeri, kebutuhan/ keefektifan intervensi.

Catat kemungkinan penyebab nyeri patofisologi dan psikologi. Rasional : Insisi


posterolateral lebih tidak nyaman untuk pasien dari pada insisi anterolateral.
Selain itu takut, distress, ansietas dan kehilangan sesuai diagnosa kanker dapat
mengganggu kemampuan mengatasinya.

Dorong menyatakan perasaan tentang nyeri.


Rasional : Takut/ masalah dapat meningkatkan tegangan otot dan menurunkan
ambang persepsi nyeri.
Berikan tindakan kenyamanan. Dorong dan ajarkan penggunaan teknik
relaksasi Rasional :Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian
c. Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan : Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.

Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.


Intervensi :
Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya
pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan
nafas.
Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan,
misalnya krekels, mengi.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang
sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat
peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya
tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta
tumor.
Kaji adanmya sianosis
Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis
sentral dari “organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling
indikatif.
Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
Awasi atau gambarkan seri GDA. Rasional : Menunjukkan ventilasi atau
oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefktifan terapi atau indikator
kebutuhan perubahan terapi.
d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis. Dapat
dihubungkan :
Kurang informasi.

Kesalahan interpretasi informasi.

Kurang mengingat.
Kriteria hasil :
Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.

Menggambarkan/ menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.

Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian


medik.

Membuat perencanaan untuk perawatan lanjut.


Intervensi :
Dorong belajar untuk memenuhi kebutuhan pasien. Beriak informasi dalam
cara yang jelas/ ringkas.
Rasional : Sembuh dari gangguan gagal paru dapat sangat menghambat lingkup
perhatian pasien, konsentrasi dan energi untuk penerimaan informasi/ tugas baru.
Berikan informasi verbal dan tertulis tentang obat
Rasional : Pemberian instruksi penggunaan obat yang aman memmampukan
pasien untuk mengikuti dengan tepat program pengobatan.
Kaji konseling nutrisi tentang rencana makan; kebutuhan makanan kalori
tinggi. Rasional : Pasien dengan masalah pernafasan berat biasanya mengalami
penurunan berat badan dan anoreksia sehingga memerlukan peningkatan nutrisi
untuk menyembuhan.

Berikan pedoman untuk aktivitas.


Rasional : Pasien harus menghindari untuk terlalu lelah dan mengimbangi periode
istirahatdan aktivitas untuk meningkatkan regangan/ stamina
dan mencegah konsumsi/ kebutuhan oksigen berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai